"Gis, udah denger belum ada dokter spesialis anak yang baru?"
Gista yang baru saja selesai mengganti pakaian dengan scrub untuk bersiap jaga pagi hanya menggeleng saat Alana yang baru masuk tiba-tiba membahas tentang sosok dokter baru.
"Katanya dia ganteng banget Gis"
Gista hanya tersenyum sinis mendengar ucapan Alana karena dia tahu benar kalau temannya itu selalu hanya percaya kabar yang beredar dan begitu melihat langsung biasanya dia akan kecewa karena ekspektasinya sendiri.
"Al, mending buruan ganti baju deh, terus timbang terima. Kasihan tuh yang jaga malam udah ngantuk berat"
Ucapan Gista berhasil mematahkan imajinasi yang sedang dirangkai oleh Alana di dalam otaknya sebelum bergegas keluar dari ruangan ganti.
"Pagi mba Karen" sapa Gista ramah kepada ketua tim shift malam saat masuk ke dalam ruangan perawat.
"Pagi dek.." jawabnya lemas sambil meletakkan kepalanya di meja dengan berbantalkan tangannya sendiri.
"ngantuk banget kayanya mba? Gak tidur semalam?"
Karen hanya menggeleng. Wanita cantik itu mendorong mundur kursinya ke arah Gista yang bersiap masuk ke ruang obat.
"Dek, udah denger belum katanya..."
"Dokter baru?" Gista segera memotong kalimat Karen yang langsung dijawab dengan anggukan kepala antusias oleh Karen.
"Udah denger kok mba, dari Alana" jawab Gista singkat sebelum berlalu menuju ke ruang obat meninggalkan Karen yang masih ada di tempatnya.
"katanya dia ganteng Gis..."
Gista hanya menatap Karen yang sekarang mengikutinya masuk ke dalam ruang obat.
"terus kalau ganteng kenapa mba? Bukannya disini juga banyak dokter ganteng? Ada dr.Mathhew, ada dr.Thomas juga, banyak mba disini dokter ganteng" ucapnya sambil mulai menghitung jumlah sediaan obat tanpa memperdulikan Karen yang sekarang duduk di belakangnya.
"iya juga ya?" ucap Karen sambil memikirkan ucapan Gista.
"Tapi Gis, kalau dr.Thomas ganteng, kenapa kamu tolak?"
Gista seketika menghela nafasnya lalu melirik sekilas Karen sambil tersenyum tipis,
"Mau seganteng apapun, kalau emang gak cinta mau gimana mba?" jelas Gista yang kembali berkutat menghitung jumlah sediaan obat di tiap-tiap box obat pasien.
"Kenapa gak mau coba dulu sih Gis? Dia kayanya baik kok, orangnya juga kayanya gak neko-neko"
Gista kembali menghela nafasnya lalu mengalihkan pandangan ke arah Karen yang sedari tadi duduk di belakangnya,
"Mba Karen, ada banyak sekali alasan yang membuat aku gak bisa menerima dr.Thomas mba. Selain karena strata sosial, status kami berdua juga beda mba" jawab Gista dengan senyuman tipis seolah-olah mempertegas ketidakmungkinannya untuk bersatu dengan dr.Thomas, salah satu dokter spesialis bedah anak yang ada di Grandmark Hospital.
"Tapi kan Gis..."
"Udah mba. Yuk timbang terima aja yuk. Udah ngantuk banget tuh matanya mba Karen" bujuk Gista sambil mendorong tubuh Karen agar berjalan keluar dari ruang obat dan memulai timbang terima mereka pagi itu.
Setelah melakukan timbang terima, 4 perawat yang pagi itu berjaga bersama dengan Karen selalu ketua tim shift malam berkeliling dari satu pasien ke pasien yang lain sampai akhirnya 20 pasien sudah mereka kelilingi.
"Dek, aku cek TTV (tanda-tanda vital) sekalian bagi obat ya?" ujar Kinan, senior 3 tahun di atas Gista yang langsung diiyakan oleh Gista.
"aku ngapain mba?" tanya Dhira, salah satu anak baru yang baru saja bekerja selama 2 bulan terakhir.
"Kamu kan belum boleh pegang pasien sendiri, jadi mau ikut mba Kinan boleh, ikut aku juga gak papa." ujar Gista sambil tersenyum santai.
