“Mas, tolong perutku mulas,” teriak Gayatri saat dia berada di dapur.
Ghazi langsung menghampirinya karena saat ini Gayatri sedang hamil delapan bulan lebih, belum genap sembilan bulan. Dia langsung membawa istrinya ke sofa untuk duduk sebentar sembari menunggu rasa sakit itu hilang.
“Sudah tidak sakit lagi, Sayang?” tanya Ghazi memperhatikan istrinya yang masih berkeringat.
Dia menghapus keringat sebesar biji jagung yang masih menetes dari dahi istrinya.
“Argh, Mas, sakit! Aku tidak kuat lagi,” pekik Gayatri sembari memegang perutnya.
“Baiklah, ayo kita berangkat ke rumah sakit.”
Ghazi memandu tubuh istrinya yang kesakitan, dia tidak berani untuk menggendong karena tidak ingin terjadi apa-apa pada keduanya. Dia mendudukkan di kursi belakang dan dia berlari ke dalam untuk mengambil tas perlengkapan yang sudah disiapkan untuk kejadian seperti ini. Lalu dia mengendarai mobilnya ke rumah sakit. Dia juga menelepon seseorang.
“Halo, Dok. Saya sedang membawa Gayatri ke rumah sakit karena dia merasa kesakitan di perutnya. Tolong ke rumah sakit segera, Dok!” seru Ghazi yang masih ikut panik.
Gayatri tidak berhenti kesakitan karena rasa mulas pada perutnya datang dan pergi. Kontraksi yang dirasakan terasa dengan jarak sepuluh menit. Sepertinya dia akan melahirkan anaknya yang baru delapan bulan setengah dalam kandungan.
“Mas, sepertinya aku akan melahirkan. Argh!” teriaknya lagi. “Mas, bisa lebih cepat?”
“Tahan ya, Sayang. Belokan depan sudah IGD, Sayang,” ucap Ghazi memperhatikan jalan.
Dia menoleh ke arah istrinya yang masih kesakitan dan dia buru-buru memarkirkan mobil yang tidak jauh dari ruang IGD. Dia memapah istrinya perlahan dan saat tiba di pintu IGD.
“Tolong, ners, istri saya mau melahirkan!” teriak Ghazi mengundang perhatian.
Beberapa perawat yang cekatan mengambilkan brankar dan merebahkan Gayatri di atasnya. Dia dibawa masuk ke ruang IGD untuk diperiksa lebih dulu oleh dokter jaga. Seorang dokter umum datang menghampiri dan memeriksa istrinya.
“Ners, panggilkan dokter obgyn segera ke ruang operasi,” perintah dokter jaga itu.
Ghazi yang masih bingung dengan kepanikan yang terjadi. Dia bertanya, “Dok, istri saya kenapa? Saya tadi sudah menghubungi Dokter Shinta untuk segera ke sini.”
“Maaf, Pak. Dokter Shinta belum tiba, jadi saat ini istri bapak akan ditangani oleh dokter lain. Kondisi istri Bapak membutuhkan operasi. Bapak, tolong untuk mengurus administrasinya agar operasi cepat dilakukan.” Dokter tersebut menunjukkan Ghazi di mana ruang resepsionis.
Dia melangkah ke sana sesuai arah yang ditunjukkan oleh dokter dan mengisi form yang diperlukan. Dokter Shinta berlari menghampirinya, “sabar, ya Ghaz. Aku ke ruang operasi dulu.”
“Shin, tolong selamatkan mereka,” ucap Ghazi.
“Iya, Ghaz.”
Lalu perawat memberikan form untuk dia tanda tangani agar operasi segera dilakukan untuk menyelamatkan ibu dan bayinya. Shinta adalah teman dari Ghazi dan yang mengenalkan mereka berdua sekitar dua tahun lalu. Ternyata dari pertemuan itu, Ghazi dan Gayatri menikah hingga sekarang dan baru saja dikaruniai anak.
Ghazi dilarang ikut masuk ruang operasi karena ternyata istrinya diharuskan operasi sesar karena posisi bayi yang sungsang apalagi belum waktunya lahir.
