NovelToon NovelToon

LIHAT AKU, GUS!

Bab Satu

Anindya Yalanda Ghaaliya, atau biasa dipanggil Anin tersenyum manis melihat seorang pria anak kyai yang biasa di panggil dengan Gus Shabir itu tersenyum ke arahnya.

Anin langsung menunduk setelah membalas senyuman itu. Dia tidak mau orang lain menilai salah karena mereka yang saling berpandangan.

"Kamu sedang apa di sini sendirian?" tanya Hana. Pertanyaan Hana cukup membuat Anin kaget.

"Aunty Hana, mengagetkan aku saja. Aku sedang mengulang menghafal ayat yang ustad berikan itu," jawab Anin.

Anin memang sering duduk di taman belakang pondok pesantren. Dia sering menyendiri. Tidak terlalu suka bergaul. Berbeda dengan adik ayahnya, Hana memiliki banyak teman. Anaknya supel.

"Masuk kamar lagi. Jam istirahat telah usai," ajak Hana.

Hana dan Anin, usia mereka hanya beda satu bulan. Sehingga mereka disekolahkan di pondok yang sama. Ghibran tidak pernah membedakan antara adik dan anaknya. Dia menyayangi keduanya.

Keduanya masuk ke kamar dan membersihkan diri. Sebentar lagi mereka akan melaksanakan salat magrib.

"Tak terasa kita sudah akan meninggalkan pondok pesantren ini satu bulan lagi. Aunty mau melanjutkan ke mana?" tanya Anin sambil berpakaian setelah mandi.

"Aku tak ingin melanjutkan pendidikan lagi. Aku ingin segera berumah tangga saja. Syukur-syukur dapat suami seperti Gus Shabir," ucap Hana dengan tawa renyahnya.

Anin membalas dengan senyuman ucapan tantenya itu. Siapa yang tak ingin memiliki suami seperti Gus Shabir. Dia tampan, mapan dan paling utama memahami agama.

Gus Shabir membantu ayahnya mengajar di pondok pesantren ini. Kehadirannya banyak mencuri perhatian kaum hawa termasuk Anin dan Hana.

Setelah mereka berpakaian, keduanya keluar dari kamar menuju musholla. Hari ini Gus Shabir yang akan memberikan tausiyah setelah salat magrib. Anin yakin semua murid wanita akan menyempatkan hadir.

Solat magrib juga diimami oleh Gus Shabir. Pria itu lulusan universitas Kairo, Mesir. Sehabis salat acara dilanjut dengan pembacaan ayat suci Alquran, oleh Anin.

Tidak ada yang tahu, Gus Shabir selalu saja mencuri pandang saat Anin membaca kitab suci Al-Qur'an. Sepertinya dia mengagumi kefasihan gadis itu dalam membacanya.

Setelah membaca Al-Qur'an, Anin kembali bergabung dengan teman wanita lainnya. Saatnya Gus Shabir memberikan tausiyah. Semua mata hanya tertuju pada pria itu.

Satu jam berlalu begitu cepat. Anin menunggu Gus Shabir untuk memberikan kitab suci yang tadi dia pinjam saat membacanya.

"Assalamualaikum, Gus! Ini Al-quran yang tadi saya pinjam. Terima kasih, Gus," ucap Anin sambil menunduk saat mengembalikan kitab suci itu.

"Waalaikumsalam. Terima kasih kembali. Boleh saya tahu nama kamu?" tanya Gus Shabir.

"Anin, Gus," jawab Anin masih dengan menunduk.

"Anin, besok kamu juga yang membaca Al-Qur'an nya. Nanti aku beritahu surat apa yang akan kamu baca. Boleh saya minta nomor ponselmu?" tanya Gus Shabir.

"Tentu saja boleh, Gus." Anin lalu menyebutkan sejumlah angka.

Setelah itu keduanya berpisah. Dalam perjalanan menuju kamarnya, Anin merasakan degup jantungnya berdetak lebih cepat dan kencang. Dia merasa gugup dan tangannya gemetar saat berdekatan dengan Gus Shabir tadi.

Sampai di kamar, ternyata Hana telah lebih dulu berada di dalam. Tantenya itu telah selesai membersihkan wajah dan bersiap tidur.

"Dari mana kamu, Anin?" tanya Hana.

