NovelToon NovelToon

Dalam Dekapan Cakrawala

Bab 1

Embun menyeka air matanya sebelum berangkat ke sekolah. Betapa ucapan Ratna, sang Ibu begitu menusuk ke hatinya. Walau itu bukan pertama kali bagi Embun mendapat umpatan dan makian dari Ibunya, namun tetap saja umpatan itu selalu saja berhasil menambah lubang di hati Embun.

Dengan menahan rasa lapar, Embun berjalan kaki menuju sekolahnya yang memakan waktu hampir setengah jam. Kakinya melemas, tubuhnya gemetar karna belum menerima asupan makanan sejak semalam sore.

Kini pandangan Embun mulai berkunang-kunang. Ia hampir terjatuh. Untungnya Salma melihat dan langsung memanggil sahabatnya itu. Salma lalu menyuruh Embun masuk ke dalam mobilnya. Menyadari wajah Embun yang pucat, bahkan terdengar suara perutnya yang keroncongan, Salma pun dengan cepat mengeluarkan sepotong roti dari dalam tasnya dan memberikannya untuk Embun.

"Kau belum sarapan kan?"

Embun mengangguk pelan, dengan malu-malu ia mengambil roti dari tangan Salma. Lalu ia mulai menyantap roti berisi selai coklat itu.

"Kau di marahi ibu mu lagi?!" tanya Salma dengan iba.

Embun kembali mengangguk sembari mengunyah makanannya.

"Kali ini apa lagi yang membuat ibu mu marah?" Salma begitu ingin tau.

Sebelum menceritakan kepada Salma, Embun pun menghabiskan rotinya terlebih dahulu. Lalu ia menenggak air mineral dari Salma tanpa jeda, hingga air mineral itu habis tak tersisa. Salma hanya bisa memaklumi sahabatnya itu.

"Kau tau Sal, gara-gara semalam aku mengerjakan tugas kelompok di rumah mu dan aku pulang kesorean, ibu ku langsung memarahi ku tanpa mendengar penjelasan ku terlebih dulu. Bahkan ibu ku dengan teganya mengatakan, aku ini adalah perempuan jalang yang tak tau waktu, yang bisanya hanya menghabiskan uang mereka." jelas Embun dengan tatapan nanar.

"Setelah memaki dan mengumpat ku, ibu ku juga melarang ku untuk makan malam bersama mereka, karna katanya tak ada jatah makan malam bagi anak yang tak punya aturan seperti ku" sambung Embun lagi.

Salma mengigit bibir bawahnya, betapa hatinya terenyuh mendengar cerita sahabatnya itu. Ia lalu mengelus punggung Embun dengan lembut. "Sabar ya Embun, aku yakin kau bisa menghadapi semua itu."ujarnya menenangkan.

Embun pun tersenyum, walau kata-kata Salma sama sekali tak bisa mengobati luka di hatinya, namun dia merasa beruntung bisa memiliki sahabat sebaik Salma.

...~~~...

Embun Bayuni. Gadis berusia 17 tahun, berparas manis dengan kedua lesung pipi yang menjadi daya tariknya ketika ia berbicara ataupun tersenyum. Tak hanya itu, dia juga seorang gadis berprestasi karna kecerdasaan yang di milikinya.

Embun sering mengikuti olimpiade di sekolahnya, dan tak jarang ia memenangkan olimpiade itu dengan memborong piala penghargaan dan juga beberapa sertifikat. Namanya pun terkenal di kalangan para guru.

Walau satu hal yang di sayangkan dari Embun, ia terlalu introvert untuk dijadikan sebagai idola sekolah. Padahal banyak lawan jenis yang tertarik dan menyukainya. Namun Embun yang tak suka terekspos, lebih memilih mengasingkan diri di saat jam istirahat sekolah. Hanya Salma lah satu-satu manusia di sekolah itu yang membuat Embun berani bersikap terbuka.

Karna begitu tertutupnya Embun kepada manusia lain selain Salma, ia sampai tak menyadari jika salah satu teman sekelasnya ada yang begitu sangat menyukainya. Dia lah Cakrawala, Cakrawala Kalingga. Wajah tampan dan tubuh jangkungnya membuatnya menjadi lelaki nomor satu idaman kaum hawa di sekolah.

