NovelToon NovelToon

Aku Dan Paman Dari Istrimu

Maaf, aku mencintai yang Lain

Katalina, gadis berusia 20 tahun itu menatap pria tampan di depannya dengan mulut yang terbuka. Matanya sudah berkaca-kaca karena apa yang dikatakan Okan tak pernah ia pikirkan sebelumnya.

"Okan, jangan bercanda. Bukankah kita ada di sini untuk merayakan anniversary kita yang ke-5?"

Okan tersenyum. "Maafkan aku, Lina. Aku tak mau menipu kamu terus. Perasaan yang aku miliki untukmu sudah hilang."

"Sejak kapan?" tanya Katalina dengan hati yang mulai hancur.

"Sejak beberapa bulan ini."

"Tepatnya sejak kapan?" tanya Katalina dengan nada suara yang mulai meninggi.

"Entahlah. Mungkin sejak empat atau lima bulan belakangan ini."

"Empat atau lima bulan?" Tangan Katalina langsung terangkat dan menampar Okan dengan sangat keras. "Kalau memang perasaanmu padaku sudah hilang semenjak 4 atau 5 bulan yang lalu, kenapa saat kamu ulang tahun sebulan yang lalu, kamu berjanji akan segera menikahi ku? Kenapa malam itu kamu membuat aku melayang tinggi dengan sebuah keyakinan akan cintamu yang begitu tulus padaku? Mengapa kamu merayu aku dan membuat aku terlena sehingga menyerahkan diriku padamu? Apakah kamu lelaki yang suka mengobral janji?" teriak Katalina sambil memukul dada Okan dengan kedua tangannya. "Mengapa? Mengapa.....?"

Okan sama sekali tak menangkis pukulan Katalina walaupun tubuhnya merasa sakit karena ia tahu bahwa apa yang dirasakan oleh Katalina saat ini, jauh lebih sakit. Sebuah luka yang tak berdarah namun akan sangat menghancurkan Katalina.

"Bencilah aku sesukamu. Kutuk aku sebanyak yang kau mau. Namun aku tak bisa menipu kamu dengan semua yang kurasakan ini. Aku juga tersiksa jika tak mengatakan semua kebenaran ini. Maafkan aku, Lina. Maafkan aku....!" Okan segera pergi meninggalkan Katalina sendiri.

"Aku membenci mu, Okan!" teriak Katalina sebelum pria itu masuk ke dalam mobilnya dan pergi.

Katalina menatap ke arah meja makan. Semua makanan sudah tertata rapi di sana. Katalina memasak makanan kesukaan Okan. Sejak pulang kuliah, Katalina sudah ada di rumah pondok ini. Rumah yang dibeli Okan sebagai tempat pertemuan mereka. Tempat mereka memadu kasih.

Mata Katalina menatap ke arah pintu kamar yang sedikit terbuka. Sebulan yang lalu, di dalam kamar itu Katalina untuk yang pertama kali menyerahkan dirinya pada Okan. Masih jelas di ingatannya apa yang Okan katakan saat Katalina menangis karena takut dengan apa yang sudah mereka lakukan.

"Baby, jangan menangis. Apakah kamu menyesal telah menyerahkan kesucian mu kepadaku?" tanya Okan sambil memegang kedua sisi bahu Katalina.

"Okan, seharusnya kita nggak boleh seperti ini. Aku takut hamil."

"Dan kamu pikir aku tak akan bertanggungjawab? Hei, apa kamu tak mempercayai kalau aku mencintai kamu? Kita sudah mau 5 tahun berpacaran. Kamu saja yang nggak mau kalau aku mengatakan pada semua orang tentang hubungan kita. Aku mencintai kamu, Lina. Kamu adalah nafasku. Seluruh gairah hidupku. Bukankah aku sudah sering mengatakannya padamu?"

Waktu itu, Katalina langsung memeluk Okan dengan sangat erat. Ia tahu kalau Okan mencintainya.

Katalina mengenal Okan saat usianya gadis itu baru beranjak 15 tahun. Waktu itu Katalina membantu bibinya yang sibuk menyiapkan hidangan karena anak kedua dari keluarga Bagaskara akhirnya pulang setelah menyelesaikan studi nya di Amerika. Katalina langsung jatuh cinta saat pertama kali melihat Okan. Namun ia segera menepis perasaannya itu karena tahu perbedaan apa yang ada diantara mereka. Katalina yang masih begitu belia sangat menyadari kalau memang ini adalah cinta monyet. Sebentar juga akan hilang.

Namun siapa yang menyangka, esok harinya, saat Katalina pulang berjalan kaki dari sekolahnya sendirian, Okan menghadangnya dan langsung menyatakan cinta padanya. Waktu itu Katalina tak percaya. Namun setiap hari Okan selalu menemuinya dengan berbagai cara sampai akhirnya Katalina luluh juga. Katalina bersedia menerima cinta Okan asalkan hubungan mereka dirahasiakan dulu soalnya Katalina takut kalau gara-gara hubungan mereka, paman dan bibinya dipecat. Ia juga ingin menyelesaikan kuliahnya dulu, mencari pekerjaan, agar menjadi wanita yang layak untuk Okan.

