"Pokoknya Mama nggak mau tau, kamu harus menikah dengan Diana, dia perempuan pilihan Mama. Dia anak baik-baik dan Mama yakin kamu akan bahagia bersamanya." Vania terus meyakinkan putra semata wayangnya demi masa depannya.
"Ma, kenapa harus buru-buru sih?" gerutu Nico.
Setelah berita miring tentang putranya tentu membuat Vania was-was apalagi dia sudah menaruh harapan besar sebagai calon penerus dan pewaris tunggal Allendra Group. Perusahaan raksasa yang mengelola berbagai bidang. Tentu dia tak ingin putranya berjodoh dengan wanita sembarangan.
Nicholas Allendra, pria yang akrab disapa Nico itu memang memiliki kisah cinta yang cukup rumit dan pilu. Dibalik tingkah receh dan cerianya dia sebenarnya memiliki kisah asmara yang kurang menguntungkan.
Sejak duduk di bangku SMP dirinya mengenal seorang gadis cantik yang membuatnya langsung jatuh cinta. Bertahun-tahun dia menyimpan rasa itu kepada Bianca, dan hanya berani mengakui sebagai teman saja.
Hingga akhirnya dia memberanikan diri untuk menyatakan perasaannya saat dirinya kembali bertemu di bangku kuliah. Gadis itu tetap sama namun yang membedakan adalah dirinya leboh cuek terhadap laki-laki.
Usahanya hampir mendekati hasil namun kenyataan itu seketika langsung terbanting habis tak bersisa kala Bianca mengakui bahwa dirinya penyuka sesama jenis dan terang-terangan mengaku mencintai dosen wanitanya yang tak lain merupakan istri dari sahabatnya sejak kecil yang bernama Dion.
Merasa tak terima Nico pun tetap bertekat untuk membuka hati Bianca. Segala cara dia lakukan demi memenangkan hati gadis itu, bukannya kebaikan justru kemalangan yang dia dapatkan. Bahkan namanya sempat menjadi gunjingan bagi banyak orang terutama di kampus.
Kedua orang tua Nico yang merupakan sosok konglomerat berpengaruh tentu mengetahui berita apapun yang menyangkut anggota keluarganya. Hal ini menjadi masalah serius untuk mereka. Akhirnya mau tak mau Nico harus bisa meyakinkan kedua aorang tuanya bahwa dirinya memang sudah melepaskan Bianca.
Ide gila muncul disaat perayaan resepsi pernikahan Dion sahabatnya yang kebetulan bersamaan dengan kakak tirinya yang bernama Shaka.
Tak sengaja Nico bertemu dengan gadis cantik yang masih sangat polos dan muda. Gadis itu bernama Diana, dia baru saja lulus SMA dan baru saja berusia sembilan belas tahun.
Diana memiliki hubungan darah dengan Shaka, meski lahir dari rahim yang berbeda namun ayahnya sama. Baru dipertemukan beberapa bulan ini karena berpisah sejak kecil karena keadaan.
Gadis itu memang terlihat sangat santun meski berasal dari keluarga sederhana. Nico mendekati Diana guna mengalihkan pandangan orang tuanya terhadap dirinya. Dan hal itu sukses membuat kedua orang tuanya percaya.
Bahkan Vania, mama kandung Nico itu sampai mencari latar belakang keluarga Diana dan mencari tahu banyak hal tentang gadis itu. Dia pun ikut jatuh hati dan mantab untuk memilihnya.
Tak disangka hal itu menjadi boomerang untuk Nico. Padahal saat ini dia belum ingin menikah. Apalagi menikahi gadis polos yang masih sangat muda seperti Diana yang notabenenya dia anggap seperti adiknya sendiri.
"Mama sudah nggak mau lagi kamu bohongi Nico, dulu kamu bilang ke mama kalau kamu sudah melupakan wanita itu tapi apa? kamu justru kembali membelanya bahkan berani mempertaruhkan nama baik keluarga. Mama nggak mau ambil resiko lagi. Keputusan mama sudah bulat." kekeuh Vania.
"Mama ini tentang masa depanku. Biarkan aku memutuskannya sendiri ma." Nico masih berusaha pada pendiriannya.
Namun tiba-tiba wanita itu langsung bersimpuh di kaki nico.
"Mama.." Nico langsung memekik saat melihat mamanya bersimpuh di kakinya sambil menangis.
Dan di saat bersamaan papanya baru saja pulang dari kantor melihat pemandangan itu dengan terkejut.
