"Ma, Pa, Om dan tante. Maaf, tapi Zaidan nggak bisa menerima perjodohan ini!"
Suara itu seketika menghentikan langkah kaki Aiyla yang baru saja akan memasuki rumah. Gadis dengan pakaian syar'i itu tampak terdiam sejenak sembari menajamkan pendengarannya ketika mendengar suara laki-laki asing yang berasal dari dalam rumahnya.
Menit berikutnya gadis berhijab panjang itu mendongak ketika mendengar derap langkah kaki seseorang berjalan menghampirinya. Aiyla menundukkan pandangan ketika matanya tidak sengaja bersitatap dengan sosok laki-laki yang baru saja keluar dari dalam rumah.
"Zaidan, tunggu nak!" Teriak seorang wanita paruh bayah yang tak lain adalah bu Anisa, sahabat baik ibu Aiyla.
Bu Anisa berhenti mengejar sang putra ketika melihat Aiyla sudah berdiri di depan pintu. Gadis itu kemudian tersenyum menyapa bu Anisa.
"Aiyla, sejak kapan kamu pulang sayang?" Tanya bu Anisa sembari mendekat kearah Aiyla.
"Baru aja tante." Balas Aiyla dengan sopan.
Tidak lama setelah itu orang tua Aiyla beserta pak Tiar datang menghampiri mereka.
"Zaidan kemana, Ma?" Tanya pak Tiar pada sang istri.
"Zaidan sudah pergi, Pa." Jawab bu Anisa dengan wajah tampak tak bersemangat.
Jujur, Aiyla sedikit bingung dengan situasi saat ini. Aiyla memang tidak terkejut dengan kedatangan bu Anisa ke rumahnya, karena biasanya bu Anisa memang sering berkunjung ke rumah. Hanya saja, kali ini situasinya tampak berbeda. Bu Anisa datang berkunjung bersama suami dan juga laki-laki bernama Zaidan itu.
"Nisa, lebih baik kita masuk dulu. Kita bicarakan semua masalah ini di dalam." Ucap bu Maryam, ibu Aiyla.
Bu Anisa tampak mengangguk sejenak lalu melangkah masuk kembali ke dalam rumah. Aiyla hanya bisa mengekor di belakang para orang tua.
Di dalam kamar miliknya, samar-samar Aiyla mendengar percakapan para orang tua yang berada di ruang tamu.
"Apa sebelumnya kamu belum memberi tahu Zaidan soal perjodohan ini, Nis?" Tanya bu Maryam.
"Belum, Maryam. Aku pikir Zaidan akan setuju saja jika aku menjodohkan dia, karena setahu aku Zaidan juga tidak memiliki kekasih." Balas bu Anisa.
"Tapi, melihat reaksi Zaidan tadi buat aku merasa bersalah dengan keluarga kalian. Maafkan aku, Maryam. Aku janji, perjodohan ini akan tetap terlaksana. Sudah sejak lama aku ingin keluarga kita menjadi besan." Sambung bu Anisa yang terdengar begitu yakin dan serius.
Obrolan para orang tua di luar, membuat Aiyla bertambah bingung sekaligus penasaran. Sejak tadi mereka membahas terkait perjodohan dan laki-laki bernama Zaidan. Siapa sebenarnya Zaidan? Dan kenapa bu Anisa meminta maaf pada ibu Maryam? Apa yang sebenarnya terjadi?
Setelah hampir 15 menit membahas terkait masalah tadi, bu Anisa dan pak Tiar akhirnya pamit untuk pulang.
Malam harinya setelah melaksanakan salat Isya, Aiyla menyempatkan untuk membaca beberapa lembar Al-Qur'an. Setelah menyelesaikan bacaannya, Aiyla melipat mukena dan sajadah yang baru saja di kenakannya.
Meaw....
Meaw....
Aiyla menoleh lalu tersenyum riang melihat kucing kesayangannya yang sejak tadi setia menunggunya selesai membaca Al-Qur'an. Aiyla kemudian mendudukkan dirinya di sisi kasur dan kucing berbulu putih itupun tampak melompat kepangkuan Aiyla.
Tangan gadis itu terulur mengelus kepala dan punggung kucing kesayangannya. Hingga kegiatan itu terhenti ketika bu Maryam menghampiri Aiyla yang berada di dalam kamar.