"Kamu brengsek, Okan! Kamu ternyata lelaki paling buruk yang pernah aku kenal....!" Katalina memporak porandakan isi kamar itu. Ia juga membuang semua makan yang dimasak nya ke dalam bak sampah. Ia kemudian pergi meninggalkan rumah pondok itu tanpa pernah ingin kembali ke sini lagi.

Saat Katalina pergi, ia tak menyadari kalau salah satu lilin yang dipasangnya di salah satu sudut ruangan, jatuh dan mengenai tirai jendela. Rumah pondok itu terbakar tanpa diketahui oleh Katalina.

**********

"Kamu dari mana saja, nak?" tanya Feni, bibinya Katalina.

"Maaf, bi. Aku ke pesta ulang tahun temanku."

"Tapi kamu baik-baik saja kan? Kenapa matamu bengkak? Kamu menangis?"

"Iya. Aku tiba-tiba ingat ibu."

Feni memeluk ponakannya. "Ibumu sudah senang, nak. Sekarang kamu fokus saja dengan kuliahmu. Supaya kalau kamu berhasil, keluarga kita yang ada di kampung juga akan bangga denganmu. Bayangkan saja, kamu dapat beasiswa dan bisa kuliah di salah satu universitas yang paling bergengsi di sini."

"Iya, bi. Eh, bibi mau kemana?" tanya Katalina melihat bibinya yang berjalan menuju ke pintu.

"Bibi mau tidur di mansion. Pagi-pagi sekali mau buat kue karena jam 9 pagi, keluarga Baskoro mau bertandang ke rumah keluarga Ciputra."

"Ke rumah Viona?" tanya Katalina penasaran karena teman baiknya Viona adalah putri bungsu keluarga Ciputra.

"Iya. Yang teman sekampus kamu itu kan? Ternyata dia dan tuan muda Okan akan menikah."

"Apa?"

"Nyonya bilang kalau Viona hamil. Tapi kamu jangan bilang siapa-siapa ya?"

"Ha?" jantung Katalina bagaikan berhenti berdetak.

"Iya. Makanya pernikahan neng Viona dan tuan Okan akan dilaksanakan 2 minggu lagi."

Katalina berusaha berdiri tegak walaupun sebenarnya ia ingin jatuh saat itu juga. Gadis itu memasang wajah tersenyum lalu segera pamit ke kamar.

Sesampai di kamar, Katalina menutup mulutnya dengan kedua tangannya sambil berusaha agar suara tangisnya tak keluar. Ia menatap kedua sepupunya, anak dari paman dan bibinya, si kembar Dewa dan Dewi yang nampak sudah tertidur pulas. Dewa dan Dewi berusia 11 tahun dan Katalina sangat menyayangi kedua sepupunya itu.

Malam itu, Katalina merasakan hatinya hancur menjadi serpihan-serpihan kecil yang tak bisa disambung lagi. Ia tak menyangka kalau sahabat baiknya akan menikah dengan Okan, lelaki yang sudah 5 tahun menjadi pacarnya.

Viona adalah gadis cantik yang pemalu. Dia adalah satu-satunya orang yang tahu kalau Okan dan Katalina berpacaran. Namun kini sahabat dan pacarnya itu ternyata menusuk Katalina dari belakang.

***********

Katalina adalah anak yatim piatu. Ayahnya meninggal saat Katalina berusia 8 tahun dan ibunya meninggal saat Katalina baru saja duduk di bangku kelas 1 SMP.

Bibi Feni adalah adik dari mendiang ayah Katalina. Ia mengajak Katalina tinggal bersamanya di pinggiran kota sambil menjaga peternakan kuda milik salah satu keluarga kaya di kota ini.

Katalina yang penting pintar, akhirnya bisa mendapatkan beasiswa dan melanjutkan studinya.

Ini hari Senin, Katalina akan ke kampus seperti biasanya. Cukup sudah selama 2 hari ini ia menangis. Walaupun sakit, Katalina akan berusaha untuk menerima semuanya dengan lapang dada. Mungkin Tuhan begitu baik padanya sehingga sebelum hubungannya semakin dalam dengan Okan, ia sudah mengetahui kebusukan pria itu.

Dari peternakan kuda ini, Katalina akan menaiki sepeda menuju ke jalan utama untuk menunggu bis. Biasanya, Okan sudah menunggu di pondok kayu yang letaknya memang agak tersembunyi dari jalan menuju ke peternakan ini. Katalina akan memarkir sepedanya di sana dan ke kampus diantar oleh Okan.

