NovelToon NovelToon

Terjerat Cinta Sang Mantan

1

Penurunan saham yang signifikan membuat Ayara Tanjaya serta sang Ayah—Yudha Tanjaya kelimpungan. Bagaimana tidak? Jika saham perusahaan terus-menerus turun, itu akan berakibat fatal. Bisa-bisa, perusahaan Jaya Company itu harus melakukan PHK masal atau paling buruknya adalah gulung tikar.

Ayara yang memiliki kemampuan khusus di bagian IT, tidak menemukan tanda-tanda perusahaan milik keluarganya itu diretas. Yang artinya tidak ada pihak luar yang melakukan kecurangan.

Setelah diusut dalam waktu yang cukup lama. Perusahaan milik Tanjaya itu mengalami penurunan harga saham, dikarenakan masalah penyaluran distribusi yang macet. Alhasil, tidak ada pemasukan untuk diputar menjadi modal dan pembayaran hutang kepada pihak Bank.

“Aya ... tidak ada jalan lain. Sepertinya, Papa harus meminta bantuan kepada teman Papa,” putus Yudha, sebelum masalah ini semakin merembet ke mana-mana.

Ayara yang tengah sibuk dengan layar laptop di depannya, sembari memikirkan jalan keluar, sontak mendongak untuk menatap papanya.

“Papa mau minta bantuan ke siapa?” tanya Ayara penasaran.

“Ada teman dekat Papa waktu sekolah dulu. Kamu tidak perlu khawatir, teman papa baik. Dia pasti mau membantu,” papar Yudha mencoba menenangkan putrinya.

Ayara terlihat berpikir. Namun, pada akhirnya, dia mengangguk setuju. Tidak ada jalan keluar lain, sebelum masalah semakin memburuk. Juga, tidak ada cukup waktu untuk menunda, sedangkan banyak karyawan yang bergantung hidup di perusahaannya.

***

Keesokan harinya, setelah sebelumnya melakukan janji temu. Yudha–papa Ayara datang berkunjung ke perusahaan milik teman dekatnya.

Sebuah perusahaan yang masuk dalam jejeran perusahaan terbesar di negara Indonesia. Yudha tidak hentinya berdecak kagum sejak masuk ke perusahaan tersebut. Semuanya tampak mengagumkan.

Yudha diarahkan menggunakan lift khusus bagi para petinggi perusahaan menuju ruangan tempat sahabatnya bekerja, di lantai sepuluh, dan dia pun langsung disambut ramah oleh pemilik perusahaan itu, yang tidak lain adalah Deni Aditya.

“Bagaimana kabarmu Yudha? Sudah lama kita tidak bertemu, bukan?” sapa Deni langsung bersalaman singkat dengan teman sekolahnya itu.

Yudha tertawa singkat. “Baik. Bagaimana dengan kamu, Bung? Kamu terlihat sangat awet muda,” balas Yudha berbasa-basi singkat.

Hal itu membuat Deni tergelak. “Kamu memang sangat pintar dalam berbicara, Bung! Sama sekali tidak berubah,” sahutnya dengan santai. “Oh iya ... ayo silakan duduk. Biar kita lebih nyaman ngobrolnya,” lanjutnya mempersilahkan Yudha untuk bersantai di dalam ruangannya.

Setelah berbasa-basi singkat itu selesai. Obrolan berat mulai mengalir dengan sendirinya dari Yudha. Pria paruh baya itu menceritakan permasalahan yang terjadi dengan perusahaan miliknya.

Selama mendengarkan keseluruhan cerita Yudha, Deni diam dan mengangguk singkat. Dia cukup mengerti dengan permasalahan perusahaan milik Yudha dan menurutnya itu bukanlah suatu hal yang sulit baginya untuk membantu seorang teman.

“Jadi ... saya kesini buat meminta bantuan, dengan suntikan dana dari kamu, Bung. Kiranya ... Bung Deni berkenan, tidak, untuk membantu perusahaan kecil milik saya?” lontar Yudha sembari menyelipkan sebuah gurauan.

Deni terkekeh ringan. “Saya ... bisa saja membantu kamu, Bung. Tapi ... bolehkah saya meminta satu syarat?” tanyanya tenang.

