"Apakah aku benar-benar akan mati?!" Suara serak terdengar melalui kegelapan yang merayap, menciptakan siluet hitam yang memenuhi seluruh pandangan mata. Kesadaran dirinya seketika hilang, terseret dalam jurang ketidakpastian seperti ditelan oleh kegelapan yang tak berujung.
****
Malam gelap merayap di dalam kamar salah satu hotel paling mewah di kota ini, yang dikenal sebagai "The Obsidian Elegance." Di tengah keheningan, pria berbadan gembul hanya mengenakan kolor tampak menatap mesum ke arah seorang gadis yang tidak berdaya di bawahnya.
Gadis berkulit putih yang bernama Lestari terbaring tak berdaya, tanpa menyadari kehadiran pria jahil di atasnya. Tubuhnya yang terkapar di atas kasur hotel yang mewah, kini dihampiri oleh tangan-tangan nakal pria itu.
Mata Lestari perlahan membuka, terbelalak, terkejut oleh kemunculan mendadak pria berwajah mesum di depannya. Baru saja tersadar dari tidurnya, Lestari merasakan ancaman yang tak terduga dari wajah pria yang semakin mendekat.
Bau alkohol yang menyembur dari mulut pria itu menciptakan atmosfer yang tak tertahankan, membuat Lestari ingin menjauh dari situasi yang semakin tidak terkendali.
Kedua tangannya terjepit erat oleh cengkraman penuh nafsu pria bejat itu, membuatnya tak berdaya dalam upaya melawan. Pandangan matanya berayun liar dari kiri ke kanan, merasakan keasingan yang menyiksa. Di atas kasur yang seharusnya menjadi tempat kedamaian, kini posisinya terperangkap oleh badan gembul pria mesum itu, layaknya mangsa yang terkurung dalam sarang predator.
Wajah bejatnya semakin menggelap, nafasnya semakin terengah-engah, dan cengkraman pada kedua tangan Lestari semakin kuat, menyulut rasa kesakitan yang merayap dalam tubuhnya. Badan gembul, tanpa belas kasihan, mencoba membuka celana kolornya, menciptakan rasa ngeri dalam benak Lestari.
Dalam keputusasaan, Lestari berjuang melawan, berharap dapat melarikan diri dari cengkraman mahluk bejat yang merusaknya. "TOLOOOOONG!" Teriakan putus asa keluar dari bibir mungilnya, menjadi seruan terakhir harapannya agar seseorang mendengarnya dan menyelamatkannya dari kengerian yang sedang dialaminya. "TOLOOOOOONG!" Suara itu meluncur ke dalam kegelapan, menciptakan serangkaian doa yang terbawa angin, semoga ada bantuan yang segera datang.
Lestari kembali memekik, tetapi pria di hadapannya malah membalas dengan tawa merendahkan, menghina keputusasaan wanita mungil yang masih berusaha meminta pertolongan.
"Ahahahahaha." Tertawa penuh kenikmatan, pria gembul itu menikmati setiap momen melihat usaha putus asa Lestari untuk menyelamatkan diri. "Kau tahu, di hotel ini tidak akan ada orang yang akan menolongmu!" Ucapannya bergema, menyiratkan ketidakberdayaan yang mendalam di dalam kegelapan hotel tersebut.
Tanpa merinci lebih lanjut ancamannya, pria gembul tersebut memutuskan untuk merampas kehormatan Lestari.
Lidahnya yang bejat meliuk-liuk seperti ular beracun, menjilati wajah Lestari hingga basah kuyup. Bau alkohol yang menyengat di wajah membuatnya merasa muak, ingin sekali membogem mahluk asusila di hadapannya.
"HENTIKAN!" seru Lestari, mengecam perlakuan pria gembul terhadapnya.
"Heeh, sifatmu berubah sangat drastis." Pria gembul itu menatap Lestari dengan penuh heran, mengamati perubahan drastis dari seorang wanita yang dulu cengeng menjadi sosok yang kuat dan pemberani dalam menghadapi ketidakadilan.
"Aku sudah membayar mahal untuk ibumu. Tidak mungkin aku melepas tubuh mulus ini, terutama setelah mendengar bahwa kau masih perawan. Rasanya, aku tak sabar untuk segera menyentuhmu."
