Tes tes.. Halloo semuaa apa kabar? Aku harap kalian semua dalam keadaan baik, sehat, dan happy tentunya. Buat yang taken semoga langgeng sama si doi, dan untuk yang 'JOMBLO' semoga ditabahkan hatinya. Yang penting taken maupun jomblo kudu tetep bahagia yaa.. Karena bahagia itu bukanlah pilihan, melainkan sebuah keharusan :)
Oke, segitu dulu doa nya langsung aja yaa.. aku mau ngucapin terimakasih karena udah mau mampir ke lapak amatiran ini, dan udah bersedia buat baca karya aku yang alakadar banget :') tapi semoga menghibur yah..
So, happy reading and enjoy it!
****
Disebuah gereja besar yang terlihat sangat mewah dengan berbagai dekorasi yang mampu memanjakan mata. Barisan tamu undangan yang duduk dengan rapi terlihat sedang menghadap sang empunya acara. Dan pakaian yang mereka kenakan adalah pakaian yang sudah disiapkan jauh jauh hari khusus untuk menghadiri acara saat ini, yang sudah tentu hasil karya dari perancang terkenal dan harga nya sudah pasti selangit.
Ya, hari ini adalah pernikahan seorang CEO muda sebuah perusahaan terkenal dengan sang pujaan hati. Warna biru dan putih tampak mendominasi ruangan ini. Sang mempelai pria telah berdiri dengan gagahnya di altar. Kemeja putih dan tuxedo hitam telah membungkus dengan sempurna tubuh atlestisnya. Rambutnya yang hitam dan tebal di atur serapi mungkin memperlihatkan hasil sentuhan tangan hairstylish terkenal di negeri ini. Wajahnya yang tampan bak dewa yunani mampu memikat hati seluruh wanita dan bahkan banyak di luar sana yang rela mengantri hanya untuk melihat paras tampannya. Bagaimana tidak, Ia memiliki semua patokan kesempurnaan di wajahnya. Alis yang tebal, hidung yang mancung, rahang yang kokoh, dan bibir tipis yang seksi serta berwarna merah muda.
Tak beda jauh dengan sang mempelai pria, mempelai wanita pun tak mau kalah dengan kesempurnaanya. Tubuh tinggi nan ramping serta kulit seputih susu itu terlihat begitu sempurna di balik balutan wedding dress yang berwarna putih tulang tersebut. Rambut panjangnya yang digelung memperlihatkan leher jenjang nan putih miliknya. Benar-benar pasangan yang sempurna.
Kini tibalah saatnya pengucapan sumpah dan janji suci yang akan mengikat keduanya dalam sebuah ikatan yang disebut Pernikahan. Sang mempelai pria tampak tersenyum lembut kepada wanita yang sebentar lagi akan menjadi istrinya tersebut.
"Kamu cantik sekali Fel" puji Ardigo sang mempelai pria sambil tersenyum tulus kepada Felicya
"Kamu juga sangat tampan Dig" balas Felicya balas tersenyum
"Baiklah, Di hadapan tuhan dan para saksi undangan upacara pernikahan akan kita mulai" ujar sang pendeta
"Saudara Ardigo Alexander Fabiyan di hadapan tuhan dan para tamu undangan bersediakah engkau mengambil wanita di samping mu ini yaitu saudari Felicya Anastasya Jelline untuk menjadi pendamping hidup mu setia sampai maut memisahkan baik dalam keadaan sehat maupun sakit, kaya ataupun miskin, dan suka maupun duka" ujar pendeta membacakan ikrar pernikahan untuk Ardigo dan Felicya.
Ardigo tampak menarik napas sejenak sebelum mengucapkan sumpah pernikahannya
"Saya Ardigo Alexander Fabiyan, saya bersedi-... "
"STOOOPPP!!" Suara lantang dari seorang wanita sukses menghentikan sumpah suci yang sedang diucapkan oleh Ardigo. Kini semua pasang mata langsung menatap kearah wanita yang sedang berdiri di ujung red carpet di ambang pintu gereja
"Hentikan pernikahan ini!" ujarnya lagi. Jujur saja saat ini Ia sedang menahan kegugupannya karena ratusan pasang mata tengah menatapnya tak suka. Tatapan mereka lebih terlihat seperti mengatakan 'Memangnya kau siapa? Mengganggu saja!'
Dia berdiri cukup lama di ambang pintu sambil menguatkan mentalnya. Terutama ketika matanya bersirobok dengan tatapan tajam sang mempelai pria, seketika nyalinya menciut dan terbersit sedikit rasa menyesal telah melakukan hal bodoh ini. Namun dia sudah terlanjur memulai semua ini dan dia juga harus menyelesaikan misinya. Dengan degup jantung yang tak karuan ia pun melangkahkan kakinya menapaki red carpet menuju kedua mempelai di altar
Tatapan kebencian langsung didapatinya dari sang mempelai wanita ketika ia sudah tiba di hadapan kedua mempelai
"Kamu pikir apa yang kamu lakukan hah?" Tanya Ardigo dingin namun menusuk sehingga mampu membuat wanita asing tersebut terdiam dan kehilangan kata-kata yang hendak disampaikannya
"Sa-saya.. " wanita asing itu sangatlah gugup dan takut saat ini. Ia merutuki dirinya sendiri karena telah melakukan hal bodoh ini. Ingin rasanya dia tenggelam saja saat ini daripada menatap mata tajam sang mempelai pria
"Beraninya kamu merusak pernikahan saya?!!" bentak Ardigo. Ketakutan terus meliputi perempuan asing tersebut namun dia mencoba kuat dan bertahan. Ia menghirup napas sebentar lalu berujar
"Sebelumnya saya minta maaf karena telah mengacaukan pernikahan kalian.."
