Terlihat seorang gadis tengah berlari dengan tergesah-gesah. "Aduh! Hati-hati dunk!" seru gadis itu kesal.
Gadis itu bernama Lana dan dia yang berjalan ke arah kamar mandi bertabrakan dengan seorang gadis seumurannya yang sedang tergesa-gesa membetulkan kancing kemejanya yang terbuka dan sempat terlihat ada tanda merah pada lehernya saat keluar dari kamar mandi yang ada di kampusnya.
Hanya berselang beberapa detik Lana melihat seorang lelaki yang juga keluar dari kamar mandi itu. Lelaki itu melihat Lana, dan dia berjalan melewati Lana dengan santainya.
"Itukan si anak baru? Apa yang sedang dia lakukan di dalam kamar mandi cewek?" Wajah Lana tampak heran bin bingung karena melihat lelaki yang dia kenal bernama Noah juga keluar dari kamar mandi di mana gadis yang menabraknya itu juga keluar dari sana.
"Pasti dia sudah melakukan hal yang tidak sepantasnya dia lakukan. Sungguh menjijikan." Wajah Lana bersungut kesal.
Setelah selesai dari kamar mandi, Lana menuju kembali ke kelasnya, dan di sana dia melihat Noah duduk di bangku paling belakang dengan tatapan tajam fokus ke arah depan, tapi Lana sempat mendapati Noah sekilas melirik ke arahnya.
"Wajah kamu kenapa kelihatan kesal begitu? Apa bertemu hantu di kamar mandi?"
"Mending bertemu hantu masih lebih baik daripada aku harus bertemu lelaki mesum seperti si anak baru itu."
"Hah? Lelaki mesum siapa? Dan si anak baru siapa, sih?" Sahabat Lana itu tampak bingung.
"Memangnya ada berapa anak baru di kelas kita ini, Sa?"
"Anak baru?" Sasa yang memang rada loading lama, akhirnya baru sadar siapa yang di maksud oleh Lana.
"Oh... Si tampan itu? Dia namanya Noah Akhizawa Ruiz dan dia cucu dari pengusaha kaya raya di kota ini. Itu sih yang aku dengar karena aku memang sempat mencari tau tentangnya. Soalnya aku langsung ngefans saat dia baru pertama kali masuk ke sini," cerocos Sasa.
"Ya ampun, Sa! Aku itu tidak butuh keterangan lengkap tentang lelaki mesum itu," Lana menekankan kata-katanya dengan lirih.
"Kamu itu kenapa bilang dia mesum? Apa dia melakukan hal buruk sama kamu?" Sasa seketika mendelik kaget.
"Lelaki kurang ajar itu baru masuk ke sini sudah berani melakukan hal tidak senonoh di kamar mandi," jelas Lana pelan.
"Hah? Kamu serius? Kamu pasti salah melihat." Sasa tetap kekeh jika Lana pasti salah orang
"Mataku masih sehat, Sa!" seru Lana kesal.
"Lana, kamu pasti salah. Noah itu cucu dari Keyko Ruiz dan dia tidak mungkin berbuat hal seperti itu."
"Aku melihatnya sendiri, dan lagipula aku tidak kenal itu siapa Keyko Ruiz."
"Keyko Ruiz itu pemilik House Of Ruiz, dan yang tadi aku katakan sama kamu, dia itu pengusaha terkaya di sini, konglomerat paling kaya dan terkenal. Kamu itu pintar, tapi hal seperti itu saja tidak tau."
"Kamu 'kan tau aku paling tidak suka melihat televisi, atau mendengar berita tentang hal seperti itu. Aku lebih suka baca novel kalau tidak membaca koran untuk mengetahui berita tentang harga sembako yang naik turun kayak rollercoaster."
"Kalau itu pasti disuruh bibi kamu yang tiap hari jualan nasi pecel. Bibi kamu takut kalau lihat harga bahan pokok naik." Sasa malah terkekeh pelan.
