NovelToon NovelToon

The Queen's Secret

Prolog

...----------------...

...'Mencintaimu adalah penyesalan terbesar dalam hidupku... '...

^^^~ Asha Pervaz^^^

...'Hal terbodoh dalam hidupku adalah menyia-nyiakan cintamu...'...

^^^~ Carlisle Haven^^^

...****************...

'CKIIITTTT..... BRAAAKKK!!!'

"Ashaaa!!!" Carlisle berteriak. Jantungnya seakan berhenti berdetak begitu melihat sebuah mobil yang melaju kencang menabrak tubuh tunangannya hingga terpental ke belakang. Pria itu berlari menuju tubuh seorang wanita yang kini tergeletak di tengah aspal dengan genangan darah di sekitarnya.

"Ti– tidak!, Ashaaa!!! Buka matamu!", Carlisle panik, dia dengan gemetar meletakkan kepala wanita itu di paha nya hingga darah dari kepala wanita itu membasahi baju dan celananya. Carlisle tak perduli jika bajunya kini telah kotor, dengan tangan gemetar dia mengusap pipi gadis di pangkuannya yang ternoda oleh darah. Air matanya merebak.

Perlahan kelopak mata wanita itu terbuka, begitu berat dan sakit, bahkan pandanganya buram karena darah menghalangi pandangannya, dia meringis sakit. Sedangkan Carl berseru senang, melihat wanita di pangkuannya itu membuka kelopak matanya membuatnya merasa lega, Carl bahkan tidak sadar bahwa air matanya telah mengalir melewati kedua pipinya.

"Ada apa ini?"

"Sepertinya ada kecelakaan!"

"Korbannya seorang wanita!"

"Tabrak lari!"

"Apakah sudah ada yang menghubungi 112?"

"Bukankah kecelakaan lalu lintas itu 122?"

"Kenapa kalian berisik sekali?! Hubungi saja keduanya! Korbannya terluka parah!"

'Cekrek!'

'Cekrek!!'

'Bilizzz!!!'

"Hei! Tidak bisakah kalian berhenti memotret?! Korban harus segera ditangani atau dia akan meninggal!"

"Sudah! Saya sudah menghubungi 112?"

"Benar! Saya juga sudah menghubungi 122! Ambulans sedang dalam perjalanan kesini!"

"Tolong jangan merapat! kasih udara untuk korban!"

Suara berisik itu terdengar. saat ini beberapa orang telah berkerumun di sekitar Carlisle. Carlisle sendiri tidak perduli. Jantungnya berdetak cepat saat darah dari Kepala tunangannya yang kini berada di pangkuannya tidak berhenti mengalir.

"Hiks... Tolong tetap buka matamu... Asha..", Carlisle meratap pilu, dengan tangan gemetar dia mengusap darah yang mengalir di wajah tunangannya. Perasaan takut menyeruak di dalam dirinya.

'Wiu.... Wiu... Wiu.... Wiu....'

Suara sirene ambulance terdengar. Kerumunan orang yang ada disekitar melebar, membuka jalan bagi ambulance untuk mendekat.

Ambulance berhenti. Carlisle memejamkan matanya saat silau dari sinar sorot mobil ambulance menyorotnya. Beberapa paramedis keluar dengan tergesa dari dalam mobil ambulance sambil mendorong brangkar khusus. sedangkan dua orang lagi sudah berada di samping Carlisle, berusaha memberi pertolongan pertama untuk korban.

"Bisakah anda menyingkir sebentar? kami hendak memberikan pertolongan darurat kepada korban", Carlisle tersentak. Dia menatap sendu dua orang paramedis yang ada di depannya. air matanya mengalir.

"Sa... Saya tunangannya.... tidak bisakah saya tetap disini?", Carlisle memohon. Dia meratap sendu kepada dua orang paramedis yang ada di depannya. dua orang paramedis yang ada di depannya menggeleng perlahan, mereka tidak bisa melakukan pertolongan pertama jika pria itu masih bersikukuh memeluk tubuh korban.

"Tolong Tuan... Kami tidak punya banyak waktu atau korban tidak bisa diselamatkan!".

