Danish berlari masuk ke kamar di mana Amara berada. Dia mendengar suara teriakan gadis itu.
Amara memegang kedua lututnya sambil menangis di atas tempat tidur. Keringat dingin mengucur dari dahinya. Danish naik ke atas ranjang dan memeluk gadis yang baru satu bulan dia nikahi.
"Aku takut, Mas. Aku takut, Bang David akan mengejar ku," ucap Amara dengan suara gemetar.
"Harus berapa kali aku katakan, Amara. Kamu aman di sini. Tidak akan aku biarkan siapa pun menyakiti kamu. Sekarang kamu bisa tidur lagi," ucap Danish mencoba menenangkan Amara.
"Mas, apa kamu mau menemani aku di sini?" tanya Amara.
Dahi Danish berkerut mendengar pertanyaan gadis itu. Bukankah dia takut dengan dirinya. Semenjak bertemu satu bulan lalu, dia selalu saja menjaga jarak. Bahkan setelah mereka memutuskan untuk menikah, Amara tidak mau sekamar dengannya.
"Jika kamu izinkan, aku akan menemani," jawab Danish dengan tersenyum manis agar Amara tidak takut dengannya.
Amara menganggukan kepalanya sebagai jawaban. Danish lalu naik ke ranjang. Amara kembali membaringkan tubuhnya. Dia memunggungi suaminya.
Danish menghela napas berat. Sepertinya sang istri masih takut dengannya. Namun, ini sudah merupakan kemajuan jika dia mau tidur sekamar bahkan seranjang.
Saat tengah malam kembali Amara berteriak, sepertinya dia mimpi buruk lagi. Danish lalu memeluk tubuh istrinya erat. Wanita itu juga membalas memeluknya. Kepalanya tenggelam di dada bidang sang suami.
Amara merasa sangat nyaman saat berada dalam pelukan sang suami. Dia akhirnya kembali tertidur.
Pagi hari Amara terbangun, dan merasa tubuhnya tidak bisa bergerak bebas. Dia membuka mata dan terkejut mendapati dirinya yang berada dalam pelukan sang suami.
"Mas, bangun! Lepaskan pelukanmu, Mas. Aku mau mandi," ucap Amara.
Danish membuka matanya dan tersenyum mendapati sang istri yang berada dalam dekapan dadanya. Dia beranikan untuk mengecup dahi wanita itu dengan lembut. Tidak ada penolakan sama sekali. Kembali pria itu tersenyum. Ini merupakan kemajuan karena Amara sudah mulai mau di sentuh olehnya.
Danish melepaskan pelukannya. Amara segera bangun dan menuju kamar mandi. Dia memegang dadanya. Jantungnya berdetak kencang.
Sebenarnya masih ada rasa takut dan trauma berada di dekat pria. Namun, Amara merasa Danish sangat berbeda. Pelukannya sangat hangat dan dia nyaman berada dalam dekapannya.
"Kenapa jantungku berdetak cepat begini? Aku merasa sangat gugup berada di dekat Mas Danish. Berbeda dengan pria lain, jika dengannya aku tidak merasa takut lagi," gumam Amara dengan dirinya sendiri.
Satu jam sudah wanita itu berada di dalam kamar mandi, tapi Danish tidak mendengar suara air yang mengucur. Dia jadi kuatir. Pria itu lalu mengetuk pintu. Beberapa mengetuk baru Amara membukanya.
Danish melihat tanpa kedip ke arah wanita itu. Dia masih sama dengan tadi. Berarti belum mandi.
"Kamu tidak apa-apa? Satu jam sudah di kamar mandi, tapi aku tidak mendengar suara air. Aku pikir kamu pingsan!" ucap Danish.
Amara merasa malu mendengar ucapan pria itu. Apakah selama itu dia melamun. Wajahnya memerah, seperti tomat, membuat Danish menjadi gemas. Ingin rasanya mencubit pipi wanita yang berada dihadapannya saat ini. Jika saja istrinya ini tidak memiliki trauma pada laki-laki, pasti dia telah memeluknya.