Tangan usil dan kasarnya melibas dari ujung area sensitif Lestari hingga pangkalan dagu, setiap sentuhan terasa seperti godaan kegelapan yang merayap dalam kegelapan malam. Wanita itu terbawa oleh gelombang keintiman yang tak diinginkannya, mengerang dalam ketidakmampuan melawan sentuhan tangan gembul yang merayap.
Namun, Lestari menemukan kekuatan dalam ketidaknyamanannya. Tanpa ragu, ia menendang keras area sensitif pria gembul itu dengan lututnya, menciptakan momen kejutan yang membuatnya merintih kesakitan di lantai.
Tengah malam, hembusan angin kencang membentuk serangkaian melodi suram. Meskipun berada di tengah kota, keheningan malam membuat suara hembusan angin semakin terasa menyeramkan. Lestari berhasil melarikan diri, namun pintu kamar terkunci, memaksa dia untuk terjebak dalam kegelapan yang mengancam. Pria gembul itu terbangun dari kesakitan, menatap tajam dengan senyuman sinis ke arah gadis itu, menciptakan ketegangan yang mencekam di tengah malam yang seharusnya damai.
Suara ngos-ngosan nafas tak beraturan wanita itu memecah keheningan malam, seiring dengan usahanya menarik gagang pintu dengan harapan pintu akan segera terbuka.
Malam keheningan itu, batin Lestari dipenuhi oleh pertanyaan tak terjawab. Mengapa ia berada di dalam kamar hotel bersama seorang pria gembul yang sama sekali tak dikenalnya? Ingatan terakhirnya membawanya ke atas JPO, berdiri sendirian di tengah malam, melamun sambil memandang langit yang dipenuhi kegelapan. Pikirannya menjadi semakin berantakan, terhanyut dalam kisah yang sulit dipahami.
Dalam lamunan yang semakin mencekam, Lestari tiba-tiba tersadar dan menyadari bahwa ia telah melayang perlahan dari JPO, mengalami jatuh bebas dari ketinggian 5 meter. Pandangannya lurus ke atas, melihat seseorang tersenyum sinis ke arahnya.
"MATI KAU!"
Gerakan bibir orang itu terbaca oleh Lestari, tetapi sayangnya, kegelapan malam membuatnya tak tahu siapa yang telah mendorong tubuhnya dari ketinggian, menyelimuti wajahnya dengan gelap seperti siluet bayang-bayang.
Seiring dengan tubuh Lestari yang terjatuh, suara derap mobil dengan kecepatan tinggi memecah keheningan malam. Tubuhnya ditabrak dengan kekuatan dahsyat, terpental cukup jauh sebagai korban kejam lintasan metal berkecepatan.
Mata Lestari terbuka di dunia yang tak terduga, dikejutkan oleh hadirnya pria gembul yang segera menindihnya. Untungnya, nalurinya yang tajam memungkinkannya untuk menyelamatkan diri dari ancaman mahluk asusila yang hendak merusak segalanya.
"Kau mau pergi ke mana?" Senyuman kotor tergambar di wajah pria gembul, menunjukkan kunci kamar yang sedang ia genggam dengan gemilangnya.
Dengan wajah yang semakin bejat, pria itu melangkah perlahan menuju Lestari yang berdiri di depan pintu terkunci. Tangan mungilnya terus mencoba menarik gagang pintu yang tampaknya menolak bergeming, menghadapi ketakutan dan keputusasaan yang menghantuinya.
Dalam keputusasaan, Nia bergerak menepi dinding ruangan, matanya terus melotot ke arah pria tua gembul di depannya, merasakan usahanya yang tampaknya sia-sia.
"Kau mau ke mana? Percuma menghindar. Pada akhirnya, kau akan menjadi santapan malamku."
"DIAM!" seru Lestari dengan nada kesal. Dia bersumpah untuk tidak pernah menyerahkan keperawanannya kepada pria gembul itu.
Sementara melirik jendela yang terbuka lebar, Lestari membentuk rencana pelarian melalui satu-satunya jalan yang terbersit dalam pikirannya. Langkahnya terus membawa dirinya menepi hingga tanpa sengaja matanya menangkap bayangan di cermin di depannya.
Lestari terkejut, melihat bahwa wanita di dalam cermin itu nampak asing baginya. Ia berpikir keras, mencoba memahami bagaimana bisa dia menjadi wanita cantik dengan rambut panjang bergelombang yang terpantul di cermin.