Di dalam ruang operasi, Gayatri yang masih sadar karena saat ini dia dibius lokal perut ke bawah. Dia menatap lampu operasi yang sangat terang dan menoleh melihat temannya, Shinta.
“Shin, kumohon selamatkan bayiku, jika terjadi apa-apa dengan aku,” pinta Gayatri menahan rasa sakit apabila dia tidak sempat melihat bayinya.
“Hey, jangan berkata seperti itu. Kamu dan bayimu selamat, kamu harus berjuang, Ge,” sorak Shinta untuk menenangkan Gayatri.
Perut bawah pasien sudah disobek oleh pisau bedah dan perlahan dia mencari posisi bayi Gayatri. Setelah menemukan posisinya dan bisa dipastikan aman untuk dikeluarkan.
Dokter anastesi berteriak, “Dok, tekanan darah pasien naik di atas normal. Jika berlanjut bisa terjadi pendarahan atau gagal jantung!”
“Baik, berikan obat antihipertensi untuk mengurangi dan bantu saya untuk mengeluarkan bayinya.” Shinta melakukan pekerjaan dengan sebaik-baiknya karena nyawa temannya berada di ambang.
Dia memilih untuk fokus menyelamatkan bayinya terlebih dahulu. Setelah merobek beberapa bagian lagi dan menggunting ari-ari yang masih tersambung. Dia mengangkat bayi itu dan segera diserahkan kepada dokter anak yang berada di sana untuk diperiksa.
“Dok, tekanan darah masih naik dan terjadi pendarahan di perut,” seru Dokter anastesi.
“Siapkan transfusi darah A untuk pasien dan sekarang kita periksa di mana sumber pendarahan di dalam perut. Tolong bius total untuk pasien dan panggil dokter bedah siapa saja.” Shinta melirik dokter anastesi untuk melakukan hal tersebut.
Perawat yang berada di sana keluar untuk memanggil dokter bedah yang sedang jaga di rumah sakit itu. Ghazi mendekat ke perawat itu dan bertanya, tetapi perawat itu meninggalkannya dalam keadaan yang semakin khawatir.
Dikarenakan bisa jadi karena pasien dalam keadaan tegang yang mengakibatkan terjadi naiknya tekanan darah.
“Ge, bertahan ya, demi anakmu dan suamimu. Kumohon,” ucap Shinta di telinga Gayatri sebelum bius total dilakukan.
Selama Shinta mencari asal muasal pendarahan yang terjadi di dalam perut, obat antihipertensi yang tadi disuntikkan ternyata tidak berpengaruh.
“Shin, obat tidak ada efeknya sedangkan tekanan darah tetap naik.” Dokter anastesi masih sibuk mengamati tekanan darah yang sama sekali tidak turun. Yang ada justru naik perlahan.
Perawat yang datang bersama dokter bedah pun segera menggunakan baju steril untuk operasi dan membantu Shinta untuk mengambil alih tindakan. Setengah jam lamanya, mereka menemukan penyebab pendarahan tersebut dan mulai untuk menjahit bagian yang terluka. Namun, takdir berkata lain, usai luka tersebut tertutup jahitan dan pendarahan berhasil dihentikan, tekanan darah Gayatri semakin naik dan berujung serangan jantung.
Beberapa kali dokter menggunakan defibrilator untuk merangsang listrik langsung ke jantung. Namun, jantung Gayatri tetap tidak kembali berdetak dan mereka menetapkan waktu kematian.
Shinta jatuh terduduk di lantai karena dia tidak bisa menyelamatkan teman dekatnya. Setetes air mata jatuh, tetapi dia ingat perkataan terakhir Gayatri untuk menyelamatkan bayinya. Dia segera berdiri dan menghampiri dokter anak yang sudah memeriksa bayi temannya.
“Gimana, Dok?” tanya Shinta menghapus air matanya.
“Bayinya laki-laki sehat, hanya perlu diletakkan di inkubator sembari kita cek alat vital dan lain sebagainya.” Dokter anak tersebut memberi kabar kepada Shinta.