"La, boleh Ibu bicara sebentar?" Tanya bu Maryam meminta izin.
"Boleh, Bu." Aiyla menggeser tubuhnya memberi ruang untuk sang ibu duduk di sampingnya.
Wanita paruh bayah itu tersenyum kala melihat kucing kesayangan Aiyla kini bermanja kepada pemiliknya. Sejak kecil, Aiyla memang sangat menyukai hewan berbulu itu.
"Nak, bagaimana jika Ibu sama Bapak menjodohkan kamu dengan seorang laki-laki yang kami percayai untuk menjaga kamu? Apa kamu akan menerima perjodohan itu?" Tanya bu Maryam dengan hati-hati.
Senyum yang sejak tadi menghiasi wajah putih Aiyla perlahan memudar kala mendengar kata 'perjodohan' dari mulut ibunya. Aiyla diam untuk beberapa saat lalu kemudian bersuara.
"Kalau memang Ibu sama Bapak yakin dengan laki-laki itu, insyaa Allah Aiyla akan terima, Bu. Aiyla yakin Ibu sama Bapak pasti memilih laki-laki yang baik untuk Aiyla." Jawaban Aiyla mampu membuat bu Maryam tersenyum lega.
"Alhamdulillah. Semoga Allah memudahkan rencana kita, ya, Nak."
Sementara di sebuah kafe, Zaidan tengah berkumpul bersama tiga orang sahabatnya. Kepala Zaidan terasa ingin pecah memikirkan masalah hari ini. Pekerjaan di kantor sudah menyita sebagian pikiran Zaidan dan di tambah lagi sekarang laki-laki itu harus mendengar fakta bahwa dia akan dijodohkan oleh orang tuanya dengan gadis yang belum pernah dia temui sebelumnya.
"Lo kenapa sih murung aja dari tadi? Perasaan kerjaan di kantor nggak sampai bikin lo kayak gini." Celetuk Kevin salah satu teman Zaidan yang sejak tadi memperhatikan sahabatnya hanya diam sambil sesekali mengusap wajahnya dengan kasar.
"Iya, Dan. Perasaan kita bertiga sibuk ngobrol. Tapi, elo justru diam aja dari tadi." Timpal Azri sambil menyenggol pelan bahu kiri sahabatnya.
"Gue lagi banyak pikiran." Akhirnya Zaidan menjawab dengan helaan napas kasar.
"Masalah kerjaan atau masalah yang lain?" Tanya Hanif yang saat ini fokus menyeruput minuman di depannya.
"Masalah yang lain. Gue lagi bingung banget sekarang. Orang tua gue jodohin gue--" Ucapan Zaidan terpotong kala Kevin hampir saja menyemburkan minuman di mulutnya.
"Apa? Dijodohin?!" Pekik Kevin yang tanpa sadar meninggikan suaranya hingga menarik perhatian orang-orang disekitar mereka.
"Lo bisa nggak sih reaksinya jangan kayak orang kesurupan?" Kesal Hanif pada sahabatnya itu.
"Tahu nih sih Kevin." Tambah Azri.
Sedangkan Zaidan hanya bisa menghela napas kembali melihat tingkah para sahabatnya.
"Dan, lo nggak lagi bercanda kan? Zaman udah modern lho, masih banyak cara buat cari pasangan tanpa dijodohin. Ingat, Dan. Kalau lo udah nikah, lo nggak pernah bisa sebebas sekarang." Ucap Kevin menatap kearah Zaidan.
"Iya, Dan. Lagian sayang banget kalau sampai elo nerima perjodohan ini. Umur lo itu masih 23 tahun, karier elo juga lagi bagus-bagusnya. Bisa di bilang elo baru aja menikmati kesuksesan yang lo perjuangin selama ini." Timpal Azri yang sepertinya sependapat dengan Kevin.
"Gue sebenarnya juga nggak mau nerima perjodohan ini, tapi lo semua tahu kan kalau gue paling nggak bisa nolak permintaan nyokap gue?" Ketiga laki-laki di hadapan Zaidan kini mengangguk menyetujui ucapan Zaidan. Laki-laki 23 tahun itu memang terkenal sangat penurut dan patuh pada kedua orang tuanya.