"Pokok jangan ikut bu bos aja, orangnya mau rapat bulanan soalnya" jelas Alana, teman satu angkatan Gista saat di bangku kuliah yang kebetulan juga mendapat penempatan satu ruangan di rumah sakit ini.
"Jangan dengerin Alana dek, dia suka ngawur" ucap Gista sambil terkekeh pelan meninggalkan ruang perawat menuju ke ruang obat.
Dhira akhirnya mengikuti Gista untuk membagikan obat kepada pasien kelolaan mereka, ya hari itu harusnya Bu Kalina yang membimbing Dhira, tapi karena beliau ada pertemuan rutin bulanan jadi ya Dhira menjadi tanggung jawab mereka bertiga.
Saat Gista dan Dhira sedang melakukan pengecekan tanda-tanda vital dan juga sedang membagikan obat kepada pasien, samar-samar terdengar suara sedikit riuh di luar kamar,
"dek, boleh minta tolong cek gak di luar ada apa? Kok kaya banyak orang" bisik Gista yang langsung diiyakan oleh Dhira. Gadis cantik itu segera keluar dari kamar perawatan untuk melihat keadaan di luar sebelum akhirnya beberapa saat kemudian kembali ke kamar rawat inap.
"ada rombongan dokter sama bu kepala mba" bisik Dhira yang hanya dijawab dengan senyum dan anggukan kecil oleh Gista.
Setelah selesai membagi obat, Gista dan Dhira segera mendorong keluar trolley obat dari kamar pasien terakhir mereka. Tubuhnya membeku sesaat ketika matanya melihat seseorang yang sangat dikenalnya tapi sudah tidak ingin dia temui semenjak 3 tahun yang lalu sedang berdiri di meja nurse station bersama dengan Bu Kalina dan juga ibu direktur rumah sakit, dr.Reta.
"mba, kenapa?"
Panggilan dari Dhira seketika membuyarkan lamunan Gista. Wanita cantik berusia 30 tahun itu hanya tersenyum sambil menggeleng pelan.
"Yuk.." ucap Gista singkat sebelum kembali mendorong trolley obat kembali ke dalam ruang perawat menuju ke kamar obat.
"Sudah kumpul semua? Jadi perkenalkan ini adalah dr.Sena, beliau dokter spesialis anak yang baru dan akan bekerjasama dengan ruang rawat inap anak tentunya" jelas dr.Reta saat memperkenalkan sosok lelaki dengan tinggi sekitar 170cm lebih, potongan rambut rapi dan senyum manis yang mampu memikat wanita manapun yang melihatnya.
"Saya Kinan dokter, ini Dhira, yang di sebelahnya lagi Alana, yang di belakang saya ini Gista" ujar Kinan memperkenalkan satu per satu tim yang berjaga pagi bersamanya hari itu.
"Saya dr.Sena, mohon bantuannya" ujarnya sambil mengedarkan pandangannya kepada 4 perawat di hadapannya dan berhenti di sosok Gista yang berdiri di belakang mba Kinan.
"Maaf, saya permisi ke pasien dulu" ujar Gista saat mendengar suara bel dari salah satu kamar pasien kelolaannya yang tanpa sadar membuat Sena hanya bisa menghela nafas pelan saat Gista melewatinya begitu saja tanpa meliriknya sedikitpun.
Kinan melirik ke arah Alana, mata mereka seolah-olah sedang membicarakan sikap Gista dan dr.Sena yang sepertinya ada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan.
Sepanjang shift pagi, Gista yang biasanya cukup ceria tiba-tiba lebih banyak diam setelah pertemuannya dengan dr.Sena pagi ini.
"dek, mau makan siang duluan?" tanya Kinan sambil menepuk pundak Gista yang duduk di sampingnya.
"aku makan siang sama siapa?"
"kalian berdua aja, nanti Dhira sama Alana biar sama saya" ujar Bu Kalina yang tiba-tiba sudah ada di belakang mereka berdua.
"kami izin makan siang duluan ya Bu" pamit Kinan sambil sedikit menarik tangan Gista yang tidak kunjung bangkit dari kursinya.
"selamat makan..." ujar Gista setelah selesai berdoa yang membuat Kinan tersenyum karena memang semenjak 3 tahun yang lalu itu adalah kebiasaan Gista sebelum dia makan.