Tentunya, dia tidak ingin kehilangan keduanya meski takdir berkata lain bahwa Gayatri yang pergi setelah melahirkan seorang putra.
Lampu operasi yang tadinya berwarna merah sekarang berwarna hijau setelah tiga jam Ghazi menunggu operasi istrinya. Di sana sudah ada keempat orang tua mereka yang dihubungi olehnya saat sang istri berjuang melahirkan.
Shinta keluar ditemani dengan perawat yang tadi memanggil dokter bedah.
“Shin, gimana kondisi Gayatri?” tanya Ghazi tidak sabar.
“Anak kalian bayi laki-laki yang sehat. Saat ini dia dibawa ke ruang NICU untuk diawasi karena belum waktunya lahir. Ayo, kuantarkan untuk menemui Gayatri.” Shinta memilih untuk mengajak Ghazi sendiri tanpa orang tua mereka agar lelaki yang baru saja menjadi ayah bisa memiliki waktu berdua bersama sang istri.
Mereka berjalan mendekat ke meja operasi dan Ghazi menatap istrinya yang tergeletak tanpa peralatan apa pun.
“Shin, maksudnya apa?” tanya Ghazi cemas tidak ingin apa yang berada dalam pikirannya menjadi kenyataan.
“Gayatri mengalami hipertensi dan pendarahan secara bersamaan ketika bayi masih berada dalam kandungan. Lalu saat aku berhasil mengeluarkan putramu, tekanannya tidak juga turun. Tak lama, terjadi pendarahan. Meski kami sudah menemukan luka pendarahan, dia mengalami serangan jantung dan kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tetapi Gayatri memilih pergi. Maafkan aku, Ghaz,” ucap Shinta lirih.
Ghazi yang mendengar hal itu menghampiri istrinya dan membangunkannya. Digoyang-goyangkan tubuh istrinya yang sudah mulai dingin, tetapi tidak ada respon yang keluar.
“Ge, bangun. Ayo lihat anakmu lelaki tampan. Ka-mu ti-dak ingin memeluk-nya?” tangis Ghazi yang sudah tidak terbendung.
Dia memeluk tubuh istrinya dan menangis keras tak terima karena istrinya sudah pergi meninggalkannya.
“Ge, kamu tega ninggalin aku dan putra kita. Hah!” teriaknya marah.
Ghazi terjatuh dan tubuh istrinya yang tidak berdaya ikut jatuh menimpanya. Shinta meninggalkan ruang operasi itu agar Ghazi lebih banyak waktu bersama istrinya sebelum jenazah itu dibawa untuk dimandikan. Keempat orang tua menghampirinya untuk bertanya apa yang sudah terjadi.
“Maafkan Shinta, semuanya, Gayatri berpulang karena serangan jantung saat melahirkan.sebelum serangan jantung, saat Ge sadar dan meminta saya untuk menyelamatkan bayi mereka. Namun, ketika saya selesai mengangkat bayinya, tekanan darah Ge naik tinggi dan tidak turun hingga dia mengalami pendarahan. Setelah itu Ge mengalami serangan jantung dan kami tidak bisa menyelamatkan,” jelas Shinta kepada para orang tua.
Mereka sangat terpukul mendengar kematian Gayatri yang mendadak. Tidak ada yang memiliki firasat jika hari ini merupakan momen terakhir Gayatri.
“Ayah, Gayatri tidak mungkin meninggal, kan?” tanya Tria, ibu Gayatri.
Dia memukul-mukul suaminya sembari menangis untuk memberikan jawaban.
“Shinta bohong kan, Yah!” teriaknya tidak terima. Putri kesayangannya meninggalkan dia saat melahirkan.
Dodi merengkuh istrinya ke dalam pelukannya agar tidak lagi histeris terhadap peristiwa ini. Dia merasa hatinya patah dan hilang ketika mendengar kabar itu. Tidak disangka justru putrinya lebih dulu meninggalkan mereka. Meninggalkan cucu dan menantunya sendiri.