"Nggak ada dari mana-mana. Aunty saja yang pulangnya tergesa," jawab Anin.

"Mataku ngantuk. Sudah tak sabar ingin membaringkan tubuhku," ucap Hana.

Jika dibandingkan dengan Anin, Hana lebih banyak bicara dan ramah pada siapa saja. Dia mudah bergaul dan bisa beradaptasi dengan mudah di lingkungan baru.

"Anin, kamu tau tak. Tadi saat Gus Shabir memberikan tausiah semua mata teman kita hanya tertuju padanya tanpa kedip. Memang dia seperti magnet yang membuat orang-orang terpesona, ya. Kamu juga begitu'kan?" tanya Hana.

Anin hanya menjawab dengan senyuman, tanpa sepatah kata pun. Apa yang Hana katakan emang benar, dia begitu terpesona dengan pria itu. Tapi, Anin masih menjaga mata dari pandangan tak semestinya, dia tak berani menatap lama pada pria itu.

**

Waktu terus berlalu, hingga sampai pada akhir pendidikan. Hari ini perpisahan pondok pesantren diadakan. Lagi-lagi Anin di daulat untuk membaca kitab suci Al-Qur'an. Hana menatap dengan sedikit iri.

"Padahal, aku juga ingin sesekali berada di atas panggung itu. Kenapa hanya Anin terus yang ditunjuk?" Hana bertanya dalam hatinya.

Rangkaian acara demi acara telah berlalu, hingga tiba pembagian hasil ujian. Kembali Anin mendapat juara. Ghibran dengan bangganya naik ke pentas mengambil ijazah putrinya. Aisha tak bisa menahan air mata melihat keberhasilan putri mereka.

Syifa tidak bisa hadir karena anaknya sedang demam tinggi, padahal Anin ingin kakaknya juga bisa menyaksikan keberhasilan dirinya. Gadis itu sangat dekat dengan kakaknya itu.

Ghibran dan Aisha menyalami semua ustad dan kiyai di pondok pesantren. Mengucapkan terima kasih karena telah mendidik putri dan adiknya.

Ghibran juga menyalami Gus Shabir beserta kedua orang tuanya. Pemilik pondok pesantren itu cukup dekat dengan papi dari Anin itu, karena dia sering memberikan sumbangan buat kemajuan atau operasional pondok.

***

Saat ini semua sedang berkumpul di rumah kediaman Ghibran. Mereka sedang makan malam. Masakan Aisha selalu habis di santap karena kelezatannya.

"Anin, kamu mau melanjutkan ke mana, Nak?" tanya Ghibran sambil menyantap makanannya.

"Ke fakultas kedokteran apa boleh, Pi?" tanya Anin dengan suara lembut. Dia persis seperti Aisha. Bicara dengan suara yang sangat lembut.

"Tentu saja boleh, Nak. Kamu sendiri, bagaimana Hana?" tanya Ghibran pada adik lain ibu itu.

"Aku tak ingin melanjutkan sekolah. Aku ingin segera berumah tangga saja agar tanggung jawab Mas berpindah pada suamiku," jawab Hana.

Semua terkejut mendengar jawaban dari gadis itu. Bagaimana dia bisa berpikir akan menikah di usia yang baru delapan belas tahun.

"Apa kamu yakin dengan pilihanmu ini, Hana?" tanya Ghibran lagi.

"Iya, Mas. Aku yakin sekali. Aku tidak mau membebani kamu lagi," balas Hana.

"Aku tidak pernah merasa kamu menjadi bebanku. Bagiku kalian sama saja. Anak dan adik, adalah tanggung jawabku. Namun, jika memang itu sudah menjadi pilihanmu, aku hanya bisa mendukung. Apa kamu sudah ada calon suami sehingga memutuskan menikah dini?" Kembali Ghibran bertanya.

"Tidak ada, Mas. Tapi jika Mas mau, bisa melamar seseorang untukku. Jika dia memang jodohku, pasti Allah akan mempermudahkan jalanku."

"Katakan siapa pria yang telah merebut hatimu. Biar aku dan Aisha datang ke rumah orang tuanya untuk melamar," ucap Ghibran.

"Aku salat istikharah dulu, Mas. Untuk meyakinkan hati ini dengan pilihanku," jawab Hana.

"Baiklah, Hana. Aku menunggu jawaban darimu!" kata Ghibran.