"eh dek, ada dr.Thomas tuh..." Kinan menunjuk ke arah dr.Thomas dengan menggunakan matanya yang membuat Gista segera menggelengkan kepalanya pelan tanda dia tidak mau menengok ke arah yang di tuju oleh Kinan.
"Permisi, saya boleh bergabung? Tempat lain sudah penuh soalnya"
Gista menghela nafas pelan, pandangannya dia edarkan ke seluruh sisi cafetaria dan benar saja memang sudah penuh.
"silahkan dokter" jawab Gista dengan ekspresi datar yang tetap berhasil membuat dr.Thomas tersenyum.
"dokter hari ini tidak visite?" tanya Kinan tiba-tiba sambil melirik ke arah Gista yang sedang fokus dengan makanannya.
"habis ini sus, saya baru selesai operasi ini tadi"
Kinan hanya mengangguk sambil menahan senyum, tatapan matanya beberapa kali bertemu dengan tatapan mata Gista yang seolah-olah sudah siap untuk membunuhnya tetapi anehnya itu terlihat lucu di mata Kinan.
Selesai makan siang, Kinan dan Gista bergegas kembali ke ruangan agar teman mereka yang lainnya bisa segera makan siang.
"dek, kamu kenapa sih dingin banget sama dr.Thomas?" tanya Kinan begitu pintu lift yang mereka tumpangi tertutup rapat.
"ya nanti kalau aku welcome disangkanya ngasih harapan palsu, salah lagi." gerutu Gista dengan ekspresi kesal yang membuat Kinan terkekeh pelan.
"mau langsung pulang dek?" tanya mba Kinan begitu Gista keluar dari kamar mandi ruang ganti.
"iyalah mba, mau kemana lagi?" ujarnya sambil tertawa kecil karena memang Gista sangat jarang pergi keluar rumah kecuali untuk urusan pekerjaan, setidaknya mulai sekitar 3 tahun yang lalu.
"mau ngopi nggak?"
Gista melemparkan pandangannya dengan ekspresi heran ke arah mba Kinan yang berdiri di sisi kiri belakangnya,
"Nggak dicari sama Ken mba?" tanyanya heran yang dijawab dengan gelengan kepala.
"Ken lagi di rumah kakek neneknya, jadi aku bisa pulang terlambat hari ini. Yuk ngopi yuk? Ajak si Dhira sama Alana, aku mau nelfon Karen sekalian"
"Ya udah ayo." jawabnya santai sambil kembali duduk di kursi panjang yang ada di tengah-tengah loker ruang ganti perawat.
Siang itu akhirnya mereka berempat memutuskan untuk menikmati waktu sepulang kerja bersama walaupun tanpa Bu bos karena beliau sedang ada urusan, sedangkan Karen yang sedang libur memutuskan untuk menyusul ke coffeshop langganan mereka.
Saat keluar dari lobby rumah sakit, Gista yang sedang fokus pada ponselnya tiba-tiba menabrak Alana yang tiba-tiba berhenti mendadak di depannya.
"kenapa sih Al?" protes Gista kepada Alana. Bukannya memberi jawaban, wanita berusia 29 tahun itu justru menunjuk ke arah parkiran depan rumah sakit yang membuat Gista, Kinan hingga Dhira mengikuti arah tangannya.
"itu dr.Sena kan?" ucapnya lirih saat melihat dr.Sena sedang membukakan pintu mobil untuk seorang wanita cantik dengan rambut sebahu yang baru saja masuk ke dalam mobil dan meninggalkan dr.Sena.
"Pacarnya mungkin" celetuk Kinan tanpa memperdulikan Alana yang terlihat patah hati karena melihat dr.Sena bersama dengan wanita lain.
"udah gak usah nelangsa gitu" goda Gista sambil terkekeh pelan meninggalkan Alana yang masih mematung di tempatnya.
Setelah sampai di coffeshop, Alana hanya diam sambil menatap ke arah luar jendela yang mulai gelap diiringi dengan tetesan gerimis hujan yang mulai turun membuat suasana sendu semakin jelas terasa.
"kenapa itu anak?" tanya Karen yang baru saja bergabung dengan mereka berempat.
"galau mba" jawab Dhira dengan suara lirih.
"putus cinta?" tanya Karen sambil mengedarkan pandangan ke arah Kinan, Gista dan terakhir Dhira yang duduk di hadapannya.
