NovelToon NovelToon

THE TWINS

BAB 1

Clara terjaga dari tidurnya karena merasa terusik dengan hawa dingin yang menusuk kulit. Tangannya yang juga terasa dingin ingin meraih sesuatu untuk ia jadikan selimut, namun tidak bisa.. Dikarenakan ada sesuatu yang menimpa tubuhnya.

Karena merasa kesal, ditengah matanya yang masih terpejam dengan sekuat tenaga Clara berusaha menyingkirkan benda yang tengah menimpanya itu.

Seketika mata Clara langsung terbuka sempurna saat telah berhasil menyingkirkan benda yang menimpanya, tapi bukan itu yang jadi masalahnya.. Melainkan suara lenguhan berat disertai goncangan tempat tidur yang Clara tempati, tepat di belakangnya.

Dengan perlahan Clara menoleh kearah belakang, yang seketika membuat wajahnya memucat dengan mata membola. Karena saat ini Clara tengah melihat sesosok tubuh kekar bertelanjang tengah memunggunginya, bisa dipastikan jika sosok itu adalah seorang pria.

"Apa yang sebenarnya terjadi??" Fikirnya, sembari memegangi kepalanya yang tiba-tiba pusing karena memaksakan untuk mengingat sesuatu. Yang dirinya ingat hanyalah dirinya sedang ikut merayakan pesta ulang tahun saudara tirinya yang bernama Bella. Dan dia juga mengingat jika dirinya hanya meminum minuman jus biasa yang diberikan Bella, dan setelahnya Clara tidak mengingat apa-apa lagi. "Apa minumannya bermasalah? Apa ini semua adalah rencana Bella?" Clara terus saja berfikir dan berusaha keras untuk mengingat apa yang terjadi setelahnya.

Tiba-tiba sekilas Clara melihat siluet dalam ingatannya tentang semalam, sebuah adegan panas yang dirinya lakukan. Clara pun segera menutupi mulutnya seraya terus menggeleng-gelengkan kepalanya, menolak apa yang diingatnya "Tidak, ini tidak mungkin. Semua ini pasti cuma mimpi," ucapnya dalam hati. Namun sekeras apapun Clara menolak, tapi bukti dihadapannya lebih nyata adanya. Ditambah saat ini Clara juga tengah tidak memakai sehelai benangpun ditubuhnya.

Tak terasa setetes air bening mengalir di pipi Clara, tapi segera dihapusnya, "Aku harus pergi dari sini," ucapnya sembari akan turun dari tempat tidur yang ia tempati saat ini. "Aawssh." baru saja Clara berdiri, terpaksa harus kembali mendudukkan tubuhnya, karena merasakan sakit serta perih secara bersamaan di organ sensitifnya. Namun itu semua tidak membuat Clara menyerah begitu saja, karena beberapa detik kemudian Clara sudah kembali bangkit walau tertatih sembari memunguti pakaiannya yang berserak di lantai. Tapi alangkah terkejutnya Clara atas kondisi bajunya saat ini, yang... Compang-camping.

Clara melihat kearah lain dan mendapati kemeja juga celana kain yang juga berserakan di lantai. Dengan setengah hati Clara memungut pakaian itu untuk ia akan kenakan, karena untuk memakai pakaiannya sendiri saat ini, adalah tidak mungkin. Clara yang meyakini jika pakaian itu adalah milik pria itu, segera membawanya ke kamar mandi.

Setelah beberapa saat, Clara kembali dengan tubuh yang segar lengkap dengan pakaian yang dirinya kenakan saat ini. Sekilas Clara menatap pantulan dirinya sendiri di cermin dengan meringis. Bagaimana tidak? Saat ini Clara.. Dengan tubuh rampingnya tengah terbungkus kain kemeja yang kebesaran dan celana kain kedodoran, layaknya kepompong. "Haah.. Daripada tidak ada sama sekali." desahnya seraya berlalu pergi tanpa melihat kebelakang lagi.