Deni Aditya tidak akan melewatkan kesempatan baik di depan matanya. Setelah sebelumnya dia menyelidiki latar belakang Yudha, yang sudah lama tidak dia temui. Dia menemukan hal yang sangat menarik.

“Syarat apa itu, Bung?” Yudha bertanya penasaran.

“Jadi ... begini, Bung. Saya memiliki satu putra yang sudah sangat bisa dikatakan dewasa. Tetapi, putra saya itu tidak ada tanda-tanda mengenalkan seorang gadis ke rumah. Sebagai orang tua, saya tentunya khawatir dengan putra saya, Bung. Tapi, saya ini benar-benar meminta secara baik-baik, ya, Bung. Tidak bermaksud untuk bertukar keuntungan. Saya ... ingin meminta putri Bung Yudha untuk menikah dengan putra saya,” ungkap Deni panjang lebar akan masalah pribadinya.

Hal itu membuat Yudha terkejut. Dia tidak menyangka Deni akan meminta putrinya sebagai imbalan telah membantunya. Tetapi, putrinya bukanlah sebuah barang untuk diperjual belikan. Itu, membuat pikiran Yudha gamang.

Melihat keterdiaman Yudha, Deni menjadi merasa bersalah. “Begini, Bung. Saya tidak memaksa. Saya akan tetap membantu perusahaan milik kamu, tapi bolehkah putra dan putri kita saling dijodohkan? Ini murni karena saya sudah mengenal kamu, Bung. Jadi, saya tidak perlu khawatir akan bibit, bebet, bobot, calon menantu saya nantinya,” tutur Deni lagi sebijak mungkin.

Yudha terdiam, lantas dia menghela nafas berat. “Baiklah. Saya setuju.”

***

Suntikan dana dari Deni telah berhasil masuk ke perusahaannya. Hal itu tentunya membuat perusahaannya mulai kembali stabil. Tetapi, sampai sekarang dia belum berani membicarakan masalah permintaan Deni kepada putrinya.

Gerak-gerik Yudha yang terlihat aneh di mata Ayara, tentu saja membuat sebuah tanda tanya besar muncul di kepalanya. Tidak biasanya, papanya itu banyak diam. Terlebih, sekarang perusahaan sudah kembali stabil. Bukankah papanya itu seharusnya senang?

Ayara pun memutuskan untuk mendekati Yudha. “Papa kenapa?” lontarnya mengagetkan Yudha.

Yudha terlonjak kecil. “Eh- Papa tidak apa-apa.”

Ayara memicing curiga ke arah papanya. Apalagi, sangat terlihat jelas raut Yudha yang gelagapan, serta reaksi kaget yang begitu berlebihan. Seolah-olah tengah menyembunyikan sesuatu hal darinya.

“Ayah gak bisa bohong ke Aya. Memangnya ... Aya segampang itu buat dibohongi,” cibir perempuan itu bersedekap dada.

Mendengar itu, Yudha meringis kecil. Merasa sangat buruk dalam hal menyembunyikan kegelisahannya terhadap sang putri.

“Keliatan bangat, ya, Nak?” Yudha masih mempertanyakan hal yang sudah jelas sekali jawabannya.

Ayara tidak menyahut, tetapi pandangannya seakan mengatakan dia menunggu penjelasan dari papanya. Hal itu membuat Yudha mau tidak mau harus mengatakan yang sejujurnya kepada putri satu-satunya itu.

Yudha menghela nafas panjang. Kemudian, dia menatap lekat wajah putrinya yang sudah dewasa. “Kalau Papa jodohin kamu sama anak teman Papa, kamu mau?”

Satu pertanyaan yang berhasil membuat Ayara mendelik kaget. “Papa gak lagi bercanda, kan?”

Yudha menggeleng lemah. “Sayangnya ... Papa memang benar-benar serius, Aya dan maaf ... karena sebenarnya, Ayah sudah menerima.”

“Apa?” Ayara terkejut sekaligus kesal.