"Mama.. apa yang terjadi?" sahut Nathan Randy Allendra, yang akrab dipanggil Nathan, Papa dari Nico.
"Ma tolong jangan begini." Nico berusaha menuduk untuk membawa mamanya bangkit.
"Mama hanya ingin kamu mengerti bahwa mama sangat sayang kamu Nico. Mama akan lakukan apapun demi kebahagiaanmu, dan permintaan ini mama ini apa terlalu memberatkan kamu nak? Diana adalah gadis baik, sumpah demi Tuhan setelah ini mama tidak kan meminta banyak hal. Hanya satu yaitu menikah dan pertahankan hubungan itu dengan Diana. Karena di dalam keluarga kita tidak ada sejarahnya perceraian." ujar Vania dengan isak tangisnya.
Nico yang pada dasarnya begitu menyayangi mamanya langsung menunduk sambil memeluk mamanya. Dia mendekap tubuh wanita yang telah melahirkannya itu.
"Ma.. iya Nico akan menuruti permintaan mama. Maafkan Nico yang sudah membangkang. Nico sudah durhaka kepada Mama." mendengar jawaban itu membuat Vania menjadi sangat senang.
Sementara Nathan, pria yang selalu bersikap dingin terhadap semua orang itu mulai mendekat dan ikut memeluk keduanya. Baik Nico maupun Vania sempat terkejut dengan tindakan papanya itu.
"Semoga niat baik ini berjalan lancar."ucap Nathan.
****
Menikah di usia muda bukanlah tujuan Nico saat ini. Apalagi di usianya yang baru menginjak dua puluh empat tahun tentu dia masih memiliki banyak hal yang harus dicapai.
Namun gara-gara satu permasalahan saja membuat kedua orang tuanya langsung meragukan dirinya. Apalagi dengan paksaan menikahi seorang gadis yang usianya jauh dibawahnya tentu membuat Nico harus berpikir dua kali.
Apa jadinya jika dirinya saja masih sulit dalam mengurus hidupnya sendiri dan kini harus ditambah dengan mengurusi anak orang. Terlalu banyak hal yang harus dia pertimbangkan dengan matang.
Namun untuk menolaknya tentu saja bukan hal mudah apalagi dirinya terlanjur janji akan menikahi gadis itu.
"Aaarrgghhh.." Nico mengerang frustasi.
Andai saja kisah cintanya mulus tanpa ada drama yang membuat semua orang menghakiminya maka dia akan sangat bahagia. Namun sayangnya takdir baik itu tak memihaknya.
Berpikir sendiri membuatnya frustasi akhirnya dia mengambil jaket dan kunci mobilnya. Dia akan menemui Dion, sahabatnya. Dia ingin berbagi keluh kesah dengannya, karena hanya Dion yang dia anggap seperti saudara sendiri.
Setelah menghubungi Dion mereka pun sepakat bertemu di cafe milik pria itu. Tak butuh waktu lama Nico sampai di tempat itu, kebetulan letak cafe tersebut tk jauh dari kawasan komplek rumahnya.
Setelah memarkirkan kendaraannya Nico langsung memasuki tempat itu, suasana cafe cukup ramai namun para karyawan yang memadahi tak membuat sang pemilik kuwalahan.
"Rame cafe lo, Bro." Nico menepuk bahu sang sahabat.
"Alhamdulillah, rejeki anak istri Bro. Eh, itu muka kenapa kucel amat kek serbet dapur?" Dion langsung menyeletuk.
Nico tampak menghela nafas kasar, dia sudah menduga Dion akan selalu peka terhadap dirinya.
"Terserah lo deh mau ngatain gue apa. Yang penting sekarang gue butuh minuman yang bisa bikin mood gue naik." Nico menghempaskan tubuhnya pada sofa ruangan pribadi Dion.
Dion pun bergegas membuatkan minuman andalan khusus racikannya. Pria dengan segudang keahlian itu tak pernah malas untuk membantunya, meski hidup dalam keluarga berkecukupan seperti dirinya tak membuat Dion jadi pemalas, justru dia malah memilih jalannya sendiri dengan berbagai bidang usaha yang ditekuninya.
"Nih, ramuan khusus buat lo." Dion memberikan segelas es coklat buatannya.
Nico langsung meneguknya hingga tandas setengah gelas.
"Cerita lo.." ucap Dion.
"Gue bingung gimana cara ngebatalin pernikahan gue, Mama sama Papa kekeuh banget buat nikahin gue sama Diana." ujar Nico akhirnya.