"Aku bertanya denganmu, Amara? Apa tak terjadi apa-apa?" Danish mengulang pertanyaannya.
Amara menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. Danish sudah tidak bisa menahan rasa gemasnya. Akhirnya dia mengacak rambut sang istri dengan lembut.
"Mandilah segera. Aku buatkan sarapan dulu. Setelah mandi kita langsung sarapan. Aku ada rapat. Harus segera ke kantor," ucap Danish.
Kembali Amara menjawab dengan isyarat saja. Dia menganggukan kepalannya dan kembali masuk kamar mandi, segera menguncinya. Danish tersenyum melihat tingkah wanita itu.
Danish memasak nasi goreng untuk sarapan mereka berdua. Setelah menghidangkan di atas meja, pria itu masuk ke kamarnya. Mandi dan setelah berpakaian rapi keluar lagi menuju meja makan.
Di meja makan telah menunggu istrinya yang telah cantik. Wanita itu tersenyum dengan manisnya. Danish langsung terpesona melihat senyuman Amara. Dalam hatinya bersyukur karena sang istri telah mulai bisa menerimanya. Dalam hati Danish berjanji akan menghilangkan rasa trauma wanita itu.
"Kamu cantik banget hari ini," puji Danish.
"Terima kasih, Mas," balas Amara dengan suara pelan. Wajahnya kembali memerah karena merasa malu di puji pria yang telah menjadi suaminya itu.
Danish mengambilkan nasi untuk sang istri. Dia selalu bersikap manis dengan Amara. Sejak awal mereka bertemu, pria itu selalu berusaha membuat wanitanya merasa dihargai.
"Makan yang banyak. Biar badanmu sedikit berisi. Nanti orang mengira aku tidak memberi kamu makan," ucap Danish. Dia memberikan nasi goreng dalam porsi yang cukup banyak.
"Ini banyak banget, Mas," balas Amara. Dia tidak mungkin bisa menghabiskan nasi sebanyak itu.
"Kamu makan saja. Jika tak habis biar aku yang habiskan," jawab Danish.
Amara memandangi wajah suaminya dengan intens. Pria itu selalu saja melakukan hal yang terlihat manis di matanya. Sehingga Amara tidak lagi merasa takut jika berada di dekatnya. Justru dia akan merasa nyaman.
Setelah sarapan, Danish pamit pergi ke kantor. Tak lupa dia meminta agar sang istri jangan membuka pintu bagi siapa pun yang datang.
"Ingat, jangan buka pintu siapa pun itu yang mengetuk. Aku tidak akan mengetuk pintu karena memiliki satu kunci," ucap Danish sebelum melangkah meninggalkan rumah.
"Hati-hati, Mas," balas Amara.
Danish tersenyum sebelum masuk ke mobil. Setelah mobil mulai jalan, Amara langsung masuk dan mengunci pintu. Dia duduk di ruang keluarga sambil menonton.
Tiba-tiba Amara teringat saat pertama kali bertemu suaminya. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi jika Danish tidak menolongnya malam itu.
...----------------...
Malam itu malam yang paling kelam dalam hidup Amara. Dia tidak mengira jika sang kakak tirinya yang bernama David akan melecehkan dirinya.
Amara yang sudah merasa ngantuk, membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Ketika matanya akan terpejam, dia merasa seseorang meraba tubuhnya. Amara jadi terkejut.
Gadis itu mencoba membuka matanya dan ingin tahu siapa yang telah lancang meraba tubuhnya. Alangkah terkejutnya mengetahui jika itu David, sang kakak tiri.
Amara langsung bangun dan menutupi tubuhnya dengan selimut. Wajahnya pucat dan sangat takut melihat pandangan sang kakak yang tajam menusuk langsung ke jantungnya.