Ketua osis, kapten basket, altet taekwondo, dan ahli berbahasa Inggris. Semua itu diborong oleh Cakrawala sekaligus. Berbeda dengan Embun yang berkepribadian introvert, Cakrawala justru memiliki kepribadian yang berbanding terbalik dengannya.

Sikap Cakrawala yang hangat dan pribadinya yang ekstrovert, membuatnya mudah bergaul dengan siapa pun.Bahkan semua orang berharap bisa berteman dengan Cakrawala yang juga merupakan seorang anak pengusaha.

Sudah sangat jelas sekali bias perbedaan antara kehidupan Embun dan Cakrawala. Namun di mata Cakra, nama panggilannya, ia dan Embun adalah sama. Sama-sama dua anak manusia yang sedang mengejar mimpi dan cita-cita terlepas dari latar belakang keluarga mereka.

...~~~...

Dengan serius Embun mencerna penjelasan dari guru Kimianya sembari mencatat beberapa rumus yang penting. Sedangkan Salma yang duduk di samping Embun, berusaha menahan kantuk dengan sesekali menyenderkan kepalanya di bahu sahabatnya itu.

Embun tak kesal, ia malah membiarkan Salma dengan pikirannya yang menerawang entah kemana, menikmati bahunya yang sedikit keras itu. Tubuh Embun memang terbilang ideal, namun kata Salma, tubuh Embun justru terlalu kurus untuk seusianya.

Bersamaan dengan itu, Cakra yang sama tak fokusnya dengan Salma, sesekali menoleh ke arah meja tempat Embun dan Salma yang berada di sudut paling belakang sisi kirinya. Senyum Cakra terulas tipis melihat wajah Embun yang tampak begitu serius.

"Coba kamu kerjakan soal no. 2, Cakra." ujar Pak Doni, guru Kimia sekaligus om Cakara sendiri.

Cakra tersentak kaget, dan langsung berdiri ke depan kelas. Ia mengambil spidol hitam dengan ragu. Walau Cakra ahli dalam beberapa bidang, namun ia juga memiliki kelemahan.

Salah satunya adalah berhitung. Ia begitu benci dengan mata pelajaran yang menyuruhnya untuk memeras otak. Cakra bahkan mengutuk di dalam hati orang yang telah menciptakan pelajaran-pelajaran itu.

"Bisa?!" tanya Pak Doni.

Cakra menyeringai sembari menggeleng. Seisi kelas pun heboh seketika, bukan karna menertawai ketidakbisaan Cakra, melainkan mereka berebut ingin membantu Cakra menyelesaikan soal itu.

"Jangan buat aku malu, bisa nggak om?" bisik Cakra pelan.

Namun pak Doni tak menggubris. Bagi pria itu, di luar sekolah Cakra memanglah keponakannya. Tetapi saat di lingkungan sekolah, Cakra itu setara dengan siswa lain yang di ajarnya.

"Embun, bantu Cakra mengerjakan soal ini." pintah Pak Doni.

Wajah Cakra berubah sumringah. Omnya itu seakan tau keinginan hati kecilnya. Embun pun maju ke depan kelas. Dengan yakin ia menyelesaikan soal yang di buat oleh pak Doni.

"Sudah pak." ujar Embun yang dengan cepat menyelesaikan soal itu.

Pak Doni langsung memeriksa hasil jawaban Embun. "Ya, benar. Kamu boleh duduk" ucap pak Doni.

Embun lalu kembali ke tempat duduknya, di ikuti oleh Cakra.

"Cakra!" panggil pak Doni.

"Kenapa pak?!" sahut Cakra santai.

"Yang saya suruh duduk itu Embun, bukan Kamu."ujar pak Doni lagi.

"Kasian Cakra tau pak, dia kan juga udah berusaha." celetuk salah satu siswi di kelas itu.

"Iya bener, pak.." sambung siswi lain yang saling bersautan.

"Diam!!" bentak pak Doni, membuat ruang kelas hening seketika.

"Mulai nanti, buat kelompok belajar mu dengan Embun.Saya tidak mau tau, minggu depan saat saya suruh kamu mengerjakan soal lagi, kamu harus bisa menyelesaikannya." tegas pak Doni.

Bukannya kesal, Cakra malah dengan lantang menimpali ucapan pak Doni. "Siap pak. Dengan senang hati saya mengikuti arahan dari bapak" ucapnya.

