NovelToon NovelToon

Perjalanan Cinta Dokter Zonya

Bab 1

Kesedihan dan duka masih begitu terasa di pemakaman Nasila, putri sulung Tuan Ardan Nugroho. Suara tangis terdengar begitu memilukan dari semua orang. Baik dari keluarga Nugroho sendiri maupun dari keluarga besan mereka, Askara.

Sean, laki-laki yang merupakan menantu keluarga Nugroho terlihat sangat terpukul. Ia memeluk nisan sang istri dengan mengaung hebat. Tak lagi ia pedulikan air hujan yang kini tengah membasahi tubuhnya. Seakan, hujan 'pun turut menangis atas meninggalnya sang istri tercinta.

"Kenapa kau pergi dengan cepat Sayang, kau sudah berjanji padaku untuk bersama-sama mengurus Naina, tapi kenapa kau meninggalkanku sendiri," ucap Sean.

Zonya yang sudah berada di dalam mobil bersama keluarganya memilih kembali keluar dengan payung untuk menemui Sean, Kakak Iparnya. Ia berdiri memayungi Sean dari belakang tubuh laki-laki itu.

"Mas, Kak Nasila pasti sudah tenang di sana. Mas juga harus tenang melepas kepergiannya," ucap Zonya.

"Tidak, aku tidak akan bisa hidup tenang tanpa istriku. Kau tidak tahu apa-apa Zoe, istriku adalah segalanya bagiku."

"Tapi tangisan Mas tidak akan bisa membuat Kak Sila hidup kembali. Sebaliknya, ia pasti merasa sedih karena melihat Mas yang begitu terpuruk. Apalagi, ada Naina yang harus Mas urus, Mas harus memikirkan putri Mas."

Sean berdiri dengan menatap gundukan tanah merah yang kini menjadi tempat peristirahatan terakhir sang istri. Ia menghapus jejak air matanya, lalu berbalik dan mengambil payung yang sedari tadi Zoe gunakan untuk memayunginya, ia melempar payung itu sembarangan. Lalu berlari menuju mobilnya untuk pulang.

Beberapa saat Sean habiskan dalam perjalanan hingga akhirnya ia telah tiba di kediamannya. Ia langsung berjalan masuk, tanpa mempedulikan tubuhnya yang basah dan membuat lantai rumah ikut menjadi kotor. Ia langsung berlari menaiki tangga menuju kamarnya dan sang istri. Begitu tiba di sana, bayang-bayang kehangatan rumah tangga mereka menjadi sambutan pertama bagi Sean. Segala tindakan romantis, canda dan tawa semua melintas bagai sebuah kaset yang diputar.

"Sayang... Bagaimana aku harus menjalani hari-hariku tanpamu," tubuh Sean merosot tanpa bisa ia cegah.

Untuk kali ini saja, biarkan ia berlarut dalam kesedihannya. Biarkan ia menumpahkan segalanya agar dadanya terasa lega. Karena bagaimanapun, kepergian istri yang sangat ia cintai membuat jiwanya terpukul hebat.

...****************...

Zonya tengah duduk di ruang keluarga bersama kedua orang tuanya, Sean dan kedua orang tua dari Sean. Untuk beberapa saat, keheningan menyapa ruangan itu, sebab tidak ada satupun yang membuka pembicaraan. Hingga akhirnya, suara deheman dari Ayah Ardan membuat mereka menatap pada laki-laki paruh baya itu.

"Ayah dan Bunda sudah menyepakati hal ini bersama Tuan Boris dan Nyonya Sinta. Bahwa demi kebahagiaan Naina, maka kami memutuskan untuk menikahkan kalian berdua, Zonya dan Sean."

Deg!

Bagai sebuah petir yang menyambar di siang hari, itulah gambaran keterkejutan Zonya atas ucapan sang Ayah. Tidak jauh berbeda dengan Zonya, Sean 'pun ikut merasa terkejut mendengar penuturan dari mertuanya.

"Apa yang kalian bicarakan, makam istriku bahkan belum kering dan kalian memintaku untuk menikah lagi dengan adik dari istriku sendiri. Lelucon macam apa ini?" ucap Sean.

"Iya Ayah, lagipula Zoe tidak mungkin menikah dengan Mas Sean, kami ini saudara ipar," timpal Zonya.

"Kalian boleh menikah," Ayah Ardan menatap putri dan menantunya bergantian, "Ini demi Naina."

"Tapi Mas Sean bisa menikah dengan wanita lain Ayah, tidak harus dengan Zoe."