**

Hari ini Ghibran dan Aisha datang kembali ke pondok pesantren. Mereka ingin menemui Kiyai Samsudin ayah dari Gus Shabir. Ada pun maksud kedatangannya untuk melamar pemuda itu sebagai calon suami adiknya Hana.

...----------------...

Bab Dua

Kiai Samsudin menerima kehadiran Ghibran dengan senang hati. Begitu juga dengan sang istri. Saat ini mereka berempat sedang duduk di ruang tamu rumah pribadi pemilik pondok pesantren itu.

"Apa gerangan yang membuat Bapak Ghibran dan Ibu Aisha datang?" tanya Kiai Samsudin dengan ramah.

"Adapun maksud kedatangannya kami untuk melamar Gus Shabir, sebagai calon suami adik saya yang bernama Hana. Kiai, pasti sudah mengenal Hana, karena dia merupakan salah satu alumni pondok pesantren di sini," ucap Ghibran.

Kiai dan istrinya Fatimah saling pandang dan tersenyum. Mereka sepertinya terkejut dengan ucapan Ghibran. Mendadak datang untuk melamar sang putra.

"Pak Ghibran, zaman sekarang sudah maju. Tidak ada lagi yang namanya perjodohan. Kami senang sekali menerima lamaran dari Bapak dan Ibu. Tapi kami tidak bisa memutuskan menerima atau menolak, kami perlu bertanya dulu dengan anak kami," jawab Ibu Fatimah dengan ramah.

"Tentu saja, Bu. Kami juga mengerti dengan keputusan ini. Kami akan menunggu jawaban dari Bapak dan Ibu," balas Aisha.

Mereka berempat berbincang ringan tentang masalah kehidupan sebelum akhirnya Ghibran dan Aisha pamit.

"Bapak Ghibran dan Ibu Aisha, kami akan mengabari secepatnya tentang lamaran ini. Semoga kita bisa menjadi keluarga," ucap Kiai Samsudin. Sepertinya dia sangat menyukai lamaran ini.

Saat keduanya akan masuk ke mobil, mereka bertemu Gus Shabir. Pemuda itu menyalami Ghibran dengan hormat. Ghibran dan Aisha tampaknya sangat menyukai pria itu.

"Gus Shabir itu memang sangat tampan dan ramah. Pantas saja Hana menyukainya. Semoga saja dia menerima lamaran kita ini, Mas. Aku juga berkeinginan suatu hari Anin juga mendapat jodoh seperti pria itu," ucap Aisha.

"Putri kita belum mau menikah. Dia ingin mencapai cita-citanya dulu. Dari kecil dia telah berkeinginan menjadi seorang dokter. Semoga semua yang dia impikan bisa tercapai," balas Ghibran.

"Ya, Mas. Semoga kelak cita-citanya tercapai dan kelak akan mendapat jodoh yang sesuai," kata Aisha.

Saat ini Anin telah terdaftar sebagai salah satu mahasiswi di fakultas kedokteran sebuah universitas ternama. Dia telah menjalani masa kuliah. Gadis dari Ghibran dan Aisha itu harus kost karena universitas yang dia pilih berada di luar kota.

Setelah kepergian Ghibran dan istrinya, Gus Shabir masuk ke rumah dan melihat kedua orang tuanya yang sedang berbincang. Dia ikut nimbrung dengan duduk bersama.

"Abi, Umi, aku tadi bertemu Bapak Ghibran. Apa aku boleh tahu maksud dari kedatangan beliau?" tanya Gus Shabir dengan berhati-hati.

Kiai Samsudin dan Ibu Fatimah saling pandang dan tersenyum. Mereka lalu memandangi putra mereka.

"Pak Ghibran dan Ibu Aisha datang untuk melamar kamu," jawab Uminya Shabir.

"Umi, aku tidak sedang bercanda. Aku serius," balas Gus Shabir.

"Siapa yang bercanda Shabir. Umi berkata yang sesungguhnya. Apakah kamu bersedia menerima lamaran itu. Jika kamu bersedia, kami akan datang ke rumah mereka untuk menyampaikan semua ini. Jika kamu menolaknya, kami juga akan tetap datang untuk mengatakan semuanya."

"Aku bersedia, Umi," jawab Gus Shabir tanpa pikir panjang. Hal itu cukup membuat kedua orang tuanya heran dan terkejut. Di luar dugaan, tanpa bertanya putra mereka langsung bersedia.