Embun yang mendengar itu hanya berdecak. Betapa malasnya ia mengajari Cakra yang super aktif itu.

...~~~...

Bab 2

"Embun..." panggil Salma.

"Kenapa Sal?" sahut Embun tanpa menoleh ke arah Salma yang duduk di sebelah. Ia hanya sibuk membaca buku di hadapannya.

"Aku boleh ikut kan?" bisik Salma yang takut di tegur oleh penjaga perpustakaan.

"Ikut apa?" Embun merasa heran.

"Ikut kelompok belajar sama Cakra."

"Jadi kau mau berpaling dari Pandu?" sekak Embun, sembari membalik lembaran buku yang di bacanya.

"Bukan gitu Mbun, tapi..."

"Salma..." panggil seorang lelaki dari depan pintu perpustakaan, membuat gadis itu langsung menengadah.

"Yang di omongin muncul tuh" ujar Embun yang hapal betul suara Pandu.

"Aku nemui Pandu dulu ya Embun. Nggak papa kan? Oiya, jangan cerita apapun ya ke dia soal tadi."

"Iya Sal, yaudah pergi sana. Lagian ngapain juga aku cerita sama Pandu" sahut Embun, lalu tersenyum hingga terlihat lah kedua lesung pipinya yang menarik itu.

Salma pun langsung pergi meninggalkan Embun. Embun yang hanya seorang diri kembali, berkutat pada lembaran buku yang sempat tertunda ia baca karna ocehan Salma tadi.

Belum sampai lima menit Salma pergi, tiba-tiba seseorang datang dan duduk di samping Embun. Gadis itu pikir, Salma tak jadi pergi menemui Pandu dan kembali menemaninya di perpustakaan.

"Nggak jadi menemui Pandu, Sal?" tanya Embun santai, tanpa menoleh ke samping.

"Sal,.."

"Salma" Embun pun menoleh ke arah sampingnya karna tak ada jawaban dari Salma.

Betapa terkejutnya ia saat mengetahui Cakrawala lah yang duduk di sebelahnya bukan Salma seperti dugaannya tadi.

"Hai..." sapa Cakra sambil tersenyum.

Embun seketika memalingkan wajahnya. Jantungnya berdegup, bukan karna ia menyukai Cakra. Tetapi karna seorang introvert seperti dia, merasa tak siap harus bertemu dengan orang lain yang tak akrab dengannya. Di tambah lagi posisi duduk Cakra yang begitu dekat, membuat perasaan gadis itu semakin tak nyaman.

Dengan tergesa Embun membereskan beberapa buku yang tergeletak di meja. Lalu ia segera pergi dari hadapan Cakra.

"Tunggu.." cegah Cakra.

"Kenapa pergi?" sambungnya lagi.

"Sorry, aku ngerasa nggak nyaman di sebelah orang yang nggak akrab dengan ku." jawab Embun tanpa basa-basi.

"Tapi aku cuma mau buat kelompok belajar." ujar Cakra.

"Yang di ujung sana, kalau kalian ingin berdebat, lebih baik ke luar! suara kalian mengganggu orang lain yang sedang membaca!" teriak penjaga perpustakaan yang mendengar percakapan mereka.

Mendengar itu, Embun pun segera keluar dari perpustakaan dan meninggalkan Cakra.

"Wah... ternyata dia jauh lebih sulit untuk di dekati, nggak seperti dugaan ku selama ini." monolog Cakra.

...~~~...

Begitu bel berbunyi menandakan jam pelajaran telah usai, Embun langsung bergegas memasukkan semua alat tulisnya ke dalam tas. Ia ingin segera pulang dan tak ingin terlambat sampai ke rumah walau hanya 1 menit pun.

"Aku duluan ya Sal." ujar Embun yang langsung meninggalkan kelas.

"Tapi Mbun," Salma kalah cepat dari Embun yang sudah berlalu dari hadapannya.

Sedangkan Cakra hanya bisa menatap kursi Embun yang telah kosong. Padahal ia begitu ingin menghampiri gadis itu untuk membahas kelompok belajar dengannya. Namun, rencana hanya tinggal rencana. Cakra kecewa karna Embun tak seperti harapannya, yang ia pikir bisa bersikap hangat dan terbuka seperti kebanyakan siswi perempuan lain di sekolahnya.

