...Do... Re... Mi... Fa... So... La... Ti... Do......
...♪♪♪...
"Hai perkenalkan aku Miya."
"Kalau aku Ana."
"Kami ingin menjadi siswi terpopuler di sekolah!" teriak bersama setelah itu tertawa bercanda riang sambil menari-nari di atas bukit.
Miya dan Ana adalah sepasang sahabat. Mereka sudah bersahabat sejak mereka memasuki Playground. Rumah mereka juga saling berdekatan, bahkan jendela kamar mereka saling berhadapan satu sama lain.
Mereka tinggal di sebuah Perumahan Raflesia Blok B Kota 1, Miya berada di nomor rumah 22 sedangkan Ana berada di nomor rumah 21.
Setiap pulang dari sekolah mereka tidak langsung pergi ke rumahnya masing-masing, melainkan mampir dulu ke taman bermain di dekat rumahnya sampai waktu sore tiba.
"Ana, bagaimana jika ada seorang pria yang datang kepadamu lalu menyatakan perasaannya?" tanya Miya sambil mengayun ayunannya.
"Aku lihat dulu prianya seperti apa, kalau tampan aku mau." jawab Ana sambil tertawa terbahak-bahak.
"Kebiasaan! Fisik selalu di nomor satukan." celetuk Miya sambil memutar kedua bola matanya merasa sedikit sebal.
Awalnya persahabatan mereka berjalan baik-baik saja di setiap harinya. Namun semenjak mendengar kabar bahwa Miya akan pindah rumah setelah hari kelulusan SD nya nanti. Mereka tidak lagi seperti dulu, persahabatan mereka mulai renggang. Miya mulai menjauh dan menghindari Ana.
...La... Ti... Do......
...♪♪♪...
"MIYAAA..." seseorang memasuki ruang klub musik dengan tergesa-gesa.
"Hhmm?" Miya bangun berdiri setelah bermain piano.
Ana memberi informasi kepada Miya dengan nafas yang sedikit tidak beraturan. Dia berkata bahwa di acara kelulusannya nanti yang akan tampil adalah Miya, bukan kapten klubnya.
"Ha, yang benar?! Kamu kata siapa?" tanya Miya yang terkejut dan sedikit tidak percaya dengan perkataan sahabatnya. "Di kantin, aku tidak sengaja mendengar percakapan kapten klub mu dengan seorang siswi yang tidak aku kenal. Dia berkata bahwa kamu lah yang akan tampil. Sebab permainan mu yang sangat bagus." jawab Ana.
Miya berjalan menuju jendela, "Huft... Tidak terasa satu minggu lagi acara itu akan tiba." dia membuka jendela dan angin pun berhembus masuk ke dalam ruangan.
"Benar, dan kamu, akan meninggalkan ku untuk selamanya." kata Ana menyahuti.
Miya menoleh ke arah Ana, terlihat kedua bola matanya berkaca-kaca seraya menahan tangis.
"Ana?" panggil Miya pelan.
Ana langsung berlari keluar dari ruang klub. Dia berlari menuju toilet dan terduduk di kloset duduk.
"Hhuuuu... Hhuuuu..." Ana memecahkan tangisannya di dalam sana.
"Kita akan menjadi siswi tercantik dan terpopuler di sekolah." ungkap Ana.
"Kita juga akan memiliki pasangan dan dinner berdua." Miya menimpali perkataan Ana.
"Janji kita akan selalu bersama?" Ana mengacungkan jari kelingkingnya kepada Miya.
"Janjiii...." teriak Miya berpeluk jari kelingking dengan Ana sebagai simbol perjanjian mereka.
Bel waktu pulang sekolah berbunyi. Miya menghampiri Ana yang sedang mengganti sepatunya. "Hai, ayo." ajak Miya untuk pulang bersama. "Duluan saja, aku ada jadwal klub memasak." Ana menolaknya dengan cara halus.
Miya langsung menarik tangan Ana untuk mengajaknya pulang. "Iihhhhhh lepasin," keluh Ana saat tangannya ditarik.
Selama perjalanan menuju rumah, mereka saling diam-diaman saja. Miya berjalan sambil mendengarkan musik menggunakan earphone, sedangkan Ana berjalan sambil memainkan ponselnya.
"Kau bohong bukan?" tanya Miya dengan tiba-tiba. "Ha? Apa?" Ana tidak terlalu fokus dengan apa yang Miya katakan tadi. "Katanya ada jadwal klub." Miya menoleh ke arah Ana sambil melepas earphonenya sebelah. "A-ano..." Ana sedikit gugup karena dia telah berbohong pada saat itu. "A-aku, aku bolos." tanpa berpikir panjang Ana membuat jawaban seperti itu. "Hmm oke." Miya memasang kembali earphonenya.