"dia habis lihat dr.Sena sama cewek lain"
Karen hanya menghela nafas dengan ekspresi malas karena ini sudah bukan pertama kalinya melihat Alana seperti ini. Dulu dia juga pernah patah hati dengan dr.Thomas sebelum dia tahu kalau dr.Thomas ternyata menaruh hati kepada Gista.
"Al, Alana..." panggil Karen yang akhirnya membuat gadis cantik itu mengalihkan perhatiannya dari tetesan air yang membasahi dinding kaca.
"Mau aku kenalin sama cowok gak? Dia temennya mas Satya, dia punya usaha penerbitan buku gitu sih. Usianya 30 tahun, dia single dan yang pasti dia kayanya sesuai kriteria kamu" jelas Karen sambil menyodorkan ponselnya ke arah Alana untuk menunjukkan foto sosok laki-laki yang dimaksud oleh Karen.
"Serius makhluk setampan ini jomblo mba?"
Respon Alana seketika membuat 4 orang lainnya yang ada di meja tersebut tertawa secara bersamaan.
"Ya masa gak jomblo aku kasih ke kamu? Gimana? Mau gak?"
"Mau mba" jawabnya dengan bersemangat yang langsung diiyakan dengan senyuman dan anggukan oleh Karen.
"nanti aku kasih nomer kamu ke dia" ujar Karen sambil menarik kembali ponselnya yang tadi dia sodorkan ke arah Alana.
Melihat hujan yang semakin deras dan jam sudah menunjukkan pukul 6 sore akhirnya membuat mereka berlima memilih untuk menyudahi obrolan sore mereka hari itu.
"Kamu pulang sama siapa dek?" tanya Karen ke arah Gista karena dia tahu Gista sangat jarang membawa kendaraan sendiri.
"Naik bis aja mba, masih jam segini juga"
"aku antar aja dek" bujuk Karen yang langsung ditolak oleh Gista.
"makasih mba, tapi gak usah. Lagian haltenya kan deket cuma di depan situ" jelas Gista yang tidak lama berpamitan dengan keempat orang llainnya
Gista membuka payungnya sebelum akhirnya berjalan menuju ke halte yang hanya berjarak sekitar 50 meter dari coffeshop tempat mereka berkumpul tadi.
Beberapa orang dengan pakaian kerja terlihat mengantre di halte bus menunggu rute bus. Wajah-wajah lelah setelah seharian berkutat dengan pekerjaan tergambar jelas di wajah orang-orang yang sedang duduk dan mengantre bus di halte. Tidak sampai 10 menit bis yang melewati arah rumah Gista sudah sampai, wanita itu segera naik yang ternyata di dalam sudah cukup penuh sampai mengharuskan dia untuk berdiri.
Gista hanya bisa menghela nafas lalu segera berpegangan pada pegangan bus ketika dia merasa bus mulai meninggalkan halte tempatnya menunggu tadi.
Belum sampai bus melaju, tangannya tiba-tiba ditarik oleh seseorang dari dalam kerumunan bus yang ternyata adalah dr.Sena, dokter yang baru saja bergabung hari ini di rumah sakit tempatnya bekerja.
"maaf permisi..." ujar lelaki itu sambil menarik Gista agar duduk di kursinya sedangkan lelaki itu memilih berdiri di samping tempat duduk Gista.
"terimakasih dokter" jawab Gista dengan ekspresi kikuk yang hanya dijawab anggukan oleh Sena. Tidak ada lagi percakapan di antara mereka sampai akhirnya bis berhenti di tempat pemberhentian dimana seharusnya Gista turun.
"permisi dokter, saya duluan" pamitnya tanpa melirik sedikitpun ke arah Sena yang masih berdiri di tempatnya saat wanita itu melewatinya begitu saja.
Baru saja Gista turun, dia dikejutkan dengan laki-laki berstatus dokter itu yang juga ikut turun dari bis yang membawa mereka tadi.
"kenapa ikut turun?" tanya Gista sedikit terkejut yang membuat Sena hanya menatapnya dengan ekspresi bingung.
"Kenapa lagi? Tentu saja saya mau pulang ke rumah" jelas Sena yang tidak paham kenapa Gista harus menanyakan hal itu padanya.
"Bukannya rumah mas Dika gak disini?"