Embun bukannya tak ingin membentuk kelompok belajar bersama Cakra dan membantunya mengatasi kesulitannya dalam pelajaran hitung menghitung. Embun hanya tak memiliki waktu lebih, karna sepulang sekolah ia harus bergegas tiba di rumah secepat mungkin.

Embun tak ingin terus-terusan mendapat umpatan dari ibunya yang memiliki lidah beracun itu. Bagaiman tidak, kata-kata yang keluar dari mulut ibunya, pasti selalu berhasil menyakiti dan melukai hati Embun.

Dengan berlari kecil, Embun keluar dari gerbang sekolah. Ia bergidik ngeri saat membayangkan ocehan ibunya jika ia terlambat pulang ke rumah. Nafasnya mulai memburu saat Embun mempercepat laju larinya.

Selain tak mendapat jatah makanan, Embun juga tak di beri uang saku jika ia melakukan sesuatu yang menurut ibunya salah. Untuk itu lah, ia begitu berusaha agar keterlambatannya itu tidak terulang lagi.

Peluh pun menetes satu per satu membasahi wajah dan juga seragam sekolah Embun. Namun ia lega, karna tepat waktu saat tiba di rumah. Ia membuka pintu gerbang rumahnya dengan nafas tersengal sembari memegang perutnya yang menggrutu ingin segera di isi makanan.

Embun segera masuk ke rumahnya karna ia tau pesanan yang akan ia antar sudah menumpuk. Dan benar saja, baru juga Embun melepas sepatu sekolahnya, ibunya langsung datang menghampirinya.

"Cepat ganti baju sekolah mu. Lalu segera antarkan nasi kotak itu ke langganan kita." ujar Ratna.

"Tapi bu, Embun boleh makan dulu kan?Embun lapar" mohon Embun dengan wajahnya yang memelas.

"Antarkan dulu pesanan itu, baru kau boleh makan." ucap Ratna lagi, lalu ia membalikkan badan dan segera pergi dari hadapan Embun.

Itulah alasan mengapa Embun harus pulang tepat waktu. Karna ia harus segera mengantarkan nasi kotak kepada para pelanggan yang memesan jasa catering ibunya.

Embun pun segera mengganti seragam sekolahnya. Ia lalu mengenakan kaos lengan pendek dan celana jeans panjang yang ia pilih secara acak. Setelah selesai, ia keluar dari kamarnya dan hendak mengantarkan 30 nasi kotak yang sudah di siapkan ibunya itu.

Sebelum pergi, Embun tak sengaja melihat sepotong roti di atas meja makan. Ia pun menoleh ke kanan dan kiri untuk memastikan tak ada orang yang melihatnya akan mengambil roti itu. Saat hampir berhasil, tiba-tiba Ray, kakak sulung Embun, yang juga baru pulang dari kampusnya berjalan melewati meja makan itu hingga membuat rencana Embun gagal.

Ia pun menghela nafas kesal sembari mengangkat tumpukan nasi kotak itu untuk ia letakkan di atas motornya. Betapa tidak manusiawi perlakuan Ratna kepada anak gadisnya itu. Membiarkan Embun kelaparan namun tetap menyuruhnya melakukan hal-hal yang sebenarnya lebih pantas di berikan kepada Ray, yang merupakan anak laki-laki tertua di rumah mereka.

Sembari menahan rasa lapar, Embun pun mengantarkan nasi kotak itu ke sebuah kantor kecil yang sedang mengadakan sebuah acara. Dengan hati-hati ia membawa tumpukan nasi kotak itu agar tak terjatuh. Namun tangannya yang gemetar karna menahan rasa lapar, sudah tak sanggup lagi membawa tumpukan nasi kotak itu.

Ia goyah, untungnya ada yang iba dan langsung membantunya membawa nasi-nasi kotak itu. Nasib baik terkadang berpihak kepada seseorang berhati tulus seperti Embun. Ia yang hendak pulang karna pekerjaannya telah selesai, langsung di cegah dan di ajak makan bersama mereka.

Bahkan Embun juga di beri upah oleh pemilik kantor itu karna rasa terima kasihnya kepada Embun yang datang tepat waktu mengantarkan pesanan mereka.

Namun Embun yang merasa tak nyaman jika harus menikmati makanan di tengah orang-orang yang tak di kenalnya pun memilih untuk pergi dari tempat itu. Tak apa jika ia harus menahan rasa laparnya lebih lama lagi, batinnya.