Kedua orang tua Ghazi juga menangis mendengar bahwa menantu kesayangan mereka telah pergi meninggalkan dunia ini. Mereka sangat menyayangi Gayatri semenjak menjadi menantu karena mereka memiliki anak yang lain.
oOo
Seorang wanita berlari tergopoh-gopoh mendengar berita yang tadi diterimanya. Dia sudah berusaha secepat mungkin untuk pergi menyusul ke rumah sakit karena kakaknya melahirkan. Dia adalah Adhisty Milenia, adik perempuan dari Gayatri yang baru bisa menyusul ke rumah sakit karena dia tadi masih ujian di kampusnya. Dia menuju IGD dengan terburu-buru dan bertanya pada perawat yang bertugas. Oleh perawat, dia diarahkan menuju ruang operasi.
Dia melihat keempat orang tua itu menangis dengan wajah yang sudah basah oleh air mata. Dia mendekati orang tuanya karena pikirannya menolak untuk berpikiran negatif.
“Bu, Pak, kenapa kalian menangis seperti ini? Apa yang terjadi?” tanya Adhisty yang kebingungan.
“Nak, mbakmu meninggal,” ucap Tria sembari berpindah memeluk sang bungsu.
“Hah, gak, gak mungkin, Bu!” sangkal Adhisty menatap ayahnya.
“Benar, Nak. Mbakmu meninggal karena serangan jantung dan hipertensi,” ucap ayahnya membenarkan pernyataan ibunya.
Hal itu membuat Adhisty mematung, tetap menyangkal bahwa kakaknya tidak meninggal. Dia teringat beberapa waktu lalu saat dia menemani Gayatri memeriksakan kehamilan. Dokter sudah menyuruh kakaknya itu untuk tidak banyak pikiran dan mencari hiburan agar tekanan darah tidak naik. Karena akan sangat berbahaya apabila melahirkan dalam kondisi tekanan darahnya naik.
Dia sebagai adik juga sering mengingatkan untuk memberitahu Ghazi tentang penyakit yang dideritanya. Saat itu Gayatri hanya menjawab sudah cerita dan dia akan mencari hiburan. Namun, sepertinya bukan itu yang terjadi karena sekarang kata-kata dokter benar terjadi. Dia menyesal tidak menceritakan keadaan Gayatri pada siapa pun. Dia menyesal untuk mengikuti dan menuruti apa kata kakak perempuannya itu. Saking keras kepalanya, Adhisty tidak sanggup menolak permintaan itu.
“Lalu bayinya, apakah selamat?” tanya Adhisty.
“Putranya berada di Nicu untuk kestabilan karena belum waktunya lahir, jadi sementara diletakkan di inkubator.” Shinta menjawab karena sedari tadi keempat orang tua itu masih bersedih.
Meledaklah tangis Adhisty mendengar bahwa bayi kakaknya selamat dan baik-baik saja. Pasti kakaknya benar-benar memilih untuk menyelamatkan bayinya.
“Syukurlah, bayinya selamat, tetapi ibunya pergi meninggalkannya,” isaknya membayangkan keponakannya tidak memiliki ibu.
Shinta kembali masuk ke dalam ruang operasi untuk melihat keadaan Ghazi yang sudah tenang.
“Ghaz, kamu perlu mengadzankan putramu sebentar.” Shinta mengingatkan.
Ghazi yang lunglai didudukkan di kursi roda didorong oleh perawat menuju ruang Nicu untuk mengadzankan putranya. Dia menatap bayi mungil yang masih berada dalam inkubator dan dibawa mendekat ke arahnya. Inkubator pun dibuka dan dia memberikan adzan pada putranya yang baru lahir. Setelah dia keluar dari ruang Nicu, dia menangis lagi teringat akan istrinya yang telah meninggalkannya.
Sore yang disertai dengan langit gelap mendukung kesedihan yang terjadi saat Gayatri dimandikan oleh suaminya di ruang pemandian jenazah milik rumah sakit. Usai pemandian dan pemberian kafan dilakukan, Gayatri akan dibawa pulang untuk disholatkan di masjid dan besok pagi akan dimakamkan di pemakaman daerah tempat tinggal keluarga mereka.