"Ya bagus dong, Gue lihat Diana gadis baik-baik kok. Meskipun masih muda tapi dia bisa berpikiran dewasa apalagi attitude nya joss banget." Nico langsung mengernyit saat mendengar jawaban sahabatnya.
"Lo.. sama aja kek nyokap bokap gue." Gerutu Nico.
"Lah emang iya, sepemikiran gue sama bokap nyokap lo, sekarang gini ya, lo itu anak tunggal harapan satu-satunya kedua orang tua lo, dan ketika orang tua lo udah nentuin siapa yang cocok bersanding sama lo ya berarti mreka udah mempertimbangkan matang-matang. Lo nya aja yang bandel." Rasanya Dion ingin menjitak kepala sang sahabat. Sudah berminggu-minggu curhatannya tetap itu-itu saja.
"Tapi gue masih bimbang Dion, gue belum siap nikah muda. Ya kalau lo sih enak Bu Syifa kan udah dewasa dan matang jadi banyak pengalaman, lah gue.. si Diana aja belum genap dua puluh tahun, anaknya polos banget mana gue bakal ngemong terus dong." ujar Nico.
"Nikah muda nggak buruk-buruk amat kok, buktinya gue enjoy bahkan lebih bersemangat soalnya gue punya tujuan dan tanggungan anak sama istri, jadi itu otomatis ada yang nyemangatin setiap langkah gue. Meskipun Diana masih muda gak mesti lo harus ngemong dia, mungkin aja dia malah lebih dewasa dari lo pemikirannya, jadinya elo malah yang di emong sama dia." ucap Dion.
"Eh, atau jangan-jagan lo masih baper sama Bianca? Kalau iya lo mending segera enyahkan pikiran itu. Percuma lo nggak akan bisa bersatu sekuat apapun lo berusaha tetap saja kalian nggak akan bisa." Dion terus mencoba untuk meyakinkan Nico.
"Tapi itu gak gampang Dion. Lo tahu sendiri kan gue cinta sama Bianca sejak kita masih SMP. Dan rasa patah hati gue rasanya bikin trauma, gue takut memulai cinta baru sementara hati ini belum sepenuhnya pulih, mungkin butuh waktu lama untuk itu. Gue nggak mau kehadiran Diana hanya menjadi pelampiasan saja." ujar Nico.
"Bukannya sejak awal lo bikin Diana jadi pelampiasan lo? Nico, kadang obat patah hati itu adalah dengan adanya cinta kembali. memang tak mudah tapi setelah lo menjalaninya mungkin akana merasakan hasilnya. Gue paham apa yang lo rasain sekarang tapi satu hal lo harus tau, gue bukannya bukan memihak lo, tapi gue cuma ingin lihat sahabat gue bahagia." Dion meraih kedua bahu Nico dan memegangnya dengan penuh keteguhan.
"Lo pasti bisa Nicholas.." jika sudah memanggil namanya dengan lengkap begini artinya Dion benar-benar berkata serius.
"Baiklah, kali ini gue akan coba buka hati gue kembali." ucap Nico akhirnya.
Dion yang mendengarnya langsung bersorak bahagia. Akhirnya sahabatnya mau membuka hati lagi untuk cintanya yang baru.
...****************...
Tak seperti hari-hari biasanya pagi ini langit sedikit mendung. Hembusan lembut angin yang menyapu dedaunan membuat suasana semakin syahdu.
Dengan langkahnya yang penuh hati-hati seorang gadis tengah membawa se keranjang tomat hasil kebun yang didapatkan hari ini. Hujan semalaman telah membuat semua tempat menjadi becek apalagi jalan kecil yang menghubungkan ladang dan kediamannya.
BRRUUKK...
Dan akhirnya hal itu terjadi juga. Gadis itu terjerembab di sisi ladang dan membuat tomat-tomatnya jatuh berserakan. Tak peduli dengan keadaannya gadis itu langsung memunguti tomat-tomat tersebut ke dalam keranjang.
"Astaghfirullah.. Diana.. kamu kenapa lagi nak yaampun sudah ibu bilang kalau ke ladang pakai sepatu kebun yang dibelikan kakakmu. Sendal kamu itu sudah licin alasnya jadinya jatuh kan." seorang wanita paruh baya menghampiri putrinya dan membantu untuk berdiri.
"Hehe.. Diana udah nyaman pake sendal loh bu." Bu Wati, ibu kandung Diana hanya bisa menggelengkan kepala melihat tingkah konyol anak gadisnya.
"Yasudah, ayo cepat mandi itu wajah sama badan kamu penuh lumpur." Ujar Bu Wati.