Tidak butuh waktu lama bagi Lestari untuk menyadari bahwa wanita cantik itu adalah dirinya sendiri. Keheranan, kebingungan, dan campuran perasaan lainnya memenuhi pikirannya. Mengapa bisa ia berubah menjadi begitu cantik, bahkan melebihi apa yang pernah dibayangkannya.
Lestari meraih rambutnya dengan gemetar, memperhatikan gelombang yang membingungkan. Ia mencoba memahami perubahan yang terjadi pada tubuhnya.
Pria gembul, yang melangkah mendekati Lestari, terdiam, wajahnya penuh kebingungan. Ekspresi aneh wanita mungil di depannya menciptakan pertanyaan yang sama bingung di benaknya.
Meskipun penuh kebingungan, hasrat nafsu pria itu tetap menggebu. Ia acuh tak acuh terhadap kebingungan yang meliputi Lestari dan kembali melangkah maju dengan wajah bejatnya.
Lestari tak tinggal diam. Dengan tekad teguh, ia melangkah menuju jendela sambil tetap menatap tajam pria bejat tersebut.
"Kau mau kemana? Mau kabur lewat jendela, huh?" Pria gembul itu tertawa merendahkan, seolah meremehkan kemampuan Nia untuk melarikan diri melalui jendela. Apalagi dengan ketinggian sekitar 5 meter, membuat pria gembul itu yakin dengan sikap santainya.
"Kau terus mengulur waktu!" desisnya kesal. "Ayolah, tinggal turuti saja kemauanku. Aku janji akan memberimu bayaran tambahan sesuai dengan sejauh mana kau bisa memuaskanku."
"Najis! Tak berpendidikan! Tak bermoral! Apakah kau pikir aku mau melayani nafsu kotormu?! TIDAK!" Lestari berseru dengan penuh penolakan dan keberanian.
Pria gembul itu memancarkan kemurkaan. "Kau seenaknya merendahkan aku, yang memiliki kekuasaan tinggi ini!"
Dengan kehasratannya yang semakin tidak terkendali, pria itu berlari mendekati Lestari. Wanita itu, tidak tinggal diam, pergi menjauh, berlari menuju jendela, melompat ke luar, dan berteriak kencang.
"AKU TIDAK AKAN MEMBERIKAN KEPERAWANANKU PADA SIAPAPUN!"
Lestari menyerahkan diri pada takdir yang tak pasti. Hidup atau mati, baginya tak lagi relevan. Sejak awal, ia telah merencanakan untuk mengakhiri hidupnya, berusaha melepaskan diri dari kompleksitas masalah yang mencekiknya.
Bersambung...
Pejabat gembul
Langkah terburu-buru terdengar di koridor hotel bintang lima. Pria berpostur gagah melangkah dengan jas putih yang mempeson, wajahnya yang menawan menyihir siapa saja yang memandang.
"BYUUUR!"
Langkah pria tampan itu terhenti, pandangannya tertuju ke arah kolam renang luas di kompleks hotel. Di sana, seseorang berjuang untuk berenang namun tampaknya terkendala. Dengan naluri yang tajam, pria tampan itu melepas jas putihnya dan melompat ke arah kolam, berusaha menyelamatkan nyawa yang terancam.
Para karyawan hotel yang mendengar kegaduhan itu, berlari menuju sumber suara dengan cepat. Mereka terkejut melihat seorang wanita berjuang untuk keluar dari kolam. Untungnya, seorang sukarelawan dengan gesit membantu wanita itu. Pria tampan itu berhasil meraih tubuh mungilnya, membawanya ke tepi kolam untuk diselamatkan.
Lemas dan tak berdaya, wanita itu terbaring di tepi kolam. Pakaiannya yang tebal dipaksa sobek, hingga hanya tersisa kaos dalam yang masih menempel di tubuhnya.
Raut wajah penasaran melanda para karyawan hotel saat mereka melihat seorang wanita basah kuyup tergeletak lemas di tepi kolam.
"Kalian jangan diam saja. Panggil ambulan dan bawa handuk!" Perintah pria tampan dengan geram, melihat karyawan hotel yang hanya berdiri tanpa melakukan apapun.