Carlisle tersentak. Otaknya terasa kosong sesaat, dia lupa jika yang terpenting saat ini adalah keselamatan wanita di pelukannya saat ini.

Akhirnya, dengan berat hati, Carlisle kembali menaruh kepala tunangannya dengan perlahan dan membiarkan 2 orang paramedis melakukan pertolongan darurat. Begitu 2 orang paramedis selesai membalut pendarahan korban, mereka ditambah orang paramedis lagi yang datang membawa brangkar mengangkat tubuh korban secara perlahan ke atas brangkar dan mengangkatnya masuk kedalam mobil ambulance. Carlisle tidak mau kalah, dia ikut berlari dibelakang mereka dan ikut masuk ke dalam mobil ambulance. Pihak paramedis tidak melarang, mengingat pria itu mengatakan bahwa dirinya adalah tunangan dari korban, jadi secara otomatis pria itu adalah wali korban.

"Ma..maaf... Hiks... Maaf... Maafkan aku...", Carlisle meratap. Dia memegang erat tangan kanan tunangannya yang berlumur darah. Air matanya mengalir melewati kedua pipinya. Perasaan takut dan sesak membuncah di dalam hatinya. Perasaan bersalah, menyesal dan takut bercampur menjadi satu.

Carlisle tidak pernah menyangka, bahwa di detik ini, dia baru menyadari bahwa selama ini dirinya ternyata mencintai tunangannya ini. Carlisle baru menyadari bahwa hatinya telah jatuh untuk sosok wanita yang kini terkapar di atas brangkar di dalam ambulance yang tengah melaju cepat. Perasaan yang tidak pernah di sadarinya selama ini... detik ini juga membuncah di dalam dadanya, membuatnya merasa sesak.

"Se...begituh... Benci kah... kau... Padaku... Hingga... Ingin aku... Ma...ti?"

Deg!

Carlisle tersentak. Dia menatap lekat wajah tunangannya yang penuh bekas noda darah. Kelopak mata wanita itu sedikit terbuka, raut wajahnya jelas menyiratkan kesakitan yang kentara.

Carlisle menggeleng kuat, dia menggenggam erat tangan tangan tunangannya yang dipenuhi noda darah. Air matanya mengalir deras, "Ti... Tidak... hiks... Aku... Tidak bermaksud... hiks...".

Carlisle terisak, dia mengecupi punggung tangan tunangannya yang bernoda darah berulang kali, "A.. aku... hiks... Tidak ... Sengaja..."

Asha Pervaz terkekeh miris ditengah rasa sakitnya begitu melihat pria itu menangis. kepalanya sangat sakit, pandangannya memburam dan tubuhnya seolah mati rasa. Dia hanya tidak menyangka pria arogan itu akan menangisinya saat ini. Bukankah harusnya pria itu bahagia jika dirinya mati? toh sejak awal, pria itu memang ingin menyingkirkan Asha dari hidupnya.

Asha menatap kosong kedepan, pandangannya semakin memburam, nafasnya kian sesak, dengan susah payah dia berusaha menggerakkan bibirnya, "Bukankah... Kau... Senang... Aku... Ak..hirnya... pergi... dari... Hidupmu... Se...lamanya..."

"TIDAK!!! Tidak Asha! A...aku tidak senang... Hiks.....", Carlisle berseru panik. Air matanya semakin mengalir deras. Dia menggeleng ribut.

Tidak mau! Carl tidak ingin kehilangan wanita di depannya ini setelah mengetahui bahwa ternyata selama ini dia mencintainya...

Asha lagi-lagi tertawa miris. Dia meringis merasakan rasa sakit yang semakin meningkat. Pandangannya mendadak gelap, padahal Asha masih membuka kelopak matanya, nafasnya jika semakin berat. Aahh... Sepertinya dia memang harus pergi dari dunia ini sekarang....

Meninggalkan keluarganya...

Meninggalkan teman-temannya...

Juga meninggalkan pria yang kini menangis di sisinya ini....

Baguslah... toh itu memang harapan pria ini kan? Hanya saja....

"A...Aku... Tidak... Akan... pernah memaafkanmu...", Asha berucap susah payah. Hanya suara isakan yang semakin keras yang bisa dirinya dengar saat ini. Pandangan matanya sudah gelap.