Namun sekarang, Katalina harus membiasakan diri pergi naik bus lagi. Ia akan menitip sepedanya di warung dekat tempat perhentian bus.

"Eh, neng Lina!" sapa bibi Lala si empunya warung.

"Titip sepeda ya, bi?"

"Ok. Jangan lupa di kunci ya?"

Bukan hanya Katalina yang menitip sepedanya di sini. Ada beberapa orang yang tinggal di peternakan pun sering menitip sepeda atau motor mereka.

"Neng, 2 hari yang lalu, rumah pondok yang ada di dekat bukit itu terbakar." kata Lala.

Katalina yang sedang duduk di depan warung terkejut. "Terbakar?"

"Iya. Pada hal rumah pondok itu kan milik keluarga Bagaskara. Saya dengar kalau tuan Okan suka sekali berada di rumah itu. Menurut polisi sih asal apinya karena lilin yang dibiarkan menyala sampai membakar tirai jendela."

"Oh gitu ya?" walaupun terkejut, Katalina terlihat biasa saja.

Tak lama kemudian, bus nya datang. Katalina dan beberapa orang lainnya yang memang sedang menunggu bus segera naik.

Dan saat Katalina sampai di kampus, berita tentang pernikahan Viona dan Okan sudah heboh dibicarakan. Viona sudah tak masuk kampus lagi. Katanya ia cuti karena hamil.

Walaupun hatinya sangat sakit mendengar cerita itu, namun ia berusaha kuat. Ia tak mau kalau sampai beasiswanya menjadi batal karena tak bisa memenuhi standar IPK yang telah ditentukan untuk tetap diberikan beasiswa.

**********

Hari ini Okan dan Viona akan menikah. Sepanjang malam, Katalina menangis sehingga ketika ia bangun kepalanya mendadak pusing.

Paman dan bibinya sudah tidak ada demikian juga dengan kedua sepupunya. Mungkin mereka sudah ada di mansion walaupun upacara pernikahannya nanti akan dilaksanakan pukul 4 sore karena resepsi pernikahannya akan dilaksanakan malam hari.

Katalina membuka tas punggungnya dan mengeluarkan sebuah benda kecil yang dibelinya kemarin.

Sudah 6 hari Katalina terlambat haid dan ia memutuskan untuk membeli tespack walaupun sebenarnya ia yakin kalau dirinya tidaklah hamil.

Namun apa yang ia takutkan justru menjadi kenyataan. Tangannya bergetar memegang tespack itu yang menunjukan dua garis.

Ia dan Okan hanya sekali saja melakukannya dan ternyata Katalina hamil.

Gadis itu terduduk di atas lantai kamar mandi yang basah. Pikirannya buntu. Hamil tanpa suami mungkin tak terlalu dipermasalahkan jika ia tinggal di kota. Namun di daerah peternakan ini, ia pasti akan dicap sebagai gadis murahan. Orang-orang akan mengucilkan paman dan bibinya. Katalina tak mau kalau sampai paman dan bibinya menjadi malu.

Dalam kebuntuan pikirannya, Katalina menuliskan surat untuk paman dan bibinya. Surat itu ia simpan di dalam lemari pakaiannya. Ia tahu, jika dirinya tak pulang beberapa hari, bibinya pasti akan membuka lemari pakaiannya.

Setelah itu, Katalina pun meninggalkan rumah tempat tinggal bibinya. Matanya sempat memandang ke arah mansion yang letaknya tak jauh dari peternakan ini. Maafkan aku, bibi.....maafkan aku paman.

*************

Hallo, bagaimana awal novel ini?

Mau Menikah Denganku?

Pernikahan Okan Bagaskara dan Viona Ciputra di laksanakan di mansion keluarga Ciputra. Pernikahan ini digelar tertutup karena memang keluarga Bagaskara tidak suka kehidupan pribadi mereka menjadi konsumsi publik.

Para tamu yang diundang pun dari kaum bangsawan dan pejabat negara juga beberapa tokoh terkenal lainnya. Maklumlah, kakek Viona pernah menjadi seorang gubernur selama 2 periode.

Sebuah mobil Lamborghini Hitam berhenti di depan rumah itu. Seorang petugas keamanan mendekatinya.

"Tuan, bolehkah saya melihat undangan anda?"

"Perlukah saya menunjukan undangan?" tanya pria itu tanpa melepaskan kacamata hitamnya.

"Tapi ini private party. Tidak boleh sembarangan orang yang masuk.

"What? Aku adalah orang sembarangan?" tanya pria itu sedikit mengeraskan volume suaranya sehingga beberapa petugas keamanan yang lain pun mendekat.

"Astaga...., tuan muda !" Salah satu satpam yang sudah 10 tahun lebih bekerja di mansion ini terkejut melihat siapa yang datang. "Buka gerbangnya!" teriaknya panik.

Semua orang menjadi bingung.