"Jangan bertele-tele brengsek! Katakan apa tujuan mu hah? Kamu telah merusak acara pernikahan kami dengan aksi bodohmu itu!" ucap tajam Felicya yang jujur saja menyakiti hati Friska, namun Ia menyadari inilah konsekuensinya. Wanita mana yang masih berbicara ramah dengan orang yang telah merusak hari bahagianya? Namun Friska tau betul bukan itu penyebab utama kemarahan Felicya. Ia tau dengan pasti bahwa yang membuat Felicya sangat marah ialah karena ia telah menghalangi rencana Felicya. Ya, rencana busuk Felicya!
Ardigo sedikit terkejut mendengar umpatan tajam yang keluar dari mulut Felicya. Pasalnya Felicya yang selama ini ia kenal adalah sosok wanita anggun dan penuh sopan santun. Namun ia segera menepis pemikirannya dengan menganggap bahwa itu adalah hal yang wajar mengingat apa yang telah dilakukan oleh wanita asing dihadapannya ini
"Saya kesini untuk mengatakan bahwa calon istri anda ini adalah seorang penipu" ujar Friska tegas
"Brengsek! Apa yang kamu katakan ha? Jangan mengada-ngada!" Felicya semakin tersulut emosi. Namun Ardigo hanya diam dan semakin menatap Friska tajam
"Saya tidak mengada-ngada! saya melihatmu menjumpai seorang pria sebelum upacara ini. Jangan mengelak lagi! " ujar Friska tak mau kalah. Ia bahkan terlihat seperti seorang pacar yang ditinggal nikah dan berusaha menggagalkan pernikahan sang pacar. Namun kenyataannya bukanlah begitu
"Apa urusannya denganmu hah? Kamu fikir kamu siapa berani mengurusi kehidupan saya? Dasar perempuan murahan! " ujar Felicya mendekat dan hendak melayangkan tangannya untuk menampar Friska. Namun Friska dengan sigap menahan tangannya, hingga tangan Felicya menggantung di udara
"Jangan coba-coba untuk menamparku!" desis Friska tajam lalu ia beralih menatap Ardigo yang sudah menatapnya seakan akan mau memakannya hidup-hidup
"Tuan, saya mohon percayalah. Saya tidak berbohong! Perempuan ini ingin menipumu. Dia hanya menginginkan hartamu" ujar Friska berusaha meyakinkan
"Kamu benar-benar wanita tidak tau malu! Kamu berani menghina calon istriku?" Ujar Ardigo sarkatis. Saat ini hanya mereka bertiga yang seakan berada di dalam gereja tersebut, pasalnya tidak ada yang berani berbicara termasuk orang tua Ardigo. Sementara itu para tamu undangan sibuk berbisik-bisik tidak jelas
"Tapi saya punya buktinya" ujar Friska sambil merogoh tas selempangnya dan mengambil ponselnya
Friska membuka galeri ponselnya dan membuka video yang direkamnya tadi pagi
"Ini! saya merekamnya tadi pagi" ujar Friska sambil menyerahkan ponselnya kepada Ardigo. Dengan kasar pria itu merampas ponsel yang diberikan Friska dan menonton video tersebut
Flash back
Hari yang cerah, matahari memperlihatkan senyumnya. Di hari libur ini Friska berencana menghabiskan waktunya dengan berjalan jalan. Dengan pergi ke pasar tradisional untuk menyicipi jajanan pasar dan dilanjutkan dengan membaca novel novel romantis di perpustakaan kota, lalu ditutup dengan memakan ice cream Strawberry vanilla kesukannya. Itu semua sudah tergambar di otak cantiknya. Karena Tasya, sahabatnya sedang sibuk dengan tugasnya terpaksa dia harus menghabiskan hari ini seorang diri.
Setelah mengunci pintu apartemennya dia pun mulai melangkahkan kakinya menapaki jalanan. Ia berencana untuk berjalan saja menuju pasar tradisional mengingat jarak yang tidak terlalu jauh.
Di tengah perjalanan dia melihat seorang laki laki dan seorang perempuan sedang bertengkar di samping mobilnya di pinggir jalan. Sang perempuan terlihat mengenakan pakaian pengantin yang sangat indah. Friska pun sempat mengagumi kecantikan wanita tersebut
"Wahh cantik sekali! Mirip barbie" gumam Friska memuji sambil menghentikan langkahnya. Saat ini posisinya sedang berada dibelakang pasangan tersebut
Ia sangat penasaran mengapa mereka bisa bertengkar seperti itu. Awalnya dia tidak berniat ikut campur dalam urusan mereka dan memilih melanjutkan jalannya. Namun dia menghentikan langkahnya ketika mendengar teriakan sang wanita
"Iya! Aku akan meninggalkannya! Tapi setelah pernikahan ini" ujar wanita tersebut sedikit berteriak. Dari raut wajahnya terlihat sekali wanita itu sedang berusaha membujuk sang pria.
"Sayang, aku mohon bersabar sedikit lagi. Aku pasti akan meninggalkannya, tapi setelah aku mendapatkan hartanya!" ujar wanita tersebut mencoba meyakinkan sang pria
"Kamu janji?" tanya pria tersebut
"Aku janji! Setelah itu kita akan menikah" ujar wanita tersebut sambil tersenyum
"Kamu memang pintar Felicya. Baiklah, lakukan tugasmu dan setelah kamu mendapatkan hartanya, kambalilah kepadaku. Jangan harap kamu bisa membohongiku!" ujar laki laki yang bernama Jerry tersebut yang dibalas anggukan oleh Felicya. Lalu setelahnya adegan ciuman mesra mereka yang terlihat oleh Friska.
"Dasar pengkhianat!" desis Friska tajam lalu memasukkan ponselnya ke dalam tas selempangnya. Ya, Friska merekamnya
Setelah mengikuti mereka sampai ke gereja, Friska hanya berdiri mematung di depan gereja tersebut dan takut untuk masuk ke dalam. Ia sedang ragu saat ini antara harus masuk kesana atau tidak. Lama dia berdebat dengan pikirannya sendiri hingga terdengar suara pastur yang menandakan upacara akan segera di mulai. Ia menguatkan tekadnya dan menghirup napasnya dalam dalam lalu mengeluarkannya
"Aku harus melakukannya! Aku tidak bisa membiarkan pengkhianatan ini terjadi" ujarnya meyakinkan dirinya sendiri lalu berlari menuju ambang pintu gereja dan...