"Tidak!" kali ini Nyonya Sinta yang bersuara, "Kami tidak ingin cucu kami diasuh oleh orang asing, dan jalan satu-satunya untuk menghindari itu semua adalah menikahkan kalian berdua."

"Tapi Tante—"

"Zoe... Ayah dan Bunda juga sudah memikirkan semua ini dan membicarakannya bersama kedua orang tua Sean. Bagaiamanapun, Naina adalah cucu kami, dia juga keponakanmu. Bagaimana kalau nanti istri baru Sean tidak bisa menerima kehadiran Naina. Bagaimana kalau dia malah berbuat jahat dan mencelakai Naina. Bunda tidak bisa membayangkan semua itu Nak," ucap Bunda Gita.

"Tapi Bun, solusinya tidak harus menikahkan kami," ucap Zonya.

"Harus Sayang."

Sean yang sejak tadi mendengar pembicaraan para orang tuanya memilih berdiri dari duduknya dengan wajah datar, "Tidak akan ada pernikahan antara aku dengan siapapun, sampai kapanpun. Karena aku tidak akan pernah menyetujuinya!" ucapnya dan langsung melangkah keluar tanpa permisi.

"Sean!" seru Tuan Boris, "Kalau kau tidak mau menikah dengan Zonya, maka kau harus menikah dengan Anggi."

Sean menghentikan langkahnya. Dua nama wanita yang barusaja ayahnya katakan adalah nama dari dua adik iparnya. Zonya dan Anggi adalah adik dari Nasila. Apakah memang jalannya harus seperti ini, ia akan kembali menikah dengan anak perempuan keluarga Nugroho demi putrinya. Tapi bagaimana mungkin.

"Tidak ada pilihan lain Sean," ucap Tuan Boris lagi.

Sean kembali memantapkan langkah dan pergi meninggalkan kediaman Nugroho. Setelah kepergian Sean, Zonya juga ikut beranjak dan pergi menuju kamarnya. Meninggalkan orang tuanya dan orang tua Sean di ruang keluarga yang kini saling pandang dan menghela napas bersamaan.

*

Di kamar, Zonya memandang lurus dengan tatapan sendu. Sungguh, pilihan ini tidak ada dalam daftar pernikahan impiannya. Pernikahan yang semula ia cita-citakan, kini ia hapus dari daftar keinginannya. Sebab, permintaan konyol kedua orang tuanya membuatnya tidak lagi berpikiran untuk menuliskan apa saja yang ia inginkan dalam pernikahannya. Seketika itu juga, pikiran Zonya berkelana pada percakapannya dengan sang Kakak tiga bulan yang lalu.

"Zoe... diantara kau dan Anggi, Kakak jauh lebih mempercayaimu untuk merawat anak Kakak nantinya," ucap Nasila, sesaat sebelum ia memasuki ruang operasi.

"Kakak ini bicara apa? Semuanya akan baik-baik saja, aku pastikan itu. Aku juga sudah meminta Dokter Surya untuk bekerja dengan baik. Perlu Kakak tahu, Dokter Surya adalah dokter terbaik di rumah sakit kita dan dia pasti akan memastikan keselamatan Kakak."

Nasila terkekeh mendengar penuturan Zonya, "Dengar, kau 'pun tahu bahwa seorang Dokter itu tidak memiliki kuasa penuh atas nyawa seseorang, begitupun dengan Dokter Surya. Dia mungkin bisa menjalankan tugasnya dengan baik, tapi dia tidak bisa menentukan hidup dan mati seseorang."

"Tapi Kak—" ucapan Zonya terpotong saat ia melihat perawat yang mendekat.

"Maaf Dok, Dokter Surya meminta agar pasien segera dibawa masuk ke ruang operasi," ucap perawat tersebut pada Zonya.

"Baiklah, silahkan Sus." Zonya kembali menatap Kakaknya yang berbaring di brankar, "Kak, berjanjilah padaku untuk tetap bertahan." bisik Zonya yang hanya dibalas senyum kecil oleh Kakaknya.

Zonya kembali tersadar dari lamunannya tentang kejadian tiga bulan yang lalu. Ya, setelah operasi, Kakaknya memang baik-baik saja. Namun setelah tiga bulan pasca operasi, Kakaknya merasakan kesakitan luar biasa di perutnya yang membuatnya dilarikan ke rumah sakit dan dinyatakan meninggal dunia.

