SURESNES, PARIS, PERANCIS.
Wulan menatap selembar kertas kiriman dari Kantor Catatan Sipil Nantes, yang baru saja diterimanya dari pos.
Ia termenung.
Selembar kertas sebagai tanda pernikahannya dengan Pierre telah berakhir. Ia tak terlalu tahu, apakah harus menangis atau merasa lega dan merayakannya. Lima tahun bersama, hanya di awal saja ia mengecap manisnya pernikahan. Tahun - tahun berikutnya adalah mimpi buruk.
Abusive Relationship.
Wulan menghirup napas dalam - dalam, lalu menghembuskannya pelan. Inilah saatnya membangun kembali hidupnya dengan reruntuhan hatinya yang tersisa.
Hari ini, Lycée Collège Jean - Baptiste Say, sebuah SMA di kotamadya Suresnes, Paris, tempatnya menetap, mengabarkan jika lamaran kerjanya sebagai guru Bahasa Inggris diterima. Itu berarti, besok akan menjadi hari pertamanya masuk kerja.
Ini adalah kali pertamanya ia bekerja di negeri orang. Kali pertamanya hidup dan menghidupi diri di negeri asing. Pria yang memboyongnya dari Indonesia dan berjanji akan mengayomi, melindungi, mencintai serta membuatnya bahagia, nyatanya mengingkari semua janji - janji yang diucapkannya dahulu.
Kenyataannya begitu pahit. Pria yang seharusnya adalah rumah tempat ia berteduh, justru membuatnya berurai air mata setiap harinya, dan memberi bekas tanda kebiruan di wajah dan tubuhnya.
Toxic relationship.
Ah, Pierre, mengingatnya kembali membuat hati Wulan perih.
Paris, ini aku, Wulandari Laksana, aku kini sendirian. Tolong jangan terlalu keras padaku ya.
***
***
***
***
Haloo, jumpa lagi sama aku Lady Magnifica.
Selamat menyelami novel baruku ini yaa.
Salam sayang dariku.
LYCÊE COLLÈGE JEAN - BABTISTE SAY (SMA JEAN - BABTISTE SAY), SURESNES, PARIS.
Bangunan bergaya renaissance itu berdiri megah. Seperti bangunan - bangunan lain di Paris, klasik nan elegan, hangat seperti musim semi, dengan dominan warna cokelat muda yang menyegarkan mata.
Wulan masih terpaku memandang ke arah pintu utama yang terbuka lebar. Beberapa siswa melewatinya untuk masuk ke dalam sekolah.
Ini adalah hari pertamanya mengajar di SMA yang dibangun pada tahun 1895 ini. Namanya diambil dari nama seorang ahli ekonomi klasik Perancis, Jean - Baptiste Say.
Ia menarik napasnya dalam - dalam. Membenarkan letak syal yang sedikit miring di lehernya, lalu dengan mantap dia melangkahkan kakinya masuk ke dalam gedung sekolah. Membaur dengan para siswa yang mulai berdatangan.
Menuju ruang guru, Wulan harus melewati koridor panjang di gedung utama, dan keluar melewati satu pelataran luas yang banyak ditumbuhi pepohonan ash berbatang besar dan berdaun lebat. Namun, musim dingin membuat pepohonan itu kehilangan dedaunan. Tinggallah cabang - cabang gundul yang tertutup salju tipis.
Suara tawa beberapa siswa lelaki yang tengah bermain dengan bola sepak mereka membuat Wulan menolehkan kepalanya ke asal suara.
Buggh.
Tak sempat menghindar, bola melayang ke arahnya dan menghantam pelipisnya. Wulan mengaduh sembari mengelus pelipisnya yang terasa perih.
Bukan permintaan maaf yang diterimanya dari anak - anak itu, melainkan suara tawa mereka yang kembali terdengar. Dengan kesal Wulan mengambil bola yang tergeletak tak jauh darinya dan berjalan mendekati satu, dua .. lima anak yang terdiri dari dua kulit hitam, satu bermata sipit dan dua lagi berkulit putih.
Wulan memandangi satu persatu wajah para siswa itu dengan tatapan tajam. Menuntut mereka untuk segera meminta maaf.
"C'etait Max qui a botté le ballon (Max yang mendendang bolanya)." Sembari menahan tawa, salah satu remaja berkulit hitam berucap dan menunjuk pada sosok kulit putih yang dipanggil Max.
Wulan mengalihkan pandangannya pada remaja berambut hitam setengah gondrong dan berantakan itu.
"Quoi (apa)?" Dia menantang tatapan Wulan dengan sombongnya.
Wulan mendesis. Ia melempar bola di tangannya dengan keras ke arah Max. Memandang sinis padanya sekilas, lalu berlalu dengan perasaan dongkol.
Terdengar suara tawa meledak kembali di belakangnya. Ia tak berniat menanggapi anak - anak nakal itu.
Murid SMA di Perancis memang begitu, tidak punya sopan santun pada guru. Ia teringat pada berita - berita di media tentang konflik antara guru dan murid yang marak terjadi beberapa tahun belakangan ini. Bukan lagi tentang buli membuli antar siswa, namun siswa membuli guru.