***

"Huuft... Aku yakin, ini semua adalah rencana Bella. Bella, tunggu pembalasanku," maki Clara setelah menaiki sebuah taksi. "Lagi pun, ada apa denganku, kenapa aku bodoh sekali? Bella tidak akan sebaik itu untuk repot-repot mengajakku merayakan pesta ulang tahunnya, kalau tidak dengan sebuah rencana. Aakhr!! sial!" sambungnya, menyalahkan diri sendiri.

Setelahnya mata Clara menerawang jauh dengan disertai tatapan kebencian.

FLASHBACK

"Clara, ikut aku yuk?"

Clara yang mendengar ajakan Bella yang begitu dadakan mengernyit heran seraya berkata, "Maksudnya?"

"Maksudnya.. Ya, kau ikut denganku." ucap Bella dengan entengnya.

Membuat Clara tersenyum miring sembari menggelengkan kepalanya pelan karena tak mengerti apa sebenarnya yang ingin Bella katakan, dan kembali fokus dengan buku yang dibacanya sedari tadi.

"Ayolah Clar..." bujuk Bella, dan ikut duduk di sofa sebelah Clara.

"Apa sih??" protes Clara sembari menyingkirkan tangan Bella dari bahunya.

"Hari ini adalah ulang tahunku.." Bella menjeda ucapannya untuk melihat respon Clara. Namun nyatanya Clara tak bergeming dan tetap fokus pada buku yang dibacanya. "Setiap tahun untuk merayakannya, aku mengadakan pesta kecil-kecilan bersama teman-temanku. Dan sekarang dengan kau juga. Karena kau sekarang adalah saudariku." Sambungnya.

"Tapi__"

"Ayolah Clar... Hari ini adalah ulang tahunku, apa kau tak ingin mengucapkan selamat?" Bella buru-buru memotong kalimat yang akan Clara ucapkan.

"Huuft... Selamat," ucap Clara dengan malas dan terpaksa.

Usai mengatakan itu, Bella tiba-tiba memeluk Clara sembari berucap, "Terimakasih. Dengan ini, secara tidak langsung kau telah menyetujui permintaanku. Akan aku anggap ini hadiah darimu," Bella mengurai pelukannya lalu tersenyum sembari menatap Clara, "Ayo berangkat sekarang, semuanya pasti sudah menunggu kita di tempat pesta." Lanjutnya setelah beberapa saat memberi jeda.

"Kita?"

"Iya kita. Aku sebelumnya sudah memberitahu teman-temanku kalau kau juga akan datang."

"Tapi aku tidak__"

"Sudahlah Clar... Pergilah sana bersama Saudarimu. Hitung-hitung ini adalah awal yang baik untuk hubungan persaudaraan kalian." entah dari mana datangnya, tiba-tiba papa Clara, Handika Bramastya datang dan menyela perkataan Clara.

"Benar apa kata Papa Sayang... Kau pergilah bersenang-senang bersama Saudarimu, Bella." Sambung ibu tiri Clara, Riska.

"Semenjak mamamu tiada, kau__"

"Ayo berangkat." Clara buru-buru memotong ucapan papa Handika seraya bangkit dari duduknya dan berjalan lebih dulu melewati ketiga manusia yang menurut Clara tidak tau diri dan bermuka dua.

"Eh? Apa kau tidak ingin berganti pakaian terlebih dahulu?" tanya Bella dengan setengah berteriak.

Clara yang hampir sampai di pintu utama, hanya melambaikan tangannya tanpa harus repot menoleh. Karena Clara begitu malas melihat orang dibelakangnya itu.

Selain ibu dan saudari tiri Clara.. Tak ada lagi yang menyadari jika keduanya saling mengedipkan mata dan tersenyum penuh arti.

FLASHBACK OFF

"Jalan," perintah Clara pada sopir taksi setelah beberapa saat terdiam.

Namun sudah lewat beberapa detik, taksi belum juga bergerak.