"Kalau menurut gue, nggak ada salahnya juga elo nerima perjodohan ini, Dan. Kalau masalah umur, pekerjaan dan kebebasan yang lo rasain sekarang gue rasa semua itu nggak akan jadi masalah besar. Malah yang gue lihat, banyak orang menikah muda saat karier mereka lagi naik-naiknya. Tapi, buktinya mereka malah kelihatan bahagia banget setelah menikah. Bang Rendi contohnya." Sahut Hanif. Rendi yang di maksud Hanif tadi adalah salah satu rekan kerja mereka di kantor.
Azri yang sejak tadi mendengar ucapan Hanif kini menoleh menatap kearah Zaidan yang tampak semakin bingung.
"Menurut gue sih, lo harus pikirin ini baik-baik, Dan. Setelah menikah kehidupan elo akan berubah total." Sahut Azri kembali.
"Kali ini gue setuju sama Azri." Timpal Kevin.
Zaidan semakin frustasi mendengar pendapat ketiga sahabatnya. Laki-laki itu hanya bisa memijat kepalanya yang terasa bertambah pusing.
"Assalamu'alaikum," Ucap Zaidan sambil membuka pintu rumah. Laki-laki 23 tahun itu pulang dengan wajah tampak lesu tak bersemangat.
Saat membuka pintu rumah, mata Zaidan menangkap pasangan paruh bayah yang tengah duduk di ruang tamu menunggu kepulangannya. Siapa lagi kalau bukan bu Anisa dan pak Tiar.
"Wa'alaikumussalam," Balas bu Anisa dan pak Tiar bersamaan.
"Kamu kemana aja seharian ini, Zaidan?" Tanya bu Anisa dengan raut wajah khawatir sembari bangkit dari posisi duduknya dan di ikuti sang suami di belakangnya.
"Zaidan kumpul sama Hanif sama yang lainnya, Ma." Jawab Zaidan dengan raut wajah yang tidak berubah sama sekali.
"Tapi kenapa harus pulang sampai selarut ini, nak? Kamu tahukan Mama sama Papa khawatir nungguin kamu pulang?" Zaidan menunduk sembari melepas jaket yang melekat di tubuhnya.
"Maaf, udah buat Mama sama Papa khawatir. Tapi, sekarang Zaidan capek habis keluar, Ma. Zaidan mau ke kamar dulu buat istirahat."
Pak Tiar dan bu Anisa saling melempar pandangan mendengar jawaban putra bungsunya. Zaidan terlihat berbeda dari hari biasanya. Tidak ada lagi wajah penuh senyum serta tutur kata lembut pada kedua orang tuanya.
"Kamu lagi berusaha menghindari Papa sama Mama, ya?" Tebak pak Tiar yang akhirnya membuka suara.
Zaidan tidak mengelak sama sekali. Laki-laki berperawakan tinggi itu terlihat diam saja seolah menyetujui ucapan dari sang papa.
"Zaidan, Mama tahu semua ini mungkin terlalu mendadak untuk kamu, nak. Tapi, percaya sama Mama, perempuan yang kami pilihkan untuk kamu adalah perempuan yang solehah dan patuh dengan kedua orang tuanya. Insyaa Allah kamu tidak akan menyesal ketika menikah dengan Aiyla." Bu Anisa kini mencoba membujuk sang putra untuk menerima perjodohan yang dilakukannya.
Zaidan menghela napas sejenak. Nama yang disebutkan oleh Mama nya saja, Zaidan baru mendengarnya. Jangan tanyakan lagi bagaimana perasaan Zaidan harus menikah dan menghabiskan seluruh hidupnya dengan perempuan yang tidak pernah dia temui sebelumnya.
"Zaidan ngerti kalau Mama sama Papa pasti memilih perempuan yang baik buat Zaidan. Tapi, Zaidan sama sekali belum kepikiran buat menikah di usia muda. Zaidan masih mau menikmati masa muda sama temen-temen seumuran Zaidan tanpa dibebani tanggung jawab, Ma, Pa." Tutur Zaidan yang berusaha meyakinkan kedua orang tuanya dengan keputusan yang diambilnya.
"Tidak ada yang akan berubah ketika kamu menikah nanti, nak. Kamu masih bebas berkumpul sama temen-temen kamu. Kamu juga masih bebas untuk meraih mimpi-mimpi kamu selama ini. Dan pasti Aiyla juga akan setia mendampingi kamu nantinya. Dia perempuan yang baik, nak. Aiyla adalah perempuan yang jarang di temui di zaman seperti sekarang ini." Bu Anisa tidak menyerah untuk terus meyakinkan putra bungsunya untuk menerima perjodohan ini. Bu Anisa yakin, Aiyla adalah sosok perempuan yang tepat untuk menjadi pendamping Zaidan.