***
Wulan berdiri menatap sebuah pintu yang terdapat papan kecil bertuliskan "La salle des Profs (ruang guru) di hadapannya. Dia menarik napas dalam - dalam sebelum akhirnya jemarinya bergerak membuka handle pintu.
"Bonjour (selamat pagi)." Ia menyapa tiga orang guru yang berada di dalam ruangan, duduk di meja masing - masing.
"Bonjour (selamat pagi)." Mereka menjawab sapaan Wulan secara bersamaan.
"je suis Wulan (saya Wulan). Guru bahasa Inggris yang baru."
"Ah d'accord (oh, begitu)." Seorang wanita berkulit putih yang sepertinya seumuran dengannya, bangkit dari duduknya dan menghampiri Wulan sembari menjabat tangannya.
"Aku Adrienne," ujar wanita itu. "Mejamu di sebelah sini."
Wanita bernama Adrienne itu menunjuk sebuah meja kosong di samping mejanya sendiri.
"Merci (terimakasih)." Wulan berucap sembari menarik kursi di bawah meja dan meletakkan buku - buku pelajaran yang ditentengnya sejak tadi ke atas meja.
"Selamat datang di Jean Baptiste Say," celetuk seorang pria paruh baya dari meja seberang. "Aku Paul."
"Hallo, Paul. Terimakasih." Wulan melambaikan tangannya pada pria bernama Paul itu.
"Kuharap kau betah di sini," kekeh seorang wanita berambut pirang dengan dandanan yang cukup modis dari meja di sebelah Adrienne. "Ah, aku Monique."
"Salut (hallo), Monique." Wulan mengangguk pada wanita bernama Monique itu.
Hati Wulan mulai menghangat. Ketegangan yang dirasakannya sejak menginjakkan kaki di sekolah ini, mulai luntur. Rekan - rekan guru yang berada satu ruangan dengannya begitu ramah. Sepertinya itu akan membuat hari - harinya tidak akan terlalu membosankan.
"Kau mengajar kelas berapa?" tanya Adrienne membuat Wulan terkesiap.
"Kelas 12."
"Kelas 12 sangat susah diatur. Seperti mengajar anak - anak anggota gangster. Kau harus punya kesabaran yang tinggi." Adrienne memperingatkan.
Wulan tersenyum kecut. Ingatannya kembali pada beberapa siswa bengal yang ia temui beberapa saat lalu. Nyalinya sedikit menciut. Namun tekadnya telah bulat. Ia membutuhkan pekerjaan ini untuk bertahan hidup. Apa pun yang akan ia hadapi nantinya, ia harus menyiapkan diri. Lagi pula, yang akan dihadapinya hanyalah anak - anak labil usia 17an tahun.
"Benar kata Monique, semoga kau betah mengajar di sini," kekeh Adrienne.
Wulan terbahak. "Ya semoga saja."
***
***
***
Dengan mantap Wulan mendorong pintu kelas yang sedikit terbuka dan melangkah masuk. Suasana kelas yang tadinya ramai kini hening. Belasan pasang mata menatapnya penuh selidik.
Wulan menyapu pandangannya ke seluruh ruangan kelas. Dipandanginya wajah - wajah anak remaja di hadapannya itu. Matanya menangkap lima siswa yang ia temui beberapa saat lalu. Mereka terlihat saling berbisik dan menahan tawa. Dalam hati Wulan mendengus. Ini tidak akan mudah.
"Good morning." Wulan menyapa dengan bahasa Inggris. "Namaku Wulandari Laksana, aku guru Bahasa Inggris kalian yang baru."
Suara berisik mulai terdengar di seluruh ruangan kelas.
"Sial, aku kira kau murid baru." Sebuah suara menyeletuk dari arah pojok ruangan. Disambut gelak tawa seisi kelas.
Wulan menghela napas dalam - dalam. Suara itu berasal dari salah seorang gerombolan lima siswa yang menendang bola ke arahnya.
"Terimakasih untuk sambutan hangatnya, Anak - anak," sindir Wulan.
Ia meraih buku panjang berwarna hijau di atas meja dengan tulisan Registre De Présence Quotidien (Buku Kehadiran Harian) di sampulnya.
"Okay ... aku ingin mengenal kalian satu persatu." Wulan kembali menyapu pandangannya ke seluruh ruangan. Sebagian siswa sibuk saling mengobrol satu sama lain, sementara yang lainnya bermain - main dengan sobekan - sobekan kertas yang digulung dan melemparkannya satu sama lain. Mereka sama sekali tidak mempedulikannya.
"Jerome Cotillard?" panggil Wulan seraya menatap sekeliling ruangan.
"Oais, c'est moi (Ya, aku) ," sahut seorang siswa berambut cepak dan pirang dengan malas.
"Jules Lingevin?"
"Oais." seorang siswa bertubuh ceking dengan jaket hoodie kedodorannya mengangkat tangan.
"Etienne Kwame?"