Yudha lagi dan lagi menghela nafas berat. Kemudian, pria paruh baya tersebut menceritakan perihal pertemuannya dengan Deni, tanpa sedikit pun dia sembunyikan. Dia menceritakan semuanya kepada Ayara.

Ayara yang mendengar cerita panjang lebar dari papanya, terdiam. Di sisi lain, dia sangat berat hati, jika harus menikah melalui perjodohan. Bagaimana jika yang dijodohkan dengannya adalah pria gendut, jelek, pendek, dekil, tua? Membayangkannya saja, sudah membuat dia bergidik ngeri.

Tetapi, dia juga tidak boleh egois. Setelah bantuan besar yang dia dapat, yang berhasil membuat perusahaannya kembali stabil. Tidak etis rasanya, jika dia menolak. Apalagi, mendengar dari cerita sang papa, yang mengatakan kalau ini bukan semata-mata bertukar keuntungan. Setidaknya, itu menjadi pertimbangan baik buat Ayara, karena yang akan menjadi calon mertuanya nanti masih menghargainya.

“Baiklah,” putus Ayara lemah. Lantas, dia menatap ke arah papanya. “Kalau boleh Aya tau, siapa yang akan menjadi calon suami Aya?”

Yudha terperangah dengan jawaban putrinya yang tidak terlalu drama seperti yang ada pikirannya. Pria paruh baya itu tersenyum. Kemudian, dia mencari foto putra temannya yang sudah dia simpan.

“Ini ... yang akan Papa jodohkan sama kamu.” Yudha menyodorkan foto pria dewasa ke hadapan putrinya. “Namanya, Marvin Aditya.”

“Hah?!”

*

*

*

Hai semuaa author kembali lagi dengan cerita baru.

Mohon dukungannya dan semoga kalian suka 🥰

2

Sudah kepalang setuju dengan perjodohan sepihak yang dilakukan oleh papanya. Ayara mengerang frustrasi saat tahu siapa yang dijodohkan dengannya.

Dunia ini sungguh sempit dan dia mulai percaya akan slogan, dunia tidak selebar daun kelor. Dari banyaknya manusia di muka bumi ini, dan dari banyaknya kebetulan-kebetulan yang terjadi. Kenapa yang menjadi teman papanya itu harus ayah dari mantannya?

Rasanya, Ayara sungguh ingin menenggelamkan dirinya atau menghilang begitu saja dari muka bumi ini, agar bisa menghindar dari perjodohan yang terlanjur dia iyakan. Lebih buruknya lagi, perjodohan itu akan segera terealisasikan dalam kurun waktu yang tidak lama lagi.

Namun, jika dipikir-pikir lagi. Sepertinya, sangat tidak mungkin mantannya itu akan menerima perjodohan ini. Laki-laki itu pasti menolak, apalagi saat tahu kalau dia yang menjadi kandidat calon istrinya.

Sialan! Gue cuma bisa berharap dia menolak perjodohan ini.

***

Di lain tempat, tepatnya di kediaman keluarga besar Deni Aditya. Seorang laki-laki menatap kesal ke arah orang tuanya. Iya, laki-laki itu adalah Marvin Aditya—putra tunggal dari Deni Aditya dan Heni Kusuma.

“Pa ... ini sudah jaman modern! Marvin sangat menolak perjodohan konyol ini,” seru tegas Marvin.

Deni sudah sangat paham dengan watak putranya yang keras kepala itu. Jadi, dia tidak akan menyerah begitu saja. Maka dari itu, dia menyiapkan sebuah tawaran menarik untuk putranya.

“Tenang dulu, Vin. Papa, kan, belum selesai bicara. Kamu sudah nolak mentah-mentah,” sahut Deni sangat santai.

Marvin mendelik kesal dengan sikap papanya yang terlihat santai. Tidakkah papanya itu tahu, ini sebuah masalah serius akan masa depannya? Memikirkan itu, membuat dia mengutuk diri, merasa kesal, dan marah. Namun, tak urung dia menuruti keinginan sang papa dengan mengontrol emosinya.

Deni tersenyum kecil melihat putranya yang sudah kembali tenang. “Papa tahu, kamu tidak akan menerima perjodohan ini begitu saja. Maka dari itu, bagaimana kalau Papa menawarkan sesuatu hal yang menarik? Apa kamu tertarik?”