"Mas?" Sena mengulang kalimat yang di ucapkan Gista seolah-olah sedang menyadarkan wanita di hadapannya itu.
"Maaf, maksud saya dr.Sena." ucapnya dengan sedikit kelabakan saat menyadari dia salah memanggil lelaki di hadapannya itu.
"Kalau kamu masih nyaman dengan panggilan mas, panggil seperti itu juga gak papa Gis"
Gista hanya menghela nafas, tatapannya benar-benar tatapan bingung dan frustasi yang bercampur menjadi satu saat menatap lelaki yanh sedang berdiri di hadapannya itu.
"Saya tidak tahu apa alasan anda masuk di Grandmark Hospital padahal anda adalah pewaris tunggal untuk medical Hospital, tapi saya harap apapun alasan anda, tolong buat seolah-olah kita tidak saling mengenal, saya tidak mau ada yang tau tentang masa lalu kita. Permisi"
Sena lagi-lagi seperti tercekik lehernya saat mendengar kalimat yang di ucapkan Gista, dia tidak pernah bisa membalas semua ucapan yang di ucapkan oleh Gista karena dia tahu semua kesusahan yang di alami Gista salah satunya adalah karena dia.
---------------------------------------&&--------------------------------------
"Morning Gis..." sapa Kinan yang menjadi ketua tim tetapnya selama sebulan ini.
"Morning juga mba..." jawab Gista santai sambil berlalu menuju ke ruang ganti perawat sedangkan Kinan sudah berkutat di depan trolley obat untuk melakukan pengecekan jumlah obat untuk masing -masing pasien.
Tidak berselang lama, Gista sudah masuk ke ruang nurse station dimana Kinan masih berkutat dengan trolley obat.
"Pasien berapa mba?" tanya Gista sambil menepuk pundak mba Linda, ketua tim shift malam.
"22 Gis, ada pasien baru 2 semalam"
"Dengan apa?" tanyanya sambil mulai menarik trolley obat kamar kelolaannya.
"Yang kamar 8 suspect DHF, febris hari 3. Yang kamar 6 punya Kinan KDS (Kejang Demam Sederhana)."
"Trombositnya berapa mba?"
"95.000"
Gista hanya mengangguk lemah saat mendengar nilai trombosit yang ada di bawah standar tersebut.
"Timbang terima sekarang?" tanya bu Kalina yang baru saja memasuki ruangan perawat yang seolah-olah menjadi instruksi agar Kinan dan Gista segera meninggalkan trolley obat mereka.
"Ow iya, hari ini yang jaga dr.Sena ya" ucap Bu Kalina begitu mereka selesai timbang terima yang tanpa sadar membuat Gista menghela nafas pelan walaupun sedikit berat.
Tidak berselang lama dr.Sena sudah tiba di ruangan saat para perawat baru saja selesai membagikan obat dan juga mengukur tanda-tanda vital.
"dr.Sena mau visite sekarang?" tanya Kinan begitu dr.Sena masuk ke dalam ruangan.
"Boleh. Saya susah pelajari pasiennya di ruangan saya tadi, tapi nanti kalau ada yang lupa saya tolong diingatkan ya." ujarnya ramah yang langsung diiyakan oleh Kinan.
"Ow iya satu lagi, panggil dr.Dika saja, jangan dr.Sena"
"Kenapa?" tanya Alana tiba-tiba saat mendengar permintaan dr.Sena.
"Dulu pernah ada yang bilang kalau dia lebih senang saya dipanggil Dika daripada Sena, dan anehnya orang tua saya setuju" ujarnya dengan senyum simpul bersamaan dengan matanya yang melirik sekilas ke arah Gista, wanita cantik yang sedari tadi masih berkutat dengan laporannya di komputer.
"Pacarnya ya dok?" goda Kinan yang hanya direspon dengan senyuman oleh Dika.
"Pulang duluan ya mba Kinan, mumpung belum hujan" pamit Gista yang buru-buru keluar dari ruang ganti karena langit sudah mendung gelap.
Begitu Gista keluar dari lift, tiba-tiba hujan turun dengan derasnya yang membuatnya mendengus kesal sekaligus pasrah karena dia tidak membawa payung hari ini.
"Kalau sederas ini mau pulang jam berapa ini?" gerutunya saat melihat hujan turun dengan sangat deras yang bahkan membuat jarak pandang tidak bisa terlalu jauh.