"Oui, c'est moi, Sexy (Ya, aku, Sexy)." Siswa berkulit hitam yang dipanggil Etienne berseru dari pojok ruangan. Disambut sorak - sorai dari seluruh penjuru kelas.
"Merci (terimakasih), Etienne." Wulan tersenyum dramatis. "Maximilian Guillaume?" lanjutnya di tengah - tengah suara gemuruh kelas.
"Maximilian Guillaume?" ulangnya setelah beberapa saat tak ada jawaban dari siswa yang bernama Maximilian.
"Alors, il est ou, Max? (wah, mana Max)?" gumam Etienne seraya memukul bahu temannya yang duduk di depannya.
Perhatian Wulan tertuju pada pemuda yang duduk di depan kursi Etienne. Si pelempar bola berkulit pucat dan berambut hitam setengah gondrong yang diikat sembarangan.
Ia hanya mengangkat tangannya tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Wajah tampannya yang angkuh dengan jelas menantang tatapan tajam dari Wulan.
"Owh, namamu Max," ujarnya dengan senyum sinis.
Senyum tipis Max tersungging seraya menoleh ke kanan dan kirinya, menanggapi gerombolannya yang kini menggodainya seraya melemparinya dengan buntalan - buntalan kertas.
Wulan kembali menarik nafas dalam - dalam. Sungguh berat pekerjaannya ini. Menghadapi siswa - siswa SMA yang sepertinya akan sangat sulit untuk diatur.
Ia melanjutkan mengabsen nama - nama seluruh kelas yang berjumlah dua puluh orang hingga selesai.
"Baiklah, kita mulai saja pelajarannya!"
***
Adrienne terbahak melihat Wulan yang tertunduk memijit tengkuknya. Wanita itu mengerti apa yang baru saja dialami oleh rekan kerja barunya itu.
"Bagaimana kesanmu tentang kelas 12?" tanya Adrienne seraya menyeruput kopinya.
"Ouh ... mereka anak - anak yang sangat ramah dan menyenangkan." Wulan berucap ironis.
"Jadi?"
Wulan menyuapi dirinya dengan sesendok kentang rebus dan potongan daging sapi panggang. "Aku adalah seseorang yang tidak mudah menyerah."
"Aku suka semangatmu, Wulan."
"Aku butuh pekerjaan ini, jadi, aku harus bertahan," kekehnya seraya menyapu pandangan ke sekelilingnya.
Suasana cafeteria tampak ramai. Siswa dan guru membaur jadi satu di jam makan siang seperti ini. Mata Wulan menyipit ketika melihat sesosok wajah angkuh muncul dari pintu cafe diikuti oleh beberapa remaja di belakangnya. Termasuk Etienne.
"Kau lihat siapa?" tanya Adrienne membuatnya terkesiap.
"Ouh, hanya beberapa siswa dari kelas 12 yang unik." Wulan mengacungkan kedua jari telunjuknya dan membentuk tanda kutip.
Adrienne menoleh ke belakangnya dan memutar kedua bola matanya. "Max dan teman - temannya. Mereka yang paling nakal dari yang nakal." ujarnya.
"Yeah, aku tahu."
"Mereka tinggal di Stalingrad, kau tahu bukan lingkungan seperti apa itu?"
"Ya," sahut Wulan cepat. Dia menoleh kembali ke arah Max yang secara kebetulan juga tengah menatap ke arahnya. Pemuda itu menyunggingkan senyum tipis dan sinisnya. Buru - buru Wulan mengalihkan pandangannya pada piring makan siangnya.
"Mereka benar - benar tidak punya sopan santun dengan Guru," gumam Wulan.
"Begitulah ...."
Terdengar suara gelak tawa dari arah Max dan yang lainnya. Namun Wulan tak berniat untuk memperhatikan mereka.
***
Max menyandarkan punggungnya di pagar luar sekolah sembari menghisap rokoknya dalam - dalam. Di sampingnya Etienne dan beberapa temannya sibuk saling bergurau satu sama lain.
"Miss!" seru Etienne tiba - tiba sembari melambai ke arah Wulan yang baru saja muncul dari gerbang sekolah. "Kenapa terburu - buru?" godanya.
Pandangan mata Max beralih pada sosok mungil dengan rambut hitam indah tergerai dan berwajah manis itu.
"Jangan merokok di lingkungan sekolah!" seru Wulan sembari memandang Max sekilas, kemudian berlalu meninggalkan anak - anak remaja itu.
Etienne terbahak sembari menyenggol bahu Max. "Jangan merokok!" serunya sembari mengambil rokok dari jemari Max dan menghisapnya sendiri.
Max mendecak kesal. Dia menoleh memandangi punggung Wulan yang mulai menjauh.
"Boleh juga Guru baru itu ya, benar kan, teman - teman?" celetuk Etienne disambut gelak tawa teman - temannya.
Max memukul ujung kepala Etienne keras. "Seleramu wanita tua!" serunya. "Jangan lupa nanti malam, tempat biasa!" serunya sembari berlalu dari hadapan Etienne yang tengah mengelus - elus kepalanya.
***
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!