Marvin menaikkan sebelah alisnya tinggi. “Apa?” tanyanya tanpa basa-basi.

Sudah Deni duga. Putranya itu sangat tidak suka basa-basi terlalu banyak. Dia pun berdeham singkat. “Bawa perempuan pilihan kamu sendiri ke hadapan Papa dalam waktu tiga hari. Bagaimana?”

Mendengar tawaran yang lebih konyol dari sebuah perjodohan. Berhasil membuat Marvin mengumpat pelan tanpa lagi bisa dicegah. Papanya itu memang sangat cerdik dan sangat tahu akan kelemahannya.

Sial! Kalau gini ceritanya, tanpa perlu nunggu tiga hari juga, ujung-ujungnya tetep aja dijodohin!

“Tapi ingat! Jangan bawa perempuan bayaran. Papa tidak mudah terkecoh, jika kamu benar-benar melakukan hal itu.” Deni menyeringai senang ke arah putranya.

Marvin mendengus, lantas menatap papanya. “Papa memang licik!”

Deni terkekeh mendengarnya. “Papa anggap itu sebuah pujian, Boy!”

“Lagi pula, perjodohan tidak seburuk yang kamu pikirkan, Nak,” celetuk Heni–mama Marvin. Seolah wanita paruh baya itu sangat setuju dan mendukung keputusan Deni.

Marvin sontak menoleh ke arah mamanya. “Please ... Ma. Mama jangan ikuta-ikutan kayak Papa,” mohonnya memelas.

Heni menggelengkan kepalanya ringan, merasa cukup terhibur dengan tingkah putranya yang masih kekanakan di umur yang sudah masuk kepala tiga.

“Yang jadi calon kamu cantik, kok, Vin. Kamu pasti tidak akan kecewa,” ujar Heni lagi tidak menyerah membujuk putranya.

Marvin berdecak kesal. “Ck ... intinya Marvin tidak ada pilihan lain, selain terima perjodohan ini, kan?” sungutnya kesal.

“Good boy!” Deni tersenyum lebar, akan keberhasilannya membuat putranya tidak lagi bisa mengelak dan menghindar.

***

“Ma ... emang harus, ya, Ayara, ikut?” perempuan berusia 27 tahun itu tidak berhenti menggerutu sejak pagi tadi.

Nita–mama Ayara mendelik kesal ke putrinya itu. “Yang mau nikah itu, kamu, Aya! Ya masa ngukur badan Mama?” ujarnya gemas.

Ayara mengerucutkan bibirnya mendengar ucapan sang mama. Perempuan itu bertingkah tidak sesuai umurnya. Membuat sang mama memijit kepalanya yang tiba-tiba terasa pening.

“Udah! Jangan kayak anak kecil. Tinggal ikut aja, susah banget. Heran, Mama ke kamu.”

Ayara semakin kesal. Namun, dia tidak lagi bisa menolak. Dengan amat terpaksa, dia pun ikut sang mama, ke sebuah butik yang sudah disediakan oleh pihak keluarga laki-laki.

Sepanjang perjalanan, Ayara merapalkan doa, supaya tidak dipertemukan oleh Marvin, mengingat ini untuk fitting baju pernikahan mereka. Jujur saja, dia belum siap untuk bertemu dengan mantan kekasihnya itu. Lebih tepatnya, hatinya yang belum siap.

Akan tetapi, seolah seluruh bumi dan Tuhan mendukung perjodohannya. Untuk kali pertama, sejak tiga tahun lalu, dia kembali bertatap muka dengan mantan kekasihnya, Marvin Aditya.

“Ayara,” lirih Marvin terkejut, ketika mendapati seseorang yang selalu dia hindari sejak tiga tahun lalu.

Berbeda dengan Marvin yang terdiam, membeku. Mama dari pria itu tersenyum lebar, saat melihat Ayara serta calon besannya. Lantas, wanita paruh baya itu menghampiri keduanya.

“Ya ampun ... calon menantu Mama cantik banget,” ujar Heni berbinar.