"A...aku salah... Aku memang salah! Tapi aku mohon bertahan hiks..."

Asha tersenyum lembut, dia tau waktunya sebentar lagi tiba, "A...aku menyesal mencintaimu Carl... A..aku... Membencimu...", Akhirnya Asha berhasil mengucapkannya dengan susah payah bersamaan dengan hembusan nafas terakhirnya. Matanya terpejam, kepalanya terkulai. Asha akhirnya benar-benar pergi untuk selamanya....

"TIDAAAAKKKK!!!! ASHAAAAA!!!!! HIKSS.... HU...HU...HU.... JANGAN TINGGALKAN AKU ASHAAAA!!!!!"

Carlisle meraung kuat. Dia bahkan bangkit dari duduknya dan mencoba menepuk-nepuk pipi tunangannya. Air matanya mengalir deras, wajahnya memerah, jantungnya berdetak cepat.

3 orang paramedis yang berada di dalam mobil ambulance dengan cepat berusaha menangani korban, mereka melakukan apapun untuk mengembalikan detak jantung korban, sayangnya... Asha memang telah pergi untuk selamanya.

Carlisle kembali berteriak kuat begitu paramedis menggelengkan kepalanya. Dia kembali mendekati tubuh tunangannya dan menggoyangkannya kuat, "Ti..tidak Asha! BUKA MATAMU ASHA! MAAFKAN AKU!! JANGN TINGGALKAN AKU HIKS...HUHUHU...."

Para medis yang berada di dalam ambulance berusaha menenangkan Carlisle namun Carlisle menolak, dia merengkuh tubuh tunangannya sambil menangis hebat disana. Akhirnya paramedis menyerah. Membiarkan pria itu mengungkapkan perasaannya kehilangannya.

"Kenapa hiks... Kenapa kau tinggalkan aku hiks Ashaaa.... Aku... Hiks... Aku mencintaimu....", Menyesal. Carlisle sungguh menyesal. Kenapa? Kenapa penyesalan selalu datang terlambat? dirinya bahkan tidak bisa mengungkapkan perasaannya yang sesungguhnya bahwa dia mencintai Asha...

Sakit... Perasaan ini....

Sungguh menyakitkan....

...****************...

Main Character

Nama: Carlisle Haven

Pekerjaan: CEO perusahaan parfum

Umur: 25 tahun

Karakteristik: Bad boy, Angkuh, Sombong, semena-mena, Labil, Cengeng.

Kelebihan: Naif!

Nama: Asha Pervaz

Pekerjaan: Guru TK

Umur: 25 Tahun

Karakteristik: Lembut, penyayang, Baik, Sabar, kalem, Dominan.

Kelebihan: Sabar dalam mengahadapi ke kenakalan dan kelabilan tunangannya.

......................

Untuk sementara, karakternya ini dulu ya... Visual ini hanya untuk contoh saja, tidak memaksa. Karena setiap pembaca pasti punya imajinasi yang berbeda-beda...

...*** To Be Continued ***...

Depresi

...----------------...

...'Sampai kapan pun, aku tidak akan pernah menerima perjodohan ini!'...

^^^~ Carlisle Haven^^^

...'Tidak ada alasan bagiku menolak perjodohan ini'...

^^^~ Asha Pervaz^^^

...****************...

*FLASHBACK ON*

'BRAKK!!!'

"Aku menolak perjodohan ini!!!"

Carlisle menggebrak meja makan dengan keras. Wajahnya memerah menahan emosi. Semua orang yang berada di meja makan terlonjak kaget, bahkan nyonya Seraphina sampai tersedak makanan dan terbatuk-batuk, suaminya Tuan Davis dengan cekatan memberikan segelas air minum kepada istrinya. Adiknya, Lian menatapnya dengan kening berkerut.

"Carl! apa-apaan kamu?! Sangat tidak sopan!" Tuan Davis, papa Carlisle murka. Wajahnya memerah dengan urat-urat yang tampak menonjol di lehernya, tangan kanannya masih menepuk-nepuk lembut punggung istrinya yang tersedak.