"Apa yang Abang lakukan di sini?" tanya Amara dengan suara yang gemetar.
Bukannya menjawab pertanyaan gadis itu David justru naik ke ranjang sehingga Amara menjadi takut. Dia bergerak menjauh. Namun, tempat tidurnya yang mentok ke dinding membuat dia tidak bisa bergerak bebas.
David, abang tirinya Amara itu makin mendekatinya. Gadis itu semakin ketakutan. Selama ini ayah dan abangnya sering melakukan tindakan kekerasan padanya. Jika dia telat masak, maka bisa dipastikan tubuhnya akan membiru karena pukulan mereka. Ibu tirinya hanya melihat tanpa ada niat mencegah perbuatan kedua pria itu.
Amara memegang selimut yang menutupi tubuhnya dengan erat. Seolah dia bisa bertahan dan meminta pertolongan dengan itu. David menarik dengan sekuat tenaganya selimut yang menutupi tubuh Amara hingga lepas. Dia tersenyum melihat tubuh gadis itu yang gemetar.
Terdengar suara petir menyambar, pertanda akan turun hujan. Amara makin ketakutan saat David mendekati tubuhnya dan menarik baju yang dia pakai.
"Apa yang Abang inginkan?" tanya Amara dengan suara gemetar.
"Aku menginginkanmu ...," jawab David.
David kembali menarik baju Amara hingga robek. Gadis itu sangat ketakutan. Dia tahu, sang Abang pasti akan melakukan hal buruk. Dengan kekuatan yang tersisa, dia menendang tubuh pria itu hingga terjatuh dari tempat tidur.
Amara langsung berdiri dan turun dari ranjang. Ketika dia akan lari, kakinya ditahan David. Pria itu menariknya hingga dia terjatuh.
"Berani sekali kau menendang ku!" ucap David dengan sangat emosi.
David mengangkat tangannya dan menampar pipi Amara dengan keras, sehingga dari sudut bibirnya mengucur darah segar. Dia merasa pipinya panas. Pria itu kembali mendekatinya.
"Jangan mendekat! Atau aku akan berteriak!" ancam Amara.
Bukannya takut mendengar ancaman gadis itu, David justru tertawa dengan kencangnya. Dia makin mendekati Amara yang masih tergeletak di lantai.
"Berteriak lah! Siapa yang akan menolong mu? Ayah dan Ibu pasti akan lebih marah jika merasa terganggu tidurnya. Tetangga? Mana ada yang akan mendengar?"
Amara menarik napas dalam. Apa yang dikatakan abangnya itu benar adanya. Ayah dan ibunya pasti tidak akan peduli mendengar teriakannya. Selama ini, setiap dia di siksa, mereka juga hanya diam. Rumah tetangga berjarak cukup jauh. Suara hujan pasti meredam teriakannya sehingga tidak terdengar.
Namun, Amara tidak akan menyerah. Dia kembali menendang kaki David sehingga pria itu tersungkur. Gadis itu segera bangun dan berlari keluar rumah. Beruntung pintu tidak terkunci.
Amara tidak peduli hujan dan petir yang bersahutan di langit. Dia terus berlari hingga ke jalan raya. Gadis itu melihat David mengejar di belakangnya.
Gadis itu terus saja berlari dan tidak melihat dari arah berlawanan ada mobil yang lewat. Jarak dirinya dan mobil sangat dekat, hingga Amara ketakutan dan berteriak. Dia pikir tubuhnya pasti akan ketabrak. Beruntung pengemudi itu mengendarai mobilnya pelan, sehingga bisa menjaga jarak.
Supir itu keluar dari mobil, dan mendekati Amara. Saat ingin bertanya, tubuh gadis itu tumbang. Pingsan. Pria itu cepat menangkapnya. Dia membawa masuk dan langsung mengendarai mobil.