Hal itu semakin menambah keterkejutan Marvin. Dia kira, dia hanya tidak sengaja bertemu dengan Ayara di butik langganan mamanya. Tetapi, justru perempuan itulah yang akan menjadi istrinya.

Damn it! Kenapa harus dia?

Meski mencoba fokus dengan kedua wanita yang berstatus sebagai seorang ibu di kanan-kirinya. Tak lantas membuat Ayara fokus dengan mereka. Dia masih mencuri-curi pandang ke arah Marvin berada.

Terlihat sangat jelas sekali di mata Ayara, jika pria itu tengah terkejut dengan kehadirannya, atau mungkin terkejut dengan statusnya sebagai perempuan yang dijodohkan dengan pria itu.

Tanpa bisa Ayara cegah, dia tersenyum kecut. Dunia terlalu lucu menurutnya. Di saat dia sudah tidak ingin lagi untuk sekedar bersinggungan dengan pria itu. Dunia malah mempertemukan, bahkan menyatukan dia dengan Marvin. Sungguh sangat ironis sekali hidupnya.

“Marvin! Kok, diam saja? Ayo sini kenalan dulu sama calon istri!” Heni menyentak Marvin dari dunianya sendiri.

Marvin pun menghela nafas panjang dan dengan terpaksa menghampiri mamanya yang bersama Ayara, serta mama dari perempuan itu.

Heni tersenyum lebar. Kemudian, dia menatap Nita dan Ayara bergantian. “Ayara, ini Marvin yang akan jadi suami kamu nanti,” ucapnya memperkenalkan putranya.

“Anak kamu ganteng ternyata, Hen. Sepertinya ... siapa pun tidak akan nolak kalau dijodohkan dengan Marvin. Bukan begitu, Aya?” Nita tersenyum menggoda ke arah putrinya, yang sudah menampilkan wajah keruhnya.

Kemudian, Nita tersenyum lebar menatap Marvin. “Oh iya, sampek lupa. Kenalin, ini Ayara, putri Tante, Nak Marvin.”

Kedua ibu itu, lantas memberi kode kepada satu sama lain, lalu cekikikan sendiri. “Ya sudah ... kalian ngobrol berdua dulu, saling kenalan gitu biar lebih deket. Kita tinggal sebentar,” lontar Heni dan berlalu pergi bersama besannya.

Kini, Marvin hanya berdua dengan Ayara. Mereka sama-sama diam, tanpa kata. Juga, tidak ada yang berani untuk menatap satu sama lain. Hingga tak lama kemudian, terdengar helaan nafas kasar dari Marvin.

“Dari banyaknya perempuan di kota ini. Kenapa juga harus lo yang dijodohin sama gue?!”

Tidak terima dengan perkataan Marvin, yang seolah-olah dia menjadi korban atas perjodohan ini dan dia tidak pantas untuk perjodohan ini. Tentu saja, Ayara menatap sinis ke laki-laki itu. Enak saja, dia berkata dengan asal ceplos. Walaupun, dalam konteks ini, dia memang punya hutang budi dengan keluarga mantannya itu. Namun, dia tidak akan mau dipandang sebelah mata begitu saja. Terlebih, oleh seorang mantan.

“Jangan pikir gue senang dengan perjodohan ini, Brengsek!”

*

*

*

Terima kasih sudah mau mampir, semoga kalian betah ya 🥰

Jangan ragu buat kasih dukungan, like dan komentar juga yaa😘

3

Memang sudah sedari awal perjodohan ini harus terjadi dan tidak bisa dihindari. Baik bagi Marvin, maupun Ayara. Karena, pada akhirnya mereka akan tetap berada di atas pelaminan. Yang memang sudah diputuskan oleh kedua orang tua mereka.

Kini, sepasang anak manusia yang sudah sah sebagai suami istri, tengah menyalami banyaknya tamu undangan yang tidak kunjung habis.

Marvin sama sekali tidak menampilkan ekspresi apa pun. Berbeda dengan Ayara, yang masih bisa berakting tersenyum, seolah-oleh dia bahagia dengan pernikahan itu. Walau dalam hati perempuan itu, dia tidak berhenti menggerutu dan mengumpati Marvin yang ada di sebelahnya.