"Hey! Apa yang Anda lakukan? Cepat jalan! Apa Anda takut saya tidak sanggup membayar?" tegur Clara pada si sopir taksi dengan perasaan jengkel. "Tunggu sebentar." Sambungnya seraya akan meraih sesuatu seperti dompet, di sakunya. Namun belum juga menyentuh pakaian yang dirinya kenakan, Clara tersadar jika dirinya saat ini tidak sedang mengenakan pakaiannya sendiri, dan juga mengingat jika pun dirinya memakai pakaiannya pun percuma, karena semalam tidak membawa apa-apa efek dari rasa kesalnya pada orang rumah.

Tapi Clara yang sudah terlanjur lebih dulu berkata jika dirinya memiliki uang untuk membayar taksi tersebut, berpura-pura mengecek semua kantong pada pakaian yang dirinya kenakan saat ini. Dan... Voalaa, Clara benar-benar menemukan sebuah dompet di salah satu saku celana yang ia kenakan.

Clara segera mengambilnya dan membuka dompet tersebut. "Hem... Ternyata Pria brengsek itu lumayan tajir juga." ucap Clara pelan sambil mencebik saat melihat isi dompet tersebut. "Apa Anda lihat ini? Saya sanggup untuk hanya sekedar membayar uang taksi ini. Jangankan hanya membayar ongkos taksi, membeli taksi ini pun, saya sanggup," lanjutnya seraya memperlihatkan dompet yang saat ini dirinya pegang.

"Bukan seperti itu Nona... Saya tidak menjalankan taksi ini karena Saya merasa sedikit aneh dengan penampilan Anda. Itu saja. Maaf jika perbuatan saya salah dimata Anda."

BAB 2

Mendengar pernyataan sopir taksi tersebut, Clara sontak juga melihat penampilannya saat ini.

Sebenarnya bukan hanya sopir taksi itu saja yang merasa aneh dan mengomentari penampilan Clara kali ini, tapi sedari Clara keluar dari kamar hotel yang menjeratnya, hampir semua orang menatap aneh penampilan Clara. Tapi Clara hanya acuh menanggapinya. Toh mukanya ia tutupi dengan jas yang juga milik pria itu, jadi tidak mungkin akan ada yang mengenalinya. Fikir Clara.

"I-ini... Ini milik kekasihku." Jawab Clara dengan muka yang memerah.

Sopir itupun hanya mangguk-mangguk menanggapi pernyataan Clara, dan kemudian segera menjalankan mobil taksinya.

Beberapa waktu kemudian.. Taksi pun telah sampai ke tujuan yang Clara tunjukkan.

Clara pun turun, segera setelah membayar tagihan taksi tersebut. Dan meninggalkan dompet yang ia dapat dari saku celana yang ia kenakan, di kursi belakang taksi. Tanpa berminat untuk sekedar melihat dan mengetahui identitas pemilik yang juga ada dalam dompet tersebut.

Sopir taksi yang melihat dompet tersebut lewat kaca spion, segera memanggil dengan setengah berteriak. "Nona! Nona..! Dompet Anda!"

Clara yang mendengarnya hanya melambaikan tangan dan mengacungkan jempolnya.. Pertanda jika tidak mengapa jika sopir itu mengambilnya. Dan terus melangkah tanpa menoleh.

***

Baru saja Clara ingin membuka pintu utama rumahnya, pintu itu sudah terbuka dari dalam dan disambut oleh senyum Bella, yang menurutnya menyebalkan.

Tak ingin meladeni, Clara pun melewati Bella begitu saja. Namun baru beberapa langkah berjalan.. Langkah Clara terhenti saat mendengar ucapan Bella.

"Apa tidurmu nyenyak semalam?" ucapnya disertai senyuman miring. "Ckckck, aku rasa tidak. Lihat, pakaian apa yang sedang Kau kenakan? Aku lihat... Ini tak seperti stylish mu." Ejeknya seraya memegang sedikit pakaian yang Clara kenakan seolah merasa jijik.