"STOOOPPP!!!"
Flash back end
Rahang Ardigo tampak mengetat dan buku buku jarinya tampak memutih menahan amarah kepada Felicya. Sedangkan Felicya jangan ditanya lagi, dia sudah sangat pucat pasi membayangkan kemarahan Ardigo yang sebentar lagi akan meledak
"Di-digo aku bisa menjelaskannya. Ini tidak seperti yang kamu lihat, ku mohon per-"
"Apa yang ingin kamu jelaskan hah?!! Kamu mau mengatakan kalau ini salah paham? ini semua sudah jelas Fel! Kamu dan bajingan ini cuma mau memanfaatkanku. Kalian memang pasangan yang serasi" ujar Ardigo berapi-api. Dia memang mengenal sosok laki-laki tersebut yang merupakan kekasih Felicya dulu. Namun tak lama setelah itu Felicya mengatakan bahwa hubungannya dan Jerry sudah berakhir. Karena itulah Ardigo ingin menjalin hubungan yang serius dengan Felicya
"Digo dengarkan aku dulu" ujar Felicya mencoba menggapai tangan Ardigo namun langsung ditepisnya. Dia bahkan tidak lagi mempedulikan bisik bisik dari para tamu undangannya. Banyaknya kamera yang menyorot pun seakan tidak mampu mengembalikan kesadarannya
"Tidak ada yang perlu aku dengar. Pernikahan kita batal! Jadi kubur impian busukmu itu!" tukas Ardigo tajam
"Tidak! Aku tidak mau Digo. Kita akan tetap menikah" ujar Felicya tegas. Ardigo tergelak sebentar lalu menatap Felicya dengan seringainya
"In your dream" ujarnya sarkatis
"Pergi dari sini sekarang juga!" ujar Ardigo kasar. Namun sepertinya Felicya tak ingin menuruti ucapan pria itu
"Pergi dari sini atau aku akan lebih mempermalukanmu. Pergi dari sini dan dari hidupku!!" desisan tajam itu keluar dari mulut Ardigo
"Kamu! Aku akan membalasmu!" tunjuk Felicya kepada Friska yang terdiam sejak tadi. Lalu Felicya pergi dengan berurai air mata
Tamu undangan yang menghadiri acara pemberkatan pernikahan memang tidak terlalu ramai, hanya keluarga besar dan orang-orang terdekat keluarga Fabiyan saja. Di barisan paling depan tampak orangtua Ardigo yang sangat syok dan terkejut terutama sang Ibu. Ia hendak menghampiri mereka sejak tadi namun dilarang oleh suaminya
"Jangan ma, biarkan Digo menyelesaikan masalahnya sendiri" ujar Reno, papa Ardigo
Semuanya menjadi hening sepeninggal Felicya. Bahkan Friska pun tidak tau harus berbuat apa dan dia lebih memilih untuk segera pergi dari sana. Namun langkahnya terhenti saat sebuah tangan menahan lengannya
"Setelah mengacaukan semua ini kamu mau pergi begitu saja?" ucap Ardigo berbisik namun sarat akan ancaman. Dia sengaja memelankan suaranya agar tidak dapat didengar oleh para tamu undangan
Friska yang kebingungan pun lantas berbalik dan menatap Ardigo dengan kening berkerut
"Maksudnya? Lalu saya harus bagaimana lagi?" tanya Friska polos
Ardigo melepaskan tangannya sebentar dan berdiri tepat di hadapan Friska membuat gadis tersebut sedikit memundurkan langkahnya ke belakang. Dia semakin mendekat lalu memegang pergelangan tangan Friska kembali dan membawanya menghadap para tamu undangan. Friska sangat terkejut dan melebarkan matanya
"Sebelumnya saya minta maaf atas gangguan yang sempat terjadi tadi. Sebenarnya gadis yang di samping saya ini adalah mantan pacar saya. Dan dulu kami sudah merencanakan pernikahan, namun batal karena adanya kesalah pahaman diantara kita berdua. Dan sepertinya dia juga masih mencintai saya dengan berusaha menyadarkan saya bahwa perempuan tadi bukanlah perempuan baik baik. Dan saya sangat berterimakasih kepadanya yang tetap setia menunggu saya..." Ucapan Ardigo tersebut membuat semua orang terkejut tidak terkecuali Friska, gadis yang dimaksud pria tersebut. Ia bahkan merasakan kakinya seperti tidak lagi menginjak lantai. Ia menatap Ardigo meminta penjelasan namun sepertinya pria itu enggan memberikan jawaban dan lebih memilih melanjutkan kata katanya
"Pernikahan ini akan tetap berlangsung dengan wanita saya yang sesungguhnya!" ujar Ardigo tegas dan kali ini merangkul bahu Friska membuat sandiwaranya terlihat nyata
"APAAAA???" teriak Friska spontan
To be continued
Jangan lupa like dan comment nya guys..