"Itu kamu tau. Miris sekali ya, Sa, jika dia cucu orang kaya, tapi kelakuan seperti orang yang tidak punya pendidikan, " gerutu Lana kesal.
"Ck! Aku yakin kamu pasti salah, atau kalau tidak dia nyasar ke kamar mandi cewek karena masih baru di kampus ini."
"Ya ampun! Terserah kamulah kalau tidak percaya." Lana memutar bola matanya jengah.
"Ehem!"
Tiba-tiba terdengar suara deheman dari arah belakang Lana. Sasa mendongak dan kaget sampai mulutnya mangap melihat siapa yang ada di belakang Lana sekarang.
"Pak." Sasa meringis lucu.
Lana yang membalikkan tubuhnya kaget sampai kedua mata Lana membulat.
"Apa sudah selesai arisannya?"
"Sudah, Pak." Lana langsung duduk dengan posisi sempurna di bangkunya.
"Gadis bodoh!" gerutu Noah pelan melihat tingkah Lana.
Pulang dari kampus Lana langsung berangkat ke tempat kerjanya. Lana bekerja menjadi kasir di sebuah toko yang menjual berbagai macam alat tulis dan aksesoris lainnya.
Berbeda dengan Noah, dia tidak langsung pulang karena dia ada janji dengan Danang teman waktu sekolah dan kampusnya dulu. Mereka keluar untuk makan bersama.
"Bagaimana rasanya di kampus baru kamu, Noah?" tanya Danang.
"Biasa saja," jawab Noah singkat sambil menyeruput minumannya.
"Apa tidak ada yang menarik bagimu di sana?" Danang terlihat penasaran dengan cerita Noah.
"Tidak ada. Semoga saja tidak membosankan saja nanti ke depannya, walaupun aku tadi bertemu dengan Disya." Noah malah menunjukkan senyum miringnya.
"Disya? Oh... gadis yang tergila-gila sama kamu dulu waktu kita masih sekolah?"
Noah mengangguk perlahan. "Dan kamu tau kalau dia masih tergila-gila padaku, bahkan tadi aku dan dia bermain di kamar mandi cewek," Noah dengan santai berbicara.
"Apa? Be-bermain-main? Kalian bercinta?"
"Apa lagi?" jawab Noah santai.
"Astagfirullah!" Tangan Danang seketika menepuk dadanya kaget.
"Tidak perlu berlebihan seperti itu." Noah memberi lemparan sedotan miliknya ke arah Danang.
"Kamu berani sekali melakukan hal itu di kampus barumu, apalagi itu kan hal yang tidak baik. Kamu harusnya menikah dulu baru boleh melakukannya."
"Hei, Pak Ustad! Aku ke sini itu mengajak kamu makan karena aku yakin kamu pasti tidak punya uang untuk makan siang. Malah aku diceramahi."
"Bukannya menceramahi kamu, aku itu hanya memberitahumu agar kamu tidak terkena masalah nantinya. Kalau dia sampai hamil, apa kamu sudah siap menjadi ayah? Aku tidak membayangkan betapa menderitanya nenek kamu. Sudah punya cucu yang sulit diatur, ditambah lagi Noah kecil yang pasti membawa gen bapaknya." Danang menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Enak saja kalau bicara. Lagian pikiran kamu kejauhan, Anak Kampung! Aku dan Disya tidak sampai melakukan hal sejauh itu, lagipula aku masih ingat kata-kata nenekku, aku boleh memiliki banyak kekasih, asal tidak sampai kebablasan. Aku juga tidak akan membuat diriku mendapat masalah dengan melakukan hal bodoh seperti itu."
"Syukur kalau begitu, aku jadi lega mendengarnya. Ternyata temanku ini masih punya sisi malaikatnya."
"Brengsek." Noah malah tersenyum miring mendengar ucapan sahabatnya.
"Noah, aku akan keluar dari kampusku."
"Kenapa?" Senyum Noah seketika menghilang. "Apa Roy dan teman-temannya mengerjaimu lagi?"