Rezeki memang tak pernah salah ketika menemui pemiliknya. "Ambil, kau pasti belum makan kan?" ujar pemilik kantor itu sembari memberikan sekotak nasi kepada Embun.

Embun pun tersenyum puas sembari mengambil nasi kotak itu. "Terima kasih banyak ya pak.Kalau begitu saya permisi." ucapnya.

...~~~...

Sembari membiarkan motornya melaju dengan pelan, mata Embun menelaah setiap sisi jalan mencari tempat yang cocok baginya untuk menyantap makan siangnya itu.

Lalu ia melihat kursi panjang yang tertata rapi di pinggir jalan. Embun pun menghentikan motornya di jalanan kecil yang tak banyak kendaraan berlalu lalang. Kemudian ia mengeluarkan nasi kotak itu dari dalam sebuah paper bag. Dengan tak sabar, ia ingin mengetahui ibunya memasak menu apa untuk cateringnya hari ini.

"Wahh..." mata Embun seketika berbinar, melihat rendang daging kesukaannya.

Tanpa menunggu lagi, Embun mulai menyantap makanan di hadapannya itu. Begitu lahap ia makan, hingga ia pun tersedak karna menelan makanan itu dengan terburu-buru.

Embun panik seketika menyadari ia tak membawa air minum. Dalam kepanikannya, tiba-tiba seseorang menyodorkan sebotol air mineral ke hadapannya. "Nih, untuk mu."

Embun pun mendongakan kepalanya menatap seseorang yang berdiri di hadapannya. Ia tak peduli lagi dengan sosok yang tersenyum kepadanya. Dengan cepat, Embun mengambil sebotol air mineral itu dari tangan berurat lelaki yang menyodorkan minum kepadanya. Kemudian ia menenggak air itu tanpa jeda.

"Makanya kalau makan itu pelan-pelan." ujar lelaki itu yang ternyata adalah Cakra. Cakra lalu duduk di samping Embun tanpa canggung.

Namun Embun yang merasa risih dengan kehadiran Cakra tak melanjutkan makan siangnya. Ia hendak menutup kotak nasi itu dan ingin segera pergi dari hadapan lelaki jangkung berwajah tampan itu.

"Biar aku yang pergi, kau ngerasa nggak nyaman kan karna aku duduk di sini?" Cakra menahan lengan Embun yang hendak membungkus kembali makanannya.

Embun tak menjawab,.ia hanya terpaku dengan Cakra yang tanpa segan menyentuhnya. Cakra yang menyadari kehadirannya tak di harapkan oleh Embun pun langsung berlalu, meninggalkan Embun seorang diri.

...~~~...

Nasib sial Embun belum berakhir. Motornya tiba-tiba tak bisa dinyalakan saat ia hendak kembali pulang. Embun yang sama sekali tidak mengerti perihal otomotif, memutuskan mendorong motornya itu hingga sampai ke rumah.

"Kau dari mana saja?" tanya Ratna yang sudah berdiri di depan pintu.

"Aku kan habis mengantarkan pesanan ibu." jawab Embun sembari menyeka peluhnya.

"Itu kenapa motornya?" tanya Ratna lagi .

"Embun juga nggak tau bu, tadi waktu mau pulang, tiba-tiba motornya nggak bisa di nyalakan." sahutnya.

"Kau ini ya, selalu saja merusak barang. Apapun barang yang kau pakai pasti selalu seperti itu." bentak Ratna marah karna ia harus mengeluarkan uang lagi untuk memperbaiki motor itu.

Embun hanya menunduk. "Maaf bu." Ia meminta maaf atas sesuatu yang bukan kesalahannya.

"Sudah, cepat sana masuk! Kerjakan tugas-tugas sekolah mu. Oiya, itu ada nasi sisa, makanlah. Kak Ray dan Nara sudah makan tadi. Jadi mereka menyisahkannya untuk mu." ucap Ratna ketus.

Embun lagi-lagi hanya mengangguk tanpa berani menyelah ucapan ibunya. Hatinya ingin memberontak, namun ia padamkan keinginan itu. Embun tak mau mendapat kekerasan fisik lagi dari ibunya karna ia berani mengoreksi ucapan atau sikap ibunya yang menurutnya salah.