Melihat respon Miya yang hanya seperti itu, entah mengapa Ana merasa kesal dan langsung menarik kerah dasi baju milik Miya. "Ehh..." Miya terkejut reflek melepas kedua earphonenya.
"Hhufftttt... Huuffttttt..." terlihat wajah Ana memerah kesal, nafasnya juga tidak beraturan.
"Maafkan aku." Ana melepaskan tarikannya lalu berjongkok untuk meredakan emosinya.
Miya menaruh ponsel dan juga earphonenya ke dalam tasnya lalu mengajak Ana untuk berbicara.
"Ada apa?" tanya Miya. Ana hanya menggelengkan kepalanya saja tidak mau menjawab pertanyaan dari sahabatnya itu.
"Kalau begitu hari ini kita mampir ke taman. Bagaimana?" ajak Miya, dan Ana pun menerima ajakannya.
Sampainya di taman, seperti biasa mereka langsung menuju ayunan untuk bermain sambil bercerita. Ana berkata bahwa dirinya sangat kesal jika mendengar atau mengingat kalau Miya akan pindah rumah.
"Aku tidak tahu. Ke kesepian apa diriku nanti jika tidak ada dirimu." ungkap Ana sambil mengusap air matanya yang membasahi pipi.
"Aku lihat kamu tampak biasa saja jika jauh dariku." ungkap Ana lagi sedikit berprasangka buruk kepada sahabatnya.
Miya hanya tersenyum saja sambil melihat dan mendengarkan keluh kesah Ana jika harus berpisah dengannya. Padahal tanpa Ana tahu, saat malam tiba tanpa ada seorang pun di kamarnya. Miya sering menangis, bahkan dia sampai membeli obat tidur agar dia dapat beristirahat. Hanya saja dia tidak bisa menceritakan tentang hal itu kepada sahabatnya.
"Aku sengaja menghindar, cuek dan bersikap dingin kepadamu. Agar kamu terbiasa jika tidak bersamaku lagi." Miya berdiri dan melangkah membelakangi Ana.
"Kamu jahat Miya!" sontak Ana kesal dan langsung pergi meninggalkannya.
Setelah kejadian itu mereka tidak lagi sedekat dulu, bahkan mereka seperti orang tidak saling kenal saat berpapasan.
"Semoga kita saling terbiasa." ucap Miya di dalam hatinya saat berpapasan dengan Ana di kantin.
"Ini yang kamu mau kan Miya?" ucap Ana di dalam hatinya saat berjalan melewati Miya.
Hari-hari pun berlalu, kini waktu kelulusan Miya dan Ana telah tiba.
Kring!!!... Kring!!!... Kring!!!...
Alarm Miya berbunyi, terlihat jam menunjukkan tepat pukul 05.00 pagi. Ibunya mengetuk pintu kamarnya untuk membangunkannya. Miya berteriak mengatakan bahwa dirinya sudah bangun.
"Ayah sudah menyiapkan gaun untukmu." teriak Ibunya dari balik pintu.
Miya beranjak dari tempat tidurnya untuk segera mempersiapkan diri memakai gaun pemberian dari sang Ayah spesial di acara kelulusannya.
"Kamu cantik sekali." Miya mendapatkan pujian dari kedua orang tuanya. "Biar Ibu beri sedikit riasan di wajahmu."
Di sentuhan terakhir Ibunya memberikan cermin kepada Miya, tampak sangat cantik sekali setelah wajah Miya di rias oleh Ibunya. Miya tersenyum bahagia melihat wajahnya sendiri di dalam cermin, seraya hatinya berkata "Aku siap menjadi siswi terpopuler di sekolah.".
Sementara itu...
Ana sedang mengenakan seragam sekolahnya sambil melamun ke arah jendela kamar Miya yang tertutup rapat.
"Benarkah? Waktu ini telah tiba? Rasanya aku belum siap." ucap Ana di dalam hatinya sambil mengancingkan baju seragamnya.
"Ana cepat. Sudah jam berapa ini? Kamu juga belum sarapan." teriak Ibunya sambil menggedor pintu kamar. "Iya Ibuuu... Tungguuu..." dengan cepat Ana mengambil tas dan juga ponselnya lalu turun ke lantai bawah untuk pergi sarapan.
"Itu apa Bu?" tanya Miya saat keluar dari rumah terlihat banyak sekali kardus-kardus dan juga beberapa koper di taruh di halaman rumahnya. Ibunya memberitahu bahwa itu adalah barang-barang mereka yang akan mereka bawa ke rumah barunya nanti.