Bab 2

Tepat satu minggu setelah kematian Nasila. Hari ini, meski menolak dengan berbagai cara. Namun pada akhirnya, baik Zonya maupun Sean tidak lagi dapat mengelak saat semua ini demi kebaikan Naina. Ya, Naina adalah alasan terbesar keduanya yang pada akhirnya mengantarkan mereka pada acara sakral ini sekarang.

"Bagaimana, apakah akad-nya sudah bisa dimulai?" tanya penghulu.

"Silahkan Pak."

"Sean Askara bin Boris, saya nikahkan engkau dengan putri kandungku Zonya putri Nugroho dengan maskawin uang satu juta rupiah dibayar tunai," ucap Ayah Ardan lantang.

"Saya terima nikah dan kawinnya Zonya Putri Nugroho bin Ardan Adi Nugroho dengan maskawin tersebut, tunai."

"Bagaimana saksi, sah?"

"Sah!"

Seiring dengan kata sah yang terdengar. Zonya memejamkan mata, merenungi nasibnya yang kini harus menikah dengan mantan kakak iparnya sendiri. Tidak ada air mata bahagia ataupun kesedihan. Yang ada hanya tatapan datar dari Zonya yang terlihat sangat kuat dan tegar. Namun siapapun dapat melihat kesedihan yang ia simpan dalam dirinya. Hingga akhirnya, setelah beberapa saat, kediaman Nugroho yang semula cukup ramai, kini kembali hening karena tamu yang sudah berpulangan.

"Zoe—" Bunda Gita mendekati putrinya dan memeluk sang putri dengan erat, "Maafkan Bunda Nak, semoga ini jalan yang terbaik untuk kalian. Bunda benar-benar tidak bisa mempercayakan cucu Bunda pada wanita lain dan Bunda harap kau mengerti akan semua ini."

Zonya hanya diam. Sungguh, ia merasa kecewa dengan keputusan kedua orang tuanya. Namun kekecewaan itu sudah tidak berguna sekarang, sebab kini ia telah resmi menyandang status sebagai istri dari Sean Askara, laki-laki yang beberapa waktu lalu masih berstatus sebagai Kakak Iparnya. Ia lantas melirik laki-laki yang kini berstatus suaminya, tidak ada senyum di wajahnya, tidak ada sesuatu apapun di sana selain raut wajah datar, yang seakan benar-benar mempertegas pernikahan mereka yang hanya terjadi karena sebuah kepentingan.

"Sean—" kini giliran Sean yang didekati Bunda Gita, "Bunda tahu kau berat menjalani pernikahan ini. Tapi bagaimanapun, Zoe adalah istrimu sekarang. Dia juga anak Bunda, Nak. Pesan Bunda masih sama saat kau menikahi Nasila dulu, jaga putri Bunda dengan baik."

Sean menatap Zonya, begitupun sebaliknya. Untuk beberapa saat, keduanya saling tatap dengan raut wajah datar mereka. Setelahnya, keduanya sama-sama memalingkan muka dan menatap ke lain arah.

"Mulai hari ini, aku akan membawa Zonya dan Naina untuk tinggal di rumahku Bun," ucap Sean.

Itu bukanlah jawaban yang Bunda Gita harapkan. Namun apalah daya, kini putrinya adalah seorang istri dan sudah sepantasnya ikut ke manapun yang suaminya inginkan. Bunda Gita 'pun mengangguk dalam tangisan.

"Ingat pesan Bunda untuk selalu menjaganya Sean."

*

Sean dan Zonya berpamitan pada orang tua dan keluarga mereka. Isak tangis mengiringi kepergian Zonya dari kediaman Nugroho. Terutama dari Bunda Gita dan Anggi yang harus berpisah dari Zonya untuk pertama kalinya. Zonya mendekati sang Bunda dengan Naina yang berada dalam gendongannya.

"Zoe pamit Bun."

"Do'a Bunda selalu menyertai langkahmu Nak."

Zonya menunduk, menyembunyikan wajahnya yang sudah memerah. Ia lantas berjalan mendekati sang Ayah, dan memandang wajah tua itu lekat-lekat. Ia tersenyum lembut seakan mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja. Namun Ayah Ardan tentu tahu bagaimana perasaan putrinya yang sebenarnya.

"Zoe pamit Yah," lagi-lagi Zonya mengucapkan kalimat yang sama pada sang Ayah.

"Ayah akan berdo'a untuk kebahagiaanmu Nak. Berbahagialah!"