"Nak, kami berdua ini sudah tua. Harapan kami sebagai orang tua hanyalah melihat anak-anak kami tumbuh dewasa dan memiliki keluarga yang bahagia. Papa sama Mama tahu, mungkin kami berdua terdengar memaksa kamu menerima perjodohan ini. Tapi, di balik semua itu, Papa dan Mama cuman menginginkan yang terbaik untuk kamu dan kehidupan kamu, nak." Timpal pak Tiar yang ikut membujuk sang putra.
Katakanlah Zaidan laki-laki yang begitu lemah dengan bujukan dan permintaan kedua orang tuanya. Terlebih sang Mama. Zaidan selalu menjadikan bu Anisa sebagai prioritas utama dalam hidupnya. Zaidan juga sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk berusaha mengabulkan permintaan dari sang mama. Dan sekarang tiba saatnya Zaidan menepati janji itu.
"Kalau memang perjodohan ini bisa buat Mama sama Papa bahagia. Maka, Zaidan nggak bisa lagi menolak permintaan Mama sama Papa." Akhirnya dengan berat hati, Zaidan berusaha untuk mengabulkan permintaan dari orang tuanya.
Raut wajah bahagia terpancar dari pasangan laki-laki dan wanita paruh bayah itu. Bu Anisa yang sangat bahagia pun segera memeluk sang putra dan mengucapkan kata terima kasih berkali-kali.
"Besok, kita akan ke rumah tante Maryam untuk membicarakan mengenai rencana pernikahan kalian." Ucap bu Anisa dengan begitu semangat dan antusias.
Sedangkan Zaidan hanya bisa memaksakan senyum lalu mengangguk kecil. Zaidan kemudian memilih pamit untuk segera ke kamar agar bisa merebahkan tubuhnya yang begitu lelah hari ini. Keputusan yang diambilnya tentu tidak mudah. Dan Zaidan harus mempersiapkan diri untuk menerima kehadiran perempuan asing di kehidupannya yang akan datang.
Di tempat lain, Aiyla kini terbangun di sepertiga malam untuk melaksanakan solat sunnah tahajjud. Perempuan itu merentangkan sajadah seraya terus melafalkan ayat-ayat suci Al-Qur'an di dalam salatnya.
Selesai melaksanakan salat, Aiyla tak lupa untuk berzikir dan berdoa kepada sang Pencipta.
"Ya, Allah. Engkau yang lebih mengetahui apa yang terbaik untuk hidup Hamba kelak. Jika memang dia adalah laki-laki yang Engkau takdirkan untuk Hamba, maka bimbinglah hati ini untuk menerimanya. Namun, jika beliau bukanlah jodoh yang Engkau siapkan untuk Hamba. Maka Hamba mohon lapangkanlah hati ini untuk bisa mengikhlaskannya." Lirih Aiyla dalam doanya.
Tidak ada senjata paling ampun bagi setiap umat muslim selain dari doa yang dipanjatkan nya. Dan hanya dengan berzikir, hati seseorang akan terasa lebih tenang.
Pada kenyataannya, manusia itu terlalu sibuk untuk mencari ketenangan hati di luar sana. Hingga mereka lupa bahwa ketenangan yang sesungguhnya yaitu ketika kita menghabiskan waktu berdua dengan Sang Pencipta di sepertiga malam.
Sembari menunggu waktu subuh tiba, Aiyla menyempatkan untuk membaca Al-Qur'an. Suara gadis itu terdengar sangat merdu di telinga siapa saja yang mendengarkannya.
Bu Maryam dan pak Ahmad yang mendengar lantunan ayat suci Al-Qur'an Aiyla seketika membuat hatinya menghangat. Tanpa terasa air mata pak Ahmad menetes. Bu Maryam yang menyadari itupun seketika bertanya pada sang suami.
"Pak, kenapa menangis?" Tanya bu Maryam lembut.