"Ibu hanya membawa barang-barang yang sudah jarang diproduksi dan barang-barang peninggalan Nenek saja." ucap Ibunya memberitahu sambil menepuk salah satu kardus.
"Bagaimana dengan pakaianku dan barang-barang ku?" tanya Miya. "Tenang saja, kita tidak langsung berangkat setelah kamu selesai acara. Kamu masih ada waktu untuk memisahkan barang-barang mu." jawab Ayahnya.
"Baiklah," Miya mengerutkan bibirnya.
...***...
"Kamu tampak cantik sekali Miya." kapten klub musik memuji kecantikan Miya. Yang dipuji hanya senyam-senyum menahan malu namun merasa bahagia. "Te-terimakasih," ucap Miya yang sedikit gugup.
Selama acara itu dimulai Miya sama sekali belum bertemu dengan sahabatnya. Karena Miya hanya diam saja di belakang panggung sambil menunggu gilirannya untuk tampil.
Beberapa menit kemudian MC menyebut nama Miya untuk dia dipersilahkan naik ke atas panggung. Sebelum menaiki panggung, Miya mengepalkan kedua tangannya dan berdo'a kepada Tuhan agar diberikan kemudahan dan ketenangan.
"Ayo Miya kau pasti bisa," ucapnya di dalam hati menyemangati diri sendiri. Miya pun menaiki panggung dan berjalan menuju alat musik piano yang sudah disediakan.
Siswa-siswi bersorak dan bertepuk tangan untuk Miya. Terlihat kedua orang tuanya tersenyum sambil bertepuk tangan, dia juga melihat kedua orang tua Ana dan Kakak laki-lakinya. Namun dia tidak melihat keberadaan Ana di sekitarnya.
Miya membungkuk memberi salam serta hormat lalu terduduk di kursi yang sudah di sediakan. Miya menarik nafasnya panjang-panjang dan jemarinya mulai memencet tuts piano.
...Do... Re... Mi... Fa... So... La... Ti... Do......
...♪♪♪...
"Ana lihat, sahabatmu tampak sangat cantik sekali." Kakak laki-lakinya berkata saat Ana baru tiba setelah dari toilet. "Hhmm," Ana hanya tersenyum kecil lalu terduduk untuk melihat penampilan sahabatnya.
"Aku yakin, yang mendapat pacar duluan itu kamu. Secara kamu sangat cantik." Ana berdiri di atas perosotan sambil melempar pesawat kertas yang dia buat sendiri.
"Tidak semua pria memandang wanita hanya dengan kecantikannya saja. Pasti ada ko yang melihat dari ketulusan kita." saut Miya sambil membuat istana pasir.
"Boyfriend! Boyfriend terus yang kalian bahas. Kamu juga! Bukan ajari anaknya yang baik-baik." seorang Ayah membentak istrinya.
"Sekarang kamu pergi ke kamar! Belajar! Awas saja sampai nilai-nilai mu jelek." bentak seorang Ayah kepada anaknya.
"Kita akan pindah ke Kota 3."
"Ikuti saja kemauanku. Tanpa aku kalian tidak akan bisa hidup!" seorang Ayah menampar istrinya.
"Izinkan aku untuk tidak menjual rumah ini. Hanya ini satu-satunya tempat kenangan aku bersama Ibu." ucap memohon sang istri kepada suaminya.
"Uuhhhh... Uuhhhh..." Miya bersandar di balik pintu kamar sambil menangis dan kedua tangannya meremas rambut kepalanya.
Di rumah itu, semoga tidak ada lagi pertengkaran.
Di rumah itu, semoga tidak ada lagi pertengkaran.
...Si... Do......
...♪♪♪...
Penampilan Miya berakhir, semua orang bersorak riang dan bertepuk tangan. Itu benar-benar penampilan terbaik dan terbagus dari klub musik tahun ini.
"Miya kau benar-benar sangat hebat." puji kapten klub musik kepada Miya.
"Benar, kau yang terbaik Miya."
"Iya kau sangat hebat."
Pembimbing klub musik datang menghampiri Miya memberi selamat serta pujian. Dia juga berkata bahwa baru Miya yang bisa menampilkan tampilan terbaik dari klub musik.
"Terimakasih banyak, ini semua juga berkat kalian semua." Miya tersenyum bahagia.
Setelah berbincang-bincang dengan teman klubnya, Miya meminta izin untuk pergi menghampiri orang tuanya. Dia berjalan ke area depan panggung. Terlihat orang tuanya berpindah posisi duduk di dekat orang tua Ana.