"Begitulah. Sebenarnya juga bukan karena itu, Noah. Aku keluar karena biaya untuk kuliah sangat mahal dan aku memutuskan untuk fokus bekerja saja, dengan begitu aku bisa membantu orang tuaku," ucap Danang terdengar sedih.
"Baguslah kalau itu alasannya," kata Noah singkat.
"Kenapa tidak ada perasaan sama sekali sih, nich orang?" gerutu Danang kesal.
"Bukannya tidak ada perasaan, tapi memang bagus kalau kamu fokus salah satu, yaitu bekerja karena kasihan orang tua kamu. Sudah! Kita pulang saja karena aku mengantuk." Noah beranjak dari tempat duduknya setelah membayar makanannya.
Noah mengantar Danang pulang, dan di tengah perjalanan, Danang menyuruh Noah berhenti sebentar di depan sebuah toko
"Berhenti di sini sebentar, ya karena aku mau membeli sesuatu di toko itu." Danang menunjuk sebuah toko.
"Untuk apa?"
"Aku mau membeli sebuah tali," kata Danang
"Kamu mau bunuh diri," celetuk Noah.
"Astaghfirullah! Siapa yang mau bunuh diri? Punya teman seperti kamu itu sayang kalau harus ditinggalkan." Danang gantian terkekeh.
"Lalu, untuk apa kamu ke sini?"
"Aku sedang membetulkan pipa di rumahku, dan aku butuh beberapa selotip dan gunting juga."
"Oh... aku kira kamu sudah bosan hidup."
"Enak saja, aku masih ingin mewujudkan mimpi bapakku menjadi seorang pengusaha sukses."
"Iya-iya! Kalau begitu cepat belinya karena aku ingin sekali segera tidur."
Danang masuk ke toko itu, dan kebetulan keadaan di sana sedang sepi. Noah memilih menunggu di depan.
"Permisi, Mba," panggil Danang.
"Iya ada yang bisa saya bantu?" jawab Lana melihat Danang.
"Saya mau beli selotip dan gunting yang agak besar, tapi tadi saya cari tidak ketemu guntingnya. Apa boleh minta tolong untuk dicarikan?"
"Oh iya! Kamu tunggu sebentar." Lana mengambilkan guntingnya ke dalam gudang yang tidak jauh dari tempatnya.
Setelah menemukannya, Lana segera kembali dan pandangan matanya tampak sedikit terkejut saat melihat siapa lelaki yang sekarang berdiri di depannya.
"Ini guntingnya." Lana menyerahkan gunting yang dicari Danang. "Lelaki brengsek ini! Kenapa bisa bertemu dia lagi?" Lana pun menggerutu di dalam hatinya.
"Berapa?" tanya Noah sambil mengeluarkan uang seratus ribuan. Noah terus melihat ke arah Lana
"Tiga puluh ribu," jawab Lana ketus.
Noah meletakkan uang seratus ribuan di meja dan dia berlalu pergi keluar dengan Danang
"Kembalian kamu!" teriak Lana.
"Ambil saja!" seru Noah tanpa menoleh dan tetap berjalan menuju pintu keluar toko itu.
Lana yang melihat hal itu tampak semakin kesal, padahal dia masih akan mencarikan kembalian untuk uang Noah.
Noah yang sedang membuka pintunya tampak kaget saat seorang gadis tiba-tiba memeluk dirinya dari belakang.
"Noah, aku merindukan kamu."
"Lepaskan!" Noah melepaskan tangan gadis itu dengan kasar.
"Rose? Kamu Rose 'kan?" tanya Danang yang mengenali salah satu teman kuliahnya.
"Noah, maafkan kakakku, aku tidak menyangka kamu akan keluar dari kampus gara-gara dia."
"Aku yang memutuskan keluar dari kampus itu."
"Noah, aku rela memberikan segalanya sama kamu, tapi aku mohon jangan meninggalkan aku." Mohonnya.