"Jika kamu memang bersedia, kita datang ke rumah mereka besok atau lusa untuk mengatakan kesediaan kamu menerima lamaran ini," ucap Abinya Shabir yaitu Kiai Samsudin.

"Aku serahkan semuanya pada Abi dan Umi. Aku hanya tinggal siap untuk mengucapkan ijab kabul saja," balas Shabir dengan penuh keyakinan.

Jawaban Gus Shabir membuat kedua orang tuanya kembali tertegun. Tidak percaya jika putra mereka begitu antusiasnya menerima lamaran ini.

"Sepertinya kamu telah siap untuk menikah," ucap Kiai Samsudin.

"Usiaku tidak muda lagi. Telah memasuki dua puluh tujuh tahun. Aku rasa sudah cukup matang untuk berumah tangga," jawab Gus Shabir.

Mereka bertiga cukup lama mengobrol. Gus Shabir meminta pernikahannya nanti diadakan secara sederhana saja. Mengundang orang terdekat saja. Semua urusan dia serahkan pada Abi dan Uminya.

***

Dua hari kemudian kedua orang tua Gus Shabir datang ke rumah kediaman Ghibran. Kedatangan mereka di sambut dengan tangan terbuka.

Hana yang melihat kedatangan kedua orang tua Gus Shabir, merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Dia gugup.

Hana membuatkan minuman untuk abi dan umi-nya Shabir. Tidak lupa menyalami tangan mereka.

"Pak Ghibran, kedatangan kami untuk mengatakan jawaban dari Gus Shabir atas pinangan Bapak dan Ibu kemarin."

Kiai Samsudin terdiam sejenak. Dia tampak mengatur napas sebelum melanjutkan ucapannya. Ghibran dan Aisha menunggu jawaban dengan gugup. Begitu juga dengan Hana. Dia mendengarkan semua dari kamar.

"Setelah kami mengatakan pada Gus Shabir, dia bersedia menerima pinangan Bapak dan Ibu," ucap Uminya Shabir.

Ghibran dan Aisha langsung mengucapkan syukur. Begitu juga dengan Hana. Dia tak menyangka jika Gus Shabir langsung menerima pinangan dari abangnya. Air mata jatuh membasahi pipi Hana.

Kedua orang tua Shabir dan Ghibran langsung bicara tentang pernikahan. Dia juga mengatakan jika putra mereka meminta jangan ada pesta pernikahan yang mewah. Secara sederhana dan hanya mengundang kerabat terdekat.

Tidak ada lagi kata yang bisa Hana ucapkan selain rasa syukur. Cintanya bersambut. Dia pikir selama ini Gus Shabir tidak pernah melirik dirinya. Tenyata dia salah, mungkin saja dalam diam pria itu memperhatikan dirinya.

Pernikahan akan diadakan dua Minggu ke depan. Hana meminta pada Ghibran dan Aisha untuk menutupi siapa calon suaminya pada Anin. Dia ingin memberikan kejutan pada ponakannya itu.

***

Semua persiapan pernikahan di urus Ghibran. Keluarga kiai nanti hanya perlu datang di hari H pernikahan. Tidak banyak yang pria itu siapkan, karena pernikahan akan dilaksanakan di rumah, dengan akad diadakan di mesjid terdekat.

Hari ini semua tampak sibuk di rumah kediaman Ghibran. Semua bersiap-siap untuk pernikahan Hana. Wajah pengantin wanita tampak berseri, karena akan menikah dengan pria pujaan hati.

Anin saat ini sedang dalam perjalanan pulang. Dia minta izin tidak masuk kuliah dua hari. Jumat dan Sabtu besok.

"Siapa ya calon suaminya Aunty Hana? Kenapa semuanya kompak merahasiakan dariku," gumam Anin pada dirinya sendiri. Dia tidak sabar ingin melihat pernikahan aunty-nya.

***

NB. Syarat nikah di KUA ialah surat pernyataan hendak menikah (model N7). Apabila yang bersangkutan berhalangan hadir, dapat diwakilkan oleh wali atau orang lain. Mengganti biaya pencatatan sebesar Rp 30.000. Keterangan dispensasi yang dikeluarkan pengadilan apabila calon pengantin belum cukup umur. Jadi pengurusan surat nikah Shabir dan Hana diurus semua sama pengacaranya Ghibran.