Saat SMP dulu, ibunya pernah menampar dan memukulinya hanya karna ia melakukan pembelaan diri akibat di tuduh mencuri uang milik ibunya. Padahal Ray lah yang melakukan itu, namun dengan jahatnya ia malah menuduh Embun.

Dari situ lah Embun yang trauma dan masih dengan jelas bisa mengingat rasa sakit itu, memilih untuk diam dan membiarkan ibunya melontarkan makian dan cacian kepadanya.

Kekerasan fisik yang di lakukan oleh ibu dan bahkan terkadang juga oleh kakaknya, membuat Embun tak hanya merasakan sakit pada tubuhnya, melainkan juga pada hatinya. Keluarga yang selalu ia anggap sebagai rumah tempat ia pulang, nyatanya hanyalah neraka dunia yang selalu menyiksanya.

Apa aku hanyalah anak pungut? hingga keluarga ku tega memperlakukan ku seperti itu.

Asumsi itu terlontar begitu saja dari mulut Embun. Sembari menatap langit-langit kamarnya, ia pun merenungi nasib tak beruntungnya itu.

...~~~...

Bab 3

Embun terbangun saat alarm di meja kamarnya berbunyi. Ia segera bangun dan langsung membereskan rumah sebelum berangkat ke sekolah. Setelah selesai, Embun pun bergegas untuk mandi. Saat ia ingin masuk ke kamar mandi, tiba-tiba Ray datang dan langsung menarik kaos yang di kenakan olehnya hingga ia pun hampir terjatuh.

"Kak Ray, kan aku yang duluan" protes Embun.

"Kau nanti kan bisa, aku itu buru-buru karna ada kelas pagi ini" ucap Ray ketus.

"Pagi ini aku juga ada piket kak" sambung Embun yang tak mau kalah.

"Kalau kau terlambat paling juga cuma di hukum, tapi kalau aku yang terlambat, bisa-bisa aku di suruh pulang sama dosen ku" cetus Ray.

"Cepat minggir!" Ray pun dengan kasarnya mendorong tubuh Embun hingga gadis itu terjatuh dan sikunya mengenai ujung meja yang runcing.

Namun Ray tak peduli, dia malah merasa tak bersalah dan langsung menutup pintu kamar mandi. Sedangkan Embun meringis kesakitan menahan luka di sikunya sembari dengan sabar menunggu Ray.

Setelah Ray selesai, Embun yang ingin kembali masuk kamar mandi di cegah oleh Nara yang baru saja bangun. "Kak..aku dulu boleh?"

Embun mengangguk dan membiarkan Nara memakai kamar mandi terlebih dahulu. Ia tak mungkin bersikap egois dan tak mau mengalah pada adik perempuannya yang masih SMP itu.

Tak lama, Nara pun selesai. Lalu dengan terburu-buru Embun segera membersihkan dirinya.

Sementara itu di meja makan, Tyo dan Ratna yang merupakan orang tua Embun sudah menunggu anak-anak mereka untuk sarapan bersama.

Ray yang sudah rapi untuk berangkat kuliah langsung menghampiri meja makan. Begitu pun dengan Nara yang sudah memakai seragam sekolahnya.

"Embun mana?" tanya Tyo.

"Masih mandi Yah." Nara yang menjawab.

"Anak itu, jam segini masih mandi? apa saja yang di lakukannya dari pagi?" Tyo menaikkan nada suaranya.

Ratna, Ray dan Nara yang takut dengan amarah Tyo tak berani menjawab. Mereka hanya menunduk sembari menyantap sarapan.

"Sekali-kali harus ku beri pelajaran anak itu supaya lebih disiplin dengan hidupnya." sambung Tyo lagi dengan lantang hingga terdengar ke telinga Embun yang baru saja selesai mandi.

Embun hanya menghela nafas panjang karna selalu saja di salahkan oleh keluarganya. Ia ingin menangis dengan perlakuan keluarganya itu. Namun air matanya sudah mengering lama karna sejak SMP ia selalu saja menangis setiap kali di perlakukan tak adil oleh orang tuanya.

Embun pun segera masuk ke kamarnya untuk mengenakan seragam sekolah. Sementara Ayahnya, Ray dan juga Nara yang sudah selesai, sarapan langsung berangkat menuju ke tempat mereka masing-masing. Nara yang merupakan anak kesayangan Tyo pun di antar olehnya menaiki mobil. Sedangkan Ray pergi ke kampusnya menaiki motor baru yang kemarin di belikan oleh Tyo.