***
Amara tersadar dari pingsannya, dan membuka mata. Dia melihat sekeliling dengan heran. Kamar yang sangat asing baginya. Gadis itu bangun dan duduk bersandar di kepala ranjang.
Pintu kamar terbuka. Amara melihat seorang pria mendekatinya. Gadis itu yang sangat trauma dengan kekerasan dari sang ayah dan Abang tirinya sangat takut melihat sang pria. Dia langsung berteriak.
"Jangan mendekat! Jika kamu mendekat, aku akan berteriak!" ancam Amara.
Danish, nama pria itu. Dia tidak berani mengambil resiko. Pria itu lalu melangkah mundur.
"Baik, aku tidak akan mendekat. Tapi kamu ambil makanan ini. Aku tidak mau kamu pingsan lagi. Itu akan merepotkan bagiku," ucap Danish. Dia lalu meletakan nampan berisi makanan itu ke lantai.
Perutnya yang terasa lapar, membuat Amara segera turun dari ranjang. Dengan langkah yang hati-hati dia mendekati nampan dan mengambilnya. Setelah itu segera menutupi pintu dan menguncinya.
**
Amara menarik napas dalam. Mengingat awal pertemuannya dengan Danish sang suami. Sejak hari itu Danish hanya menaruh makanan di depan pintu, begitu juga dengan pakaiannya.
Seminggu berada di rumah pria itu, Amara merasa jika pria itu berbeda dengan ayah dan Abang tirinya. Dia tidak pernah mau mendekati Amara. Gadis itu sering mengintip dari balik pintu kamar apa yang dilakukan Danish.
Hingga suatu hari dia meminta Amara keluar dari kamar. Danish ingin bicara.Dengan ragu gadis itu keluar dan duduk di sofa ruang keluarga, tempat Danish berada.
"Siapa namamu?" tanya Danish saat mereka telah berhadapan.
"Amara ...," jawab Amara dengan suara gemetar.
"Kamu telah satu Minggu berada di rumahku. Aku tidak ingin tetangga akan salah paham.Untuk itu aku harus kembalikan kamu ke rumahmu. Di mana alamatmu, biar aku antar!" ucap Danish.
"Aku tidak mau pulang. Aku mau di sini saja!" ucap Amara.
"Jangan gila! Kamu tidak mungkin selamanya tinggal denganku di rumah ini, kecuali jika kamu itu istriku!" ucap Danish dengan penuh penekanan.
"Aku tidak mau pulang. Aku mau di kamar saja," balas Amara lagi.
Danish memandangi gadis itu dengan intens. Bagaimana mungkin mereka tinggal seatap terus. Bagaimana jika ada tetangga yang melihat kehadiran Amara.
"Kamu tidak bisa tinggal di sini. Jika tetangga tahu, mereka bisa melaporkan kita pada Pak RT. Kamu itu bukan istriku," ucap Danish frustasi.
Seminggu menghadapi Amara sudah membuat dirinya pusing. Mana mungkin selamanya. Selama satu Minggu ini dia harus masak dan menyiapkan semua kebutuhan gadis itu.
"Kalau begitu kamu bisa menikahi ku," jawab Amara.
Jawaban gadis itu makin membuat Danish frustasi. Bagaimana mungkin dia menikahi gadis yang selalu ketakutan jika melihat dirinya?
...----------------...
Danish pulang dengan membawa makanan untuk sang istri. Dia bahagia karena wanita itu yang sudah mulai mau menerima dirinya.
Entah kenapa Danish merasa bahagia sekali karena tadi malam bisa sekamar dengan Amara. Padahal awal menikahi gadis itu, dia hanya main-main. Tidak bermaksud serius. Semua dilakukan hanya agar tidak menjadi bahan gunjingan tetangga. Atau yang lebih parah, dia bisa di usir dari wilayah itu.
Danish membuka pintu rumah dengan kunci yang dia miliki. Saat pintu terbuka lebar, dia melihat Amara yang sedang duduk menonton televisi. Melihat kedatangannya gadis itu tersenyum. Jantung pria itu terasa mau copot mendapatkan senyuman manis dari sang istri.