"Bapak nggak tahu, Bu. Apa bisa Bapak ikhlas melepaskan Aiyla menikah dengan orang lain? Rasanya terlalu sulit untuk melepas putri seperti Aiyla." Balas pak Ahmad. Sejujurnya pak Ahmad belum bisa membayangkan jika Aiyla kelak akan menikah dan tanggung jawab akan putrinya itu telah berpindah ke laki-laki lain yang kelak akan menjadi suami Aiyla.
"Kita doakan saja, Pak. Semoga Zaidan memang laki-laki yang tepat untuk menjadi suami Aiyla." Tadi malam bu Anisa memang memberi kabar bahwa Zaidan sudah setuju dengan perjodohan yang dilakukan oleh para orang tua. Dan besok, mereka semua akan kembali membicarakan mengenai kelanjutan pernikahan Zaidan dan Aiyla. Tentu saja di satu sisi pak Ahmad dan bu Maryam senang mendengarnya. Namun, disisi lain seolah ada sesuatu yang terasa sulit untuk direlakan. Wajar saja, Aiyla adalah putri satu-satunya di keluarga pak Ahmad ini.
Dua pihak keluarga kini tengah berkumpul di rumah bu Maryam untuk membicarakan terkait rencana pernikahan Zaidan dan Aiyla.
Berbeda dengan para orang tua yang sibuk dengan obrolan mereka, Zaidan justru terfokus pada sosok perempuan yang duduk di ujung sofa tepatnya di samping bu Maryam.
Zaidan mengamati penampilan Aiyla dari atas hingga kebawah. Tidak pernah terbesit sedikit pun di benak laki-laki berusia 23 tahun itu jika dia akan menikahi sosok perempuan dengan pakaian syar'i serta hijab panjang yang menjulur kebawah. Semua itu benar-benar di luar kriteria perempuan idaman Zaidan.
"Bagaimana Zaidan, apa kamu setuju dengan tanggal pernikahan kalian?" Tanya bu Anisa yang tiba-tiba mengagetkan Zaidan yang tengah fokus memandangi calon istrinya itu.
"Ah! Iya, Ma. Kenapa?" Tanya Zaidan kebingungan. Pasalnya sedari tadi dia tidak mendengarkan obrolan orang tuanya karena terlalu sibuk memikirkan tentang Aiyla saja.
"Mama tanya, kamu setuju nggak kalau pernikahan kalian dilaksanakan tanggal 13?" Wajah bu Anisa terlihat begitu antusias membicarakan pernikahan Zaidan dan Aiyla.
"Tanggal 13? Bukannya itu 3 minggu dari sekarang, ya, Ma? Zaidan rasa waktunya terlalu cepat, Ma." Ujar Zaidan yang memang cukup kaget dengan tanggal yang di tentukan oleh para orang tua.
"Lebih cepat lebih baik nak Zaidan. Sesuatu yang baik itu memang harus segerakan." Sahut bu Maryam.
Zaidan kembali terdiam. Itu artinya sebentar lagi, hidup Zaidan akan diwarnai dengan sosok perempuan yang tidak pernah dia kenal sebelumnya. Rasanya semua ini seperti mimpi bagi seorang El Zaidan Rasyid. Laki-laki bertubuh tegap itu tidak menyangka, jika dia akan menyandang gelar sebagai seorang suami diusianya yang masih terbilang muda.
"Kalu begitu, Zaidan ikut keputusan Mama dan tante aja." Tutur Zaidan.
Setelah mendengar jawaban Zaidan, kini pandangan kedua wanita paruh bayah itu beralih pada sosok gadis yang sejak tadi hanya diam sembari terus menunduk.
"Bagaimana Aiyla? Apa kamu setuju dengan tanggal yang kami pilihkan sayang?" Tanya bu Anisa dengan lembut.
Aiyla yang di tanya demikian pun akhirnya mendongak menatap bu Anisa. Di saat itu pula, pertama kalinya Zaidan bisa melihat bagaimana wajah dari calon istrinya itu. Kulit putih, mata dan wajah yang bulat serta bibir mungil yang membuat Zaidan terpaku untuk sepersekian detik.
"Aiyla ikut keputusan bersama saja tante." Ucap Aiyla seraya menatap kearah bu Anisa.
Zaidan yang sejak tadi mengamati gerak gerik Aiyla yang sama sekali tidak pernah melirik ataupun menoleh kearahnya membuat Zaidan berspekulasi bahwa gadis yang kini menjadi calon istrinya adalah perempuan yang sombong. Hal itu membuat Zaidan semakin yakin untuk memberi jarak antara dirinya dan Aiyla ketika menikah nanti.