Hampir jam 7 tepat, Embun memutuskan untuk ke sekolah tanpa sarapan. Selain karna takut terlambat, dia juga sudah tak berselera melihat nasi goreng sisa yang hanya tinggal sedikit itu.

Berbekal upah yang semalam ia dapat dari langganan ibunya, Embun lalu berniat menaiki bus menuju ke sekolah. Akan memakan waktu jika ia hanya mengandalkan kakinya untuk berlari.

Embun bernafas lega karna bel berbunyi di saat ia baru saja memasuki gerbang sekolah. Ia pun mempercepat langkahnya menuju ke kelas.

"Kenapa lama banget sih Embun? Kau nggak lupa kan, kalau hari ini piket bersama ku?" salah satu teman sekelas Embun memprotes kedatangannya yang terlambat.

"Maaf.." sahut Embun merasa bersalah.

Temannya itu hanya melengos pergi sembari menampakkan wajah kesal. Tak lama setelah bel berbunyi, wali kelas mereka pun masuk.

"Siapa yang tidak piket pagi ini silahkan berdiri di depan kelas." ucap bu sinta tegas.

Embun pun langsung berdiri lalu melangkah ke depan kelas seperti yang di suruh oleh wali kelasnya. Bersamaan dengan itu, Cakra yang juga baru datang, tak di perbolehkan duduk dan harus berdiri di depan kelas bersama Embun.

"Kalian berdua cepat bersihkan lab bahasa. Itu hukuman bagi kalian yang tidak disiplin akan waktu." pinta bu Sinta.

"Baik bu." mereka menjawab serempak.

"Bu.." salah satu siswi mengacungkan tangan.

"Ada apa?" tanya bu sinta heran.

"Boleh saya ikut membantu Cakra membersihkan lab bahasa bu? lebih banyak orang kan jadi lebih cepat selesai." ujar siswi itu dengan berani.

Kontan saja seisi kelas pada bersorak tak terima. Karna mereka pun ingin mendapatkan kesempatan itu bersama Cakra.

"Diam! dan kalian berdua cepat selesaikan hukuman kalian." bentak bu sinta, dan kelas hening seketika.

Embun dan Cakra pun bergegas menuju ke lab bahasa yang terletak di paling ujung gedung sekolah. Embun mempercepat langkahnya karna tak ingin jalan beriringan dengan Cakra. Namun Cakra tak peduli, ia terus mengimbangi langkah Embun hingga mereka sampai di lab bahasa.

Dengan cekatan Embun membersihkan debu pada meja-meja yang tertata di lab bahasa. Saat ia sedang sibuk dengan aktivitasnya, Cakra tiba-tiba mendekatinya dan langsung menempelkan plester luka ke siku Embun.

Embun tersentak, dan langsung menjauh dari Cakra. "Aku cuma mau naruh itu doang" ucap Cakra yang tak ingin Embun salah paham dengan niat baiknya.

Seketika Embun pun tersadar bahwa sikunya sempat terkena ujung meja ketika Ray mendorongnya tadi pagi. Betapa luka di sikunya tak ada apa-apanya, jika di bandingkan rasa luka di hatinya yang sudah sangat dalam.

Setelah itu mereka kembali melanjutkan hukuman mereka. Tak ada satu kata pun yang keluar dari mulut Embun saat ada Cakra di dekatnya. Padahal kaum hawa di sekolahnya begitu ingin berbincang dengan lelaki seperti Cakra. Namun Embun, malah melewatkan kesempatan emas itu.

Akhirnya mereka pun selesai, saat hendak kembali ke kelas, Cakra memberanikan diri membuka suara. "Udah sarapan? kalau belum ke kantin dulu yuk!" ajaknya.

Embun hanya menggelengkan kepalanya hingga membuat Cakra bingung. Cakra tak tau apakah itu jawaban dari Embun yang memang belum sarapan atau Embun yang malah menolak ajakannya.

Cakra pun akhirnya menyadari bahwa Embun menolak ajakannya. Ia mengetahui itu saat Embun memilih koridor yang menuju ke arah kelas bukan ke arah kantin sekolah.