"Memangnya dia siapa?" tanya mereka bingung.

"Matthias Erlangga Ciputra. Anak kesayangan tuan Morgan Ciputra."

Semua langsung terperangah. Mereka memang pernah mendengar nama itu. Tuan Morgan memiliki anak dari wanita lain. Anak yang hubungannya memang tak pernah akrab dengan keluarga Ciputra yang lain. Yang mereka tahu, Matthias tak pernah datang ke sini. Namun kenapa akhirnya ia bisa ada di sini?

************

Suasana pesta yang begitu meriah tiba-tiba menjadi hening saat melihat siapa yang berdiri di atas podium kecil itu.

"Hallo semua.....! Apa kabar? Selamat untuk ponakan ku yang cantik atas pernikahan ini. Waw, kamu menikah dengan anak keluarga Bagaskara? Sungguh luar biasa."

"Matthias!" tuan Morgan langsung senang melihat putra bungsunya ada di sana. Mata tua itu bahkan sudah berkaca-kaca.

Okan yang berdiri di samping Viona justru tak memperhatikan kedatangan pria yang biasa di sapa Matt itu. Pandangannya justru tertuju ke salah satu sudut taman. Pada seorang gadis yang menggunakan gaun berwarna hijau lumut. Okan tentu saja mengenal gaun itu karena dialah yang membelikannya ketika sang gadis berusia 20 tahun.

"Aku ke toilet sebentar." Okan melepaskan tangan Viona yang ada di lengannya. Ia langsung menuju ke arah Katalina.

"Tunggu!" panggil Okan saat keduanya sudah berada di jalan pelataran parkir yang sepi.

Katalina membalikan badannya. Ia menatap Okan sambil tersenyum dengan sorot mata yang terluka.

"Aku datang hanya untuk memastikan kalau kau benar-benar bahagia. Ternyata kau memang bahagia. Aku masih berharap kalau kamu terpaksa melakukan ini. Namun ternyata tidak. Selamat ya? Selamat menempuh hidup baru di atas luka yang aku rasakan. Namun kamu tenang saja. Aku tak akan menganggu ketenangan kamu dan Viona. Karena malam ini, adalah malam terakhir kamu melihat diriku."

"Kamu akan pergi?"

"Ya." Lalu Katalina membalikan badannya. Ia memegang perutnya dan mengusapnya perlahan. Kemudian ia berlari meninggalkan Okan sendiri.

Pikiran Katalina sudah buntu. Mengahiri hidupnya sendiri bersama anak yang dikandungnya sudah merupakan pilihan akhirnya. Iblis sudah berbisik di telinganya dan Katalina setuju dengan bisikan itu.

Kembali ke pesta......

"Nak, akhirnya kamu datang." Morgan memeluk putranya itu. Kemarin ia mengirim kabar kepada putranya itu lewat pesan singkat. Sebab jika ia menelepon, Matt tidak pernah mau mengangkatnya. Ia dengar kalau Matt ada di Bali. Makanya ia berharap Matt datang di pernikahan cucu tertuanya.

Matt tak membalas pelukan papanya. Ia menatap Luke Ciputra. Kakak tirinya, lalu kemudian menoleh ke arah Mirna, istrinya. Kedua pasangan itu nampak tak terlalu suka dengannya.

"Matt.....!" seorang perempuan cantik mendekat dan memeluk Matt. Dia adalah Rachel, anak tertua keluarga Ciputra yang menyayangi Matt sekalipun mereka berbeda ibu.

"Hallo sister..., kamu nampak cantik setelah menjadi janda."

Rachel cemberut namun ia tetap menyayangi adiknya itu.

"Kamu akan menetap? Tinggallah di sini. jangan di luar negeri terus." bujuk Rachel.

Matt hanya tersenyum masam. Ia tak menjawab pertanyaan kakaknya. Kakinya melangkah mendekati Viona. Memberikan selamat kepada ponakannya itu yang memang hubungan mereka cukup dekat karena Viona beberapa kali berlibur ke Amerika.

"Uncle, terima kasih sudah datang."

Matt hanya mengangguk. Ia mengambil sesuatu dari saku celananya dan memakaikan sebuah cincin berlian di jari Viona. "Jika ingin bulan madu ke Amerika, bilang sama uncle ya? Tapi jangan sekarang. Karena dua bulan ke depan, uncle masih ada pekerjaan di Bali." Matt mengecup pipi Viona lalu segera beranjak dari pesta itu. Ia masuk kembali ke mobil Lamborghini nya dan meninggalkan mansion keluarga Ciputra yang megah itu.

Ia memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi, namun matanya yang awas melihat seorang perempuan yang berdiri di atas jembatan.

Matt tahu di bawa jembatan itu ada sungai yang sangat dalam dan aliran airnya deras. Apalagi tadi siang baru saja hujan. Pasti tak ada yang selamat jika melompat dari jembatan yang sangat tinggi itu.