Meski Ghazi mencoba terlihat tegar di hadapan para tetangga, ternyata itu semua sia-sia karena dia masih belum ikhlas menerima semuanya. Dia hanya bisa menangis melihat jenazah istrinya terbungkus dan sendiri di ruang tengah di rumahnya.
oOo
Paginya, Ghazi menjadi salah satu pembawa tandu milik istrinya untuk mengantarkan ke tempat peristirahatan selamanya. Sepanjang jalan dia masih mencoba untuk tegar dan menahan tangisnya hingga pemakaman selesai. Banyak orang yang datang ke rumahnya untuk takziah karena beritanya terlalu mendadak dan sangat menyayangkan dengan kejadian yang terjadi.
Sore hari, rumah Ghazi sudah kembali sepi, hanya ada beberapa orang kampung yang ikut berjaga dan membantu membereskan meja. Kedua orang tua Gayatri memilih tidak pulang dan akan mengikuti pengajian nanti malam untuk mendoakan putrinya. Sedangkan Adhisty memilih pergi untuk melihat keponakannya di rumah sakit. Dia sudah meminta izin kepada kakak iparnya itu untuk melihat bayi yang belum memiliki nama.
Tibalah dia di rumah sakit dan langsung menuju ruang Nicu. Apalagi dia memang tidak boleh untuk masuk ke dalam karena bukan salah satu dari orang tuanya. Dia hanya bisa melihat dari jendela besar yang terpasang di kamar Nicu. Bayinya yang belum memiliki nama itu terlihat anteng tidak rewel, mungkin juga merasakan ikut kehilangan sang ibu.
Adhisty mengusap air yang menetes dari kedua matanya melihat bayi itu. Rasanya dia ingin sekali memeluk bayi itu agar tidak merasa sendirian karena saat lahir, dia belum tersentuh oleh ibunya.
Dering gawai mengganggu momen manis yang dia rasakan dan karena tidak ingin menjadi pusat perhatian, dia pergi dan mengangkat panggilan itu.
“Ya, Bu, ada apa?” tanya Adhisty.
“Kamu di mana?” tanya Tria.
“Dhisty sedang di rumah sakit melihat anaknya mbak Ge,” jawab Adhisty menghapus air matanya.
“Kamu cepat ke sini karena sebentar lagi ada pengajian di rumah Ge,” pesan Tria.
“Iya,” balas Adhisty kecewa.
Dari rumah sakit, Adhisty memilih pulang ke rumah untuk mengganti baju karena tidak nyaman seharian memakai baju bekas dari pemakaman. Dia langsung melanjutkan perjalanan ke rumah Ghazi karena waktu sudah menunjukkan sesudah magrib. Dia tidak ingin terlambat.
Di sana dia disambut oleh ibunya dan diajak untuk membantu mempersiapkan apa-apa untuk para orang untuk ikut berdoa di pengajian tersebut. Acara pengajian itu berlangsung selama beberapa hari.
oOo
Seminggu setelah kematian Gayatri membuat Ghazi benar-benar merasakan kehilangan. Tinggal di rumah yang besar dan hanya sendiri sangat tidak nyaman. Apalagi dia teringat di mana letak-letak kenangan bersama dengan Gayatri. Akhirnya dia mengemasi baju dan barang lain untuk kembali ke rumah orang tuanya. Dia masih belum sanggup tinggal di rumah ini lagi.
Namun, sebelum ke rumah orang tuanya, dia ingin melihat putranya di rumah sakit. Dia mengunjungi ruang Nicu dan melihat dari jendela besar karena masih belum diperbolehkan masuk. Karena kondisinya yang belum stabil.
“Nak, kumohon, jangan tinggalkan ayah,” ucapnya memelas sembari menatap sang putra dari jendela.
Dokter anak yang melihat ayah si bayi tanpa nama itu menghampiri sang ayah.
“Maaf, Pak. Saya selaku dokter hanya mengingatkan bahwa bayi anda belum diberi nama setelah seminggu dilahirkan. Karena saya lihat yang mengunjungi hanya adik dari ibunya,” tegur dokter anak itu.
