Sudah hampir satu bulan wilayah bagian selatan mengalami cuaca ekstrim. Terkadang hujan lebat dan sewaktu-waktu panas terik yang menyengat.
Tak terkecuali di desa kecil yang terletak jauh dari perkotaan. Bahkan membutuhkan waktu 4 jam dengan menggunakan kendaraan besar/truk yang biasa digunakan untuk mengangkut sayur, karena jarang sekali kendaraan umum yang menunggu penumpang di ujung desa.
Tidak banyak warga desa yang memiliki kendaraan pribadi, jika motor mungkin 60% warga punya, namun jika mobil hanya segelintir saja bahkan bisa dihitung jari.
Biasanya hanya beberapa armada yang memang sudah biasa digunakan warga, itupun dengan harga yang cukup fantastis.
Jangan tanya yang menggunakan jalur udara. Hanya penguasa bisnis mancanegara yang tak lain bos dari saudagar kaya di desa ini, beliau akan sesekali datang menggunakan helikopter.
...----------------...
Hari itu ada berita besar yang menyebar ke seluruh desa. Pasalnya beberapa orang yang baru saja akan mengambil kayu bakar di hutan mendengar suara menggelegar dari dalam hutan.
Duarrr...
“Suara apa itu!?” kaget salah seorang warga.
“Ayo kita lihat ke dalam hutan! Suaranya berasal dari sana,” balas warga lainnya.
Mereka bergegas masuk ke dalam hutan dan mencari sumber suara. Di perjalanan mereka juga kembali mendengar suara ledakan, walaupun tidak sekeras ledakan pertama.
“Di sana ada kobaran api!” teriak satu dari 4 orang warga itu.
“Salah seorang dari kita harus memberi kabar pada Kepala Desa. Sisanya tetap di sini, siapa tahu ada yang selamat,” komando salah satu yang lebih tua diantara ke empatnya.
“Biar saya yang memberitahu Kepala Desa!” dan langsung berlari menuju balai desa yang ada di dekat perbatasan wilayah.
Mereka berkeliling tidak jauh dari bangkai helikopter.
Tidak lama dari itu para warga desa mulai berdatangan ke lokasi terjatuhnya helikopter.
“Bagaimana? Apa kalin menemukan korban?” tanya Kepala desa.
“Sejauh ini kami belum menemukan korban Pak. Kami baru berkeliling sekitar tempat ini saja,” ucap salah seorang dari tiga warga.
“Baiklah! Berhubung warga sudah berkumpul, kita bisa berpencar di sekeliling hutan. Jangan lupa kita susuri sungai yang tidak jauh dari sini,” komando Kepala desa pada para warganya.
Serentak mereka mengiyakan dan mulai menelusuri sekitar hutan sesuai dengan perintah Kepala desa.
Para warga terbagi dalam beberapa kelompok. Beberapa sudah kembali menyusuri area dekat lokasi, ada juga yang mulai menyusuri area hutan lebih dalam dekat dengan aliran sungai.
“Pak Kades di sini ada satu korban!” teriak warga yang menemukan seorang pria menggunakan baju seragam penerbangan di area yang cukup banyak bebatuan.
“Apa tenaga medis sudah datang?!” tanya Kepala desa.
“Belum Pak. Sepertinya masih ada pasien di puskesmas,” ucap bawahan Kepala desa.
“Tolong jemput dengan motor, sekalian bawa ambulans desa.” perintah Kades yang dengan segera dilakukan oleh bawahannya.
Pencarian masih terus dilakukan, karena mereka juga tidak tahu ada berapa penumpang helikopter yang terjatuh.
Belum lagi sulitnya jaringan komunikasi akibat cuaca serta keterbatasan jaringan di desa itu sendiri membuat berita ini tidak tersiarkan pada masyarakat luas. Padahal di zaman sekarang teknologi sedang berkembang pesat.
“Bu Dokter sudah di sini!” teriak seorang warga yang melihat bawahan kades sudah kembali dari puskesmas bersama satu-satunya Dokter dari pemerintah untuk desa mereka.
“Apa sudah ada yang memeriksa jalur nafas korban?” tanya Dokter itu langsung pada mereka yang sedang berkumpul.