Diana pun bergegas pergi ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Setiap hari gadis yang baru saja lulus SMA itu selalu membantu kedua orang tuanya mengurus ladang. Satu-satunya mata pencaharian keluarga itu demi menyambung hidup.
Sejak kecil berkecimpung dengan merawat tanaman dan sayur mayur membuat Diana terbiasa dengan semua pekerjaan itu. Kehidupan sederhana yang dijalani olehnya membuat gadis itu tak pernah menuntut banyak hal. Bahkan dia tak pernah bercita-cita melanjutkan kuliah meski nilainya cukup bagus di sekolah. dia sadar kemampuan kedua orang tuanya yang semakin tua dan tentu tak ingin terus membebani mereka.
Namun secercah harapan datang saat seorang pria mendatangi keluarganya mengaku sebagai putra kandung ayahnya. Diana tak tahu pasti bagaimana hal itu terjadi namun yang pasti ayahnya juga mengakui hal tersebut.
Shaka, nama kakaknya itu yang perlahan telah membantu kebutuhan keluarganya. Gubuk sederhana yang hanya berdinding papan kini telah berubah menjadi rumah kokoh dan nyaman yang layak di huni. Juga tawaran untuk menempuh pendidikan kuliah yang biayanya akan ditanggung penuh oleh kakaknya.
Diana selalu bahagia ketika mengingat semua kebaikan yang diberikan oleh kakaknya. Dan yang paling membuatnya bahagia adalah kasih sayang yang didapatkan dari kakaknya. Selama ini dia cukup kesepian karena tak memiliki saudara.
TOK.. TOK.. TOK..
"Diana, sudah selesai apa belum nak mandi nya? ada tamu yang mencari kamu di depan." suara Bu Wati langsung membuyarkan lamunan Diana.
"Ya Bu, sebentar lagi selesai." cepat-cepat Diana menyelesaikan ritual mandinya kemudian bergegas berganti pakaian dan menyisir rambutnya.
Setelah rapi barulah Diana keluar menuju ruang tamu. Dia sangat senang saat melihat kakaknya sudah berada di rumah.
"Kakak." sapa Diana dengan bahagia saat melihat Shaka dan Hana, istrinya.
"Diana, salim dulu sama om dan tante." Diana menoleh ke samping dan mendapati sepasang suami istri paruh baya yang dia kenal siapa mereka.
Dengan sopan Diana langsung menyalami mereka dengan mencium tangannya.
"Diana, masih ingat kan sama om dan tante." ucap Vania.
"Iya, Tante Vania juga om Nathan." ucap Diana.
Meski hanya bertemu sekali di pernikahan kakaknya Diana tak pernah lupa dengan dua orang tersebut, apalagi satu orang yang tak pernah dia lupakan.
"Dimana Kak Nico?" gumam Diana dalam hati.
Namun lamunannya langsung terhenti saat Vania, ibu dari Nico membuka suara.
"Diana, kedatangan kami kesini sebetulnya ingin menanyakan secara langsung apakah kamu bersedia jika kami jodohkan dan menikah dengan putra tante, Nico?"
"M-Menikah?" Diana sangat terkejut saat wanita itu menawarinya menikah. Namun saat melihat kedua orang tua dan kakaknya tampak biasa saja membuatnya semakin bingung.
"Maksudnya.. tante meminta saya untuk menikah dengan kak Nico?" Diana kembali mengulang pertanyaan tersebut karena saking terkejutnya.
"Iya Diana, sejak awal bertemu dengan kamu tante sudah merasa sangat senang dan yakin bahwa kamu adalah gadis yang baik, cocok menjadi menantu kami." ucap Vania.
"Betul apa yang dikatakan istri saya." Nathan yang terkenal dengan sikapnya yang sangat dingin dan irit bicara akhirnya buka suara.
Diana menjadi semakin bimbang kemudian dia menatap kedua orang tuanya.
"Bapak tidak pernah memaksa kamu nak, keputusan ada di tangan kamu." ucap Pak Herman.
Sementara Shaka dan Hana tampak tersenyum lembut seolah memberikan semangat untuk sang adik.
"Tidak perlu terburu-buru Diana, kamu pikirkan saja dulu tawaran tante." ucap Vania.
Diana terdiam, tapi melihat sorot mata Vania membuatnya merasa bimbang. Kelihatan sekali bahwa wanita itu sangat mengharapkan dirinya.
"Tante, maaf sebelumnya tapi ada yang ingin saya tanyakan, mohon ijin jika kita bicara berdua saja? Boleh kan Bu? setelah berbicara dengan Vania kini Diana menatap ibunya.