"Butuh payung?"
Gista segera mengalihkan pandangannya ke arah suara laki-laki yang sudah berdiri di sisi kanannya.
"tidak usah dokter, terimakasih" jawabnya sopan kepada lelaki berkacamata dengan potongan rambut rapi yang menjadi salah satu idaman kaum hawa di rumah sakit ini.
"saya tidak masalah kalau anda menolak perasaan saya, tapi tidak harus semua bantuan saya juga anda tolak kan?" ucap dr.Thomas yang sepertinya mulai tidak nyaman dengan sikap dingin Gista setelah pernyataan cintanya mungkin sekitar 2 tahun yang lalu.
Gista tersenyum ramah, matanya menatap sendu ke arah lelaki di depannya itu,
"saya menghargai semua bantuan anda dokter, tetapi untuk bantuan secara pribadi, maaf saya tidak bisa menerimanya." jelas Gista dengan sopan yang membuat dr.Thomas kembali hanya bisa mengalah dan menerima semua keputusan Gista.
"Saya permisi dulu" ucapnya yang sudah bersiap berlari sambil menutup kepalanya menggunakan tasnya. Baru beberapa langkah dia menjauh dari depan lobby rumah sakit, tiba-tiba ada sebuah payung yang menutupi bagian atas kepalanya,
"Dokter saya kan sudah bilang..." ucapan Gista terhenti saat melihat sosok yang memberinya payung.
"Saya gak peduli kamu mau bilang apa, yang penting kamu gak kehujanan" ucap Dika dengan setengah berteriak karena hujan sore itu benar-benar sangat deras. Gista terpaku beberapa saat sebelum akhirnya mendekatkan tubuhnya ke arah Dika,
"Kalau cara kamu pegang payungnya gitu, akunya gak kehujanan, tapi kamunya mas yang kehujanan" jawab Gista dengan sedikit berteriak sambil menarik Dika untuk mendekat ke arahnya karena bagian punggung Dika sudah basah kuyup.
"Kamu mau kemana sih hujan-hujanan gini?"
"Mau ke halte, mau pulang" lagi Gista harus sedikit mengencangkan suaranya agar tidak kalah dari suara hujan yang semakin deras mengguyur mereka berdua yang sedang berjalan ke arah pintu keluar rumah sakit.
"Ayo..." Ujar Dika yang tiba-tiba menggandeng tangan Gista dan membawanya ke arah basement area parkir pegawai.
"Aku anterin aja" ujar Dika begitu mereka sudah sampai di basement. Lelaki itu terlihat sedang mengibas-ngibaskan rambutnya yang setengah basah karena terkena hujan.
"Tidak usah dokter, saya ke halte saja, permisi."
"Mas..." pekik Gista begitu Dika menahan tangannya dan sedikit menariknya untuk menuju ke mobilnya.
"Masuk aja, jangan kebanyakan protes" ucapnya saat memaksa Gista masuk ke dalam mobilnya yang akhirnya mau tidak mau dituruti oleh Gista.
"Kamu gak punya handuk?" tanya Gista yang kembali mengamati punggung Dika yang sudah sangat basah.
"Nggak ada. Udah yang penting sekarang anterin kamu pulang dulu" ujarnya sambil mulai memacu mobilnya keluar dari basement untuk menembus lebatnya hujan sore itu.
Tidak ada perbincangan apapun selama 30 menit perjalanan. Jarak tempuh rumah Gista sampai ke rumah sakit seharusnya hanya 10 menit kalau menggunakan mobil ataupun bis, tapi dikarenakan hujan dan jarak pandang yang terbatas membuat Dika tidak berani memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi.
"Terimakasih" ucap Gista sebelum dia bersiap turun dari mobil Dika.
"Tunggu.." Dika dengan cepat menahan tangan Gista,
"Bawa payungnya, biar gak basah pas turun dari mobil" ujarnya sambil memberikan payung yang tadi mereka gunakan kepada Gista.
"Kamu mau pulang?" akhirnya Gista mengeluarkan rasa ingin tahunya yang dijawab dengan gelengan kepala oleh Dika,
"Mau balik ke rumah sakit, kan jam 5 harus poli rawat jalan sore"
Gista seketika mengarahkan pandangan ke arah jam tangan di tangan kirinya,
"Ganti baju dulu, masih setengah 4 ini" ucap Gista dengan tatapan ragu,
"Gak cukup waktunya Gis" elak Dika yang masih tetap pada pendiriannya untuk segera kembali ke rumah sakit.