Bukan sembarangan menyobek baju, pria tampan itu bertindak dengan tujuan agar wanita yang ia selamatkan tidak merasakan sesak akibat terhambatnya pernapasan tubuh.
Pria tampan itu kemudian menerapkan teknik RJP. Ia melakukan kompresi sebanyak 30 kali dan memberikan nafas buatan melalui mulutnya ke mulut wanita itu. Tindakan itu diulang beberapa kali hingga wanita itu akhirnya tersadar dan mengeluarkan air yang terperangkap di dalam mulutnya.
"Uhuk-uhuk!"
"Kau tidak apa-apa?" Tanya pria tampan dengan raut khawatir.
"Ini tuan Victor."
Salah satu karyawan hotel memberikan handuk kepada pria tampan bernama Victor, agar ia dapat mengusap tubuh basah gadis itu yang masih tergeletak lemas.
"Terima kasih," ucap Lestari dengan suara lemah.
Dalam kegaduhan itu, pria gembul yang sebelumnya berada bersama Lestari di dalam kamar, datang dengan wajah panik. Ia mendekati gadis itu dan meminta agar orang-orang yang hadir segera meninggalkan lokasi.
"Sudah-sudah. Jangan membuat kegaduhan. Ini istri saya, biar saya yang mengurusnya!"
Pria tampan itu merasa lega mendengar suami wanita itu datang. Victor memberikan nasihat pada pria yang mengaku sebagai suaminya, agar berhati-hati dalam aktivitasnya.
Namun betapa terkejutnya mereka saat bertatapan. Victor terkejut karena mengenali pria gembul yang hanya mengenakan kolor, begitupun sebaliknya.
"Pak Walikota? Apa yang sedang Anda lakukan di sini?" Tanya Victor penuh keheranan.
"Victor D Lancaster?! Maksudku, presdir Victor D Lancaster?!"
Dag dig dug ser, melihat Victor D Lancaster, pengusaha besar berada di depannya, apalagi pria tampan itu kenal dengan istri walikota.
"I... Ini, tidak sesuai dengan apa yang presdir perkirakan."
Walikota itu merasa tertangkap basah dengan apa yang telah dirinya lakukan. Ia mengira, presdir Victor akan sadar kenapa dirinya bisa berada di hotel bintang lima bersama wanita cantik yang terkujur lemas. Walikota itu juga takut, tuan Victor akan memberitahu perselingkuhannya pada sang istri.
Namun dasar Victor, ia malah tidak peduli dengan apa yang Walikota itu lakukan. Yang terpenting bagi dirinya adalah menyelesaikan permasalahan yang terjadi padanya tanpa ikut campur urusan orang lain.
"Pr...presdir Victor, a.. Aku mohon jangan membocorkan kelakuanku pada siapapun."
Pejabat gembul itu meminta sang presdir menutup rapat-rapat perselingkuhannya.
"Tenang saja, aku tidak akan mengatakannya pada siapapun, termasuk istri Anda, Pak Walikota," ucapnya dingin.
Ia juga hendak pamit untuk segera pergi meninggalkan lokasi karena ada urusan mendadak. Bahkan pertemuannya dengan klien harus ditunda karena alasan tersebut.
Saat pergi, baju kemeja Victor dipegang secara perlahan oleh Lestari tanpa sepengetahuan walikota. Sontak, dengan kode kecil itu, pria tampan itu sadar bahwa gadis yang kini di sampingnya sedang membutuhkan bantuan.
Awalnya tidak peduli, karena ia pikir melayani walikota adalah keinginan gadis itu, terutama kemungkinan bahwa ia melakukannya hanya untuk mendapatkan bayaran dari walikota.
Namun setelah meminta bantuan tidak langsung itu, Victor menyadari ada kejanggalan dengan gadis itu. Tentu ia tidak tega meninggalkannya bersama pejabat gembul di depannya.
"Pak Walikota, kau mau membawa kemana gadis ini?"
Tanpa sedikitpun ragu, Victori bertanya apa yang bakal Walikota lakukan pada gadis yang masih lemas akibat kecelakaan tadi.
Dahaga nafsu yang belum terpuaskan membuat pria gembul itu bersiap membawa gadis sewaannya sekali lagi. Walikota yakin, presdir Victor sependapat dengannya, terlebih lagi setelah membayar mahal untuk menyentuh gadis yang masih segar, tak terjamah oleh tangan pria lain.