Carlisle tersentak kaget begitu mendengar bentakan papanya. Iris abunya bergetar dan berkaca-kaca, dia menundukkan kepalanya takut, "Ta... Tapi Carl ga mau di jodohin pa... Carl masih kuliah. Masih 20 tahun."

"Siapa yang menyuruhmu menikah sekarang?! Aku hanya menyuruhmu bertunangan! kalian bisa menikah saat kau siap nanti!" Tuan Davis emosi. Dia bangkit dari kursinya dan menatap tajam putranya.

Carlisle menggeleng kuat. Tidak! Dia tidak mau. sekarang atau nanti, dia tidak mau menikah dengan pilihan keluarganya! Dia tidak mau dijodohkan!

"Tidak mau! Carl tidak mau!"

"Kau–"

Ucapan tuan Davis terpotong ketika lengannya di usap lembut oleh istrinya, dia mengalihkan atensinya pada istrinya, "Sudah. Sayang... Jangan emosi."

Carlisle yang menatap pemandangan itu membuat hatinya terasa nyeri, seolah di iris dengan pisau berkarat, begitu sakit dan perih.

"Pasti wanita itu-kan pa? Pasti wanita itu yang memaksa papa untuk menjodohkan Carl?" Suara Carlisle bergetar. Dia menatap papanya dengan sorot terluka, air matanya meleleh.

"Carlisle Kau!" Tuan Davis berteriak. Carlisle sudah berlari pergi dari hadapannya, "Dasar anak tau tau diri!" Tuan Davis lanjut berteriak dengan emosi. Disampingnya, nyonya Seraphina, istrinya berusaha meredakan amarahnya. Tuan Davis memijat keningnya frustasi. Sudah hampir 7 tahun dirinya menikah dengan Seraphina setelah kematian ibu Carl, tapi putranya itu masih belum bisa menerima Seraphina sebagai ibunya. Davis sungguh tidak tahu harus berbuat apalagi untuk putra keras kepalanya itu.

...****************...

"Eh, lu udah dengar ga bro? Katanya ada mahasiswi pindahan ke fakultas kita!" Erlang berceloteh semangat. Dia membalikan tubuhnya menghadap meja Carlisle yang ada di belakangnya. Carl hanya merotasikan iris abunya malas. Tidak tertarik sama sekali. Sebodoh amat dengan mahasiswa baru, itu tidak ada hubungannya dengannya.

"Hoi Carl? Lu denger gue gak?" Erlang menepuk-nepuk pundak Carlisle sebal, Carl menampik tangan pria itu tak kalah sebal.

"Apaan sih!" Carlisle menatap tajam Erlang, merasa ketenangannya di ganggu. Temannya ini, walau dia laki-laki tapi sangat hobi bergosip seperti para cewek saja, "Lagian apa yang menarik dari mahasiswa pindahan?"

Mampus! Carlisle lupa dia telah memancing hal yang 'tidak seharusnya' dia katakan. Lihat saja sorot temannya itu yang kini berbinar cerah, siap bergosip ria.

"Oh... Jelas menarik bro... Yang ini berbeda. Selain pindah jurusan di semester 5, dia ternyata pindahan dari jurusan Farmasi! Farmasi bro! Gila aja anak farmasi masuk ke jurusan manajemen bisnis!"

"Ohh..." Masih sama seperti tadi, Carlisle hanya membalas tidak berminat. Yah, mungkin mahasiswa itu keren, pindah jurusan di semester 5 dengan jurusan yang bertolak belakang dari jurusan awalnya. Atau mungkin.... Mahasiswa itu... Gila? Apapun itu, tidak ada hubungannya dengan Carlisle.

"Dan lu tau bro... Apa yang bikin heboh?" Erlang masih semangat bergosip, dia bahkan menumpukan dagunya di atas kedua telapak tangannya, "Dia sangat cantik bro!!!" Erlang berseru antusias. Carlisle hanya mengangguk malas. Biarkan saja temannya itu berceloteh, nanti kalau udah capek juga berhenti sendiri.

Saat itu, Carlisle memang belum tau bahwa gosip yang dibawakan temannya ternyata berkaitan denganya, sangat erat.

...****************...