Baru Danish menyadari jika wanita yang telah dia nikahi selama hampir tiga bulan itu ternyata berwajah sangat cantik dan juga manis. Perpaduan yang sangat indah. Ingin rasanya dia memeluk, jika saja tak ingat sang istri memiliki trauma jika dekat pria.
"Mas, sudah pulang?" tanya Amara dengan suara lembut. Dia berdiri dari duduknya dan menyalami serta mencium tangan Danish.
Danish terpaku mendapati perlakuan begitu, karena biasanya wanita itu selalu menghindar jika melihat dirinya. Pria itu mencoba menyentuh rambut Amara dan mengacak nya lembut. Di luar dugaan, dia tersenyum.
"Aku belikan martabak spesial. Kamu suka?" tanya Danish.
"Aku suka banget, Mas." Amara meraih kresek dengan semangat dan berlalu menuju dapur.
Gadis itu kembali dengan dua piring dan dua gelas air putih dingin yang dibawa dengan nampan. Amara lalu menyalin ke piring dan menyerahkan pada Danish.
"Ini untuk kamu, Mas!" ucap Amara.
"Terima kasih, Ara," balas Danish.
"Ara ...?" tanya Amara dengan wajah penuh keheranan.
"Iya, Ara. Itu nama khusus aku panggil untuk kamu. Karena kamu itu istriku, harus ada nama panggilan khusus atau kesayangan. Boleh?" Danish bertanya balik.
"Boleh, Mas," jawab Amara dengan wajah memerah karena malu.
Keduanya lalu diam tanpa suara. Hanya bunyi sendok yang beradu dengan piring sesekali terdengar memecahkan suasana.
Danish dalam diam, mencuri pandang pada sang istri. Dia tersenyum melihat banyak perubahan pada wanita itu. Sepertinya trauma itu mulai hilang dari dirinya.
Dulu Danish seorang pemain wanita. Namun, entah mengapa dengan Amara dia bisa bertahan untuk tidak melakukan kekerasan. Dia sabar menghadapi gadis itu.
"Ara, kamu mau ikut aku ke luar kota. Aku ada proyek di luar kota. Aku takut tinggalkan kamu seorang diri," ucap Danish.
Besok dia akan ke luar kota. Dari tadi pria itu telah memikirkan bagaimana cara dia untuk membawa Amara. Jika ditinggalkan seorang diri, dia kuatir.
"Berapa hari, Mas?" tanya Amara.
"Tiga hari. Sebenarnya hanya menempuh perjalanan enam jam. Tapi aku tidak mungkin langsung kembali karena setiap pagi harus rapat selama tiga hari itu," balas Danish.
"Aku ikut Mas saja," jawab Amara.
Danish cukup terkejut mendengar jawaban sang istri. Dia pikir wanita itu akan menolaknya. Mengikuti Danish ke luar kota, berarti dia harus tidur bareng dengan pria itu. Tidak mungkin Amara tidur dengan kamar terpisah, karena setiap malam dia masih selalu mimpi buruk.
"Kalau begitu, kamu siapkan semua pakaian dan keperluan lainnya buat kita menginap tiga malam. Aku mau mandi dulu. Setelah itu baru masak untuk makan malam kita," kata Danish.
"Biar aku saja yang masak, Mas. Aku tadi melihat di kulkas ada cumi. Aku masak cumi goreng tepung saja. Sambal terasi dan bening bayam. Aku melihat semua bahan itu ada di kulkas," ucap Amara.
"Kamu yakin akan memasak untuk makan malam kita?" tanya Danish. Amara menjawab dengan menganggukkan kepalanya.
Saat tinggal bersama dengan ayah dan ibu tirinya, Amara juga yang selalu memasak buat makan mereka. Gadis itu telah terbiasa di dapur.