"Yakin akan melakukannya? Tidak merasa kasihan?" Tanya Victor sambil menatap tajam gadis yang lemas.
"Tidak mungkin aku membiarkannya begitu saja. Rugi kalau belum mencobanya sama sekali."
Tatapan tajam menusuk Walikota. Pria tampan itu menanyakan bayaran yang telah disepakati untuk gadis itu.
"5 juta."
"Baiklah, datanglah ke kantorku besok, ambil uang 5 juta, dan gadis ini akan menjadi milikku sekarang!"
Victor dengan penuh kelembutan memberikan jas putihnya, melindungi tubuh Lestari dari kedinginan. Dengan penuh keanggunan, lelaki itu mengangkat tubuh gadis itu, membawanya pergi.
Walikota, terbatas oleh ekonomi dan jabatan yang lebih rendah, hanya bisa memandang tanpa bisa berbuat banyak, terdampar oleh keterbatasannya.
"Sekarang, kau aman bersamaku."
Langkah kaki pria tampan itu, seiring dengan tubuhnya yang tinggi, menunjukkan langkah yang kokoh. Dengan penuh kehati-hatian, ia membawa Lestari masuk ke dalam mobil.
"Terima kasih," ucap Lestari lemah.
"Aku tidak bisa mengantarmu pulang sekarang. Ada urusan mendadak yang harus kuselesaikan. Saat ini, aku akan membawamu pulang ke rumah."
Presdir Victor memarkirkan mobilnya, meskipun sirine ambulan berbunyi di sebelahnya. Tanpa peduli, ia meninggalkan parkiran hotel bintang lima itu.
Tubuh terasa lemah, pikiran Lestari melayang-layang, mencari jawaban untuk kejadian yang baru saja terjadi. Baginya, wajahnya terasa tidak secantik biasanya, dengan rambut pendek sebahu, bukan panjang bergelombang.
Terbenam dalam pikiran yang berputar di otak, Lestari tertidur di dalam mobil. Tuan Reinhard, melihatnya, menjadi penasaran dengan tindakan wanita itu, terutama setelah insiden tenggelam yang menurutnya aneh.
Kolam renang berada di tengah lokasi. Jika gadis itu tidak sengaja terjatuh, mungkin dia akan terhempas ke aspal. Victor mencoba memahami, mungkin gadis itu melompat dari kamar Walikota.
Pertanyaan-pertanyaan memenuhi pikiran Victor, ingin tahu lebih banyak tentang gadis yang duduk di sisinya. Mustahil gadis itu melarikan diri setelah setuju untuk berbagi keintiman di hotel, terutama dengan Walikota, sosok terpandang dan kaya, menawarkan bayaran yang cukup besar. Bayaran 5 juta, jumlah yang tak terlalu berarti bagi seorang pemimpin kaya.
Pria tampan itu memandang Lestari dengan tatapan tulus, memeriksa setiap bagian tubuhnya yang terlihat mulus. Sayangnya, gadis itu bukan tipe yang biasa ditemui oleh Victor, karena masih tergolong sangat muda.
Bersambung...
Malam yang sunyi merayap dengan ketegangan, matanya menyelusuri kesunyian, tak ada tanda kehidupan. Suara mobil melolong kesepian, memecah keheningan malam.
Presdir Victor melangkah di depan rumahnya, memecah kesunyian dengan langkah-langkahnya yang berat. Gerbang tertutup rapat, dan dalam kegelapan muncul bayangan pria muda yang berlari, terhempas oleh ketakutan.
"Ayah, kemana kau pergi?"
Anak 16 tahun presdir Victor melihat kekosongan di rumah besar mereka, mengatasi rasa takutnya pada keheningan malam. Victor membuka gerbang, mengendarai mobil mewahnya masuk ke dalam garasi.
Pria tampan itu menatap anaknya yang gelisah, bayangan kegelapan mencuat di matanya yang penuh kekhawatiran. Dengan ponsel di tangannya, sang anak merasa kecemasan yang sulit diungkapkan.
"Kau Kenapa?" Tanya Tuan Victor, menatap melas.
"Aku takut di rumah," bisik sang anak, suara getar ketakutan menyelinap di antara kata-katanya.