"Hai cantik..." sapaan dari Ibunya Ana kepada Miya saat Miya tiba. "Hai, Tante," sapaan balik dari Miya untuk Ibunya Ana dengan ekspresi yang sedikit canggung. Miya melihat ke arah Ana, namun Ana hanya fokus pada ponselnya saja.
"Bagaimana kita makan siang bersama?" ajak dan tanya Ibunya Ana. Ibunya Miya mengiyakan ajakannya. Mereka pun setelah selesai dari acara pergi bersama menuju rumah makan terdekat.
Setelah sampai di rumah makan sambil menunggu hidangan. Kakaknya Ana bertanya-tanya kepada Miya akan lanjut sekolah di mana. "A-ano... A-aku," Miya benar-benar bingung ingin menjawab apa. Sebab dia belum kepikiran soal itu dan dia juga lupa untuk memikirkan hal itu.
Ayahnya pun yang menjawab pertanyaan dari Kakaknya Ana. Ayahnya berkata bahwa Miya sudah di daftarkan di sekolah yang berakreditasi A di Kota 3, nama sekolahnya SMP 209.
"Ha?" Miya sangat terkejut karena Ayahnya belum membicarakan hal itu kepadanya.
"Wow hebat. Ngomong-ngomong Kota 3? Memangnya tidak kejauhan Om?" tanyanya. Ibunya Ana juga tidak menyangka kalau Miya akan melanjutkan sekolahnya di luar kota. Ana yang sudah tahu kalau Miya akan pindah rumah, biasa saja mendengar kabar itu.
Ibunya Miya menjelaskan bahwa mereka akan pindah rumah ke Kota 3. Itu juga syarat dari tempat kerja Ayahnya Miya. Mereka akan pergi nanti malam.
"Pantas saja aku melihat beberapa kardus dan koper berada di depan rumah kalian." kata Ibunya Ana.
"Jadi rumah yang ini akan kau jual Pak Li?" tanya Ayahnya Ana kepada Ayahnya Miya.
"Jika ada yang ingin membelinya, akan aku jual. Jika ada yang ingin menyewakannya saja, akan aku sewakan." jawabnya dengan sedikit bergurau.
Ayahnya Ana tertawa lalu menepuk tangan Ayahnya Miya. Dia juga memberi dukungan serta do'a yang terbaik untuknya dan untuk keluarganya.
"Hahaha terimakasih banyak Pak Sam."
Selama makan siang berlangsung, Miya dan Ana benar-benar saling diam-diaman saja. Tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulut mereka untuk berbincang satu sama lain.
"Ngomong-ngomong Ana akan lanjut sekolah di mana?" tanya Ibunya Miya bergantian.
"Heee, a-ano..." Ana sedikit gugup untuk menjawabnya.
"SMP 3, sekolah populer tahun ini. Aku lihat-lihat dia dan Miya ingin menjadi siswi populer di sekolah ya." jawab Kakaknya Ana dengan meledek.
Kedua orang tua Ana dan kedua orang tua Miya tertawa mendengar perkataan Kakaknya Ana barusan. Sedangkan Miya dan Ana hanya cengengesan merasa sangat malu.
"Kakak bodoh. Awas saja, tidak akan ada bekal untukmu saat kuliah dalam satu minggu ini." ancam Ana di dalam hatinya geram terhadap Kakaknya.
Waktu makan siang pun berakhir. Keluarga Miya dengan keluarga Ana saling berpamitan satu sama lain.
"Terimakasih banyak, sampai bertemu lagi."
Biar rumah mereka bersampingan, mereka jarang sekali berbaur karena sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.
Ibu dan Ayahnya Miya bekerja, begitu juga dengan Ibu dan Ayahnya Ana. Kakak laki-lakinya Ana kuliah dan baru memasuki semester 2, dia mengambil teknik sipil.
Miya tidak memiliki seorang kakak ataupun adik, Miya adalah anak satu-satunya di dalam keluarganya.
"Apa aku boleh minta sesuatu?" tanya seorang gadis kecil.
"Apa sayang?" jawab dan tanya seorang Ibu.
"Aku ingin memiliki seorang adik." jawabnya.
Mendengar jawaban dari sang anak, sang Ibu meneteskan air matanya sambil memeluk sang anak. Dia menjelaskan kepada anaknya bahwa Tuhan tidak bisa memberi dirinya seorang bayi lagi. Karena ada sebuah penyakit khusus dari Tuhan yang dititipkan kepada Ibunya.
Di rumah, Miya sedang mengepak pakaiannya dan juga barang-barang berharganya. Miya mengambil gayung, cermin, rak-rak kecil, dan lain sebagainya.