Salam manis,
NisaYoung
Don't forget to vote, like and comment 😉
"Apa bapak bilang? Saya harus menikah dengan bapak? TIDAK!! Saya tidak mau" ujar Friska berapi-api. Saat ini mereka sedang berbicara berdua setelah sebelumnya Ardigo meminta izin kepada para tamu undangannya untuk berbicara berdua dengan wanita yang diakuinya sebagai calon istrinya tersebut. Friska memutuskan untuk memanggilnya 'bapak' karena menurutnya itu lebih sopan dan sepertinya Ardigo lebih tua darinya nya
"Saya tidak mau tau! Kamu harus bertanggung jawab atas ini semua" balas Ardigo dingin
"Apa? tanggung jawab? memangnya apa yang saya lakukan?" tanya Friska yang terdengar konyol di telinga pria itu
"Kamu bertanya apa yang kamu lakukan? Saya rasa kamu tidak akan lupa bahwa kamu baru saja merusak pernikahan saya" tegas Ardigo
"Hah? tapi bukankah saya melakukan hal yang benar? Saya cuma mau menyelamatkan bapak dari sebuah pengkhianatan" ujar Friska tidak habis fikir
"Tapi saya tidak butuh bantuan kamu itu. Dan asal kamu tau, bahwa kamu baru saja mempermalukan keluarga dan juga nama baik saya!" desis Ardigo tajam. Ia sedang menahan kekesalannya saat ini kepada wanita asing di hadapannya ini
"Apa? lalu bagaimana jika tadi saya tidak datang dan pernikahan ini berlanjut? dia akan mengkhianati bapak" ujar Friska menjelaskan
"Memangnya kamu siapa sampai harus mengkhawatirkan saya? lagipula saya bisa menceraikannya sewaktu-waktu kalau saya mengetahui dia tidak baik" balas Ardigo enteng
"Tapi kamu malah tiba tiba datang dan merusak semuanya. Kamu tau tidak kalau disana itu banyak wartawan dari majalah terkenal? dan disana juga banyak orang-orang terdekat saya. Mereka bisa saja mengabarkan berita buruk tentang saya yang akan berimbas kepada perusahaan saya. Dan kenapa kamu harus sok menolak? bukankah ini yang kamu inginkan? berpura-pura menjadi pahlawan lalu meminta saya untuk menikahimu. Harusnya kamu senang karena sebentar lagi rencanamu itu akan terwujud" ujar Ardigo lagi
Sementara itu Friska hanya terperangah mendengar perkataan pria sombong di hadapannya ini
"Jadi kamu harus bertanggung jawab atas semua ini. Saya tidak mau pernikahan ini batal dan membuat saya terlihat seperti pengantin pria yang menyedihkan"
Rasanya Friska ingin menampar dan mencakar wajah tampan di hadapannya ini. Ia tidak mengira sosok tampan itu memiliki lidah yang tajam dan mampu melukai hati hanya dengan perkataannya. Dan yang lebih membuatnya marah adalah tuduhan yang diberikan Ardigo kepadanya, dia merasa direndahkan oleh pria itu
"Dengar ya pak, buang semua pikiran buruk bapak itu. Saya bahkan tidak kenal siapa bapak, dan saya tidak mungkin meminta laki laki seperti bapak untuk menikahi saya. Lagian siapa juga yang akan sanggup menjadi istri dari laki laki yang berlidah tajam seperti bapak" ujar Friska emosi
"Oh ya? Lalu apa yang kamu harapkan dari saya? balasan seperti apa yang kamu inginkan?" tanya Ardigo dengan nada mengejek
"Saya tidak butuh apa pun! yang saya butuhkan saat ini bisa pergi dari sini secepatnya dan tidak pernah lagi bertemu dengan bapak!" ujar Friska sarkatis. Ardigo hanya mengetatkan rahangnya mendengar ucapan Friska barusan
"Saya permisi dulu. Sepertinya saya sudah salah dengan menyelamatkan bapak dari pernikahan ini" ujar Friska hendak membalikkan tubuhnya namun dia merasakan tangannya dicekal kuat oleh seseorang. Ardigo menatapnya tajam dengan rahang mengeras dan itu sukses membuat Friska sedikit ketakutan
"Kamu harus bertanggung jawab untuk nama baik saya! dan saya tidak mau tau, kamu harus melakukannya. Atau saya akan menghancurkan hidupmu dan juga keluargamu!" ujar Ardigo yang sarat akan ancaman. Mendengar kata 'keluarga' yang disebutkan seketika pikirannya kosong dan dia hanya mampu menatap kosong ke arah pria itu. Seketika matanya berkaca kaca namun dia segera melepas tangan Ardigo dan memilih menundukkan kepalanya.
Pria itu tersenyum miring melihat ekspresi wanita dihadapannya ini. Ia berpikir bahwa Friska sedang takut dengan ancamannya, namun nyatanya Friska hanya merasa terluka setiap kali mendengar kata 'keluarga' diucapkan. Ia seperti sedang merasa luka yang lama kembali terbuka. Dan mengenai ancaman Ardigo, sejujurnya dia juga merasa takut sebab seseorang yang punya kuasa seperti Ardigo bisa melakukan apapun dengan uang.
sekali lagi, hidup ini tidak adil. Batin Friska memalingkan wajahnya sambil menghapus kasar air matanya dengan punggung tangannya
****
Suara riuh tepuk tangan kini terdengar menggema di dalam gereja tempat upacara pernikahan berlangsung saat mempelai pria mencium dahi sang mempelai wanita. Tidak ada senyum bahagia di wajah keduanya, melainkan hanya wajah sendu dari si wanita dan wajah datar andalan sang pria. Setelah upacara selesai, kini mereka semua menuju ballroom hotel keluarga Fabiyan, tempat resepsi berlangsung. Akhirnya Ardigo benar benar menikah dengan wanita asing yang baru di kenal nya satu jam yang lalu itu
Friska, sang mempelai wanita terus saja memasang senyum palsu miliknya tatkala tamu undangan menyalami dan memberikan selamat kepada mereka berdua. Dari kejauhan Friska dapat melihat sepasang suami istri yang terlihat masih tampan dan cantik di usia mereka yang terbilang sudah tidak muda lagi. Mereka berjalan mendekat bersama seorang bocah laki laki yang Friska perkirakan masih berumur 4-5 tahun.
Saat semakin dekat Friska mendapati wanita paruh baya itu tersenyum ke arahnya dan Digo, lalu sang bocah laki laki tadi pun langsung berlari menuju Ardigo
"Papa... " teriak bocah tersebut sambil memeluk kaki pria yang kini sudah sah menjadi suami Friska itu. Mendapati bocah itu memeluk kakinya lantas Ardigo pun tersenyum lalu berjongkok menyamakan tingginya dengan sang anak. Sedangkan Friska? Dia hanya menganga menatap Ardigo dan bocah yang baru saja memanggilnya papa tersebut.
papa? apa bocah ini anaknya? Lalu, apakah aku menikahi seorang duda? batin Friska bertanya tanya. Namun dia hanya diam menyimpan sejuta pertanyaan
"Hai sayang. Vano terlihat tampan sekali" puji Ardigo sambil mengelus lembut kepala Vano, anaknya. Lalu beralih memeluk tubuh mungil sang putra
"Dia Vano, anak saya" ujar Ardigo setelah melepas pelukannya seolah menjawab pertanyaan yang ada di kepala Friska.