Matt langsung melompat keluar dari mobilnya saat melihat gadis itu menjatuhkan dirinya ke bawah. Matt ikutan terjun ke bawa dan berhasil memeluk tubuh gadis itu sebelum ia terbawa arus yang deras.

************

"Tuan, nona itu sudah dipakaikan pakaian bersih dan kering. Rambutnya juga sudah di keringkan. Sebentar lagi dokter akan selesai memeriksanya." kata perawat yang menangani gadis yang Matt selamatkan.

"Terima kasih." Matt menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia sendiri sudah berganti pakaian. Niken, asistennya sudah membawakan pakaian bersih untuknya dan perempuan itu sudah Matt suruh pulang karena tak ingin dia tahu apa yang terjadi.

Tak lama kemudian, pintu ruangan tempat gadis itu di baringkan terbuka. Dokter memanggil Matt untuk masuk. Perempuan itu pun sudah sadar namun terlihat hanya duduk terdiam dengan pandangan kosong.

"Hanya ada beberapa luka gores kecil di bagian kaki dan tangannya. Dan untungnya, bayi yang ada dalam kandungannya selamat. Pada hal bayi itu baru berusia 5 minggu." Dokter yang diketahui bernama Agung itu pun keluar.

"Di mana rumahmu?" tanya Matt setelah keduanya diam beberapa saat.

"Mengapa kamu menyelamatkan aku?"

"Aku bertanya kenapa kamu balas bertanya?" Matt yang yang terbiasa selalu mendapatkan jawaban dari semua pertanyaannya jadi kesal karena gadis itu justru tak berterima kasih atas pertolongan yang Matt berikan.

Gadis itu perlahan mengangkat wajahnya. Ia menatap Matt dengan tatapan sendu. "Seharusnya kamu jangan menyelamatkan aku.'

Perempuan itu yang tak lain adalah Katalina menatap Matt dengan tajam. "Biarkan aku mati."

"Tapi kamu sedang hamil."

"Aku dan anak ini lebih baik mati dari pada hidup. Kami hanya akan memalukan keluarga." Katalina terisak.

"Siapa lelaki yang telah menghamili mu? Siapa tahu aku kenal karena aku pernah dibesarkan di daerah ini."

"Dia bahkan tak tahu dengan kehamilan ku karena sekarang dia sedang berbulan madu dengan istrinya."

"Kenapa kamu tak mengatakannya?"

"Percuma! Karena dia tak pernah mencintaiku. Untuk apa mengharapkan tanggungjawab dari orang yang tidak pernah mencintai kita? Mati adalah cara terbaik untuk pergi dan melupakan. Karena untuk hidup, aku tak siap menanggung malu dan membebani orang lain. Aku hanya gadis miskin yang berharap dicintai oleh seorang pria kaya. Namun setelah menanam benihnya di tubuhku, ia justru pergi meninggalkan aku."

"Bunuh diri bukan jalan keluar terbaik. Itu dosa. Walaupun aku sebenarnya bukan orang yang terlalu taat beragama namun aku tak berani bunuh diri."

Katalina melipat kedua kakinya dan memeluk dirinya sendiri. "Sekarang aku harus bagaimana? Meneruskan kehamilan ini rasanya tak sanggup."

"Mengapa tak kau gugurkan saja?"

"Kalau anak ini harus pergi, maka aku pun harus juga pergi."

Matt menatap wajah gadis itu yang terlihat begitu polos, tak berdaya dan putus asa. Matt yakin jika dibiarkan sendiri, maka gadis ini akan bunuh diri lagi.

"Bagaimana jika ada yang mau menikah dengan mu? Apakah kamu mau tetap hidup?"

"Siapa lelaki gila yang mau menikah dengan seorang gadis yang hamil dengan orang lain?"

"Aku."

"Apa?"

Matt menepuk jidatnya sendiri. Ia juga heran kenapa harus menyerahkan dirinya untuk menikahi gadis itu. Namun Matt ingat sesuatu yang berhubungan dengan keluarganya.

"Begini, kita hanya menikah di atas kertas sampai kamu melahirkan. Setelah itu, kita akan bercerai dengan alasan tidak cocok. Kamu pasti akan mendapatkan hak asuh anak ini dan aku akan memberikan kamu uang sebagai modal hidupmu jika kita berpisah. Aku membutuhkan pernikahan ini untuk mengambil apa yang menjadi hak ku. Sebenarnya aku sudah meminta seseorang untuk menikah pura-pura denganku namun akan ku batalkan saja. Karena aku sudah terlanjur menyelamatkan mu, maka sekalian saja kamu terlibat dengan sandiwara ku ini. Anak mu juga akan mendapatkan nama belakangku."

"Kamu mungkin sudah bermimpi buruk sehingga ketemu denganku. Aku tak mungkin membebani mu." tolak Katalina.