Terlihat banyak sekali kardus yang menumpuk di kamar Miya dan hanya tersisa ranjang tidur, lemari pakaian dan juga meja belajarnya saja.
"Aku tidak yakin dengan ini," keluhnya sambil menggaruk-garukkan kepala.
"Apa kamu sudah siap?" tanya Ibunya berjalan memasuki kamar sang anak. Ibunya tercengang saat melihat banyak tumpukan kardus di dalam kamar anaknya.
"Ya ampun sayang,,, kamu mengemas semuanya..." Ibunya melihat isi barang-barang yang sudah dikemas oleh Miya. Setelah melihatnya, Ibunya memberitahu bahwa di rumah barunya nanti sudah ada fasilitas-fasilitas yang umum lainnya.
"Saran Ibu kamu tidak perlu membawa pakaian-pakaian mu dan juga barang-barang sekolah mu. Tidak akan muat sayang kalau semua barang-barang ini masuk ke dalam mobil." Ibunya mengusap kepala anaknya.
"Iiihhhh Ibu tidak bilang dari tadi sih, aku sudah terlanjur mengemas semuanya seperti ini." Miya mengerutkan bibir dan juga dahinya merasa sudah sangat lelah dan malas.
"Tidak apa-apa, lagi pula kita tidak akan tinggal di sini lagi." ungkap Ibunya lalu berjalan pergi menuju lantai bawah.
"Ibu tunggu ya,"
Miya membuka kardus yang berada di atas ranjang tidurnya, isi di dalam kardus itu adalah barang-barang seperti buku gambar, pensil warna, komik, novel dan juga kaset-kaset film yang Miya miliki.
Dia mengambil buku gambar itu lalu melihat isi di dalamnya. Terdapat gambar-gambar yang dia buat bersama Ana saat waktu kecil.
"Ana lihatlah," Miya menunjukkan sebuah gambarnya kepada Ana.
"Hahaha kamu menggambar diriku ya, itu sangat lucu." saut Ana.
Miya menggambar Ana saat Ana sedang bersandar di jendela kamarnya sambil bermain ponsel.
"Apa kamu sudah siap Miya? Langit sudah mulai gelap." teriak Ibunya dari lantai bawah.
Miya langsung bergegas turun ke bawah, dia tidak membawa barang apapun selain earphone, ponsel, tablet dan juga laptop yang sudah dia masuki ke dalam tasnya.
Sementara itu...
Saat Miya sedang mengepak-ngepak barang-barangnya, Ana melihat bayangan tubuh Miya dari gorden kamarnya. Saat Miya keluar dari kamar dan mematikan lampu kamarnya, Ana bergegas langsung keluar dari rumah.
"Kamu langsung saja naik ke mobil. Biar Ibu dan Ayah yang mengangkat barang-barang ini." suruh Ibunya kepada Miya.
"Miya," Ana berucap pelan saat melihat sahabatnya menaiki mobil.
Ayahnya menutup bagasi mobil lalu menaiki mobil. Ibunya menggembok pagar rumah dan menaiki mobil juga. Perlahan-lahan mobil pun melaju pergi dari pandangan Ana.
"Miya..."
"MIYAAA..."
"MMIIIYYYAAAA!!!..."
Ana berusaha mengejar mobil yang ditumpangi Miya namun sia-sia, tangisannya pun pecah melihat sahabatnya benar-benar pergi meninggalkannya.
"Ana, ada yang ingin aku ceritakan kepadamu." ungkap Miya yang sedang terbaring di dalam rumah-rumahan.
"Cerita saja, aku siap untuk mendengarnya." Ana sedang menggendong boneka bayi dan memberinya susu.
"Tadi malam Ayahku berkata, kalau kami akan pindah rumah keluar kota." Miya menutup kedua matanya dengan lengannya.
Ana menoleh ke arah Miya lalu mengangkat satu lengannya. "Kamu menangis?" tanya Ana.
"Aku tidak siap Ana." Miya memiringkan tubuhnya membuang pandangannya dari Ana.
Di dalam kamar setelah melihat kepergian Miya. "Uuuhhhh... Uuuhhhh..." Ana memeluk bonekanya, terlihat pipinya basah sebab air matanya. "Aku juga tidak siap Miya." Ana memejamkan kedua matanya.
...***...
Prak!!!...
"Kamu itu sudah tidak punya apa-apa lagi Zoya. Nurut saja sih!" bentak sang suami kepada istrinya.
"I-iya, ma-maafkan aku" rintihan takut sang istri dengan tangan yang memegang pipi meringkuk di pojokan ruangan.