What? Anak katanya? Jadi aku benar benar menikahi seorang duda? batin Friska syok namun dia hanya menutupi keterkejutannya itu dengan memasang wajah datar lalu ber 'Oh' ria
Friska menatap bocah tersebut lalu tersenyum kaku, pasalnya bocah itu menatapnya tajam dan datar seperti tatapan sang ayah.
Benar benar mirip papanya. Batin Friska, dia langsung membayangkan bagaimana tersiksanya hidupnya bersama ayah dan anak ini. Sepertinya Vano sangat tidak menyukainya
Tuhan, bagaimana caranya aku bisa hidup diantara mereka?. Batin Friska Frustasi
"Selamat ya nak, akhirnya kamu mendapatkan ibu untuk Vano. Mama harap kamu bisa bahagia" Ujar Rini, ibu Ardigo
"Iya ma" balas Ardigo seadanya
"Friska, terimakasih ya kamu sudah datang dan menunjukkan siapa Felicya sebenarnya. Walaupun kamu orang asing yang dinikahi Digo, tapi mama yakin kamu wanita yang baik. Mama titip Digo dan Vano ya.." ujar Rini lalu memeluk Friska. Friska bersyukur walaupun suami dan anak tirinya tidak menyukainya setidaknya dia memiliki mertua yang baik dan penyayang. Tak terasa air mata Friska mengalir saat merasakan hangatnya pelukan seorang ibu walaupun itu bukanlah ibu kandungnya. Setidaknya dia dapat merasakan pelukan tulus dari seorang ibu yang sudah lama dia rindukan.
"Jangan menangis sayang, masa pengantin menangis di hari pernikahannya" canda Rini lalu menghapus air mata di pipi Friska yang hanya dibalas senyuman oleh Friska
"Papa harap kalian bisa jadi keluarga yang bahagia. Saling mencintai satu sama lain, dan belajarlah untuk menerima kekurangan satu sama lain" nasehat Reno papa Ardigo yang diangguki oleh sepasang mempelai tersebut. Setelah itu resepsi pun berjalan dengan lancar
****
Jam sudah menunjukkan pukul 9 malam dan kini Ardigo, Vano, dan Friska sedang menempuh perjalanan menuju apartemen Ardigo. Namun sebelumnya mereka juga singgah di apartemen sederhana milik Friska untuk mengambil semua barang-barangnya karena setelah ini Friska akan tinggal bersama Ardigo dan Vano di apartemen milik pria itu.
Friska terlihat sedikit kesusahan membawa sebuah koper berukuran sedang menuju mobil Ardigo, namun hal itu tidak membuatnya tergerak untuk membantu gadis yang baru saja dinikahinya itu, dan sebuah kotak yang berisi barang barang nya seperti buku buku, dan peralatan kecil lainnya. Friska memang tidak memiliki barang yang banyak sehingga hal tersebut membuat nya sedikit banyak bersyukur atas hidup sederhananya selama ini
Untung aku tidak mampu membeli barang yang banyak selama ini. Jadi tidak begitu banyak barang yang harus aku bawa. Mana dia tidak mau membantu sedikitpun lagi, dasar tidak punya hati!. Umpat Friska kesal di dalam hatinya
Setelah semua barang nya masuk ke dalam mobil, dia pun kembali ke posisinya yaitu di samping Ardigo. Dan mobil pun kembali melaju memecah dinginnya malam yang mulai larut
Saat pintu terbuka pemandangan yang sangat indah langsung membuat Friska melebarkan matanya, bahkan mulut nya pun sedikit ternganga. Keindahan apartemen Ardigo lah yang jadi penyebabnya. Ardigo memang tinggal di apartemen yang sangat mewah dengan design yang elegan dan menakjubkan. Bahkan Friska membuang jauh jauh niatnya untuk membandingkan apartemen ini dengan apartemen yang ditempatinya sebelumnya, karena memang apartemennya itu tidak sebanding dengan milik Ardigo yang mulai saat ini akan menjadi tempat tinggalnya. Dan satu lagi, apartemen ini sangat bersih dan rapi sehingga membuat Friska berpikir lima kali untuk menyentuh apa pun
Dia benar-benar kaya. Batin Friska, karena memang sejauh ini segala hal yang berhubungan dengan pria tersebut bukan lah sesuatu yang biasa dan bisa dimiliki oleh semua orang. Mulai dari resepsi pernikahan yang sangat mewah, tamu undangan yang terlihat sangat berkelas dan sepertinya dari kalangan atas, serta apartemen yang jauh dari kata 'Biasa saja'. Friska berani bertaruh bahwa budget yang dikeluarkan untuk pesta pernikahan hari ini hanya bisa dihitung dengan satuan M.
Namun kegiatannya mengagumi apartemen ini harus terhenti karena sang pemilik apartemen membuka suaranya
"Itu kamar kamu, kamar saya dan Vano ada di atas. Jangan pernah mencoba untuk masuk ke kamar saya tanpa izin saya. Kita hanya suami istri secara status, tapi tidak dengan kenyataannya!" ujar Ardigo dingin sambil berlalu dengan menggendong Vano yang sudah tertidur dalam gendongannya
Friska hanya diam menatap kepergian sang suami sambil sedikit merutuk dalam hatinya
Memang nya siapa juga yang mau masuk ke kamarnya? Dia pikir aku maling?. Batin Friska sambil membuka pintu kamar dan membereskan semua barang barangnya. Setelah itu dia menghempaskan tubuhnya ke kasur yang dia akui sangat empuk, bahkan kasur di apartemennya tidak ada apa apanya dibanding kasur ini.