"Terserah. Aku hanya menawarkan saja. Jika kamu setuju kita menikah selama setahun. Jika kamu tak setuju, aku akan menikah dengan seseorang yang sudah bersedia dengan semua rencanaku." Matt mengangkat bahunya dan bermaksud akan pergi.

"Jika kita menikah apakah aku harus menjalankan kewajiban ku kepadamu sebagai istri?"

"Maksud mu tidur bersama? Maaf, kamu itu bukan tipe ku." Matt tertawa sedikit merendahkan Katalina

"Baiklah. Aku setuju!" Katalina tak punya pilihan lain. Ia juga sebenarnya takut untuk bunuh diri. Apalagi jika harus mengugurkan anak ini.

Matt tersenyum penuh kemenangan. Ia sudah bisa membayangkan bagaimana cemberutnya wajah kakak dan papanya nanti melihat Matt membawa seorang gadis dari kalangan biasa untuk masuk ke keluarga Ciputra. Terlebih lagi, Matt berhasil menikah sebelum usianya genap 28 tahun.

***********

Bagaimana akhirnya pernikahan ini akan terjadi?

Menyusun Rencana

Rumah sepi saat Katalina pulang di tengah malam. Gadis itu yakin kalau paman dan bibinya sedang berada di mansion keluarga Bagaskara. Menjaga mansion itu karena malam ini resepsi pernikahan Okan dan Viona.

Matt mengantar Katalina sampai di depan pintu. Ia berjanji akan menghubungi Katalina beberapa hari lagi.

Ketika memasuki kamarnya, Katalina mengambil kembali surat yang ia tinggalkan untuk paman dan bibinya. Ia membakar surat itu. Surat yang berisi permintaan maaf karena ia berbohong akan pergi ke tempat yang jauh.

Perlahan Katalina membaringkan tubuhnya. Dokter tadi mengatakan kalau dia jangan terlalu banyak bergerak karena kandungannya masih terlalu lemah.

Ingatan Katalina kembali pada kisah manisnya bersama Okan. Pacaran semenjak Katalina duduk di kelas 1 SMA.

"Okan, kenapa sih kamu menyukai aku. Di kota ini pasti banyak gadis cantik."

"Di kota ini memang banyak gadis cantik. Saat aku berada di luar negeri pun, banyak sekali gadis cantik. Namun entah mengapa, saat pertama melihatmu, aku langsung jatuh hati." Okan membelai wajah Katalina. "Kamu memang masih kecil, sayang. Aku janji, akan menunggumu dewasa sampai akhirnya kita bisa memiliki kisah cinta yang indah." Okan yang saat itu sudah berusia 22 tahun, seakan tak mempersoalkan perbedaan usia mereka. Ia bahkan melarang Katalina memanggilnya dengan sebutan kakak.

Waktu itu, Katalina begitu senang saat mendengar pengakuan Okan. Dan pria itu memang tidak macam-macam. Saat mereka ketemu, mereka hanya selalu bergandengan tangan. Okan begitu sabar dengan semua sifat kekanakan Katalina. Sampai akhirnya saat Katalina berusia 17 tahun, Okan meminta ciuman pertamanya.

"Happy birthday, sayang!" kata Okan saat keduanya ketemu di rumah pondok yang baru saja dibeli oleh Okan.

"Terima kasih."

Okan menghadiahkan sebuah kalung emas dengan liontin buah hati.

"Okan, ini sangat indah."

Okan mengusap kepala Katalina saat ia sudah selesai memakaikan kalung itu. Matanya menatap Katalina dengan begitu lembut. Tangannya kini membelai pipi mulus Katalina. "Sayang, aku boleh cium kamu?" tanya Okan. "Aku sudah lama menantikan hal ini."

Katalina tersipu malu. Namun dia akhirnya mengangguk juga. Okan dengan lembut mencium dahinya, turun ke hidungnya, lalu ke pipi kanan dan kirinya, sampai akhirnya ciuman Okan berhenti di bibir Katalina.

Waktu itu Katalina merasakan seluruh tubuhnya bergetar. Ia bahkan tak bisa tidur sepanjang malam karena memikirkan ciuman pertamanya yang begitu romantis. Katalina tak merasakan kalau Okan bersikap tak sopan atau bermaksud mesum padanya. Pria itu hanya memeluknya ketika ciuman itu berakhir.

**********

Tangan Katalina bergetar saat memegang kalung yang masih melingkar di lehernya itu. Ia menarik nya dengan sangat keras sampai kalung itu putus. Katalina merasakan kalau lehernya agak sedikit perih. Pasti ada sedikit goresan di lehernya. Rantai kalung ini adalah jenis rantai yang tak mudah putus. Kelihatannya saja halus namun sangat kuat.

Katalina menyimpan kalung itu di dalam sebuah kotak. Ia akan mengembalikan kalung itu pada Okan jika mereka ketemu.