“Belum Bu. Kami takut menyentuhnya, karena jika korban tidak selamat kami harus membawanya ke kota untuk di otopsi,” jawab warga lain dan di angguki yang lainnya.
“Baik saya mengerti.” Ucap Dokter itu dan langsung memeriksa keadaan korban.
Tapi sekilas melihat korbanpun Dokter itu sudah bisa menyimpulkan bahwa sang korban sudah tidak bernyawa lagi.
Dilihat dari tempat terjatuhnya serta ceceran darah dan tidak adanya pergerakan nafas sudah bisa dijadikan diagnosis.
“Apa ambulans sudah di bawa?” tanya Dokter sembari melepaskan sarung tangan.
“Kebetulan sudah ada Bu Dokter. Bagaimana dengan korban ini?” tanya Kades yang baru saja kembali setelah ikut menyusuri sisi sungai.
“Seperti dugaab awal. Korban sudah tidak bernyawa. Tanda pengenalnya pun tidak ditemukan,” jelas Dokter itu.
“Nah ini ambulans sudah datang. Biar saya sendiri bersama beberapa warga yang ke kota untuk mendatangi kepolisian dan menyerahkan korban. Sejauh pencarian ini pun tidak terlihat adanya korban lain, jadi lebih baik kita kembali ke tempat masing-masing. Untuk sementara jangan mendekati bangkai helikopter ini dulu, di khawatirkan ada ledakkan kembali.” Jelas Kades mengambil keputusan.
Jenazah korban sudah selesai dimasukan dalam kantung khusus dan di bawa ke dalam ambulans.
Kepala desa juga sudah mempertimbangkan keputusannya agar menghentikan pencarian, hari yang mulai gelap juga masuk dalam pertimbangannya.
“Begini saja, jika nanti memang ada korban lainnya, untuk beberapa hari puskesmas buka 24 jam. Jadi nanti bila ada korban langsung saja bawa ke puskesmas.” putus Dokter karena dirinya ragu jika tidak ada korban lain.
“Baik kalau begitu. Tapi untuk berjaga, nanti yang bertugas ronda malam ini, tolong sekaligus menyusuri area sungai. Siapa tahu ada korban lain yang mungkin saja bisa selamat.” ucap Kades dan langsung membubarkan para warga yang berkumpul.
Para warga berlalu bersamaan meninggalkan lokasi kejadian. Dokter pun ikut berjalan meninggalkan area hutan dan pergi ke rumah dinas yang sudah 1 tahun belakangan ini ditempatinya, sebelum nanti kembali berjaga di puskesmas.
Tenaga medis mempunyai alat komunikasi masing-masing, tapi karena jaringan di desa yang buruk, mereka hanya bisa menggunakannya saat di puskesmas.
Balai desa dan puskesmas letaknya berdekatan dengan perbatasan menuju jalan ke kota. Jaringan di sana adalah yang paling bagus di desa karena menyesuaikan fungsi kebutuhan.
Bagi warga desa alat komunikasi tidak terlalu di perlukan karena jika ada informasi pengurus desa langsung yang menyebar di setiap kampung untuk memberikan kabar.
Untuk jaringan listrik memang tidak seburuk jaringan komunikasi, hanya saja tetap ada beberapa kampung yang lebih memilih penerangan tradisional dengan alasan harga yang lebih murah. Apalagi kekayaan alam sekitar desa mereka ini masih asri dan terlindungi.
To be continue...
Di pertengahan malam, seperti rutinitas pada setiap malamnya, di desa akan ada beberapa orang warga yang melakukan ronda malam agar menjaga keamanan wilayah mereka.
Ronda yang dilakukan warga dari ujung pemukiman hingga perbatasan hutan, karena sering ada kawanan hewan yang masuk pemukiman.
Sesuai dengan komando Kepala desa, sebelum kembali dari hutan mereka menyusuri kembali area sungai.
Saat berjalan di mendekati semak yang ada di pinggiran sungai, seorang warga tanpak melihat sesuatu yang mengambang.
“Pak. Pak. Lihat di sana! Sepertinya itu salah satu korban lainnya,” teriak seorang diantara ke 6 orang yang sedang berkeliling itu.
“Wah sepertinya iya! Kita bawa langsung ke puskesmas saja!” ucap yang lainnya dan langsung bergegas membawa orang tersebut.