Friska menatap langit langit kamar sambil mengulang semua memorinya tentang hari ini. Mulai dari rencananya yang ingin menghabiskan hari ini dengan melakukan berbagai hal yang menyenangkan, lalu melihat sesuatu yang membuatnya bertindak menjadi pahlawan dengan menghancurkan pernikahan orang lain, hingga menjadi mempelai dadakan yang membawanya sampai ke apartemen mewah ini. Rasanya seperti mimpi bisa berada di posisi ini, menikah secara mendadak dan dipaksa tentu saja tidak ada dalam list kehidupan Friska maupun semua gadis di luar sana. Namun hidup bukan hanya tentang rencana, tetapi juga tentang kenyataan. Jika rencana membutuhkan kenyataan sebagai perwujudannya, maka kenyataan tidak membutuhkan rencana sebagai penyebabnya. Dan kenyataan itulah yang sedang dihadapi oleh Friska saat ini, menikah dengan orang asing dan dengan keterpaksaan sebagai bentuk pertanggungjawaban
Memikirkan itu semua membuat kepala Friska berdenyut dan butuh diistirahatkan. Ia pun menutup matanya berharap esok segera datang membawa cerita baru untuk hidupnya. Karena bagi Friska hidup itu seperti game, jika kamu sudah mencapai suatu level, maka yang perlu dilakukan adalah berjuang agar sampai ke level selanjutnya. Bukan malah putus asa dan kembali ke level sebelumnya.
To be continued
Jangan lupa like dan saran nya ya..
Don't forget to like and comment
Pagi telah menyapa dengan sinarnya yang hangat. Waktu telah menunjukkan pukul 7 dan itu artinya Friska harus segera bergegas menuju kampus tempatnya menimba ilmu. Friska adalah seorang mahasiswi di fakultas ekonomi. Dia mengambil jam kuliah pagi setiap harinya karena siang dia harus bekerja di sebuah kafe milik temannya. Friska harus bekerja sambil kuliah karena hanya dengan cara itulah dia bisa bertahan hidup dan mengenyam dunia pendidikan.
Flash back
Friska Hallin Amanda adalah seorang anak yang hidup sebatang kara. Dulu keluarga Friska adalah keluarga yang sederhana namun bahagia. Ayahnya bekerja sebagai PNS biasa sedangkan sang ibu tidak bekerja dan mengurus rumah serta Friska. Ia tidak memiliki saudara, dengan kata lain anak tunggal. Pada suatu hari Friska kecil yang berumur 4 tahun dibawa oleh sang ibu pergi ke pasar. Sepanjang perjalanan pulang menuju rumahnya Friska tak henti-hentinya tersenyum sambil bersenandung kecil karena ibunya membelikan boneka yang kini tengah berada dalam dekapannya, Friska sangat senang meskipun boneka tersebut jauh dari kata mahal.
Tiba-tiba langkah sang ibu berhenti yang mengakibatkan Friska juga berhenti karena tangannya digenggam oleh ibunya. Friska bingung dan hendak bertanya kepada sang ibu, namun ketika dia mengangkat kepala agar dapat melihat wajah wanita yang sudah melahirkannya tersebut, Friska terkejut karena yang dia dapati adalah raut kesedihan dan terluka yang amat sangat mendalam. Friska memang tidak paham jelas tentang raut ibunya namun air mata sang ibu cukup menjadi saksi bahwa ibunya tengah sedih saat ini
Friska pun mengikuti arah pandang ibunya dan betapa terkejutnya Friska melihat ayahnya yang kini sedang bersama wanita lain di seberang jalan, dan kini mereka sedang berpelukan layaknya sepasang kekasih. Padahal 2 hari yang lalu ayahnya izin keluar kota karena ada study banding dari SD tempatnya mengajar. Friska hanya diam dan tidak bertanya mengenai situasi ini karena dia tau itu hanya akan membuat ibunya semakin sedih. Friska mengganggam tangan ibunya berusaha menyalurkan kekuatan melalui tangan kecilnya.
Seakan mengerti putrinya telah melihat sang ayah bersama wanita lain, ibu Friska lalu mengusap kasar air matanya lalu mencoba tersenyum kepada Friska.
"Sayang, Friska tunggu disini sebentar ya.. Ibu mau menemui ayah dulu" ujar Dena. Bagaimanapun dia harus menyadarkan suaminya itu dan memastikan bahwa ini semua salah paham, bagaimanapun Dena tidak ingin kesalahpahaman ini akan berdampak buruk terhadap rumah tangganya.
"Friska mau ikut bu.." ujar Friska merengek.
"Sebentar saja sayang, ibu akan kembali" ujar Dena, dia tidak ingin putri kecilnya mendengar pembicaraan orang dewasa seperti ini. Ia tidak ingin meracuni otak polos Friska. Lalu dia menitipkan Friska kepada satpam yang berjaga di minimarket dekat tempat mereka berdiri saat ini
"Pak, saya titip anak saya sebentar ya.. Saya ada urusan sebentar di seberang jalan sana. Nanti saya jemput lagi, sebentaaar saja" ujar Dena meyakinkan satpam tersebut. Ia hanya tidak ingin dicurigai sebagai ibu yang membuang anaknya. Karena kasus itu sedang marak terjadi saat ini
"Baik bu.. " balas satpam tersebut. Setelah itu, Dena menatap putri kecilnya yang menatapnya sendu. Ada rasa berat hati meninggalkan putrinya tersebut, namun dia segera menepisnya dan berjanji dalam hatinya. 'Ibu akan membawa ayahmu pulang ke pelukan kita Friska' batin Dena lalu berjongkok di hadapan Friska yang masih memeluk boneka barunya.