"Tanggal pernikahan sudah ditentukan. Sekarang konsep pernikahan. Kalian berdua mau konsep pernikahan yang seperti apa?"
"Yang sederhana aja, Ma!"
"Yang sederhana aja, tante!" Ucap Zaidan dan Aiyla berbarengan.
Para orang tua yang mendengar itu hanya bisa tersenyum simpul.
"Belum menikah saja, kalian sudah kompak seperti ini. Papa yakin insyaa Allah pernikahan kalian akan bahagia dan harmonis nantinya." Sahut pak Tiar menimpali.
Mendengar celetukan tersebut membuat para orang tua tertawa mendengarnya. Sedangkan Aiyla hanya mampu tersenyum tipis lalu kembali menunduk. Berbeda dengan semua ekspresi yang di tunjukkan oleh orang-orang. Zaidan justru memutar bola matanya dengan malas karena menurutnya tidak akan ada kecocokan antara calon istrinya dan dirinya.
"Kalau memang kalian ingin konsep pernikahan yang sederhana saja. Nanti untuk tamu yang di undang dari pihak keluarga, kerabat dekat, tetangga dan juga sahabat serta teman-teman kalian saja. Bagaimana?" Usul bu Maryam yang kemudian disetujui oleh Zaidan dan Aiyla.
Zaidan memang tidak menginginkan pernikahan yang mewah karena menurutnya pernikahan ini hanya sebatas memenuhi baktinya sebagai seorang anak. Bahkan Zaidan juga sudah merencanakan akan menceraikan Aiyla disaat pernikahan mereka menginjak usia 6 bulan.
"Bagaimana dengan mahar. Aiyla, kamu ingin meminta mahar apa dari Zaidan?" Pertanyaan itu kembali tertuju pada gadis berhijab panjang itu.
"Aiyla terserah dari Mas Zaidan saja tante. Intinya tidak memberatkan pihak Mas Zaidan dan keluarga." Tutur Aiyla.
Setelah obrolan mengenai rencana pernikahan telah rampung. Kembali para orang tua terlihat membahas sesuatu yang membuat Zaidan sedikit lelah mendengarnya. Sedangkan Aiyla, terlebih dulu pamit untuk ke depan menemui salah seorang temannya.
Aiyla tersenyum melihat Zahwa yang sudah berdiri di depan pagar rumahnya untuk menunggunya.
"Maaf, ya, lama. Soalnya aku baru liat chat dari kamu." Ucap Aiyla pada sahabatnya.
"Nggak apa-apa kok. Oh, iya, nih buku kamu. Makasih, ya." Ujar Zahwa lalu memberikan buku kajian milik Aiyla yang dipinjamnya.
Beberapa hari yang lalu Zahwa memang meminjam buku Aiyla untuk mencatat beberapa materi kajian yang sempat terlewat karena Zahwa sedang sakit hingga tidak bisa hadir ke kajian.
"Sama-sama," Balas Aiyla tersenyum.
"Mau mampir dulu nggak?" Tawar Aiyla pada sahabat sekaligus tetangga kampungnya itu.
"Insyaa Allah lain kali aja, ya." Jawab Zahwa.
"Semoga dimudahkan dan dilancarkan, ya, La. Aku ikut bahagia dengar kabar dari kamu semalam."
"Mulai sekarang, jok belakang motor aku kayaknya bakalan kosong terus nggak ada kamu yang aku boncengin ke kajian." Ucap Zahwa di akhiri kekehan kecil. Zahwa memang sudah mengetahui jika sahabatnya itu akan segera menikah.
"Aku do'ain semoga kamu juga cepat menyusul, ya, Wa."
"Aamiin. Oh, iya, kalau gitu aku pamit dulu, ya."
"Iya, hati-hati."
Setelah melihat kendaraan yang di tumpangi Zahwa sudah menjauh, Aiyla kemudian berbalik untuk segera kembali ke dalam rumah. Tapi, betapa kagetnya Aiyla saat dirinya hampir saja menabrak tubuh yang entah sejak kapan berdiri di belakangnya.
"M-mas Zaidan," Aiyla dilanda perasaan gugup karena tingkahnya yang sedikit ceroboh hingga hampir menabrak tubuh tegap milik Zaidan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!