"Kenapa lu duduk di belakang gue? Apa ga ada tempat duduk yang lain? gue nggak suka ada cewek yang deket-deket gue!" Alis Carlisle menukik tajam begitu melihat seorang cewek duduk di belakangnya. Tidak hanya duduk, cewek itu juga mencolek-colek pundaknya dari belakang. Carlisle sungguh merasa terganggu.

Beberapa teman sejurusan menatap sang cewek ngeri. Semua teman Carlisle juga tau kalau cowok itu tidak terlalu menyukai wanita. Sial sekali memang nasib cewek mahasiswa pindahan ini, mungkin karena dia baru, jadi cewek itu belum tau karakter Carlisle. Ya, cewek yang saat ini duduk di belakang Carlisle adalah mahasiswa pindah jurusan yang sedang menjadi trending topik di fakultas Manajemen Bisnis.

"Kenapa ga boleh deket-deket?" Cewek itu mengerjap polos, dia melanjutkan ucapannya yang membuat speechless semua mahasiswa di kelas itu, "Lagipula kamu tunangan aku"

Wowww!

Semua mahasiswa yang ada di dalam kelas berseru heboh dengan kenyataan yang baru saja mereka dengar. Beberapa teman dekat Carlisle bahkan me-melototinya meminta penjelasan lewat isyarat mata, termasuk Erlang yang tak kalah heboh.

"Apa maksudmu?!" Carlisle berdiri, menolehkan wajahnya ke belakang dan mendelik. Apa-apaan cewek ini? Bagaimana bisa cewek itu membuat kebohongan seperti ini? Carlisle bahkan tidak mengenalnya!

Cewek itu berdiri, dia memiringkan kepalanya bingung, "Jangan bilang kamu belum tau?" Carlisle hanya mendelik tajam, menatap tak suka cewek datar di depannya.

"Ah, baiklah kalau begitu." Cewek itu tersenyum tipis, mengulurkan tangan kanannya pada Carlisle, "Kenalin, Aku Asha Pervaz. Om Davis bilang, kita bertunangan."

Berbeda dengan semua mahasiswa jurusan Manajemen Bisnis yang kini bersorak heboh, Carlisle berdiri mematung. Matanya melebar tak percaya dengan iris abunya yang bergetar. Carlisle speechless. Otaknya masih belum bisa menerima hal yang begitu mengejutkan baginya.

Dan itu menjadi awal pertemuan keduanya... Di mana kisah mereka bermula...

*FLASHBACK OFF*

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Ruangan itu berantakan, gelap, tidak ada secercah cahaya meskipun diluar matahari sedang terik-teriknya. Di sudut ruangan, tampak sesosok pria berusia 26 tahunan yang tengah duduk meringkuk dengan memeluk kedua lututnya erat. Rambutnya panjang sepunggung tidak terawat, wajahnya pucat dengan bibir pecah-pecah dan pipi tirus , sorot matanya tampak buram dan kosong. Tidak ada semangat hidup yang terpancar dari sorot abu yang dulunya berkilat penuh antusias.

"A–Ashaaa..." Pria itu, Carlisle Haven berucap dengan bibir bergetar. Tangannya meraih udara kosong di depannya. Dalam pandangan Carlisle, Asha tampak menatap datar di depannya.

Ya, setelah setahun Asha Pervaz dinyatakan meninggal di dalam ambulance yang sedang melaju cepat menuju rumah sakit, Carl histeris. Dia tak berhenti meraung dan menyalahkan dirinya sendiri atas kematian tunangannya. Hatinya hancur tercabik-cabik mengetahui bahwa Asha telah meninggalkannya disaat dia akhirnya menyadari perasaannya.

Menyesal?

Tentu saja Carl menyesal luar biasa.

Perasaan bersalah dan menyesal menggerogoti hati dan jiwanya, membuatnya tercebur dalam kubangan rasa bersalah dan rasa sakit tak terperi yang tidak tau dimana ujungnya. Perasaan sakit dan menyesal terus membelenggunya, setiap saat dan setiap detiknya. Bahkan ucapan terakhir tunangannya di detik-detik kematiannya seolah menjadi kutukan yang terus berputar berulangkali di dalam kepalanya tanpa jeda sedetik-pun. Membuat Carl seolah terjebak di dalam lingkaran setan tak berujung. Mengoyak tubuh dan jiwanya tanpa ampun!