Clara menepis tangan bella dan menunjuknya seraya berkata, "Kau__"

"CLARA!!!" belum juga Clara mengutarakan rangkaian katanya, suara papa Handika lebih dulu terdengar menggema. Membuat Clara reflek membalikkan tubuhnya dan mendapati papa Handika yang tengah menatapnya dengan tajam.

"Selamat menikmati." bisik Bella seraya terus berjalan melewati Clara untuk menghampiri papa Handika. "Pa... Jangan terlalu keras pada Clara.. Dia pasti tidak sengaja melakukannya, iyakan Clara?!" ucapnya lagi sembari merangkul lengan atas papa Handika, berkata seolah dirinya membela Clara, namun diselingi senyuman mengejek, yang hanya Clara yang melihatnya.

"Jangan membelanya Bella, dia pantas untuk dihukum." ucap papa Handika.

"Apa sih Pa..? Tidak jelas sekali. Clara lelah, Clara ingin istirahat di kamar, Clara." Ucap Clara seraya melangkahkan kakinya untuk pergi ke kamarnya. Karena selain lelah fisik, batin Clara pun juga lelah.

"BERHENTI!!!" suara papa Handika kembali terdengar menggelegar, membuat Clara reflek menghentikan langkahnya dengan dada yang berdebar-debar karena terkejut. Pasalnya, baru kali ini Clara mendengar papa Handika berucap tinggi dan keras.

Papa Handika berjalan mendekati Clara, dan...

Plak!

Clara segera memegangi pipinya yang terasa panas akibat tamparan mendadak yang ia terima dari papa Handika. Seketika air jatuh dari pelupuk mata Clara, karena ini juga kali pertama papanya menamparnya, dan Clara tidak tau apa kesalahannya. Membuat papa Handika yang melihat air mata Clara, mengepalkan tangannya kuat-kuat, karena merasa bersalah telah menampar sang anak.

"Kenapa pa? APA KESALAHAN CLARA SAMPAI PAPA MENAMPAR CLARA?!! Tampar lagi pa. TAMPAR LAGI!!!" ucap Clara dengan diselingi teriakan tak terimanya.

Papa Handika yang tadinya sudah melemah, mendengar teriakan Clara.. Emosinya kembali naik. "Kenapa Clara? Kenapa?!!" ucapnya.

"Apa maksud Papa? Bukankah seharusnya Clara yang bertanya seperti itu? Kenapa Pa? Kenapa Papa tiba-tiba menampar Clara? Kenapa Pa? Apa kesalahan Clara?"

"Kau ingin tau alasannya? Ini alasannya." ucap papa Handika sembari melempar beberapa foto ke dada Clara.

Clara pun reflek memunguti salah satu foto yang berserak di lantai akibat terlempar. Setelah melihat foto tersebut, wajah Clara seketika pias dan memucat. Dengan mengumpulkan semua keberaniannya, Clara bertanya, "Da-darimana Papa mendapatkan foto-foto ini?" karena foto itu menunjukkan jika dirinya tengah bersama pria asing menuju kamar hotel.

"Tidak penting dapat dari mana?" ucap papa Handika seraya mengibaskan tangannya. "Oh ya, kau berkata kau lelah, bukan? Kalau begitu istirahatlah. Mungkin kau lelah setelah bermalam dengan pria brengsek itu. Pergilah." Sambungnya.

"Ma, gimana ini..? Bukannya diusir, kenapa malah disuruh istirahat." bisik Bella kepada mamanya ditengah-tengah perdebatan papa Handika dan Clara.

"Mama juga tidak tau... Sudahlah, terserah Papamu saja. Daripada nantinya kita yang diusir kalau kita ikut campur? Mending diam saja." Jawab ibu tiri Clara.