Lana yang mendengar keributan itu, dia mengintip dari balik jendela tokonya. "Kasihan sekali gadis itu, dia benar-benar laki-laki brengsek," gerutu Lana. "Dia tadi di kampus sudah berbuat hal tidak senonoh, sekarang ada gadis lain yang dia buat sedih. Dasar playboy!" cibir Lana sekali lagi.
"Rose, aku sudah tidak ada urusan denganmu," jawab Noah singkat.
"Noah, kasihan dia." Danang yang melihat seorang gadis menangis tampak kasihan.
"Danang, masuk mobil!" perintah Noah dengan nada marah.
Danang yang memang tidak berani jika sahabatnya sudah mode muka sangar begitu langsung masuk ke dalam mobilnya.
"Noah, aku mohon dengarkan aku dulu."
Noah sama sekali tidak memperdulikan tangisan gadis itu, dia segera masuk ke dalam mobil dan mengendarai mobilnya melaju cepat.
"Noah, aku masih ingin hidup," kata Danang pelan. Danang yang duduk di samping Noah tampak berpegangan dengan erat.
"Aku tidak peduli," jawab Noah singkat.
"Ya Tuhan, selamatkan aku," kata Danang sambil memejamkan kedua matanya.
Beberapa menit kemudian Noah menghentikan mobilnya. "Hei, sudah turun!" seru Noah.
"Hah! Apa kita sudah sampai?" Danang membuka matanya
"Turun!"
"Haduh! Selamat." Danang mengelus dadanya. "Noah, terima kasih, ya," ucapnya lagi.
"Hem!" Noah hanya menjawab dengan deheman.
Setelah Danang turun, Noah pulang ke rumahnya, dia menghubungi neneknya.
"Sayang, hanya untuk itu kamu menghubungi nenek malam-malam begini," kata wanita tua itu.
Nenek Noah sedang berada di Kanada, di sana malam hari, sedangkan di tempat Noah masih siang.
"Aku harus segera mengatakannya pada Nenek."
"Baiklah, tunggu nenek pulang dan kita akan buat kesepakatan."
"Kesepakatan?"
"Iya cucuku, sudah saatnya kamu melaksanakan apa yang menjadi tanggung jawabmu."
"Maksud Nenek?"
"Tunggu nenek pulang, ya. Nenek menyayangimu."
"Oke!" Noah menutup teleponnya.
Noah sekarang bertanya-tanya tentang kesepakatan apa yang di maksud oleh neneknya?
Malam itu Noah yang bosan berada di rumah besarnya sendirian memilih pergi ke club malam. Dia pun tampak menegak minuman beralkohol kesukaannya.
"Sayang, kita mencari tempat untuk bersenang-senang. Bagaimana?" tanya seorang wanita penghibur yang menemani Noah.
"Baiklah," jawab Noah.
Noah yang setengah mabuk mengemudikan mobilnya dengan wanita penghibur duduk di sebelahnya.
Saat melintasi depan toko besar di mana Lana berkerja, dia melihat Lana sedang menutup toko pintu itu separuh. Entah apa yang terbesit di dalam hati Noah sampai memutar mobilnya dan berhenti tepat di depan toko itu.
"Kamu mau apa?" tanya wanita di samping Noah.
"Membeli sesuatu."
Noah turun dan segera menghampiri Lana. "Aku butuh selotip. Apa ada?" suara Noah mengagetkan Lana sampai Lana menabrak Noah.
"Kamu?" Lana mendelik kaget saat tau yang ada di sana saat ini adalah Noah.
"Aku butuh selotip besar," kata Noah lagi
"Maaf tokonya sudah tutup," kata Lana ketus.
"Tutup?" Noah melihat pintu yang masih terbuka separuh. "Aku akan ambil sendiri."
"Hei... Sudahlah! Tokonya tutup, kita pergi saja, aku ingin cepat-cepat bersenang-senang denganmu," teriak wanita penghibur yang menunggu di depan mobil.