Zonya berbalik untuk menemui suaminya yang sudah menunggu di mobil. Begitu Zonya akan mencapai pintu untuk keluar, tiba-tiba tubuhnya terdiam saat merasakan ada tangan yang memeluk tubuhnya dari belakang.

"Maafkan Anggi yang tidak bisa membantu Kakak," ucap Anggi.

Sejenak, Zonya membiarkan Anggi yang memeluk tubuhnya. Sebelum akhirnya ia melepas belitan tangan adiknya dengan satu tangan, sedangkan tangan lainnya ia gunakan untuk menopang bayi dalam gendongannya. Ia menghela napas lemah, sebelum akhirnya berbalik dan menghapus air mata adiknya.

"Bereskan skripsimu segera dan gantikan Kakak memimpin rumah sakit!"

Anggi mengangguk dengan wajah yang sudah basah oleh air mata, "Aku berjanji untuk menyelesaikannya segera Kak."

"Jaga Ayah dan Bunda, Kakak pamit." Zonya menatap setiap sudut rumah kediaman keluarganya. Lalu tatapannya beralih pada kedua orang tuanya dan kedua orang tua Sean. Ia mengangguk sembari tersenyum kepada mereka semua, "Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikum salam."

Sean membukakan pintu mobil begitu melihat Zonya mendekat. Setelah Zonya masuk, ia ikut masuk dan duduk didepan kemudi. Setelah itu, mobil 'pun melaju membelah jalanan menuju rumah yang selama ini Sean tempati bersama Nasila. Sepanjang jalan, tidak ada pembicaraan apapun diantara Sean dan Zonya. Hingga beberapa saat berlalu, akhirnya mobil yang dikemudikan Sean tiba di rumah besar miliknya.

"Pak Tris, tolong masukkan barang-barang yang ada di bagasi!" ucap Sean pada salah satu pekerja rumahnya.

"Baik Tuan."

Sean langsung turun dari mobil dan melangkah masuk tanpa mengajak Zonya. Sedangkan Zonya sendiri melangkah pelan mengikuti arah langkah suaminya. Begitu tiba di pintu utama, sebuah foto besar terpajang indah menyambut kedatangan Zonya.

Sejenak, Zonya menghentikan langkahnya dan memandang foto sang Kakak bersama suaminya. Untuk pertama kalinya, matanya berkaca-kaca memandang foto itu. Ia tersenyum dan mencium wajah Naina yang terlelap dalam gendongannya.

"Selamat jalan Kak, aku harap kau tenang di sana." batin Zonya.

"Aku tidak akan melepas pajangan foto itu hanya karena keberadaanmu di rumah ini."

Zonya melihat suminya yang berjalan mendekat. Ia lantas menghapus air matanya yang membasahi pipi dan membalas tatapan suminya tanpa rasa takut, "Tidak apa-apa Mas, aku mengerti."

"Bagus kalau begitu," Sean ikut menatap foto pernikahannya bersama istri tercintanya. Setelah itu ia kembali menatap Zonya, "Ayo ikut aku!"

Tanpa bantahan, Zonya mengikuti langkah Sean menuju kamar. Zonya menghentikan langkahnya saat melihat sang suami membuka pintu kamar dan menampakkan fasilitas di dalamnya yang tentu saja menyimpan kemewahan.

"Kau akan tidur di kamar ini bersama Naina," Sean menggeser tubuhnya, memberikan akses pada Zonya untuk melihat lebih dalam. "Jangan pernah memasuki kamarku dengan alasan apapun dan jangan pernah mengusik waktuku dengan alasan apapun. Sekarang, kau adalah ibu sambung Naina, kau bertanggung jawab penuh untuk mengasuhnya. Jadi lakukan tanggung jawabmu dengan baik!"

Setelah mengatakan itu, Sean langsung pergi dari sana. Meninggalkan Zonya yang kini menatap kamar tersebut dengan menghela napas kasar. Ia lantas memasuki kamar dan mengunci pintunya. Setelah itu, ia menidurkan Naina pada ranjang bayi yang memang tersedia di sana.

"Nai... Kenapa jalan hidup kita seperti ini Sayang. Kau ditinggal Mama, sedangkan Aunty harus menikah dengan papamu karena terpaksa," lirih Zonya. Ia lantas mencium wajah sang keponakan dengan air mata yang kembali mengalir. "Kita jalani ini bersama-sama ya, bantu Aunty untuk menghadapi semua ini."