Carlisle depresi. Dokter memvonis bahwa pria itu mengalami Skizofrenia dan PTSD tingkat lanjut. Orangtuanya bahkan sudah mengundang psikiater ahli dari berbagai negara untuk menyembuhkan putra sulung mereka, namun nihil, semua psikiater menyerah. Sehebat apapun psikiater dan terapi yang telah digunakan, jika orangnya saja tidak menginginkan kesembuhan, bagaimana psikiater hebat bisa menyembuhkannya?

Tidak hanya para dokter yang menyerah. Bahkan keluarga Haven sudah menyerah atas putra sulung mereka. Yah, tak masalah, setidaknya, mereka masih punya putra kedua untuk mewarisi perusahaan keluarga mereka...

...***To Be Continued***...

Hancur Lebur

...----------------...

"Kenapa penyesalan selalu datang terlambat?"

^^^~Carlisle Haven^^^

"Tidak ada gunanya penyesalan saat segalanya sudah terlambat."

^^^~Asha Pervaz^^^

...****************...

***FLASHBACK ON***

"Aku dengar, kemarin kamu balapan liar lagi?"

Asha memegang lembut pergelangan tangan Carl bagitu lelaki itu lewat di depannya. Sejak Asha beralih jurusan di kelas yang sama dengan Carl, pria itu menjadi lebih sering bolos kuliah.

Carlisle memicingkan matanya menatap pergelangan tangannya yang dicekal gadis di depannya, dengan keras Carlisle menghempaskan cekalan gadis itu dari pergelangan tangannya.

"Berisik! Siapa elo?!"

Asha berkedip ketika pria itu membentaknya dan berbalik pergi dari hadapannya.

Tidak bisa begini! Asha tidak akan membiarkan pria itu pergi begitu saja.

"Tunggu!"

Asha berlari. Menghembuskan nafas lega ketika dirinya berhasil menghadang laju pria itu. Asha merentangkan dua tangannya agar Carl tidak bisa kabur dari hadapannya. Dia menatap lekat pria yang sudah menjadi tunangannya itu.

"Kamu tanya siapa aku?" Asha bertanya, dengan kalem dia melanjutkan kalimatnya, "tentu saja aku tunanganmu."

Carl terperangah mendengar jawaban kalem gadis di depannya.

Sial! Bagaimana bisa dirinya terjebak dengan gadis bebal macam ini?!

...****************...

"Bro! Lu udah ngerjain tugas belum?"

"Hah? Tugas apa?"

Carl berkedip. Iris abunya melebar sempurna begitu menyadari bahwa hari ini ada resume harus di kumpulkan.

"Sial!"

Erlang terkekeh geli, iris kelamnya menyorot Carl mengejek. "Mampus, suruh siapa lu balapan nggak ngajak-ngajak. Rasain noh..."

"Sialan lo emang!" Carl menarik kerah baju Erlang. Apa-apaan temannya ini? Masa hanya gara-gara nggak dirinya ajak balapan semalam dia nggak ngasih tau dirinya kalau hari ini ada tugas? Teman macam apa itu?

Sedangkan Erlang, korban yang kerah bajunya tengah di tarik oleh Carl malah tertawa puas. Dia benar-benar puas melihat raut wajah kesal temanya. Apakah dia tidak marah diperlakukan seperti ini oleh Carl?

Jawabannya tidak. Tidak sama sekali. Erlang sudah terbiasa dengan sifat temannya yang satu ini. Justru, semakin Carl emosi, Erlang semakin puas melihatnya.

Melihat temannya yang tidak takut tapi malah tertawa puas, Carl mendecih. Melepaskan cengkraman tangannya dari kerah baju Erlang, dia merapikan posisi duduknya. Mengambil iPad dari dalam tasnya dan mulai membuka kuncinya. Carl tidak punya banyak waktu lagi. Dua puluh menit lagi, dosen akan segera masuk kelas.

"Carl?"