Dengan cepat, gadis cantik itu menghapus air matanya. "Aku tak akan lagi menangis untuk kalian." kata Katalina sambil memukul dadanya beberapa kali. "Ibu, ayah, aku merindukan kalian."

Pagi harinya, Katalina bangun terlambat. Ia melihat kalau kedua sepupunya sudah pergi ke sekolah. Pamannya pasti sudah mengurus peternakan.

"Nak, kamu sakit?" tanya bibinya saat melihat Katalina yang baru bangun saat jam sudah menunjukan pukul 8 pagi.

"Hanya kelelahan saja, bi."ujar Katalina lalu menuangkan air putih ke dalam gelas untuk ia minum. "Bibi nggak kerja?"

"Ada. Namun sedikit lagi baru pergi. Semua keluarga Bagaskara sedang ke puncak. 3 hari lagi mereka baru kembali."

"Oh..., pengantin barunya sedang bulan madu di mana?" Entah mengapa Katalina tergelitik untuk menanyakan hal itu.

"Hanya ke puncak saja. Karena non Viona katanya mau ujian semester dan karena hamil muda jadi belum diijinkan naik pesawat."

"Oh......!"

"Semalam kamu ke mana? Kata salah satu satpam kamu datang ke pesta. Tapi saat makan malam bibi nggak melihat kamu."

"Aku pulang, bi. Perutku nggak enak."

"Pasti kamu mau datang bulan kan? Selalu seperti itu jika mau datang bulan. Masih punya stok pembalut?"

Wajah Katalina menjadi pucat. Namun ia berusaha bersikap biasa. "Ada bi."

Feni menatap ponakannya. "Nak, sekolah yang baik ya? Usahakan kuliahnya sampai selesai. Jangan salah bergaul apalagi kayak nona Viona. Kalau mereka orang kaya. Jadi nggak masalah mau nikah kayak gitu. Namun kita orang miskin. Sekalipun miskin, bibi ingin pernikahannya lewat jalan yang benar. Ada proses lamaran, ada pesta walaupun kecil-kecilan. Kalau kamu sudah hamil duluan, selain membuat malu keluarga, bagaimana jika lelakinya nggak mau bertanggung jawab?"

Susah payah Katalina berusaha menahan air matanya. Ia hanya mengangguk sambil tersenyum. Seperti biasa jika mendengar nasehat bibinya.

"Ponsel kamu di mana? Semalam bibi telepon tapi kok nggak aktif?"

"Ponsel aku hilang, bi." kata Katalina berbohong. Sebenarnya ponselnya hilang saat ia terjun dari atas jembatan.

"Ya sudah. Nanti kalau bibi punya uang lebih, bibi belikan lagi. Sekarang bibi mau menemui paman mu dulu di kandang, baru setelah itu ke mansion. Kamu sarapan saja Setelah itu istirahat lagi."

Setelah sang bibi pergi, tangis Katalina langsung pecah. Ia memegang perutnya, membayangkan semua yang bibinya katakan tadi. Tentu mereka akan sangat malu saat menemukan Katalina yang bunuh diri dalam keadaan hamil.

Gadis itu bersyukur karena Matt menyelamatkannya.

Tok.....tok....tok.....

Katalina buru-buru menghapus air matanya sebelum akhirnya membuka pintu rumah. Ia terkejut melihat siapa yang berdiri di sana.

"Tuan?"

"Boleh aku masuk?"

"Tapi paman dan bibiku?"

"Tenang saja. Mereka nggak mungkin kembali. Lagian aku sudah agak lama berdiri di depan sini."

"Ha?"

Matt langsung masuk tanpa memperdulikan keterkejutan Katalina. Ia duduk dan memandang seisi rumah ini.

Rumah kecil yang terlihat bersih dan sangat rapi.

"Aku berubah pikiran. Menurut ku sebaiknya jangan 2 minggu lagi kita menikah. Itu akan sangat beresiko saat mereka tahu kehamilanmu."

"Tapi...."

"Nggak ada tapi. Aku mendengar semua yang bibi mu katakan tadi karena aku berdiri tak jauh dari jendela. Aku juga sebenarnya sudah ada rencana untuk tahun depan sehingga melaksanakan pernikahan lebih cepat akan sangat baik dan tak menganggu rencanaku. Bagaimana? Setuju atau tidak? Kamu tak punya waktu untuk memilih."

Katalina memandang pria di hadapannya. Sungguh lelaki ini seorang ditaktor. Apa yang dikatakannya tidak boleh dibantah. Namun mau bagaimana lagi. Katalina juga harus menyelamatkan nama baik paman dan bibinya.

"Baiklah. Tapi, apa yang harus aku katakan. Kuliah ku belum selesai, mungkin mereka tak akan mengijinkannya."

"Soal itu kamu tenang saja. Nanti malam aku akan kembali." Matt langsung pergi dan meninggalkan rumah itu.