Nathan meratap kesal, hatinya hancur karena ayahnya pergi begitu saja saat dirinya tertidur lelap. Presdir Victor mengabaikan keluhan putranya, fokus membuka pintu mobil untuk menggendong tubuh Lestari yang terlelap.
Anak itu terkejut, kekesalan memuncak melihat sang ayah membawa wanita asing ke dalam rumahnya. "Ayah, begitu caramu? Pergi dan tinggalkanku hanya untuk seorang wanita!" Rengekan Nathan menggema, ketakutannya diabaikan sepanjang malam.
Berjalan di belakang sang ayah, Nathan terus merengek, kehilangan perhatian yang seharusnya ia dapatkan.
"Di mana mbak Martini?" tanya presdir pada anaknya.
Tapi jawaban yang datang membuatnya semakin terluka, "Mbak Martini punya keluarga di rumahnya. Ayah tahu sendiri!"
Presdir Victor meminta Nathan untuk menutup dan mengunci pagar rumah, tetapi anak itu menolak keras. Bukan karena memberontak, hanya karena ketakutan melanda di malam yang sunyi.
"Ayah minta tolong, Nathaaan."
"Tidak! Lakukan sendiri!"
Presdir Victor memberikan tubuh Lestari pada Nathan seperti memberi beban yang berat. Nathan mengangkatnya dengan refleks, tangannya gemetar menahan beban tak terduga.
"Bawa sebentar, ayah mau tutup gerbang dulu."
Meskipun presdir Victor pergi sejenak untuk menutup pintu gerbang, Nathan tetap mengikuti, bayang-bayang kecemasan melingkupi langkahnya.
"Astaga, kenapa kau terus mengikuti ayah?!"
"Sudah ku bilang, Nathan takut!"
Presdir Victor menghela nafas, tangannya mendorong pintu gerbang dan mengunci, bermaksud mengamankan rumah dari bahaya yang yang tak terduga.
Dalam keheningan rumah yang seakan tanpa nyawa, hanya dua jiwa yang menghuni. Namun, paradoks tersembunyi dalam kata "keluarga" membuat presdir Victor merasa iba. Rumah megah itu sunyi karena alasan keluarga, suatu realitas yang membuatnya tak tahan, terutama menjelang minggu besar bagi umat agama tertentu.
Penjaga gerbang juga tukang kebun, dalam hari jatah pulangnya, meninggalkan rumah yang kosong. Presdir Victor di tengah persiapan pertemuan penting di hotel bintang 5, terpaksa membatalkan pertemuan itu karena alasan anaknya menelpon dengan nada cemas.
Sejak kecil, Nathan D Lancaster dikenal sebagai pria yang rapuh, dilanda tangisan keras saat ditinggalkan sendirian. Kepergian ibunya meruncingkan ketakutan,, menciptakan bayang-bayang yang mengusik kesibukan presdir Victor.
Meski berharap sifat Nathan akan berubah seiring bertambahnya usia, realitasnya membuktikan sebaliknya. Nathan tetap menjadi anak yang rapuh, terkunci dalam kecengengan dan ketakutan yang menghantui setiap langkahnya.
Presdir Victor dengan lembut meletakkan tubuh Lestari di atas kasurnya, tapi raut wajah Nathan dipenuhi kekesalan. Baginya, sang ayah memberikan perlakuan istimewa pada gadis yang dibawanya.
"Tenang saja, ayah akan tidur di sofa."
Presdir Victor bergerak menuju lemari untuk mengganti pakaian yang basah di kamar mandi. Nathan hanya bisa terdiam, melihat langkah ayahnya yang pergi.
"Aku tidak sadar, sejak tadi pakaian ayah basah," ucap Nathan heran.
Setelah beberapa menit, pria tampan itu keluar dari kamar mandi. Wajahnya tetap memesona, rambut yang tadi kusut kini tertata rapi dan penuh volume. Piyama hitam melingkupi tubuhnya dengan anggun.
Dengan langkah penuh kehangatan, pria tampan itu mendekati anaknya yang cengeng, memeluk dan mencium keningnya. Sesaat, kehangatan terpancar di antara mereka sebelum presdir Victor meninggalkan kamarnya, meninggalkan simbol-simbol kebersamaan yang semakin mengabur.