Kring!!!... Kring!!!... Kring!!!...
Suara alarm berbunyi, Miya bangkit dari tempat tidur sambil mematikan alarmnya. Dia berjalan menuju jendela kamar lalu membukanya. Yang biasanya terlihat pemandangan jendela kamar Ana, kini hanya terlihat halaman belakang rumahnya saja.
"Huftttt..." Miya menghela nafasnya. Tiba-tiba angin berhembus kencang hingga membuat rambut Miya terhempas.
"Non waktunya sarapan" seseorang mengetuk pintu kamar.
Miya turun ke lantai bawah lalu terduduk di kursi meja makan. Ayahnya tiba bersama Ibunya, terlihat pipi kanan Ibunya bengkak memerah. Miya bertanya soal itu, Ibunya menjawab bahwa dia sedang mengalami sakit gigi hingga pipinya ikut membengkak.
Miya menoleh melihat Ayahnya, terlihat dia biasa saja sedang menyendok hidangan ke piringnya. Namun hati Miya timbul rasa curiga kepada Ayahnya sendiri.
Kini Miya hidup lebih mewah dari sebelumnya. Ayahnya naik jabatan di tempat kerjanya. Ibu Miya dari yang bekerja kini tidak bekerja lagi, dia hanya fokus untuk pekerjaan rumah dan mengurus keluarga kecilnya.
Ayahnya juga memperkerjakan dua orang di rumahnya, dua orang itu adalah sepasang suami istri paruh baya. Sudah 30 tahun menikah namun mereka belum juga dikaruniai seorang anak.
"Non Miya tidak mau jalan-jalan keluar?" tanya Bibi saat Miya sedang bersantai di halaman belakang rumahnya.
"Apa di dekat sini ada sebuah taman bermain Bi?" tanya Miya.
Bibi mengatakan bahwa di dekat sini tidak ada taman bermain, melainkan hanya taman-taman biasa saja yang dipenuhi dengan tetumbuhan.
Miya menceritakan kepada Bibi kalau di rumahnya yang dulu ada sebuah taman bermain, "Perosotan ada, ayunan ada, bahkan rumah-rumahan kecil juga ada Bi. Di sebelah kirinya ada tumbuhan bunga Raflesia, indah sekali." Miya bercerita dengan amat sangat bersemangat.
Bibi sangat menyukai dan menyayangi Miya, dia menganggap Miya seperti anaknya sendiri.
"Sial panas sekali!" gertak Miya saat menyalahkan keran shower saat ingin membasahi kepalanya. Miya mengotak-atik tombol-tombol disekitar sana untuk mencari suhu air yang normal.
Dia sudah memencet beberapa tombol namun belum menemukan suhu air yang normal. Sekalinya panas, panas sekali. Sekalinya dingin, dingin sekali.
"Aaarrrgggggg!!!" Miya sudah sangat kesal. Dia langsung memencet kedua tombol panas dan dinginnya secara bersamaan. Lalu dia membuka kerannya, terasa suhu air normal membasahi seluruh tubuhnya.
"Ini dia..." Miya mengusap-usap kepalanya sambil menikmati cucuran air yang dia inginkan.
Setelah membersihkan diri, Miya mengenakan seragam barunya. Seragam kali ini berbeda dengan seragam sekolahnya saat waktu masih SD.
"Vest dan blazer?" Miya menaruh dua tipe model luaran baju seragamnya di atas ranjang tidurnya. Dia membuka ponselnya untuk melihat jadwal seragam yang akan dia kenakan di hari pertamanya masuk sekolah.
"Di sini sih di suruh pakai dua-duanya," ucap Miya terheran, dia mencoba memakai keduanya walau dia tahu itu tampak sangat aneh jika dipakai secara bersamaan.
"Sayang, apa kamu sudah siap?" teriak Ibunya dari luar kamar. Miya bergegas menyisir rambutnya tanpa menguncirnya.
"Selamat pagi sayang," sapa Ayahnya saat Miya dan Ibunya tiba. Ayahnya menyuruh Miya untuk sarapan dulu sebelum pergi ke sekolah. Ayahnya sangat memperhatikan penampilan Miya saat itu.
"Kenapa kamu memakai dua-duanya Miya?" tanya Ayahnya dengan mata yang menyipit.
"Apa Yah?" tanya Miya kebingungan.
Ayahnya menyuruh Miya untuk memilih salah satu antara vest atau blazer. "Itu tidak dipakai secara bersamaan sayang," ucap Ayahnya memberitahu.