Mereka bergegas membawa seorang pria yang diduga menjadi salah satu korban menuju puskesmas.
Tadi sebelum bubar Dokter sudah mengatakan jika puskesmas di buka 24 jam untuk beberapa hari kedepan.
“Bu dokter! Ada korban yang di temukan,” teriak warga saat mereka sampai di depan bangunan puskesmas.
Dokter yang memang sedang menyeduh kopi agar tidak mengantuk itu pun langsung bergegas keluar.
“Mari pak ikuti saya! Baringkan pasien di sini,” ucap Dokter tersebut yang bername tag Sheryl Adelia A.
“Tolong tunggu di luar,” ucap perawat yang membantu Sheryl bertugas kepada 6 orang warga itu.
Setelah semua keluar ruang tindakan, Sheryl segera melakukan pertolongan walaupun dengan peralatan yang tidak sebaik di rumah sakit besar.
“Apa kita masih mempunyai stok obat suntik pereda nyeri?” tanya Sheryl yang masih fokus membersihkan dan menutup luka-luka pada tubuh pasiennya.
Beruntungnya korban satu ini masih bernafas walaupun lambat namun masih terasa. Air yang terhirup juga tidaklah membuat fatal.
Entah kenapa Sheryl merasa korban yang satu ini seperti sudah terlatih dengan pertahanan diri saat terjadi situasi tidak terduga.
“Sepertinya masih ada beberapa Dok. Tapi untuk cairan infus masih belum sampai, padahal stok di sini tersisa 2 botol,” ucap perawat sembari mengambil alat yang Sheryl butuhkan.
“Tidak papa, kemungkinan siang nanti sampai, tapi jika belum sampai juga harus ada yang membeli ke kota agar kita tidak kehabisan,” ucap Sheryl menenangkan, walau sejujurnya dirinya juga tidak yakin.
Kejadian seperti ini sering terjadi, entah itu karena memang obat yang dikirim masih tertahan di perjalanan, atau memang ada yang sengaja mencurinya untuk keuntungan pribadi.
“Pagi nanti minta Pak Doni untuk menghubungi pihak farmasi agar mengirimkan beberapa obat tambahan, jika tidak di tanggung pemerintah maka gunakan uang pribadi saya,” tambah Sheryl setelah selesai dengan pekerjaannya.
Tidak terasa kali ini dia menghabiskan waktu lebih dari 4 jam untuk menangani pasien. Karena selama dia praktek di desa belum ada kejadian tak terduga seperti ini.
Staff di puskesmas hanya ada 6 orang. Dokter jaga hanya ada Sheryl, Perawat yang bernama Ningsih, Bidan yang bernama Marni, Apoteker yang bernama Doni, Administrasi yang bernama Tito, dan terakhir petugas kebersihan yang bernama Inah.
Sebagai dokter Sheryl terkadang membantu bidan saat memerlukan bantuan jika pasien perlu tindakan khusus dan di pindahkan ke rumah sakit.
Belum ada dokter tambahan yang Sheryl ajukan pada rumah sakit kota, agar pasien di puskesmas tidak terlalu mengantri. Sebisa mungkin dirinya melakukan pemeriksaan yang cepat dan tepat agar mereka tidak menunggu terlalu lama.
Entah mungkin belum ada yang bersedia pindah dari kota besar ke desa kecil seperti ini, jadi sulit mendapatkan dokter tambahan atau dokter pengganti.
...----------------...
Korban yang berhasil Sheryl selamatkan belum juga sadarkan diri. Sheryl terus melakukan perawatan intensif pada korban.
Selama hampir 3 hari Sheryl menjaga pria yang di selamatkannya ini. Seluruh staff di puskesmas ini sudah berkeluarga, dan lagi hanya dia satu-satunya dokter di desa. Jadi tak ada lagi yang bisa di andalkan selain hanya dirinya.
Saat pagi hingga siang puskesmas melayani masyarakat seperti biasa. Tapi karena para staff lain juga meresa kasihan pada Sheryl yang tidak istirahat dengan benar, mereka memberikan waktu untuk Sheryl istirahat di siang hingga sore. Baru setelahnya mereka kembali ke rumah masing-masing.