Saat malam tiba, Katalina menjadi sangat gelisah. Apalagi saat mereka sudah selesai makan dan Matt belum juga datang.

Bibinya sudah membereskan meja makan saat terdengar ketukan di pintu luar.

Dewa yang berdiri di dekat pintu segera membuka pintu itu. Ia mendongakkan kepalanya menatap pria jangkung yang berdiri di hadapannya.

"Selamat malam, apakah orang tuamu ada?"

Dewa mengangguk. Ia melebarkan daun pintu dan mempersilahkan Matt masuk.

Wajah Katalina langsung menjadi tegang saat melihat Matt.

Feni dan Baron suaminya menatap pria yang kini duduk di ruang tamu. Di lihat dari penampilan pria itu, nampaknya ia bukan pria sembarangan.

"Selamat malam, paman, bibi, perkenalkan nama saya Matthias Erlangga. Saya adalah pacarnya Katalina." Kata Matt dengan begitu manis. Tak ada kesan sombong dan arogan seperti biasa.

"Pacar Lina?" Feni menatap ponakannya yang berdiri diantara batas ruang tamu dan dapur.

Katalina mendekat dengan jantung yang berdetak sangat cepat. Ia kemudian duduk di sebelah Matt dengan mengatur jarak yang agak jauh.

"Paman, bibi, ini memang pacar Lina." kata Katalina setelah mengumpulkan kekuatannya untuk bicara.

"Tapi selama ini kamu nggak pernah cerita ke bibi kalau sudah punya pacar." Feni tahu kalau ponakannya ini tergolong gadis yang cantik. Di peternakan ini, banyak lelaki yang menaruh hati pada Katalina namun selalu gadis itu menolaknya dengan halus karena ia masih ingin sekolah.

"Sebenarnya, kami ketemu dua tahun yang lalu saat Katalina magang di perusahaan sahabatku. Namun waktu itu, kami tak sempat ngobrol banyak sehingga komunikasi yang terjalin pun hanya lewat telepon. Aku harus kembali ke Amerika untuk urusan pekerjaan. Selama 2 tahun ini, kami baru 2 kali ketemu. Dan di pertemuan yang ketiga ini, aku ingin meminta restu dari paman dan bibi untuk melamar Katalina."

"Melamar?" Feni menatap suaminya, lalu kemudian menatap Katalina. "Nak, bukankah kamu selalu mengatakan ingin menyelesaikan kuliahmu dulu? Lagi pula tuan ini siapa? Paman dan bibi belum juga mengenalnya."

"Aku memang selalu mengatakan ingin menyelesaikan kuliah dulu karena ingin menolak semua pria yang mendekati ku. Namun, semua itu ku katakan karena sesungguhnya aku sudah memiliki pacar. Aku mencintai Matt." Katalina akhirnya mengatakan sebuah kebohongan.

"Dan aku juga mencintai Alin." ujar Matt.

"Alin?" Feni mengerutkan dahinya.

"Itu panggilan sayang aku untuk Katalina." Matt pura-pura malu. "Usiaku sudah cukup matang. Aku sudah punya penghasilan yang cukup untuk berumah tangga. Aku tak akan melarang Alin kuliah. Dia bisa menyelesaikan studinya dan bekerja seperti yang dia inginkan. Aku hanya ingin segera menghalalkan hubungan kami agar kami tak jatuh dalam pergaulan yang buruk. Tolong, restui aku." Matt mengatupkan kedua tangannya di depan dadanya. Pandangan matanya penuh permohonan kepada Feni dan Baron.

Baron menatap Katalina. "Nak, pasti sebelum tuan Matt ke sini, kalian sudah bicara. Paman dan bibi tak akan melarang jika memang ini yang kau inginkan juga. Walaupun sebenarnya kami belum siap melepaskan kamu yang baru berusia 20 tahun. Tapi, dari pada kalian jatuh di pergaulan yang salah, maka paman dan bibi akan merestuinya."

Katalina terkejut mendengar perkataan pamannya. Paman Baron memang tak banyak bicara. Orangnya cenderung pendiam.

"Lusa, aku dan orang tuaku akan datang ke sini melamar Alin secara resmi." Matt mengeluarkan sebuah amplop berwarna coklat dari dalam saku celananya. "Maaf, bukannya saya lancang. Ini ada uang sedikit untuk persiapan acara lamaran nanti. Buatlah semuanya bagus. Agar orang-orang di peternakan ini tak akan merendahkan Alin. Aku permisi dulu."

Katalina mengantarkan Matt sampai di depan pintu. Matt memberikan sebuah ponsel keluaran terbaru kepadanya. "Nanti aku hubungi." katanya dengan tatapan dingin lalu segera pergi dengan mobil mewahnya.

**********

Apa yang akan terjadi saat Katalina tahu kalau Matt adalah pamannya Viona?

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!