...----------------...

Bab Tiga

Hana sengaja menggunakan cadar, karena malu berhadapan langsung dengan Gus Shabir, pria yang sangat dia kagumi. Dia takut menjadi gugup jika nanti putra kiai Samsudin itu memandangi wajahnya. Dia juga tidak ingin semua orang tahu jika saat ini sedang berbahagia karena keinginannya untuk berumah tangga dengan pemuda tampan itu akan terkabul.

Gus Shabir saat ini telah duduk berhadapan dengan Ghibran. Sebagai kakaknya Hana, dia akan menjadi wali nikah wanita itu.

Gus Shabir melihat ke arah catatan, di sana tertulis nama calon pengantin wanita adalah Hana Kayla Maira. Dia jadi berpikir, kenapa saat kenalan dulu wanita itu menyebut namanya Anin. Apakah itu nama panggilan saja? Pikir Gus Shabir.

Di pondok pesantren dulu, dia tidak pernah mengajar langsung di kelas Anin, sehingga tidak tahu nama gadis itu. Gus Shabir menarik napas, dia akan mengucapkan ijab kabul sesaat lagi.

Anin yang baru sampai segera turun dari taksi, dia sengaja tidak membawa pakaian. Dari terminal langsung menuju mesjid. Gadis itu sangat mandiri. Tidak mau dijemput dengan supir.

Dengan setengah berlari dia masuk ke mesjid dan tatapannya langsung tertuju pada pria yang saat ini sedang duduk dihadapan sang papi. Tubuh Anin terasa lemas, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

"Jadi, calon suami Aunty Hana adalah Gus Shabir. Rencana apa yang sedang kau buat untukku Tuhan. Pria yang sangat aku idamkan untuk menjadi suamiku ternyata akan menikah dengan tanteku," gumam Anin pada dirinya sendiri.

Tubuh wanita itu terasa lemah. Bersandar di tiang mesjid. Air mata jatuh membasahi pipinya tanpa bisa di cegah.

"Melihatmu menikahi wanita lain, saat aku sedang memantaskan diri untuk menjadi calon istrimu adalah kejutan yang tak pernah ku duga. Lukanya sangat perih menusuk hingga ke jantung," gumam Anin dalam hatinya.

Gadis itu memegang dadanya yang terasa sesak. Belum ada yang menyadari kedatangannya. Kakinya terasa lemah, dia akhirnya memilih duduk sebelum jatuh.

Saat ini Ghibran dan Shabir telah berjabat tangan. Mereka akan mengucapkan Ijab Kabul.

"Shabir Ahmad Shadiq," panggil Ghibran.

"Saya, Pak," jawab Shabir dengan mantapnya.

"Saya nikah dan kawinkan engkau dengan adik kandungku Hana Kayla Maira binti Abdul Hakim, dengan mas kawin seperangkat alat salat dan seperangkat perhiasan emas, dibayar tunai!" ucap Ghibran.

Shabir terdiam mendengar ucapan Ghibran, dia merasa ada yang janggal dengan ucapan pria itu. Jika nama, Shabir memang tidak tahu nama panjang Anin, karena memang tidak pernah mengajar di kelas gadis itu.

"Shabir, kenapa diam. Kamu harus langsung menjawab dengan sekali tarikan napas. Kita ulangi lagi," ucap petugas dari kantor urusan agama.

"Maaf, Pak. Kenapa tadi sebutnya adik?" tanya Shabir dengan suara pelan.

"Hana itu memang adik saya, Shabir," jawab Ghibran.

Shabir semakin bingung dengan ucapan Ghibran, kenapa dia menyebut adik. Bukankah kemarin, saat pengambilan hasil nilai akhir, dia di sebut sebagai ayah dari Anin. Pikir Shabir. Tapi, dia tidak mungkin bertanya lebih jauh lagi karena Abinya berbisik.

"Shabir, jangan bengong saja. Kamu membuat Abi malu. Masa pembacaan ijab kabul saja kamu tidak bisa," bisik Abinya Shabir.

Shabir mengangguk sebagai jawaban. Dia tidak ingin Abinya malu. Kali ini harus bisa mengucapkan ijab kabul dengan sekali tarikan napas.