Sheryl beruntung memiliki rekan kerja yang selalu kompak dan saling bantu. Saat bekerja di rumah sakit pemerintah juga Sheryl mendapatkan rekan kerja yang baik, tapi di sana terlalu banyak perselisihan baik dari keluarga maupun rekan kerjanya yang lain.
Selama di desa bahkan Sheryl selalu mendapatkan hasil bumi secara cuma-cuma dengan alasan dirinya sudah banyak menyembuhkan warga yang sedang kurang sehat. Padahal itu memang tugasnya, lagi pula Sheryl merasa dirinya hanya perantara saja, yang memberi kesembuhan adalah pencipta alam ini.
“Sebaiknya Bu Dokter istirahat dulu seperti biasa. Nanti malam kan harus kembali menjaga pasien tampan itu,” ucap Ningsih dengan sedikit menggoda dokter muda di depannya ini.
“Jangan gitu dong! Atau kamu ini lagi ledekin saya ya Mbak? Mentang-mentang kamu udah nikah padahal usia kita gak jauh beda,” decak Sheryl kesal karena memang hanya Ningsih yang tahu bagaimana rupa pasien yang sedang mereka rawat. Karena di desa tidak ada ruang rawat lain, jadi mereka harus mensterilkan ruangan dengan hanya memperbolehkan dokter dan perawat yang masuk.
Usia Sheryl memang lebih muda di antara para staff lain yang rata-rata sudah 26 tahun ke atas. Sheryl sendiri berusia 23 tahun, tapi dia sudah berhasil mendapatkan gelar sarjana di usia 19 tahun di lanjut dengan koas yang harus dilaluinya 2 tahun setelahnya. Baru dia bekerja di instansi pemerintah dan tahun lalu di kirim ke desa ini.
Sedikit info usia dari para staff puskesmas, Ningsih berusia 26 tahun, Bidan Marni 30 tahun, Doni 29 tahun, Tito 27 tahun, dan terakhir Bu Inah 35 tahun.
“Ahaha maaf maaf, tapi memang ganteng kan dek?” goda Ningsih lagi. Karena usianya yang masih muda Sheryl sering di panggil Adek oleh para staff. Dan lagi di puskesmas tidak ada yang namanya senioritas. Jadi setelah selesai bertugas mereka akan berbicara non formal.
“Aaaaa... Mbak jangan bikin kesel dong Mbak,” cemberut Sheryl karena terus di goda. Yang menggoda tentu hanya tertawa ngakak.
“Iya iya,” ucap Ningsih menyerah, takut ngambek nanti adeknya ini.
“Oh iya selimut sama pakaian pasien yang kamu minta baru dateng sekaligus sama obat tambahan. Tenang semua sudah steril dan bisa langsung digunakan.” Ucap Ningsih memberi informasi yang di terimanya dari Pak Doni.
“Oke Mbak, makasih infonya ya,” ucap Sheryl yang sudah melupakan kekesalannya.
Tok.. Tok.. Tok..
“Masuk,” ucap Sheryl memberi izin.
“Halo dek! Sudah selesai kan? Aku mau ajak Mbakmu makan di warung nasi xx nih,” ucap seseorang yang tak lain Tito. Ningsih dan Tito adalah pasangan suami istri yang sudah berumah tangga kurang lebih 2 tahun.
“Sudah kok Bang. Mbak Ningsih lagi ngidam ya?” tanya Sheryl. Ningsih memang sedang mengandung buah hati mereka yang ke dua, kalau kata Bu bidan sih mereka kebobolan. Anak yang pertama saja baru berumur 1 tahun, eh adeknya udah jadi lagi.
“Iya nih. Untung masih makanan desa yang dia pengen. Kalau sampe harus ke kota dulu kan repot, apalagi jalan antar kota yang masih belum di perbaiki, bisa bahaya kan,” curhat Tito sembari menunggu istrinya selesai mencuci tangan.
“Kamu kok malah curhat sama anak kecil ini sih?! Ayok cepet sebelum nanti makanan yang aku mau habis!” ucap Ningsih sinis pada suaminya.
“Adek jangan ikut-ikutan ya! Mbak duluan. Jangan lupa istirahat dulu aja, tadi udah aku periksa pasiennya dan masih belum ada perkembangan, jadi kamu bisa istirahat sebentar.” Lanjut Ningsih sebelum berjalan mendekati pintu bersama Tito.