"Cih! Menjijikan. Dia bersama wanita lain," umpat Lana kesal.
Noah malah menyelonong masuk ke dalam. Lana yang melihatnya segera mengejar Noah. "Apa kamu tidak dengar? Ini sudah tutup!" Lana menarik kemeja Noah dari belakang. Noah yang menoleh malah mendorong Lana ke tembok dan menghimpitnya.
Noah menatap Lana lekat. "Kamu cantik juga, pantas pria tua itu menyukaimu," oceh Noah.
"Kamu bicara apa sih?" Lana berusaha melepaskan diri dari Noah karena indra penciuman Lana menangkap aroma wine dari mulut Noah. "Kamu mabuk? Minggir!" Tangan Lana mendorong Noah.
"Jangan sok suci kamu!" Noah malah memegangi kedua lengan Lana.
"Apa sih maksud kamu? Lepaskan!" Lana berusaha melepaskan tangan Noah.
Namun, hal itu malah memancing emosi Noah. Noah memegang kedua tangan Lana dan meletakkannya di atas kepala Lana. Sedetik kemudian, bibi Noah sudah melumat bibir Lana dengan kasar.
Lana ingin sekali berteriak, tapi bibirnya benar-benar dibungkam oleh bibir Noah. Lana kemudian berusaha dengan sekuat tenaganya mendorong Noah, tapi tetap saja tidak bisa.
Noah yang akhirnya puas memberi ciuman pada Lana. Dia melepaskan ciumannya.
"Ah...." Lana mengambil nafas panjang karena hampir tidak bisa bernafas.
Noah yang melihat hal itu malah tertawa bahagia. "Bagaimana rasanya? Apa lelaki tua itu bisa melakukan sebaik diriku?" tanya Noah dengan ekspresi muka seolah menertawakan Lana.
"Dasar brengsek!" Lana benar-benar marah dengan Noah. Lana mencoba menghapus bekas ciuman Noah pada bibirnya.
"Jangan sok jadi gadis baik-baik! Kamu pasti sudah pernah melakukan lebih dari itu."
"Brengsek! Pergi kamu dari sini!" Lana mendorong tubuh Noah.
Noah malah memberikan smirknya, kemudian mengeluarkan lima lembar uang seratus ribuan. "Untuk membayar ciumanku barusan. Bukannya kamu suka uang."
Noah keluar dan masuk ke mobilnya, meninggalkan Lana yang masih meratapi kejadian yang baru saja menimpanya.
"Dasar, pria kurang ajar! Kenapa dia bisa menciumku dan mengatakan aku sudah terbiasa dengan ciuman seperti itu?"
Lana pulang dengan wajah kesalnya. Dia bahkan yang selalu terlihat kuat akhirnya meneteskan air mata mengingat kejadian yang baru saja terjadi.
"Sebaiknya aku langsung ke kamar saja sebelum bibi melihatku menangis." Lana masuk ke dalam kamarnya dan dia berbaring dengan memeluk gulingnya. Lana mencoba meredam tangisannya agar tidak terdengar oleh bibinya yang mungkin masih belum tidur.
Lana kembali mengusap-usap bibirnya yang baru saja dicium oleh Noah. Dia terlihat jijik dan marah sekali. "Pria brengsek! Aku sangat membencimu, Noah!" umpatnya lirih.
***
Pagi itu bibi Maya yang sudah bangun, tampak heran melihat keponakannya yang biasa rajin bangun pagi, walaupun sedang libur kuliah, tidak tampak di dalam dapur.
"Lana apa sakit, ya? Tumben sekali dia belum masak." Bibi Maya heran dengan sikap keponakannya itu.
Wanita paruh baya itu membuka pintu kamar Lana dan sedikit kaget melihat keponakannya masih di atas tempat tidur.
"Lana, kamu sakit?" tanya bibinya sembari menempelkan telapak tangannya pada lengan tangan Lana. "Tidak demam."
"Bibi, aku masih mengantuk," ucap Lana di balik gulingnya.