Ibunya menghampiri Miya lalu menyuruhnya untuk membuka blazernya, "Biar Ibu yang taruh nanti di kamarmu." Ibunya membawa blazernya.
Ayahnya memanggil Bibi menyuruhnya untuk mengambil hairdryer dan menata rambut Miya. "Ti-tidak usah Bi, biar aku saja." Miya kembali ke kamarnya sambil membawa blazernya yang tadi diambil Ibunya.
"Aneh sekali, biasanya dia tidak memperdulikan penampilanku." gumam Miya sambil mengeringkan rambutnya. Setelah kering, Miya langsung menguncir satu rambutnya.
"Cantik." ucapnya sambil bercermin menata poni dan juga jambangnya agar terlihat lebih imut.
Miya kembali ke ruang makan untuk segera sarapan. "Nahhh, gitukan cantik anak Ayah." ucap Ayahnya memuji dan Ibunya tersenyum manis kepadanya.
"Hhhmmm." gumam Miya di dalam hatinya dengan dahi yang mengerut kesal namun bibirnya tersenyum kecil.
Setelah sarapan, Miya berangkat ke sekolah dengan diantar oleh Paman supir pribadinya. "Aku berangkat ya Bu, Bi." pamit Miya.
Kini keluarga Miya memiliki dua kendaraan. Mobil lamanya dipakai Ayahnya untuk bekerja, dan mobil barunya dipakai untuk Miya atau Ibunya jika ingin berpergian.
Selama perjalanan menuju sekolah barunya, Miya hanya terdiam sambil mendengarkan musik dengan earphonenya.
"Non kelas berapa?" tanya basa-basi Paman supir kepada Miya. Karena Miya menggunakan earphone, dia tidak mendengar pertanyaan dari Paman supir pribadinya itu.
Paman supir melihat Miya dari kaca spion tengah, lalu tersenyum kecil melihat Miya yang ternyata sedang menggunakan earphone sambil melamun ke arah luar jendela kaca mobil.
Mobil berhenti di depan gerbang sekolah. Miya masih melamun tidak sadar kalau dia sudah sampai tujuan.
"Non, kita sudah sampai" Paman supir memberitahu namun Miya masih tidak menyadarinya. Berkali-kali Paman supir memanggilnya dan memberitahu, tetap saja Miya belum sadar dan masih melamun.
Paman supir memiliki akal untuk mengambil tongkat e-toll dan menyentuh tubuh Miya dengan tongkat tersebut.
"Aaaaaaaaaaaa!!!" Miya teriak sangat terkejut, begitu juga dengan Paman supir yang ikut terkejut karena teriakan Miya.
"Ma-maaf Non. Kita sudah sampai, Non Miya dari tadi dipanggil tidak dengar-dengar. Maaf Non, Paman tidak bermaksud aneh-aneh." Paman meringkuk meminta maaf kepada Miya.
"Hufttt... Paman... Iya tidak apa-apa. Terimakasih banyak ya Paman." Miya menggendong tasnya lalu turun dari mobil.
"Wwoooo..." Miya tercengang melihat sekolahnya yang begitu amat sangat besar. Dia masih tidak percaya kalau sekolahnya sebesar ini, dia melihat tulisan nama sekolahnya yang berada di atas gerbang.
"SMP 209. Akreditasi A. Wwwoooo benar." Miya masih tidak menyangka kalau dia bisa sekolah di gedung sekolah yang sebesar ini. Dia langsung melangkah memasuki halaman sekolah barunya itu.
Miya melihat seragam siswa-siswi di sana. Benar saja dengan apa yang Ayahnya katakan, vest dan blazer tidak dipakai secara bersamaan. "Orang yang membuat jadwal sedikit belum sadar nyawanya." ungkap Miya di dalam hatinya mengeluh.
Bruk!!!...
Seorang pria berlari dan menabrak Miya hingga terjatuh. Pria itu membantu Miya untuk terbangun sambil meminta maaf kalau dia tidak sengaja dan sedang terburu-buru untuk melihat mading.
"I-iya tidak apa-apa" Miya menepuk-nepuk roknya yang terkena sedikit kotoran debu. Pria itu langsung berlari memasuki gedung sekolah.
Di depan mading besar utama sekolah itu, Miya sedang mencari namanya berada di kelas apa. Banyak siswa-siswi baru yang juga sedang mencari namanya masing-masing.
"Aduhhh, aduhhh, pantas saja pria tadi sangat terburu-buru untuk melihat mading" Miya terdorong sana sini sebab semakin banyak siswa-siswi yang berdatangan untuk melihat.
"Sa-tu, sa-tu," Miya menemukan namanya yang berada di kelas 1.1 dengan badan yang terhimpit orang-orang.