“Oh, maafkan, Dok. Saya masih bersedih atas apa yang terjadi pada ibunya. Putra saya tolong diberi nama Ganesha Akbar,” jawab Ghazi mengingat kenangan bersama istrinya di mana mereka berdebat untuk menamai putra mereka.
“Ah, bagus sekali, cocok untuk bayi bapak. Satu lagi, minggu depan Ganesha sudah diperbolehkan keluar dari inkubator sehingga bapak bisa memeluk langsung.” Dokter anak itu memberi kabar baik bagi Ghazi.
“Terima kasih, Dok.”
Ghazi kembali menatap putranya dan dia tersenyum karena dia akan bisa memegang putranya. Dia memilih pulang setelah puas bermain dengan Ganesha. Dia membawa mobilnya kembali ke rumahnya sendiri karena saat ini dia rindu terhadap istrinya.
“Sayang, aku pulang,” teriak Ghazi pada rumah yang kosong. “Sayang, kamu di mana?”
Ghazi melangkahkan kakinya menuju kamar utama dan di sana kosong. Tidak ada sosok istrinya yang biasa menunggu dirinya. Terbaring mengeluh kesakitan karena terlalu lama dia tinggal di kantor. Netra Ghazi banjir dengan air sekali lagi, setelah dari rumah sakit sempat meneteskan air mata untuk putranya. Dia meringkuk tanpa mengganti pakaiannya dan menangis serta sesekali mengigau nama istrinya.
oOo
Beberapa minggu kemudian, putranya masih berada di rumah sakit karena berat badan masih belum mencapai yang ditargetkan. Sementara Ghazi yang hidup, tetapi tidak hidup. Dibilang mayat juga tidak mati. Begitulah keadaannya setelah ditinggal oleh istrinya yang sangat dia cintai. Keadaannya sungguh memprihatinkan.
Kegiatan putranya hanya bekerja dari pagi hingga ke malam hari tanpa berhenti. Di dalam rumah pun lebih suka mengurung diri. Hanya pekerjaan yang menjadi pelarian dirinya untuk menjaga agar tetap waras. Dia menerima pesan lagi dari Adhisty yang selalu mengirimkan foto-foto putranya. Meski tidak setiap hari, dia tetap berterima kasih kepada adik iparnya karena telah membantu merawat putranya.
Kedua orang tua Ghazi yang melihat itu sangat bersedih, dia menyuruh putranya untuk pulang ke rumahnya. Agar dia bisa lebih mengawasi apa yang diperbuat putranya. Paling tidak dia bisa membantu untuk menjaga kesehatan putranya hingga saat cucunya diperbolehkan pulang.
Suatu sore Ghazi membelokkan diri ke bar di tengah kota karena saat ini yang dia butuhkan adalah mengalihkan pikirannya. Dia memilih untuk memesan minuman beralkoh*l satu botol untuk ditenggaknya agar membuat pikirannya terasa ringan. Namun, setelah meminum dua gelas dan belum membuatnya mabuk. Akhirnya, dia membeli dua botol lagi dari bar itu dan pulang ke rumahnya sendiri. Karena jika ke rumah orang tuanya dia pasti tidak akan diperbolehkan untuk minum.
“Ge, aku rin-du sa-ma ka-mu,” ucapnya mabuk.
“Ge, apa a-ku … harus menyu-sulmu,” isaknya sembari menegak minuman.
Hal itu berlangsung hingga beberapa jam sehingga suasana menjadi hening karena dia tertidur akibat terlalu banyak meminum minuman beralkohol.
Esoknya saat dia bangun dia memuntahkan seluruh isi perutnya karena konsumsi alkohol yang berlebihan. Dia mengirim pesan kepada ayahnya untuk izin tidak ke kantor lagi. Dia memutuskan untuk pergi mandi dan membersihkan dirinya. Saat melihat di cermin kamar mandi, dia teringat istrinya yang selalu protes jika dia tidak bercukur.
Saking pusing efek mabuk semalam, ditambah dengan emosi yang menguras air matanya, dia melemparkan tinjunya ke cermin tersebut.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!