"Silakan Pak Ghibran ulangi ijab kabul-nya," ucap petugas itu. Dia juga bertanya dengan Gus Shabir, apakah siap untuk mengucapkan ijab kabul. Pemuda itu langsung menjawab siap.

"Shabir Ahmad Shadiq," panggil Ghibran.

"Saya nikah dan kawinkan engkau dengan adik kandungku Hana Kayla Maira binti Abdul Hakim, dengan mas kawin seperangkat alat salat dan seperangkat perhiasan emas, dibayar tunai!" ucap Ghibran, mengulanginya.

"Saya terima nikah dan kawinnya Hana Kayla Maira binti Abdul Hakim, dengan mas kawin tersebut di atas, dibayar tunaiii," ucap Shabir dengan sekali tarikan napas.

Pak penghulu lalu bertanya pada saksi, apakah pernikahan sah, kedua saksi menjawab serempak.

"Sahh ...," ucap mereka serempak.

Semua yang hadir di mesjid tampak lega dan memancarkan kebahagiaan, kecuali seorang gadis. Air matanya tak henti mengalir sejak Gus Shabir mulai mengucapkan ijab kabul.

Anin memegang dadanya yang terasa sesak menahan sebak. Menghapus air mata yang jatuh membasahi pipi. Dia tidak ingin orang-orang memandangnya dengan tatapan heran jika melihat dia menangis di hari bahagia sang tante.

"Ya Allah, sangat menyakitkan memang, ketika kita dipaksa untuk melupakan seseorang yang bahkan belum pernah kita miliki sebelumnya," gumam Anin dalam hatinya.

Hana di minta duduk di samping Shabir untuk menyematkan cincin dan memberikan mas kawin. Mereka juga akan menandatangani surat nikah. Saat ini dia telah berada di hadapan pria yang telah sah menjadi calon suaminya itu.

Gus Shabir menyematkan cincin dengan senyuman, dalam hati dia berkata, jika akhirnya dia kini bisa menikahi wanita yang dicintainya dalam diam. Saat memberikan mas kawin, kedua pengantin di minta berdiri agar bisa di foto untuk dijadikan kenangan.

Anin sudah tidak bisa menahan rasa sesak di dadanya. Dia berdiri dari duduknya. Pada saat itu, Gus Shabir sedang memandang ke arah dirinya. Terjadilah kontak mata di antara keduanya.

Anin berjalan keluar dari ruang mesjid dengan tergesa. Sementara itu Gus Shabir tampak syok. Wajahnya yang semula ceria berubah pucat.

"Bukankah yang aku lihat tadi adalah Anin? Jadi siapa wanita yang aku nikahi saat ini?" tanya Gus Shabir dalam hatinya.

Anin berlari ke samping mesjid. Dia memilih duduk di bangku taman yang berada di sisi kiri mesjid. Tangis gadis itu akhirnya pecah.

Duhai hati, kamu baik-baik saja'kan? Tidak seharusnya aku pertanyakan itu. Menangis saja. Tak apa menangislah. Kadang tak baik menahan emosi yang seharusnya dikeluarkan. Namun, jika bisa jangan sampai ada yang tahu kamu menangis. Mencintai dalam diam tak selalu berakhir manis, tapi jika kita mau mengambil bagian untuk berprasangka baik pada Allah. InsyaAllah akan manis meskipun tak bersama dia yang kamu idamkan selama ini. Barangkali di bagian bumi sana ada seseorang yang mendoakan kamu meskipun tak tahu namamu.

"Aku mengenalmu secara tidak sengaja, mencintaimu secara tiba-tiba dan harus melupakan kamu secara terpaksa. Apakah aku harus mengikhlaskan'mu? Memilikimu saja belum sempat, bagaimana caranya aku mengikhlaskan kamu?" tanya Anin pada dirinya sendiri dengan terisak.

Shabir yang penasaran ingin tahu siapa wanita yang telah menjadi istrinya itu, makin merapatkan berdirinya. Dia lalu mengulurkan tangan untuk membuka cadar yang Hana pakai. Gadis itu tersenyum saat sang suami ingin membuka kain penutup wajahnya. Hana berpikir pria itu pasti ingin melihat wajahnya yang telah di rias. Sementara kerabat yang lain ikut tersenyum, mereka berpikir Gus Shabir pasti tidak sabar ingin melihat wajah cantik sang istri.

...----------------...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!