"To-tolong," teriak Miya berusaha untuk keluar dari kerumunan itu. Seorang gadis membantunya dengan menarik lengannya.
"Huft... Huft..." helaan nafas Miya yang sudah sangat pengap dan lelah berada di kerumunan itu.
"Terimakasih banyak." Miya menepuk pundak seorang gadis yang sudah membantunya.
"Iya," gadis itu tersenyum manis kepada Miya. Gadis itu mengajak Miya untuk berkenalan, "Hai aku Sagiri, salam kenal." gadis itu mengulurkan tangannya untuk mengajak Miya berjabat tangan. "Mi-ya, salam kenal." Miya menjabat tangan gadis itu.
Tiba-tiba datang lah dua gadis lainnya yang ternyata adalah teman Sagiri. Dua gadis itu bernama Jihyo dan Yuna. Salah satu dari mereka bertanya kepada Sagiri perihal dia masuk kelas apa.
"Kelas 1.1, kalo kalian?" jawab dan tanya Sagiri kepada dua temannya. Kedua temannya juga berada di kelas yang sama dengannya.
"Satu-satu? Berarti mereka sekelas denganku dong" ucap Miya di dalam hatinya setelah mendengar perbincangan gadis-gadis itu.
"Kamu masuk kelas apa Miya?" tanya Sagiri. Miya menjawab bahwa dia juga memasuki kelas 1.1.
"Bagus, kita memiliki member baru." saut teman Sagiri yang bernama Jihyo. Sagiri langsung mengajak kedua temannya dan juga Miya untuk memasuki kelas barunya.
Sampainya di kelas, Miya mengambil tempat duduk di paling depan (baris kelima di deret pertama) karena sudah terbiasa sejak dia SD. Sedangkan Sagiri, Jihyo dan Yuna mengambil tempat duduk paling belakang (deret ke enam).
Seorang pria masuk dan terduduk di belakang Miya. Wajah pria itu tampak seperti pria yang menabraknya tadi.
"Seperti pernah melihatnya," ucap Miya di dalam hatinya. Karena penasaran, dia pun menghadap ke belakang untuk melihat jelas wajah pria itu tanpa rasa malu.
"Ruki." beberapa orang tiba dan menghampiri pria itu.
"Benar saja, itu pria yang tadi menabrak ku. Jadi nama dia Ruki, tidak menyangka akan sekelas dengannya." ucap Miya di dalam hatinya lagi setelah melihat jelas wajah pria yang duduk di belakangnya.
"Eh," Miya melihat seorang pria dari teman Ruki yang sedang menatap dirinya dari atas hingga bawah. Hal itu membuat Miya sedikit risih kepadanya.
Beberapa menit kemudian bel masuk pun berbunyi.
Kring!!!... Kring!!!... Kring!!!...
Untuk siswa-siswi baru tidak langsung memasuki kegiatan belajar mengajar. Melainkan mereka masih dalam masa pengenalan lingkungan sekolah.
Sagiri, Jihyo dan Yuna mengajak Miya untuk mengelilingi setiap sudut sekolah. Miya mengiyakan ajakannya itu, dari pada dia harus berkeliling sendirian di sekolah yang sebesar ini.
Miya dan ketiga teman barunya itu berjalan menuju kelas-kelas lain, ruang klub, toilet, UKS dan perpustakaan. "Aku sudah tidak sanggup, langsung saja kita menuju kantin." ajak Jihyo terlihat keningnya sudah bercucuran keringat.
Mereka pun berjalan menuju kantin, saat itu Miya berkata kepada ketiga temannya kalau sudah tahu ruang-ruang inti seperti toilet, UKS dan ruang klub yang akan diikuti, itu sudah cukup baginya.
"Memangnya kau ingin memasuki klub apa?" tanya Sagiri. Miya menjawab bahwa dia akan memasuki klub musik untuk mengasah serta menambah skill kemampuannya dalam memainkan alat musik piano.
"Kita sama Miya. Aku juga ingin masuk ke klub musik. Kebetulan aku pandai~" saut Yuna amat sangat bersemangat. Sagiri dan Jihyo langsung menatap sinis ke arah Yuna saat dia berbicara seperti itu kepada Miya.
"A-ano..." Yuna seketika berhenti berbicara.
"Kamu juga pandai bermain piano?" tanya Miya memperjelas.
"Syukurlah kita sudah sampai di kantin." teriak Jihyo langsung bergegas memesan minuman karena sudah sangat lelah berjalan mengelilingi sekolah.
Sagiri, Yuna dan Miya ikut memesan minuman serta makanan ringan.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!