“Iya iya,” balas Sheryl pelan dengan senyum sendunya. Sheryl bersyukur bisa mengenal orang-orang seperti mereka yang peduli padanya. Tidak seperti, ah sudahlah bukan saatnya memikirkan hal itu, pikir Sheryl dalam hatinya.
Tbc...
Sudah dua hari ini hujan selalu turun mengguyur tanah di desa yang sejuk, tempat dimana Sheryl tinggal selama bertugas di puskesmas desa.
Malam ini seperti biasanya Sheryl akan menginap di puskesmas dan melakukan perawatan rutin pada pasiennya.
Tadi siang Sheryl pulang sebentar ke rumah yang ditinggalinya. Dia hanya mengambil beberapa baju ganti dan menyimpan yang kotor di rumah.
Puskesmas biasanya hanya buka sampai hari sabtu, jadi waktu liburnya di pakai Sheryl untuk bebersih rumah. Untuk pakaian biasanya setiap pulang dari puskesmas Sheryl akan langsung mencuci dan pakaian keringnya langsung dia setrika.
“Ya ampun. Kenapa hari ini rasanya mata itu rapet gak mau melek! Kayanya harus bikin dulu kopi sekalian cek pintu sudah terkunci atau belum,” gerutu Sheryl pada dirinya sendiri.
Sheryl pun beranjak menuju dapur kecil yang puskesmas punya dan membuat minuman pahit itu agar matanya terus terjaga. Setelah selesai Sheryl mengecek pintu utama puskesmas terlebih dahulu sebelum kembali menuju ruang rawat.
Sesampainya di ruang rawat Sheryl dibuat terkejut saat melihat pasien yang selama 5 hari ini menutup matanya mulai sadarkan diri.
“Alhamdulillah ternyata Anda sudah sadarkan diri,” ucap Sheryl spontan sembari bergerak menaruh gelas dan membawa alat-alatnya.
“Semuanya stabil, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Hanya tinggal menunggu luka-luka lain pulih,” gumam Sheryl pelan tapi masih bisa terdengar oleh pasiennya itu.
“Bagaimana perasaan Anda?” tanya Sheryl setelah selesai melakukan pengecekan.
“Ini dimana? Apa saya mengenal anda?” ucap pasien itu dengan kernyitan di dahinya.
“Anda sekarang sedang berada di desa xx wilayah selatan. Kemarin helikopter yang anda tumpangi mengalami kecelakaan dan anda di temukan oleh warga di sekitar semak liar area sungai,” jelas Sheryl dengan nada tidak yakin.
“Apa anda ingat siapa nama anda?” tanya Sheryl lagi dengan hati-hati.
“Arghh” ringis pria yang ada di depan Sheryl.
“Tolong jangan dipaksakan!” ucap Sheryl sembari menyuntikkan obat pereda nyeri.
“Sebaiknya anda kembali beristirahat.” Lanjut Sheryl dan langsung menuliskan diagnosis pada sebuah kertas.
Pasien tadi sudah mulai memejamkan kembali matanya, obat tadi juga mempunyai efek samping yang membuat orang mengantuk. Sengaja Sheryl menyuntikkan obat agar kondisi pasien tidak kembali drop.
“Dugaanku sepertinya benar. Dia mengalami amnesia. Dari tanda pengenal yang ada di pakaiannya sih dia bernama Daren. Setahuku obat untuk penderita amnesia ini tidak tersedia di puskesmas! Apa yang harus aku lakukan,” gumam Sheryl bingung. Pasalnya jika ingin melakukan pengobatan lebih lanjut mereka harus pergi ke ibu kota yang jarak tempuhnya sudah lebih dari 2.000 km.
Pasien juga baru saja bangun dari masa kritisnya, jadi tidak mungkin dia bisa langsung memberi izin terbang pada pasien. Apalagi jika harus pergi dia juga harus ikut serta agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan.
Pusing dengan semua pemikirannya, Sheryl memilih beristirahat sejenak sebelum kembali melakukan tugasnya esok hari.
...----------------...