Tangan polos Nathan menarik piyama sang ayah saat melepas pelukannya. Membuat presdir Victor terdiam bingung, penasaran apa yang terjadi pada anaknya. Kedua tangan pria tampan itu juga menggenggam bahu Nathan, matanya membelalak seolah ia bertanya pada anaknya.
Dengan suara pelan, Nathan mengutarakan keinginannya, "Ayah, tidur di kamar Nathan saja, seperti biasanya."
Anak itu memalingkan wajahnya, dihantui malu ketika mengungkapkan keinginannya yang tersembunyi.
Sebuah senyuman memanifestasikan persetujuan, dengan lembut melepaskan genggamannya, presdir Victor mengelus-elus kepala Nathan. Dalam kehangatan sentuhan itu, sang presdir mengiyakan permintaan anaknya.
"Masihkah kau merasa takut tidur sendiri?" Tanya presdir Victor dengan suara hangat.
Nathan mengangguk perlahan, meskipun sebelumnya bersemangat untuk tidur sendiri pagi itu. Keinginan mendalam akan kehadiran ayahnya masih menghantui, meski ia telah berjanji untuk tidur sendiri.
Meski demikian, presdir Victor sama sekali tidak menunjukkan kekecewaan. Yang terpancar dari dirinya adalah keinginan tulus untuk memanjakan anaknya, meskipun Nathan telah memasuki usia dewasa. Ia merasa bahwa anaknya itu masih membutuhkan lebih banyak kasih sayang, terutama karena kehilangan sosok ibunya sejak kecil. Sejak saat itu, hangatnya kebersamaan dan kelembutan kasih sayang seorang ibu tak pernah menyentuh hati kecil Nathan.
Jika diminta untuk menikah lagi, dengan tegas, presdir Victor menolak, membebani hatinya demi ketenangan batin anaknya. Baginya, mencari pengganti istri yang telah pergi bukanlah sekadar mencari wanita serupa. Pria tampan ini memiliki standar tinggi dalam menentukan pasangan hidup.
"Terkadang, kesepian menghampiri aku saat tak ada ayah di sampingku."
"Maaf, tadi ayah memiliki urusan mendesak."
Kehadiran klien mendesak membuat pria tampan ini sepakat menghadiri pertemuan mendadak di sebuah hotel berbintang lima. Meski ia merasa sepele, presdir Victor setuju untuk memenuhi panggilan tersebut.
Namun, takdir bermain dengan seribu rintangan. Saat sedang sibuk menangani urusan klien, telepon darurat dari anaknya memaksa presdir Victor meninggalkan pertemuan itu. Suara panik di ujung telepon mendorongnya untuk segera kembali ke rumah.
Di tengah perjalanan pulang, kejadian tak terduga melibatkannya dalam penyelamatan seorang wanita yang hampir menjadi korban tenggelam. Dengan tindakan cepat, presdir Victor menyelamatkannya, membawa perubahan dramatis dalam hidupnya, membuka lembaran baru yang belum pernah terpikirkan sebelumnya.
Berbaring dengan tatapan yang kosong di atas kasur, pria tampan itu ditemani oleh keheningan malam, hanya bayangan sang anak yang telah terlelap di sampingnya. Meski matanya terbuka, pikirannya melayang kejauhan, masih terguncang oleh peristiwa di hotel tadi. Kedua mata pria itu terus menatap langit-langit, sesekali berkedip seperti mencoba menyeka bayangan yang memburu.
Ada sesuatu yang tak beres dengan gadis yang baru saja diselamatkannya. Presdir Victor teringat betapa gadis itu memohon bantuan dari walikota yang telah membayarnya dengan mahal.
Dalam benaknya, pertanyaan-pertanyaan terus berputar. Mengapa gadis itu harus terlibat dalam dunia pela__curan? Padahal, menurutnya, dalam urusan yang seharusnya penuh dengan kesepakatan, kedua belah pihak harus setuju. Namun, mengapa gadis itu terlihat terpaksa melakukan hal tersebut, terutama setelah ia mencoba membantunya.
"Apa gadis itu sedang melakukan penipuan? Tapi tidak mungkin, mengingat ia begitu nekat melompat dari atas gedung."
Pertanyaan-pertanyaan itu seperti melayang tanpa jawaban pasti di benaknya, hingga akhirnya, kelelahan merayap di tubuhnya dan memaksanya untuk merunduk dalam tidur.
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!