"Pa, biar Clara jelaskan dulu... Tadi malam kan Clara pergi bersama Bel__"

Mendengar Clara yang ingin menjelaskan sesuatu, segera ibu tirinya menyela untuk melindungi anaknya juga dirinya sendiri. "Clara... Aku tidak menyangka Kau bisa berbuat seperti itu Nak.. Apa sebegitu cintanya kah kau pada pria itu? Hingga merelakan__"

"Cukup!!! Ini semua pasti rencana kalian kan?? Dan kau Bella! Kau kan yang__"

"Sudah cukup Clara! Tadinya Papa berikan waktu sejenak untuk kau beristirahat. Tapi kau malah seperti ini. Sudah cukup, tidak lagi. Sekarang! Pergi, kemasi barang-barangmu." ucap papa Handika seraya memalingkan wajahnya.

"Papa mengusirku?" Tanya Clara tak percaya dengan apa yang barusan dirinya dengar.

"Untuk apa saya merawat anak tak tau diri sepertimu?! Taunya hanya bisa mencoreng nama baik keluarga saja. Jika saja mamamu masih hidup, pasti dia__"

"Cukup!" Mendengar mamanya disebut dan disangkut pautkan, seketika Clara menjadi emosi. "Jangan pernah bawa-bawa mama." Sambungnya. "Oke, aku akan pergi. Puas?!!" lanjutnya seraya berlari menaiki anak tangga menuju kamarnya dilantai dua.

Di kamarnya.. Clara mengemasi satu persatu barangnya dengan air mata yang terus mengalir di pipinya. Clara masih tak percaya jika papanya lebih mempercayai orang asing daripada dirinya.

Clara menghentikan gerakannya saat netranya menangkap figura yang membingkai foto sang mama, mama Winda. Clara pun menghela nafas sebelum akhirnya ikut menyimpan bingkai foto mama Winda di koper untuk turut dibawanya pergi meninggalkan rumah yang saat ini seperti neraka baginya.

***

Saat Clara turun, Clara mendapati papa Handika juga kedua ibu dan saudari tirinya tengah duduk di sofa di ruang tengah. Yang sepertinya, kedua ibu dan anak itu sedang menenangkan papa Handika. Namun Clara tak peduli akan hal itu dan tetap berjalan melewati ketiganya.

Ibu tiri Clara yang melihat Clara sudah berada di lantai yang sama dengannya, segera bangkit dan kembali memainkan perannya, "Clara sayang... Kau mau kemana?" ucapnya seraya memegangi lengan Clara.

Namun Clara yang tak sudi disentuhnya pun segera menepisnya "Jangan sentuh!" ucapnya.

"Baiklah, mama tidak akan menyentuhmu lagi."

"Heh. Mama?? Mama saya cuma satu, yaitu mama Winda."

"Baiklah terserah padamu saja. Tapi mama... Maksudku tante. Tante minta kau jangan pergi. Jangan hiraukan perkataan Papamu, dia hanya emosi saja... Jangan pergi ya Sayang... Ini adalah rumahmu."

"Heh. Bukankah ini yang Kau dan Anakmu inginkan?! Yaitu saya di usir dari rumah saya sendiri, dan kalian bisa menguasainya, iyakan?!! Selamat, kalian berhasil."

"CLARA!!! Yang sopan kalau bicara!" sentak papa Handika karena emosinya kembali tersulut sebab ucapan Clara. "Bukannya berterimakasih karena mama Riska menyuruhmu tetap tinggal, tapi kau malah seperti ini. Dasar__."

"SAYA TIDAK BUTUH!!! KAU DENGAR..?!! SA-YA TI-DAK BU-TUH."

Prang!!!

Teriak Clara sembari melemparkan vas mahal yang berada di dekatnya karena tak terima dengan yang diucapkan papa Handika. Cara berkata Clara pun juga berubah formal, "Saya Clara Bramastya.. Ah, tidak. Hanya Clara. Saya Clara.. Tidak Membutuhkan kasihani dari orang macam kalian. Mengerti!" lanjutnya dengan nada kembali seperti biasanya namun penuh penekanan.

"Kurang ajar!" papa Handika bangkit dari duduknya dan menghampiri Clara. "Anak tidak tau diuntung," lanjutnya sembari akan kembali menampar Clara. Namun tindakannya kali ini tidak berhasil, karena Clara berhasil menghindar.