Pukul 03.00 dini hari Sheryl terbangun dan mulai melakukan aktivitasnya. Agar tidak kembali mengantuk Sheryl memutuskan untuk langsung mandi dan bersiap memeriksa kondisi pasien setelah semalam sadar.
Dengan serius Sheryl melakukan pengecekan, menyuntikkan obat ke dalam cairan infus dan juga mencari data pemasok obat yang dikirim ke desa. Sheryl berusaha agar bisa mendapatkan obat itu walaupun sulit dan harganya cukup mahal.
Tak terasa waktu sudah menujukkan pukul 06.00 yang artinya sebentar lagi waktunya puskesmas kembali beroperasi. Meninggalkan sejenak aktivitasnya, Sheryl mulai membuka kunci pintu dan mulai bebersih.
Ya tidak salah lagi. Sheryl memang sering membantu meringankan tugas petugas kebersihan jika datang lebih dulu atau pulang lebih lambat dari yang lainnya. Apalagi beberapa hari ini Sheryl menginap di puskesmas.
“Aduh Adek kenapa sih ngeyel terus! Bukannya dipake istirahat ini malah bersih-bersih lagi.” Ucap garang dari Bu Inah karena memang Sheryl ini susah dibilangin.
“Ehehe jangan marah dong Bu. Aku kan cuma bantu dikit,” ucap Sheryl sembari menggaruk tengkuknya padahal tidak sedang gatal.
“Sudah sudah sana, pergi baring dulu sebentar. Nanti kalau sudah jam 08.00 dan pasien sudah datang Ibu bangunkan,” ucap Bu Inah sambil menggelengkan kepala.
Dengan terpaksa dan bibir yang mengerucut lucu Sheryl pergi ke dalam ruang rawat yang memang tersedia kasur lipat untuknya berbaring di sudut kamar. Sejak awal memang kasur ini sengaja di berikan oleh Kepala desa agar yang berjaga bisa beristirahat dengan nyaman.
“Kena marah mulu deh heran, padahal kan bantuin dikit doang. Eh sutt gak boleh berisik, nanti pasiennya bangun!” gumam Sheryl dengan gerutuannya yang masih terdengar oleh orang yang sebenarnya sudah membuka matanya itu.
“Eh berhubung pasien udah sadar, berarti harus bikin makanan mulai sekarang. Untung saja sudah ada dapur jadi tidak perlu repot lagi,” gumam Sheryl lagi seakan baru menyadari hal itu.
“Nah bagus! Berarti aku bisa alasan bikin makanan untuk pasien sekarang, hihihi,” semangat Sheryl dengan tawa cekikikannya.
Sheryl bangkit berdiri dan mulai keluar untuk membuatkan makanan. Hari ini Sheryl akan membuat olahan sup yang terbuat dari ayam.
Sheryl mengetahui takaran gizi yang harus terkandung dalam makanan pasien sebab dulu dia sering membaca buku mengenai gizi dan makanan sehat yang baik untuk mempercepat proses penyembuhan.
Bu Inah yang melihat itu tidak bisa melarang karena dirinya sendiri hanya bisa membuat masakan tradisional dan tidak terlalu mengerti dengan kebutuhan gizi.
Kurang dari 30 menit makanan sudah selesai Sheryl masak. Mangkuk sup dan juga air putih sudah tersedia di nampan yang akan Sheryl bawa.
“Mau kemana dek?” tanya Pak Doni yang kebetulan baru datang dan akan ke ruangan farmasi.
“Oh ini Pak, Alhamdulillah pasien kemarin sadar, jadi saya coba untuk memberikan asupan selain cairan infus. Nah kebetulan Bapak lewat, saya mau minta tolong siapkan beberapa obat tablet ya Pak,” jelas Sheryl dan menjelaskan obat apa saja yang dia maksud.
“Alhamdulillah, akhirnya dia sadar setelah beberapa hari ini tak sadarkan diri. Baik kalau gitu nanti Bapak antar obat obat itu,” ucap Pak Doni senang.
Mereka berjalan menuju ruangan berbeda. Tidak lama Pak Doni datang setelah mendapatkan obat yang Sheryl butuhkan untuk di berikan selesai sarapan.
“Terimakasih ya Pak,” ucap Sheryl sebelum Pak Doni keluar ruangan dan dibalas anggukan sebagai tanda 'sama-sama'.
Tbc...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!