"Jangan nakal-nakal ya sayang, jadilah wanita yang kuat. Ibu sayang Friska sampai kapan pun" entah mengapa Dena mengatakan hal itu. Dia juga tidak menyadari mulutnya berkata demikian. Ia mencium seluruh wajah Friska lalu pergi menyebarangi jalan. Ia melihat sang suami dan wanita tadi sudah mulai berjalan menjauh, jadi dia mempercepat langkahnya dan berlari menyeberangi jalan. Ia tidak peduli dengan keadaan sekitar, yang ada dalam benaknya saat ini adalah membawa suaminya pulang ke rumah dan bahagia kembali bersama putri kecil mereka, Friska.
Namun dia tidak menyadari kalau sebuah truk tengah melaju dengan kencangnya di jalan hingga saat semua orang berteriak dia tidak mendengar nya dan sopir truk itu pun tidak sempat menginjak rem hingga..
BUKKKKK.....
Kecelakaan pun tidak dapat dielakkan, tubuh Dena terpental cukup jauh dan membuat jalanan penuh dengan darah. Dan Dena pun mengakhiri nafasnya ditempat itu juga.
"IBUUUU!!!!" suara teriakan anak kecil itu menjadi suara pertama yang mengiringi kepergian Dena. Friska adalah anak malang yang menyaksikan itu semua. Sejak kepergian ibunya tadi, sepasang mata indahnya tidak pernah lepas mengawasi gerak gerik sang ibu. Hingga kecelakaan itu pun terjadi, sang ibu meregang nyawa tepat di depan kedua matanya.
Flash back end
Setelah merasa penampilannya rapi, Friska pun mengambil tas ranselnya dan bergegas keluar kamar. Pagi ini dia ada kelas dengan mr. Irwandi yang terkenal killer seantero fakultas ekonomi, jadi dia tidak ingin mengambil resiko dengan dosen tersebut. Pagi ini Friska bangun cepat seperti biasa dan menyempatkan memasak sarapan untuknya dan juga Digo serta Vano. Bagaimapun dia telah tinggal di apartemen ini. Jadi, perut orang yang ada disini sudah menjadi tanggungjawabnya. Begitulah pikirnya
Friska pun keluar dari apartemen setelah menuliskan note kepada Digo bahwa dia berangkat kuliah. Dia pun memesan ojek online untuk mengantarnya ke kampus karena jarak kampus yang lumayan jauh. Jika dulu dia bisa pergi berjalan kaki menuju kampus karena apartemennya yang lumayan dekat dengan kampus, namun tidak untuk kini.
Setibanya di kampus, Friska langsung menuju kelasnya dan bersiap memulai hari ini dengan semangat. Ia menghembuskan nafas nya pelan lalu mengepalkan tangan di udara
"Semangat Friska! Hari ini pasti akan menyenangkan!" ujar Friska menyemangati dirinya sendiri. Itulah yang setiap hari dikatakan Friska kepada dirinya sendiri. Meskipun dia lebih sering melewati kesulitan daripada kesenangan seperti yang setiap hari dia ucapkan tersebut. Namun bagi Friska itu tidak masalah
****
Sementara itu ditempat lain, terlihat Ardigo yang baru bangun sambil menyipitkan matanya karena matahari telah memasuki celah jendela kamarnya. Ia pun menatap putranya yang masih terlelap di sampingnya. Jika biasanya dia akan bangun pagi dan bergegas ke kantor, namun tidak untuk hari ini hingga 3 hari ke depan karena dia mengambil cuti pernikahannya.
"Vano... Ayo bangun" ujarnya membangunkan putranya tersebut.
"Engghh" hanya lenguhan yang keluar dari bibir kecil Vano
"Sayang.. ayo bangun, Vano kan harus sekolah" ujar Ardigo lagi. Akhirnya Vano membuka matanya dan menyesuaikan matanya dengan cahaya yang masuk ke dalam kamar, Vano terlihat lucu dengan ekspresinya yang membuat Ardigo terkekeh kecil.
Benar-benar mirip denganku. Batin Ardigo, lalu mereka bangkit bersama dengan Vano yang berada di gendongannya. Ardigo membawa Vano ke kamar mandi dan mulai memandikannya.
Setelah mereka berdua rapi, Vano dengan seragam TK nya dan Ardigo dengan baju santai yang berbeda dari hari-hari biasa yang selalu memakai pakaian formal lengkap dengan jas. Kini Ardigo hanya memakai kaos hitam polos dengan celana selutut membuatnya terlihat seperti remaja dan membuat siapa saja yang melihatnya tidak percaya bahwa dia telah memiliki seorang putra yang berumur 4 tahun
Mereka menuruni tangga sambil tertawa bersama, benar-benar ayah dan anak yang kompak. Ardigo berjalan menuju dapur hendak membuat sarapan yang berupa roti bakar seperti biasa. Namun dia dikagetkan dengan nasi goreng yang terlihat lezat lengkap dengan telur mata sapi telah tersaji di meja. Seketika dia teringat bahwa kini bukan hanya dia dan Vano saja yang tinggal di apartemen ini, namun ada sosok lain yang begitu asing untukknya. Sosok itu adalah Friska, istrinya.
Ia tidak melihat keberadaan wanita itu, namun dia tidak ingin mengambil pusing dan tidak peduli. Namun seketika senyum mengejek tampil di wajah tampan Ardigo
Dia pikir aku mau memakan masakan nya? Haha dalam mimpimu wanita aneh. ujar nya lalu mengambil roti yang terletak di laci dapur dan hendak memanggangnya
"Ini siapa yang memasak pa?" tanya Vano sambil menatap nasi goreng yang tersaji di atas meja, tatapannya menunjukkan bahwa dia tergiur dengan nasi goreng tersebut.
"Jangan dimakan Vano! Kita tidak mengenal wanita itu. Bisa saja dia memasukkan racun ke dalam nasi goreng itu" ujar Ardigo mengeluarkan pemikiran buruknya.