"Tidak lagi. Anda sudah tidak memiliki hak untuk kembali menampar saya, karena saya bukan anak Anda lagi. Dan saya bukan lagi bagian dari keluarga ini. Apa Anda puas, Tuan dan Nyonya Bramastya?"

"Anak kurang ajar! Sudah mencoreng nama keluarga, kelakuan seperti kucing liar saja. Pergi kau! Dan jangan pernah bermimpi untuk bisa kembali lagi." usir papa Handika dengan kata-kata kasar.

Clara hanya tersenyum miring menanggapinya, lalu pergi tanpa pamit dan tidak kembali menoleh barang sedikitpun.

***

Disebuah taman kota, terlihat Clara tengah duduk menyendiri dengan tatapan menerawang jauh.

"Clara?! Ternyata benar ini kau?" tiba-tiba datang seorang gadis berwajah blasteran menyapa dan membuyarkan lamunan Clara. "Ya tuhan... Mimpi apa aku semalam bisa bertemu dengan Kau di sini? Kenapa kau hanya sendiri di sini? Mana yang lainnya? Aunty Winda?" tanyanya beruntun.

Gadis itu adalah sahabat masa kecilnya, yang bernama Eliza Robert.

Clara yang awalnya tak ingin menceritakan kisahnya pada siapapun.. Akhirnya menceritakannya juga pada sahabat masa kecilnya yang baru kembali dari luar negeri itu. Sahabat yang sedari kecil ia percayai lebih dari dirinya sendiri, begitu pula sebaliknya.

Setelah Clara menceritakan segalanya pada Eliza, dengan kebaikan hati Eliza, Clara memiliki tempat tinggal setelah terusir dari rumahnya sendiri.

Awalnya Clara menolak.. Karena tak ingin dikasihani ataupun merepotkan orang lain, walau itu sahabatnya sendiri.

Tapi dengan kegigihan Eliza, Clara akhirnya pun setuju.

***

Bab 3

Disisi lain, disalah satu kamar hotel..

Berdiri seorang pria yang tengah memandangi dirinya sendiri didepan cermin, dengan sebuah ponsel yang ia tempelkan di telinganya.

"Kau harus cari wanita itu apapun dan bagaimanapun caranya. Dan satu lagi, bawakan saya baju ganti." perintah pria itu dengan wajah dingin, dan tanpa menunggu jawaban langsung memutuskan sambungan telfonnya.

Pria itupun beranjak dan duduk di salah satu sofa sembari melihat bercak darah di atas tempat tidur dihadapannya, kemudian memijat pelipisnya seraya mengingat-ingat apa yang terjadi semalam.

"Sial! Rupanya meraka belum tau siapa aku sebenarnya," ucapnya dengan tatapan dingin dan tajam. Seolah hanya dengan tatapan itu saja.. Bisa membunuh semua musuh.

***

Beberapa minggu telah berlalu dari kejadian kelam yang menimpa Clara.

Clara menjalani hari-harinya setelahnya dengan penuh semangat, seolah tak pernah terjadi apapun padanya.

Namun hari ini.. Kesabaran Clara kembali diuji. Karena hari ini.. Dokter menyatakan jika dirinya tengah hamil dua minggu.

Ya, pagi tadi Clara mengalami pusing dan mual-mual. Dengan ditemani Eliza, sahabatnya.. Clara pergi memeriksakan diri ke dokter, dan mendapati dirinya tengah hamil benih dari pria asing yang waktu itu bermalam dengannya.

Dengan lesu, Clara pergi meninggalkan rumah sakit dengan perasaan campur aduk.

Dan Eliza yang selalu setia mendampingi Clara, turut merasakan apa yang dirasakan Clara saat ini. Namun Eliza tak bisa berbuat banyak, yang dirinya hanya mampu bisa lakukan adalah selalu ada disamping Clara, untuk menemani dan memberinya semangat.