Kedua alis bibi Maya seketika mengkerut. "Kamu kenapa?"
"Tidak apa-apa," jawab Lana masih dengan menyembunyikan wajahnya di balik gulingnya.
Bibi Maya yang memang sudah sangat mengenal keponakannya itu, langsung menarik guling Lana sampai gadis itu kaget dan akhirnya berjingkat.
"Loh! Mata kamu kenapa? Kamu habis menangis semalaman?" Wajah bibi Maya langsung kaget dan dia segera duduk di sebelah Lana.
"Aku tidak apa-apa, Bi," ucap Lana malas
"Eh! Kamu jangan bohong sama Bibi. Hayo ngaku! Kamu kenapa? Kenapa mata sampai seperti kodok? Kalau tidak mengaku nanti bibi usir kamu!"
Lana yang masih kesal karena kejadian semalam, tambah kesal karena ancaman bibinya. "Bibi ini kenapa sih? Selalu mengancam mengusir, kalau tidak aku mau dinikahkan sama juragan minyak yang istrinya banyak."
"Itu bukan sekadar ancaman, tapi akan bibi lakukan kalau kamu tidak mau patuh sama bibi. Sekarang kamu bilang, kamu kenapa?"
Lana terdiam sejenak. "Bilang, Lana!" Sebuah cubitan maut tepat pada lengan Lana.
"Aduh ... sakit ... Bibi!" suara lengkingan kesakitan Lana terdengar keras dan itu selalu terjadi jika Lana membuat bibinya kesal. "Aku semalam dicium sama iblis!" ceplos Lana kesal.
"Hah? Di cium sama iblis? Setan maksudnya?" Wajah wanita paruh baya itu kaget.
"Dia itu lebih dari setan dan bahkan iblis. Aku benci sama dia, Bi! Playboy dan tukang mabuk tidak tau diri! Dasar Iblis!" Lana seolah mengeluarkan semua kemarahannya pada Noah.
"Hem! Dia tampan tidak? Anak orang kaya atau biasa saja?" cerocos . Maya.
Lana seketika melihat heran pada Bibinya. "Kenapa Bibi malah menanyakan hal itu, sih?"
"Kalau dia tampan, anak orang kaya, kamu pacaran saja sama dia. Siapa tau dia menciummu karena dia menyukaimu."
"Selalu saja! Kenapa Bibi ini ingin sekali aku dekat dengan pria kaya raya. Bibi sudah tidak sanggup membiayai hidupku?"
"Itu tau," ucap Bibi Maya enteng.
"Apa? Tega." Lana seolah tidak percaya dengan apa yang dia dengar.
"Bibi itu sayang sama kamu, dan berharap kamu bisa menikah dengan orang kaya agar kehidupan kamu bisa bahagia. Jangan bilang kalau semua tidak bisa diukur dengan uang. Tidak punya uang itu menyakitkan seperti kita, Lana!"
"Tapi aku juga tidak sudi menikah dengan pria seperti iblis itu, nanti yang ada aku mati ngenes karena diselingkuhi dengan banyak wanita." Lana beranjak dari tempat duduknya dan keluar untuk mandi.
Beberapa menit kemudian, Lana yang baru selesai mandi, heran melihat bibinya ada di dalam kamarnya membawa sebuah gaun berwarna hitam.
"Itu punya siapa, Bi?" Lana terlihat takjub melihat gaun itu.
"Punya kamu. Bibi membelikan dengan uang tabungan bibi selama berjualan nasi pecel dan bekerja sebagai juru masak di rumah majikan bibi." Bibi Maya pun tampak takjub melihat gaun yang dia beli untuk Lana.
"Bibi untuk apa membelikan aku gaun itu? Pasti itu mahal." Lana memegang gaun hitam yang memang memliki bahan yang bagus.
"Bukannya nanti kamu ada acara ulang tahun temanmu di hotel berbintang dan kamu harus tampil cantik, tidak boleh kalah sama teman-temanmu yang kaya itu."