"Maksud papa tante Friska?" tanya Vano polos
"Iya. Lebih baik Vano duduk, papa panggang rotinya dulu" ujar Ardigo lalu membalikkan badannya. Vano mengerucutkan bibirnya sambil tetap menatap nasi goreng yang menggiurkan itu
"Pa, Vano bosan makan roti bakar terus setiap hari" ujar Vano mengerucutkan bibirnya. Ardigo pun membalikkan badan menghadap sang putra
"Maaf sayang, papa tidak bisa memasak yang lain. Kalau Vano mau, papa bisa pesankan apapun buat Vano. Vano mau apa? " ujar Ardigo lembut. Namun Vano hanya menggeleng pelan
Ardigo memang hanya tinggal berdua dengan Vano tanpa memakai jasa asisten rumah tangga. Dia kurang menyukai ada orang asing yang tinggal bersamanya. Sedangkan untuk urusan membersihkan apartemen, dia akan menyuruh orang untuk datang dan membersihkan apartemennya.
"Vano maunya masakan rumah seperti itu saja pa.. " ujar Vano sambil menunjuk nasi goreng masakan Friska
"Vano juga mau membawa bekal sendiri ke sekolah biar seperti teman-teman Vano yang lain" ujar Vano merengek. Karena setiap harinya, Ardigo akan menyuruh orang suruhannya untuk mengantarkan makanan ke sekolah Vano. Ardigo pun mendekat kea arah sang anak
"Vano, papa belum bisa memasak sayang. Vano mau makanan apa hari ini? papa akan belikan makanan apa pun yang Vano mau" ujar Ardigo mencoba membujuk putranya.
"Vano mau masakan rumah pa.." ujar Vano yang membuat Ardigo pusing menghadapi kekerasan Vano. Ia seperti sedang berkaca saat ini, karena memang keras kepala Vano itu menurun darinya.
"Vano, sekarang kita makan roti dulu ya, itu rotinya sudah matang. Nanti papa akan menjemput Vano pulang sekolah, dan kita akan pergi jalan-jalan. Mau?" tawar Ardigo yang berhasil membuat Vano tersenyum cerah dan diikuti anggukan antusiasnya. Vano memang sangat senang ketika sang ayah punya waktu untuknya, karena memang Ardigo jarang sekali bisa menghabiskan waktu bersama Vano dikarenakan kesibukan kantor.
Sejak sang istri meninggal dunia ketika melahirkan Vano, Rini sang ibu membujuk agar mereka tetap tinggal dirumah, namun Ardigo menolak dengan alasan ingin hidup mandiri bersama Vano. Dan karena alasan itu, Rini sering tinggal di apartemen Vano untuk mengurusi cucunya yang masih kecil waktu itu. Disaat sekarang Vano sudah mulai besar, Rini sudah jarang menginap karena harus menemani suaminya, Reno. Dan Ardigo sudah bisa mengurus Vano sendiri
Setelah mengantar Vano ke depan gerbang sekolah TK nya, Ardigo pun melambaikan tangannya sambil tersenyum ke arah Vano yang juga dibalas oleh Vano. Setelah itu dia memutar kemudi menuju apartemennya kembali
Sesampainya di apartemen, Ardigo berjalan menuju dapur hendak mengambil air mineral dari dalam kulkas. Matanya tak sengaja melirik sebuah note yang ditempel di pintu kulkas
Aku pergi kuliah dulu, sarapan ada di atas meja kalau kamu mau memakannya.
- Friska
"Sayangnya aku tidak mau!" ujar Ardigo mengejek lalu membuang stick note tersebut ke dalam tong sampah di dapur
*****
Setelah menyelesaikan jam kuliahnya hari ini, Friska langsung menuju Follabe caffe. Di kafe tersebutlah dia bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya selama ini
"Bagaimana kuliahnya hari ini Fris?" tanya Rivan sang pemilik kafe kepada Friska
"Seperti biasa kak, nothing's special " balas Friska sambil tersenyum.
Mereka memang sangat dekat karena dulu pernah tinggal di panti asuhan yang sama sewaktu kecil. Friska yang saat itu berumur 5 tahun dan Rivan yang berumur 10 tahun, mereka sangat dekat dan saling menyayangi satu sama lain. Namun Rivan kemudian diadopsi oleh sepasang suami istri yang kaya raya sehingga dia bisa hidup berkecukupan seperti saat ini, bahkan kafe ini adalah salah satu cabang dari kafe keluarga angkatnya yang tersebar hampir di seluruh Indonesia
Meskipun begitu, Rivan tidak pernah melupakan Friska yang dulu juga bernasib sama dengannya waktu di panti asuhan. Bahkan dulu Rivan melarang Friska untuk bekerja dan menawarkan diri untuk membiayai seluruh kehidupan Friska, karena dia merasa sudah cukup mapan dan tidak ingin melihat Friska yang kelelahan. Tentu saja Friska menolak karena tidak ingin menjadi beban untuk orang lain, dan dengan berat hati akhirnya Rivan mengizinkannya bekerja di kafe miliknya dengan perlakuan yang berbeda dengan pegawai lain tentunya
"Baiklah, lebih baik kamu makan terlebih dahulu. Setelah itu baru bekerja" ujar Rivan lembut
"Nanti saja kak, ada yang ingin aku bicarakan kepada kakak" ujar Friska menatap serius ke arah Rivan
Rivan mengerutkan keningnya mencoba menerka sesuatu seperti apa yang ingin disampaikan oleh Friska
"Baiklah, kita duduk dulu disana" ujar Rivan lalu mereka duduk di pojok dekat jendela yang menghadap langsung ke jalan
"Kamu mau berbicara apa hmm?" tanya Rivan lembut
Friska tampak gugup dan ragu untuk menyampaikannya. Ia terlihat meremas kedua tangannya untuk mengurangi rasa gugupnya
"Aku.. Aku.. "
"Aku sudah.."
"Sudah apa?" tanya Rivan gemas dengan Friska yang membuat rasa penasarannya membuncah
Akhirnya dengan susah payah Friska pun berhasil mengucapkan kata-kata yang sejak tadi ingin disampaikannya
"Aku sudah menikah kak.. "
To be continued
Like, komen, dan votenya please..
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!