Eliza tak dapat membayangkan.. Jika dirinya yang mengalami peristiwa yang Clara alami, mungkin dirinya tidak akan setegar Clara.

"Clara.. Are you oke?" tanyanya, yang hanya dijawab anggukan lemah Clara.

Tanpa Clara dan Eliza sadari, ada yang mengikuti keduanya sampai ke rumah sakit. Orang itu tengah mengepalkan tangannya setelah membaca laporan medis milik Clara. "Beruntung sekali kau Clara. Dulu karena kebodohan ku, kau bisa tidur dengan Arkhana Davidson. Dan sekarang.. Kau tengah mengandung bayinya?" ucapnya dengan tatapan penuh kebencian. "Heh. Tapi kau tenang saja Clara, akan aku rebut segalanya darimu. Termasuk anak yang kau kandung." Sambungnya dengan senyuman iblis nya.

Orang itu yang tak lain adalah saudara tiri Clara, Bella, segera mengambil ponselnya dan menelfon seseorang. "Saya punya satu tugas untukmu....." Ucapnya.

***

Hari berganti minggu, minggu pun berganti bulan. Tak terasa sudah sembilan bulan Clara mengandung janin yang sempat membuatnya gundah dulu. Antara menggugurkan atau mempertahankan. Tapi akhirnya Clara lebih memilih mempertahankan kandungannya. Berharap kelak anak yang dikandung dan dijaganya, akan menjadi penyejuk nya.

"Clar... Kandungan mu sudah sembilan bulan loh.. Apa kau tak ingin memeriksanya ke dokter?" tanya Eliza, yang entah sudah berapa kali dirinya bertanya. Karena semenjak kejadian Clara ditanya oleh orang yang juga mengantri menunggu giliran untuk diperiksa.. 'Dimana suaminya dan kenapa tidak mengantarnya' Clara tidak lagi pergi untuk kembali memeriksakan diri, karena malas untuk kembali menanggapi pertanyaan yang sama. Dan kali ini pun jawaban Clara tetap sama.. Yaitu "Tidak".

Eliza pun hanya menghela nafas sembari melihat Clara yang sedang menikmati makanannya dengan tak berselera. Tak seperti biasanya yang selalu bersemangat jika tentang makanan.

"Clar... Kita ke dokter yuk.." ajak Eliza lagi. "Wajah kau pucat Clar... Dan Kau, sedari tadi aku perhatikan.. Kau selalu meringis seperti tengah kesakitan." Lanjutnya.

Clara tak merespon ucapan Eliza, karena dirinya tengah fokus pada rasa sakit yang kian lama kian terasa sakit.

"Eliz." Panggil Clara.

"Kenapa?"

"Sakit..." Ucapnya dengan suara tertahan sebab menahan sakit.

"Clara, jangan-jangan Kau akan melahirkan?!!" heboh Eliza. Dan dengan segera Eliza pun memanggil salah satu taksi untuk bisa membawanya dan Clara ke rumah sakit.

***

Setibanya di rumah sakit, Clara dengan segera dibawa oleh dokter ke ruang bersalin.

Baru beberapa saat Clara masuk, tiba-tiba mama Eliza datang menghampiri, Eliza.

"Mama?! Kenapa Mama bisa di sini?" tanya Eliza dengan perasaan terkejut.

"Jangan banyak bicara, cepat ikut mama."

"Tapi...."

"Kenapa? Apa Kau lebih memilih wanita jalang itu ketimbang ikut dengan mama, hah?" sela mama Eliza dengan nada tinggi.

"Wanita jalang? Siapa yang mama maksud?"

"Si Clara, siapa lagi." jawab mama Eliza sekenanya. "Sudah. Ayo cepat ikut mama, kita pergi dari sini." Sambungnya.

"Kenapa Mama berkata seperti itu? Clara__"

"Sudahlah Eliza!" bentak mama Eliza. "Apa kau ingin seperti dia, dengan terus bersamanya? Tidur dengan pria yang bukan suaminya hingga hamil, iya?!" lanjutnya masih dengan nada tinggi.