Bab 3

Untuk pertama kalinya Zonya melewatkan makan malamnya karena Naina yang terus menerus menangis sedari tadi. Balita itu bahkan enggan untuk menyedot susu formula yang Zonya buatkan. Hal itu tentu membuat Zonya merasa bingung sendiri.

"Sayang, Naina kenapa Nak, jangan buat Aunty khawatir Nai," Zonya menimang Naina, berusaha menenangkan bayi yang tengah menangis itu.

Oek... oek... oek...

Suara tangis bayi terus bergema di rumah mewah itu. Membuat beberapa pelayan mendekat kearah kamar sang majikan karena merasa khawatir. Namun meski sudah berdiri didepan kamar Zonya dalam waktu yang cukup lama, tidak ada satupun diantara mereka yang berani mengetuk pintu kamar sang Nyonya baru. Hingga beberapa saat setelahnya, pintu kamar terbuka dan menampakkan Zonya yang menggendong Naina yang tengah menangis.

"Nona kecil kenapa Nya?" tanya salah satu pelayan rumah.

"Tidak tahu Buk, dari tadi Nai menangis, bahkan dia tidak mau menyedot susu yang sudah aku buatkan."

Zonya kembali menimang Naina yang terus menerus menangis. Ia membawa Naina ke ruang keluarga, lalu menunjuk beberapa hiasan dinding, berharap balita berusia tiga bulan itu berhenti menangis. Namun, tampaknya usaha Zonya masih belum membuahkan hasil. Karena kini Naina masih tetap menangis.

"Nai Sayang, kenapa Nak, hm? Mau susu, iya? Ayo kita minum susu ya." barusaja Zoe akan berbalik untuk mengambil susu di kamar, ternyata pekerja rumah yang tadi menyapanya sudah lebih dulu mengambilkan.

"Maaf Nya, tadi saya lancang masuk ke kamar Nyonya," ucap perempuan paruh baya itu.

"Tidak apa-apa Buk, terima kasih." perhatian Zonya kembali teralih pada Naina. Ia menyodorkan dot susu pada mulut Naina yang terbuka lebar karena menangis. Namun bayi itu melepeh begitu saja dengan tangisnya yang kian keras.

"Maaf Nya, boleh Mbok yang gendong?"

Zonya sedikit menimbang untuk mengizinkan. Hingga akhirnya, ia menyerahkan Naina dalam gendongan wanita paruh baya itu. Setelah Naina berada dalam gendongan wanita itu, secara perlahan, tangis bayi itu semakin mereda.

"Botol susunya mana, Nya?"

Dengan gerakan cepat, Zonya langsung menyerahkan botol susu yang ia pegang. Ia mengamati setiap gerakan wanita itu yang memberikan botol susu ke mulut Naina sembari mengajak Naina bercanda hingga membuat bayi itu tersenyum. Zonya ikut menghela napas lega saat melihat keponakannya yang mulai tenang.

"Ibu sudah lama bekerja dengan Mas Sean?" tanya Zonya sembari terus memperhatikan cara wanita itu menenangkan Naina.

"Cukup lama Nya, saya sebenarnya tadinya bekerja di rumah besar Askara, tapi setelah Tuan Sean menikah, saya diminta untuk ikut beliau."

Zonya mengangguk mendengar penjelasan wanita itu, "Berarti, Ibu kenal dengan Mamanya Nai?"

"Kenal Nya, dia baik sekali."

Zonya tersenyum dan mengangguk, "Ya, dia memang baik dan lemah lembut, Buk."

"Tapi Nyonya juga kelihatannya baik," ucap wanita itu.

"Siapa, aku?" tanya Zonya yang dibalas wanita itu dengan anggukan. "Ibu hanya belum mengenalku saja. Nanti ya, setelah satu bulan, Ibu baru boleh menilai apakah aku baik atau tidak."

Wanita itu menatap Zonya dengan kening mengerut. Namun ia tidak berani untuk bertanya lebih. Ia memilih kembali fokus pada Nona kecilnya yang kini menyedot susu dengan rakus.

"Nama Ibu siapa?" tanya Zonya kembali.

"Panggil saja Mbok Ijah."

"Mbok Ijah?"

"Hm, nama Mbok Tumijah. Dipanggilnya Ijah."

Zonya mengangguk kecil sebagai tanggapan, "Oh iya Mbok, bagaimana Nai bisa langsung diam saat Mbok yang menggendongnya?" tanya Zonya penasaran.

"Mungkin dia merasa nyaman, Nya."