Jari Carl yang tengah menyentuh layar iPadnya terhenti begitu sebuah suara memanggil namanya. Carlisle menghela nafas, lanjut menggeser iPadnya, membaca jurnal yang harus dirinya resume secepatnya. Tanpa mendongakkan wajahnya-pun Carl tau siapa yang memanggilnya. Suara yang sudah familier di telinganya. Suara yang sudah mengganggunya beberapa minggu ini.

Asha— gadis yang memanggil Carl— menghela nafas pasrah. Sudah biasa. Dirinya sudah terbiasa diabaikan oleh pria itu. Bahkan tadi, saat mereka bertemu di depan fakultas seni— fakultas yang harus anak fakultas bisnis lewati jika mereka ingin menuju ke fakultas mereka— Carl benar-benar menolaknya. Meskipun status mereka adalah tunangan, Asha memaklumi sikap Carl yang seperti itu padanya. Bagaimanapun juga, pertunangan ini adalah perjodohan, jadi wajar jika pria itu membencinya.

"Ah, kamu lagi baca file buat tugas resume ya?" Asha membungkuk, melihat apa yang Carl lakukan dengan iPadnya.

Carl berjengit, dia refleks menjauhkan tubuhnya begitu hembusan nafas gadis menerpa telinganya.

"LO!" Carl melotot, wajahnya memerah hingga telinganya. "LO GILA YA?! KENAPA LO NGOMONG SEDEKAT ITU?!"

Hening...

Satu kelas yang awalnya sedikit berisik mendadak hening begitu mendengar teriakan kencang Carl, pria arogan, menyebalkan yang mendapatkan julukan 'gila' oleh mahasiswa fakultas bisnis. Semua atensi kini teralih pada pria itu.

Sedangkan Asha sendiri kini memiringkan kepalanya bingung. Dia sendiri tidak tau kenapa Carl bereaksi seperti itu.

Tapi...

Melihat bagaimana pria itu mengusap-usap telinganya kasar dengan raut wajah yang memerah membuat Asha sedikit melengkungkan bibirnya. Sangat tipis hingga tidak ada yang menyadarinya. "Lucu," gumamnya pelan.

Carlisle memang pria arogan yang menyebalkan, tapi di mata Asha, Carl itu lucu. Menggemaskan sekali. Sikapnya yang ganas terkadang malah terlihat seperti kucing yang tengah berkelahi, dengan bulu-bulunya yang menegak sempurna.

Asha meraih bangkunya dan menariknya maju, menempelkannya di samping meja pria itu. Carl melotot, karena posisinya tengah berdiri menjauh dari mejanya, jadi dia tidak sempat mencegah Asha menempelkan meja mereka.

"MAU APA LO?!" Carl berteriak dari tempatnya berdiri. Dia masih belum berani mendekat. Hanya saja, rona merah di wajahnya berangsur angsur menghilang.

Asha tidak menjawab, meraih iPad pria itu yang masih tergeletak di atas mejanya, dia memberikan garis warna merah di bagian-bagian tertentu dengan cepat. 

Setelah melakukannya, Asha berdiri, melangkah mendekati Carl dan menarik pergelangan tangan pria itu, membawanya duduk kembali ke bangkunya. Carl yang tampak masih linglung menurut saja saat Asha menarik pergelangan tangannya.

"HE–HEI!" Carl berkedip begitu mulai menyadari apa yang terjadi. "A– Apa-apaan ini?"

"Duduk." Alih-alih menjawab, Asha malah memerintahkan agar pria itu duduk di bangkunya. "Aku sudah memberikan garis di setiap point penting yang ada di jurnalnya."

"Si– siapa yang minta bantuan lo?!"

Gengsi.

Semua mahasiswa yang ada di dalam kelas itu refleks mendecih. Sudah terlalu hafal dengan sifat Carl yang satu ini juga. Selain arogan dan gila, Carl juga memiliki gengsi setinggi langit.

Asha duduk di bangkunya yang kini berada tepat di samping meja Carl. Menatap pria itu datar, mengendikkan bahunya. "Yaudah kalau nggak mau aku bisa hapus saja. Ah, sebentar lagi dosennya akan datang."