Lagi-lagi usaha Cakra untuk mendekati Embun gagal. Ia yang memang belum sempat sarapan pun memutuskan untuk ke kantin walau jam pelajaran sedang berlangsung.

Setelah itu barulah Cakra kembali ke kelasnya. Sebelum duduk ke kursinya, Cakra lebih dulu melewati tempat duduk Embun sembari meletakkan sebungkus roti dan sekotak susu coklat di meja gadis itu.

Mata Salma hampir saja keluar dari tempatnya saat melihat pemandangan tak biasa itu. "Wah, kau diam-diam ternyata, kau dan Cakra... wahh.. kau gila Embun.." celetuk Salma yang kehabisan kata-kata.

"Bisa diem nggak Sal?"

Salma pun langsung menutup mulutnya yang berisik itu. Melihat Embun yang tak menggubris roti dan susu pemberian dari Cakra, Salma lalu berinisiatif mengambil roti dan susu itu kemudian memasukkannya ke dalam tas Embun. Betapa pekanya Salma sebagai seorang sahabat.

...~~~...

Saat jam istirahat, Embun masih sibuk mencatat ketertinggalannya tadi akibat membersihkan lab bahasa. Sedangkan Salma sudah pergi bersama Pandu menuju ke kantin. Perut Embun yang sudah sangat lapar dan bahkan mulai berbunyi, membuat Embun tanpa pikir panjang langsung menyantap roti pemberian Cakra tadi pagi. Ia juga menyeruput susu coklat itu sembari menulis.

Betapa bahagianya hati Cakra melihat perempuan yang ia sukai begitu menikmati makanan pemberiannya. Lalu Cakra pun memberanikan diri menghampiri Embun. Ia sudah tidak bisa lagi menyembunyikan rasa sukanya pada perempuan berlesung pipi itu.

"Belum selesai juga?" tanya Cakra sembari duduk di kursi yang berada tepat di depan meja Embun.

Embun tak menjawab.

"Cak, main basket yuk." ajak Ian yang merupakan teman dekat sekaligus anggota di tim basketnya.

Namun Cakra tak menggubris panggilan Ian, ia hanya sibuk memperhatikan Embun yang sedang menulis.

"Hei, ayo!" Ian menepuk pundak Cakra.

"Pergi sana, aku lagi nggak pengen main basket." sahut Cakra.

Ian yang merasa aneh dengan Cakra hanya mengerutkan dahi. Tak biasanya Cakra menolak olahraga kesukaannya itu.

Lalu Ian pun seakan mengerti apa yang membuat Cakra bersikap seperti itu. Ian melirik ke arah Embun. "Oh jadi itu alasan mu kenapa tiba-tiba nggak bergairah mau main basket?" sindir Ian.

"Ck... udah pergi sana, ganggu tau nggak." Cakra berdecih.

"Dasar!" Ian menggelengkan kepala sembari berlalu dari hadapan Cakra.

"Mau ngapain sih duduk di situ?" tanya Embun, merasa tak nyaman dengan kehadiran Cakra.

"Jadi kapan kau ada waktu untuk membentuk kelompok belajar dengan ku?" tanya Cakra. "Kalau sepulang sekolah, bisa?" sambungnya.

"Waktu luang ku cuma pas jam istirahat aja, kau mau?" Embun memberi saran.

"Kapan pun itu, aku nggak masalah." jawab Cakra cepat.

"Oke." gadis itu menyetujui.

"Kalau kita mulai sekarang aja gimana?"

"Kau lihat kan, aku lagi apa?!"

"Aku nggak masalah kok, kalo harus menunggu sampe kau selesai." Cakra terlihat sumringah.

Begitu asyiknya Cakra berbincang dengan Embun, hingga ia tak menyadari jika banyak mata yang menyorot ke arah mereka.

"Hm, besok aja ya kita belajar kelompoknya." ujar Embun tiba-tiba.

"Kenapa?" tanya Cakra kecewa.

"Aku ngerasa nggak nyaman kalo kita jadi bahan perbincangan kayak gini." ternyata Embun menyadari jika teman sekelasnya saling berbisik melihat Cakra terlihat akrab dengannya.

Cakra menyunggingkan senyum tipis. "Yaudah, lagian aku juga nggak mungkin memaksa mu." Cakra pun akhirnya bangkit dari duduknya dan meninggalkan Embun.

...~~~...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!