"Terima kasih, Ara." Danish berucap sambil mengacak rambut sang istri. Dia begitu bahagia karena perlahan gadis itu mulai bisa beradaptasi dengan kehadiran dirinya.
Rasa bahagia tidak dapat Danish utarakan. Dia sangat menyayangi gadis itu. Tiga bulan bersama, mengurus semua kebutuhan Amara, membuat dia terbiasa. Dari pakaian hingga makannya, semua di atur Danish.
Setelah mandi, Danish langsung menuju dapur. Dia melihat sang istri yang masih berkutat dengan peralatan dapur. Di dekatinya Amara. Dengan perlahan, Danish memeluk pinggang gadis itu. Dia terkejut dan menjauh dari pria itu.
"Maaf ...," ucap Danish. Dia pikir Amara sudah terbiasa menerima sentuhan darinya.
"Tak apa, Mas. Aku hanya kaget saja. Aku pikir siapa yang menyentuh tadi," balas Amara.
"Baunya sangat wangi. Pasti enak dan lezat," ucap Danish mengalihkan pembicaraan.
"Mas bisa aja. Belum di coba sudah bilang enak," jawab Amara.
Amara menyajikan semua masakan di atas meja. Mereka berdua lalu menyantap hidangan dengan lahap. Masukan Amara diakui sangat lezat. Setelah makan, mereka menonton televisi berdua di ruang keluarga.
"Ternyata masakan kamu sangat lezat. Aku bisa kecanduan nanti, nih," ucap Danish.
"Mulai besok biar aku yang masak. Mas pasti capek pulang kerja," balas Amara.
Danish tersenyum menanggapi ucapan sang istri. Mereka mengobrol sambil menonton televisi. Hingga pukul sepuluh, Danish pamit akan tidur ke kamarnya.
"Ara, sebaiknya kita tidur lagi. Besok pagi sudah harus berangkat. Aku pamit ke kamar dulu, ya," ujar Danish.
"Mas, mulai malam ini kamu mau menemani aku tidur?" tanya Amara dengan suara pelan. Gadis itu merasakan ketenangan dan rasa takutnya hilang saat berada dalam pelukan sang pria.
"Kalau kamu mau, aku temani," balas Danish. Amara lalu menganggukan kepalanya tanda setuju.
Amara dan Danish masuk ke kamar yang biasa gadis itu tempati. Naik ke ranjang dan membaringkan tubuh mereka. Amara mendekati sang suami dan menenggelamkan kepalanya ke dada bidang pria itu. Dibalas dengan pelukan hangat dari sang suami.
Entah karena pelukan Danish atau memang dia telah melupakan kejadian kekerasan pada dirinya, sehingga Amara tidur dengan nyenyak hingga pagi menjelang.
**
Dengan kecepatan sedang Danish mengendarai mobilnya. Mereka bangun agak kesiangan. Sehingga tanpa sarapan langsung jalan menuju luar kota. Danish harus menghadiri rapat jam tiga siang.
Di perjalanan, Amara fokus dengan pemandangan yang dilihatnya dari kaca jendela mobil. Dia terlihat sangat bahagia, sehingga Danish pun ikut gembira.
Jam satu siang, Danish sampai ke tujuan. Setelah memarkirkan mobil, dia mengajak sang istri untuk masuk ke hotel tempat mereka akan menginap.
Saat sampai di lobi hotel tiba-tiba Danish melihat istrinya berhenti berjalan. Tubuhnya gemetar. Wajahnya pucat seperti melihat hantu. Dia menjadi heran dan mendekati Amara.
"Ara, kamu kenapa?" tanya Danish.
Amara mencoba mengangkat tangan dan menunjuk ke arah seseorang yang sedang duduk di lobi. Danish memandangi dengan wajah penuh tanda tanya, siapa pria yang Amara tunjuk, dan mengapa dia seperti ketakutan?
...----------------...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!