Sialan bener ini buaya satu! Lagak bener cosplay jadi tembok. Mana gak ada inisiatifnya buat nyuruh gue duduk atau setidaknya ngambilin air minum. Bangke emang!

Sebenarnya, tidak jauh berbeda dengan Ayara yang kesal dan lelah. Marvin juga merasakan hal yang sama. Bahkan, pria itu sudah berpikir terlalu panjang ke depan. Makanya, laki-laki itu sejak tadi hanya diam dan menanggapi para tamu dengan seadanya.

Papa niat banget buat ngawi*nin gue, sampek tamu gak ada habisnya. Arghh anjir! Gimana hidup gue ke depannya? Masa iya dari bangun tidur sampek tidur lagi, gue liat perempuan gila ini terus?! Gue gak mungkin juga buat ngajuin cerai. Sedangkan, prinsip gue, menikah itu sekali seumur hidup. Oh fucking shit!

“Senyum, Brengsek! Kita lagi foto keluarga,” umpat lirih Ayara di telinga Marvin.

Mendengar itu Marvin berdecak kesal. Tetapi, dia tetap menurut. Karena, mau bagaimanapun juga, apa yang dikatakan Ayara ada benarnya. Meskipun, dia begitu sangat berat melakukan hal itu.

****

Setelah semua prosesi pernikahan selesai tepat di pukul sembilan malam. Ayara langsung merebahkan dirinya di sebuah kamar hotel, di mana tempat acara itu diadakan. Tanpa mau repot-repot melepas gaunnya terlebih dahulu, lantas dia memejamkan kedua matanya.

Sungguh, Ayara merasa sangat lelah. Tubuhnya begitu terasa remuk redam. Kakinya juga lelah, karena seharian memakai sepatu hak tinggi dan cukup lama berdiri.

Perempuan itu hampir saja terlelap, saat suara pintu terbuka mengurungkan niatnya. Dia mendesis kesal. Sontak dia beranjak dengan wajah keruh nan lelahnya untuk memarahi siapa pun dalang yang mengusik acara tidurnya.

“Ada apa lagi—” Suara Ayara seketika hilang, saat tahu Marvin yang masuk ke kamar itu.

Marvin melirik ke arah Ayara dengan menaikkan sebelah alisnya tinggi. Kemudian, dia mendengus dan kembali melangkah ke arah kamar mandi, tanpa sepatah kata pun.

“Arghhh! Sial ... sial! Gue masih gak terima dengan kenyataan ini!” seru Ayara tertahan dan mencak-mencak sendiri.

“Lo udah gila?”

Ayara sontak terlonjak kaget, mendengar suara mengejek dari arah belakang tubuhnya. Yang tentunya suara itu keluar dari mulut Marvin. Dia melotot dengan mulut menganga menatap laki-laki yang sialnya sudah menjadi suaminya itu dengan geram. Belum apa-apa, kesabarannya sudah diuji.

“Lo yang gila!” sahut Ayara tidak terima.

Marvin tidak menghiraukan perkataan Ayara. Dia melenggang begitu saja ke arah koper yang ada di dekat pintu kamar hotel. Sepertinya, laki-laki itu ingin mengambil pakaiannya dan Ayara baru sadar dengan keberadaan koper miliknya juga yang berada tidak jauh dari koper milik pria itu.

“Mandi! Gue gak mau tidur sama orang yang bau badan!”

Lagi-lagi Ayara dibuat kesal oleh suaminya itu. “Berisik lo!”

Lantas, perempuan itu beranjak dengan mengentak kakinya untuk mengambil koper dan mandi. Namun, dia tidak lupa untuk memerikan pandangan sinis ke arah Marvin, juga sumpah serapah kecil.

Tidak ada adegan buka gaun minta tolong ke suami dan tidak ada adegan romantis di malam pertama itu. Ayara walaupun manja, dia mandiri. Sebisa mungkin dia tidak akan meminta bantuan Marvin. Yang ada, laki-laki itu akan besar kepala nantinya dan Ayara sangat tidak mau itu terjadi.