"Kan cuma tinggal depan belok kanan? Lihat tuh baju kamu, basah gitu"
Dika hanya menghela nafasnya sambil melihat jam di tangannya,
"Aku ganti di rumah sakit aja Gis"
"Dari dulu kenapa keras kepala banget sih kalau di kasih tau? Udah mending sekarang kamu turun aja deh, ganti baju di dalam"
"Kan aku gak bawa ganti Gis?" Dika menatap Gista dengan tatapan bingung.
"Baju kamu ada yang masih aku simpan." ujarnya dengan nada pelan,
"Pokoknya turun dulu!" Perintah Gista dingin sambil bergegas dia turun dari mobil Dika dan bergegas masuk ke rumahnya.
Dika mengikuti Gista untuk masuk ke rumah dua lantai dengan konsep minimalis itu, rumah dengan nuansa putih yang selalu menjadi impian Gista sejak dulu.
"Kamar mandinya ada di ujung mas, aku ambilin handuk sama baju ganti dulu" ucap Gista dengan ekspresi kikuk sebelum dia bergegas naik ke lantai dua menuju ke arah kamarnya.
"mas..." panggil Gista dari luar kamar mandi sambil mengetuk pintu sebelum Dika membuka sedikit pintu kamar mandi untuk menerima pakaian ganti dari Gista.
"Udah?"
Dika yang baru saja keluar dari kamar mandi hanya mengangguk.
"Minum dulu mas" Gista mempersilahkan Dika untuk duduk di depannya dimana sudah ada segelas teh hangat di depan Dika.
"Ini tadi gulanya..."
"1 sendok, gak kurang gak lebih" ucap Gista saat memotong kalimat Dika yang belum selesai di ucapkan lelaki di hadapannya itu.
"Terimakasih" Dika segera menyeruput teh tersebut tanpa mengatakan apapun lagi.
"Hoodienya kenapa masih kamu simpan?" Dika akhirnya memberanikan diri menanyakan tentang Hoodie yang dia berikan 3 tahun yang lalu sebelum perpisahan mereka.
"Ya karena kamu bilang suatu saat bakalan kamu ambil" jawab Gista santai yang lagi-lagi hanya bisa membuat Dika terdiam.
"Terimakasih tehnya, aku harus kembali ke rumah sakit"
"Iya. Hati-hati di jalan, dokter"
Gista hanya bisa menghela nafas sepertinya mobil Dika dari depan rumahnya.
"Kenapa kita harus ketemu lagi sih mas?" gumamnya lirih sambil menatap ke arah mobil yang tadi mengantarkannya pulang berjalan semakin jauh meninggalkan rumahnya.
-----------------------------------------&&------------------------------------
Dika turun dari mobilnya dengan Hoodie abu-abu yang masih menempel di tubuhnya.
"Darimana?" tanya seorang wanita dengan rambut sepunggung yang tiba-tiba muncul entah darimana tetapi sudah ada di sampingnya yang sedang menunggu lift basement.
"Kamu ngapain sih disini? Gak ke kantor?" ucap Dika dengan ekspresi sinis yang membuat wanita itu menatapnya dengan ekspresi kesal yang dibuat-buat.
"Hoodie baru?"
"Bukan urusanmu!" jawab Dika dengan ketus saat wanita itu terus menanyakan tentang hoodie yang menempel pada tubuh bagian atasnya itu.
"Papi memintaku untuk menemuimu" ujarnya yang membuat Dika menghela nafas dengan ekspresi malas.
"Mau apalagi?" tanyanya sambil melangkah masuk ke dalam lift yang tentu saja diikuti oleh wanita tersebut.
"Papi memintamu untuk kencan buta malam ini"
Dika menghela nafas dengan ekspresi kesal yang dia tujukan pada wanita di sampingnya,
"Katakan pada papi aku tidak mau" jawabnya dengan nada dan ekspresi dingin yang membuat wanita cantik itu hanya menatapnya dengan ekspresi kesal.
"Sekarang pulanglah dan jangan menggangguku, mengerti?" ujar Dika sambil mengacak-acak rambut wanita itu sebelum berlalu keluar dari lift.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!