Carl kicep. Tanpa lihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya juga dia tau bahwa dosen akan masuk sebentar lagi. Jadi, dengan cepat, dia menarik kembali iPadnya dan mulai membuka Microsoft word di iPadnya. Karena Asha sudah memberikan garis di point penting yang ada di jurnal, Carl jadi tidak perlu lagi membuang-buang waktu untuk membaca jurnal hanya untuk mencari point pentingnya. Kini, dia hanya perlu fokus untuk mulai menuliskan resumenya.

"Gue nggak akan bilang makasih." Carl membuka suara tanpa menoleh ke arah Asha yang ada di sampingnya. Iris abunya dan tangannya fokus mengerjakan resumenya. "Lo sendiri yang inisiatif. Gue ngga minta, jadi gue nggak akan bilang makasih."

Asha menoleh, mengulas senyum tipis. Dia mengangguk. "Hm, nggak masalah."

Senyum Asha semakin lebar melihat pria di sampingnya yang kini fokus mengerjakan tugasnya. Rasanya... Asha ingin sekali menepuk-nepuk pucuk kepala pria itu. Mengelus rambutnya yang terlihat menggemaskan. Tapi Asha sadar diri. Dia tidak mungkin melakukan hal itu.

Asha merenung. Iris kelamnya menerawang...

Kira-kira... Kapan ya, dia bisa menyentuh kepala Carl?

Asha menggeleng kecil. Menghela nafas.

Tidak... Tidak...

Tidak perlu memegang rambut Carl. Bisa duduk bersebelahan seperti ini saja sudah suatu kemajuan.

Senyum tipis kembali terulas di bibir Asha. Gadis itu mengangguk.

Ya, semua itu butuh proses. Tidak perlu terburu-buru. Asha akan menantinya dengan sabar. Dia yakin, bahwa dia bisa meluluhkan hati pria itu seiring berjalannya waktu.

Asha sudah membulatkan tekad.

Hanya saja... Saat itu, Asha tidak pernah menyadari, bahwa keputusannya mencintai pria itu akan menjadi penyesan terbesar dalam hidupnya.

***FLASHBACK OFF***

"A... Ashaa..."

Suara serak sarat putus asa kembali bergema di dalam kamar gelap yang tampak berantakan. Carl— Pria dengan rambut panjang kusut yang merupakan pemilik kamar kembali terisak. Tubuhnya yang ringkih terlihat bergetar, meringkuk di samping ranjangnya.

"Hiks... Asha... Maaf... Hiks... A... Aku salah... Hiks... Tolongh... Kembali.. Hiks..."

Hancur...

Sejak kematian Asha, Carlisle benar-benar hancur.

Hidupnya kini hanya sekedar mengurung diri di kamar yang gelap. Menangis, dan terus menyalahkan dirinya sendiri.

Carlisle bahkan menolak makan. Orangtuanya sampai harus mengundang dokter pribadi untuk menyuntikkan vitamin agar putra mereka tetap hidup. Sesekali, Carlisle akan jatuh tertidur. Tapi, meskipun Carlisle tertidur, dia terus berteriak dalam tidurnya.

Mengalami mimpi buruk setiap saat nya. Mimpi di mana Asha meregang nyawa tepat di hadapannya. Mimpi di mana dia benar-benar membunuh Asha dan mimpi di mana Asha mengatakan bahwa wanita itu membencinya. Mimpi buruk yang terus terulang setiap detiknya.

Tidak hanya depresi. Carl sudah rusak. Fisik dan mentalnya sudah benar–benar tidak bisa tertolong lagi.

"Hiks... Apa... Apa yang harus aku lakukan Asha...?" Air mata Carlisle jatuh semakin deras.

"Apaa.. Yang harus aku... Lakukan hiks untuk menebus... Hiks... kesalahanku?"

Perih...

Karena bibirnya yang kering dan pecah-pecah, rasanya... Bahkan untuk mengucapakan sesuatu terasa menyakitkan. Tidak hanya bibirnya yang perih, tenggorokannya yang kering juga terasa sakit luar biasa.

"Hiks... Haruskah... Aku mengakhiri... Hidupku untuk menebus kesalahanku?"

...***To Be Continued***...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!