"Bibi ini kenapa seolah sedang menjualku secara halus, sih?" Kedua alis Lana mengkerut.
"Bukan menjual, tapi menawarkan. Siapa tau ada mahasiswa anak konglomerat yang suka sama kamu dan mau pacaran sama kamu. Hidup kamu bisa bahagia, Lana!" Tangan Bibi Maya sampai membentang lebar.
"Kasihan sekali nasibku ini. Sudah tidak punya orang tua, punya Bibi begini amat." Lana melengos malas.
"Eh, kamu itu harusnya bersyukur masih ada Bibi yang mau merawat kamu. BERSYUKUR!" seru Bibi Maya pada kata terakhir.
"Iya! Sukur... Sukur!" Lana duduk malas di atas tempat tidurnya.
"Pokoknya nanti malam kamu harus tampil cantik." Bibi Maya terlihat bersemangat.
"Huft! Bibi lupa kalau aku lebih senang tampil apa adanya."
"Sudah, jangan banyak membantah. Nanti dipakai," ucap Bibi Maya menekankan.
***
Lana datang dengan Sasa di acara ulang tahun temannya yang bernama Tania dan di sana acaranya sangat meriah dan ramai.
"Hai, Lana. Wow! Kamu cantik sekali malam ini," sapa seorang laki-laki.
"Terima kasih, Bruno." Lana hanya memberi senyuman tipis pada lelaki yang dulu pernah menyatakan cinta pada Lana, tapi Lana tolak karena Lana tidak mau memikirkan tentang pacaran.
"Hai, Lana, Hai Sasa. Terima kasih sudah mau datang ke acaraku."
"Kami yang berterima kasih sudah diundang, Tania."
Gadis bernama Tania itupun tersenyum manis. "Oh ya! Aku akan kenalkan kalian dengan kekasihku. Kalian pasti terkejut."
Tangan Tania menyambut tangan seorang lelaki yang berjalan mendekat ke arah mereka. "Perkenalkan ini Noah Ruiz. Kita baru saja jadian."
"Jadi, kalian pacaran sekarang?" tanya Sasa kaget. Dia seolah patah hati karena Sasa itu ngefans banget sama Noah.
"Hai," sapa Noah dengan wajah datarnya menatap Lana. Lana yang melihat wajah Noah yang seolah tidak merasa bersalah atas kejadian kemarin malam ingin sekali mencekiknya, tapi dia tahan.
"Kalian tidak menyangka kalau aku dan Noah jadian 'kan?" Tania tersenyum senang.
"Selamat ya, Tania. Oh ya, aku mau mencari minum dulu. Haus." Lana tidak ingin lama-lama melihat wajah Noah di sana. Jadi dia mencari alasan untuk mencari minum.
Acara dimulai dan semua tampak senang menikmati pesta itu. Lana tampak melihat Noah yang sedang berbicara dengan Disya—gadis yang dipergoki Lana di kamar mandi dengan Noah.
"Dasar playboy. Dia pacaran dengan Tania, tapi juga mendekati Disya," gerutu Lana.
Tiba-tiba Bruno ada di sana dan dia menyodorkan jus untuk Lana.
Lana yang mencoba membalas sikap baik Bruno tampak menerima jus itu dan Bruno mengajak Lana bersulang. Bruno juga mengajak Lana berbincang sembari menunggu Sasa yang pergi mengambil minuman.
"Gadis itu terlihat polos, tapi dia ternyata pemain yang handal," hina Noah melihat Lana yang berbicara dengan Bruno.
Tidak lama, Lana izin pada Bruno akan ke kamar mandi. Lana berjalan sendirian, tapi tiba-tiba langkahnya terhenti saat melihat siapa yang ada di depannya. Lana mencoba menghindar, tapi tangannya dengan cepat ditarik Noah dan dengan cepat tubuh Lana dihimpit sekali lagi oleh Noah pada dinding lorong yang sepi.
"Hai," ucap seseorang.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!