"Ma-maksud Mama apa? Eliza tidak mengerti apa maksud Mama." elak Eliza sembari memalingkan mukanya ke arah lain.

"Sudahlah, Eliza... Kau tak usah menyembunyikan apa-apa lagi dari mama.. Mama sudah tau semuanya."

"Ma-mama tau darimana?"

"Tidak penting mama tau darimana. Yang terpenting sekarang, kau harus ikut mama. Ayo."

"Tapi ma, Clara??"

"Tidak ada tapi-tapian. Ayo cepat." mama Eliza terus saja menyeret Eliza, tak lagi memperdulikan kata-kata Eliza.

"Ma, lepas." Eliza melepas cengkraman mamanya dengan kasar. "Setidaknya izinkan Eliza untuk menemui Clara untuk yang terakhir kalinya." Lanjutnya dengan tatapan memohon.

"Huh, baiklah. Sepuluh menit."

"Dua puluh ya ma.."

"Lima menit."

"Oke-oke, sepuluh menit." ucap Eliza dan segera buru-buru pergi dari sana untuk segera menemui Clara.

***

Di ruang bersalin.. Clara yang tengah berjuang sendirian untuk melahirkan bayinya, tiba-tiba Eliza datang membawa berita yang membuatnya semakin merasa sendiri.

"Kau jangan khawatir... Aku akan berusaha untuk sering-sering menghubungimu." ucap Eliza dengan terus menahan air yang akan segera terjatuh.

"Tidak Eliz. Jangan pergi, aku mohon..." pinta Clara ditengah sakitnya yang ia rasakan.

"Kau harus kuat Clara, demi anakmu." ucap Eliza sembari menghela nafas berat. "Maafkan aku." lanjutnya, dan berlalu pergi seraya menghapus air matanya yang akhirnya jatuh juga.

"Tidak Eliz... Jangan pergi.. Elizaaa..."

Oeek.. Oeeek...

Bersamaan dengan teriakan Clara, bayi Clara lahir dan menangis mengiringi kepergian Eliza, sahabat sang ibu. Tangisannya seolah ikut ingin menahan kepergian Eliza, namun Eliza tetap pergi, karena seseorang tengah menariknya dari luar.

Melihat Eliza sahabat Clara pergi dengan diseret oleh ibunya.. Seseorang yang sedari tadi memperhatikan, tersenyum bahagia melihatnya, "Ini belum seberapa Clara sayang..." ucapnya seraya berlalu pergi.

Di ruang bersalin...

"Maaf Dok... Bayi Nyonya ini tidak bisa diselamatkan." ucap salah satu perawat yang ikut membantu proses Clara melahirkan.

"Tidak bisa diselamatkan, bagaimana maksudmu??" tanya dokter yang membantu Clara.

"Ba-bayinya meninggal."

"Bagaimana bi__"

"Tidak mungkin. Bayiku tidak mungkin meninggal. Ta-tadi dia menangis kan Dok..? Iyakan Dok... Dokter juga mendengarnya kan? Bayiku sehat kan, Dok?" ucap Clara yang tak percaya jika bayinya dinyatakan meninggal.

"Nyonya tenang dulu.. Saya akan memeriksanya terlebih dahulu," ucap dokter seraya mengikuti perawat yang tadi membawa bayi Clara untuk dibersihkan.

Beberapa saat kemudian, dokter datang dengan wajah lesu, lalu disusul oleh perawat yang tengah menggendong bayi ditangannya.

Melihat itu, Clara segera bertanya, "Ba-bagaimana bayi saya Dok? Dia tidak papa kan? Sehat-sehat saja kan?"

"Maafkan kami Nyonya, kami sangat menyesal mengatakan ini..." Dokter tersebut menjeda ucapannya sejenak, lalu kembali berkata, "Bayi anda telah meninggal."

"Tidak, tidak mungkin. Ini tidak mungkin. Tidak, BAYIKU... AAAAH....."

***

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!