Marvin menatap heran Ayara yang memakai jubah mandi. Tetapi, dia tidak terlalu memusingkannya. Dia tidak peduli dengan apa pun yang perempuan itu akan lakukan. Namun, yang menjadi masalah baginya saat Ayara mengambil bantal serta selimut yang sedang dia gunakan.

“Apaan, sih, lo?!” Marvin menatap kesal ke Ayara. Padahal dia sudah akan tertidur.

“Apa? Gue mau tidur lah!” sewot Ayara.

“Ya, lo ngapain ngambil selimut gue segala?!” Marvin rasanya gemas sendiri ingin mengacak-acak muka menyolot Ayara.

“Ya gak mungkin juga gue tidur di sofa gak pakek selimut, bego!”

Marvin berdecak, menahan emosinya. “Lagian ngapain juga lo tidur di sofa?! Ada kasur juga, gak usah dibikin ribet!”

Ayara mendelik dengan berkacak pinggang. “Gak mungkin juga gue tidur satu ranjang bareng lo!”

Marvin menaikkan alisnya, mengejek. Dia menatap tubuh Ayara dari atas sampai bawah. Seakan pria itu tengah menilai. “Gue gak akan tertarik ataupun tergoda dengan tubuh triplek lo!”

Hal itu membuat Ayara semakin sewot. Tetapi, dia tidak bisa menyahut saat Marvin kembali melanjutkan ucapannya. “Udah malem! Mending lo tidur. Gue capek!”

Ayara menghela nafas panjang. Ketika dilihatnya Marvin kembali merebahkan diri dan memunggunginya. Lantas, dia pun turut merebahkan diri di kasur di sisi yang masih kosong dan tidak lupa juga, dia memberi batasan. Agar dia maupun Marvin tidak melewati batas tersebut nantinya.

***

“Kalian yakin mau langsung tinggal sendiri?” Deni kembali bertanya untuk sekian kalinya kepada putra dan menantunya.

Mereka saat ini tengah berada di depan hotel untuk pulang ke kediaman masing-masing setelah bermalam, akibat lelah dengan acara pernikahan Marvin dan Ayara.

Marvin mengangguk singkat. “Mau berapa kali pun Papa bertanya. Keputusan Marvin dan Ayara sudah bulat.”

“Padahal, kan, Mama masih ingin ngobrol sama mantu Mama, Vin.” Heni ikut membuka suara, menatap kecewa ke arah putranya.

Marvin yang sudah tahu akal cerdik kedua orang tuanya. Tidak akan begitu saja mengubah keputusannya. “Ayara kerja, Ma. Jadi mau tinggal di mana pun, tidak akan ada waktu buat ngobrol-ngobrol lama.”

“Terserah kamu lah! Bisa-bisanya Mama punya anak kayak kamu,” gerutu Heni karena putranya itu sangat menyebalkan.

Lantas, mereka berpisah dengan mobil masing-masing dengan arah yang berbeda. Marvin mengemudikan mobilnya sendiri bersama dengan Ayara.

Hening menyelimuti perjalanan sepasang suami istri baru itu. Tidak ada raut senang di keduanya. Mereka sama-sama tidak menampilkan ekspresi apa pun dan sama sekali tidak ada yang membuka suara. Hingga mereka tiba di sebuah rumah yang tidak terlalu besar. Namun, masih terlihat sangat mewah.

Keduanya turun dengan membawa koper masing-masing. Kemudian, Marvin menoleh ke arah Ayara dengan masih mempertahankan wajah datarnya.

“Lo bisa pakai kamar mana pun, asal tidak mengganggu privasi gue. Begitu juga sebaliknya,” ujar Marvin sedatar mukanya. “Di sini hanya ada satpam dan ART lepas. Gue harap lo bisa bekerja sama. Karena gue juga tidak akan melewat batas pribadi masing-masing.”

Baru beberapa Marvin melangkah. Pria itu kembali menoleh ke wanita yang sudah dia nikahi dengan terpaksa itu. "Ingat! Jangan melewati batas dan ikut campur hal pribadi gue!" lontarnya datar, lantas kembali melangkah meninggalkan Ayara.

"Gue juga gak sudi buat ikut campur masalah, lo, Brengsek!"

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!