"Itu artinya, dia tidak nyaman saat bersamaku?"

"Tidak, tidak begitu maksud Mbok," Mbok Ijah memasang wajah tidak enak. "Maksud Mbok, Mbok memang sering menggendong Non Nai saat dulu Nyonya Sila masih ada, jadi mungkin Non Nai merasa nyaman sama Mbok."

"Begitu ya?"

Zonya kembali menatap wajah Naina yang sudah benar-benar tenang. Bahkan, mata bayi itu sudah semakin menyipit sekarang. Sepertinya ia akan tidur sebentar lagi.

"Mbok apakah—" barusaja Zonya akan bertanya, tapi ia urungkan saat melihat Mbok Ijah menaruh jari telunjuknya didepan mulut sebagai isyarat agar ia diam.

"Non Nai sudah mau tidur Nya," ucap Mbok Ijah pelan.

Mbok Ijah menimang pelan anak majikannya. Setelah memastikan bayi itu tidur, barulah ia memberikannya perlahan kepada Zonya. Begitu Zonya menerima Nai, ia langsung menimang pelan bayi itu agar tidak terganggu dari tidurnya. Setelah itu, ia membawa Nai untuk kembali ke kamar.

Zonya merenggangkan otot-otot tangannya setelah berhasil menaruh Nai pada box bayi. Setelah memastikan Nai benar-benar terlelap, ia langsung melangkah pelan keluar kamar untuk melakukan makan malam yang tertunda. Barusaja keluar kamar, ia melihat Mbok Ijah yang baru akan kembali ke rumah belakang, dimana kamar para pekerja berada.

"Mbok—" panggil Zonya.

"Nya, Ada yang bisa Mbok bantu?"

"Aku mau makan, ada makanan tidak Mbok?"

"Nyonya belum makan?" tanya Mbok Ijah yang dibalas anggukan oleh Zonya. "Maaf Nya, Mbok kira Nyonya sudah makan, karena biasanya saat jam sembilan, penghuni rumah sudah makan malam bersama. Tadi Mbok memang tidak sempat mengecek apakah Nyonya sudah makan atau belum, jadi makanannya sudah Mbok bawa ke rumah belakang dan sudah habis, Nya."

Ya, aturan rumah ini adalah, para pekerja baru boleh makan setelah tuan rumah makan. Setelah tuan rumah makan, maka segala jenis makanan dan lauk-pauk semua akan menjadi milik pekerja. Saat jam makan kembali tiba, maka para pekerja harus kembali memasak menu yang baru. Sebab, Sean sangat tidak menyukai menu yang dimakan berulang.

"Mmm kalau begitu Nyonya bisa tunggu sebentar, biar Mbok buatkan makan."

"Tidak perlu Mbok!" larang Zonya, sebab ia kasihan kalau harus meminta Mbok Ijah memasak ditengah malam seperti ini. "Biar nanti aku memasak mie instan saja Mbok."

"Nyonya yakin?"

"Iya."

"Baik Nya, kalau begitu, Mbok pamit ke belakang."

"Silahkan."

Setelah kepergian Mbok Ijah, Zonya langsung mencari mie instan yang ia inginkan. Ternyata, rumah ini menyimpan cukup banyak mie instan dengan berbagai merk dan Zonya tidak tahu yang mana diantara banyaknya makanan instan itu yang memiliki rasa lebih enak. Sebab, sudah beberapa tahun terakhir, tepatnya sejak Zonya menempuh pendidikan kedokteran, ia benar-benar menjaga pola makannya. Kali ini, untuk pertama kalinya ia akan kembali memakan makanan lezat itu.

"Sehat-sehat ya lambung," ucapnya sembari mengusap perutnya.

Zonya langsung memasak mie instan tersebut. Begitu selesai, ia langsung membawanya menuju meja makan. Baru saja berniat akan makan, ia mendengar pintu utama yang terbuka dan memperlihatkan Sean yang berjalan masuk dengan penampilan yang sangat berantakan. Sejenak, pandangan mereka bertemu, sebelum akhirnya Sean kembali melangkah menuju kamarnya tanpa menyapa Zonya.

"Dia mabuk? Suami seorang Dokter malah mabuk-mabukan," cibir Zonya. "Eh, aku malah lebih parah. Seorang Dokter malah memakan makanan instan yang sudah jelas tidak sehat, dasar!" gerutunya saat menyadari dirinya juga sama anehnya dengan sang suami. Tunggu, suami? Terdengar cukup menggelikan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!