"Tentu sayang, ayo kita mengobrol berdua." jawab Vania antusias.
Setelah ijin ke semua orang mereka pun mengobrol berdua.
Dengan memandang hamparan berbagai macam tanaman sayur yang ada di ladang samping rumahnya kini Diana dan Viona duduk di teras. Entah keberanian dari mana yang membuat Diana ingin sekali menanyakan banyak hal.
"Diana, apa yang ingin kamu bicarakan nak?" tanya Vania.
"Emm.. tante, saya hanya ingin bertanya kenapa harus saya? kan.. masih banyak gadis lain yang lebih cantik dan lebih mapan. Saya kana hanya.."
"Karena tante tahu kamu adalah gadis yang baik." jawab Vania cepat.
"B-Baik.. maksudnya dalam hal apa tante?" Diana masih ingin tahu alasan sebenarnya.
"Begini, tante melihat kamu begitu dewasa meski usia masih muda, kamu cantik, tulus dan rajin. Tante yakin kamu nggak pernah neko-neko. Untuk kata kamu tadi tentang mapan, tante tidak butuh itu, tapi tante butuh seorang yang tepat. Sejak awal tante sudah merasa cocok sama kamu." Vania tampak menggigit bibir setelah mengucapkan hal itu.
Diana memang bisa dibilang gadis polos, namun siapa sangka bahwa dirinya memiliki kepekaan yang luar biasa. Dia tahu bahwa semua yang diucapkan Vania masih belum sepenuhnya jujur.
"Hanya itu saja tante? tapi saya rasa ada hal lain yang membuat tante ingin menikahkan Kak Nico dengan saya. Apa karena alasan balas budi telah memberikan rumah dan ladang ini?" KIni Diana tak lagi basa basi.
Dia tahu jika kakek dari Nico yang telah memberikan tanah ini untuk ditempati dan dijadikan ladang Pak Herman untuk menyambung hidup. Kisah kelam di masa lalu Pak Herman yang membuatnya kesulitan dalam mencari pekerjaan membuatnya harus menerima pemberian ini sebagai imbalan karena telah menyelamatkan nyawa Kakek Nico dari kecelakaan.
"Bukan.. bukan itu, sebenarnya tante..." ucapan Vania terjeda. Dia tampak menundukkan kepala.
"Kenapa tante?" Diana kembali menuntut jawaban.
"Tante sakit, hidup tante mungkin nggak akan lama lagi. Dokter mendiagnosa bahwa tante mengidap kanker otak stadium tiga. Oleh sebab itu tante ingin memberikan seseorang yang bisa menemani Nico. Tante tidak ingin dia mendapatkan pasangan yang salah." Air mata keluar dari kedua netra wanita cantik yang telah berusia tak muda lagi itu.
Diana tergugu dengan pernyataan Vania. Rasa terkejutnya akan tawaran menikah itu saja belum mereda kini lagi-lagi dia harus mendengar fakta lain yang tak kalah mengejutkan.
Rasanya Diana bingung harus bersikap bagaimana. Meski dia tak terlalu dekat sebelumnya dengan Vania namun melihat tangis pilunya tentu membuatnya tak tega.
"Seharusnya tante tak mengatakan hal ini tapi kamu terus meminta tante untuk jujur, dan kini tante sudah jujur. Nico adalah putra tante satu-satunya dan tentu tante ingin dia selalu bahagia. Dan kemarin Nico sempat alah pilih pasangan. Tante takut hal itu kembali terjadi." ujar Vania samil menyeka air matanya.
"Apa Kak Nico tahu alasan perjodohan ini?" tanya Diana kemudian.
Vania menggeleng kemudian meraih tangan Diana dan meremasnya.
"Semua orang tidak ada yang tahu penyakit yang tante idap. Hanya suami dan dokter yang menangani tante. Kini kamu yang akhirnya juga tahu." Vania tersenyum kecut.
"Tapi kenapa tante tidak jujur saja pada Kak Nico?" tanya Diana lirih.
"Tidak sayang, sebelum Nico menemukan jodohnya Tante tidak mau membuatnya merasa terbebani dengan kondisi tante." ujar Vania.
Melihat tubuh ringkih wanita di sampingnya membuat Diana tersentuh. Benar-benar luar biasa kasih sayang seorang ibu kepada anaknya. Meski telah bertaruh nyawa melahirkan namun tugasnya tak sampai di situ saja, seorang ibu masih harus berjuang membesarkan, mendidik, dan memastikan kebahagiaan sang anak seumur hidupnya.
Diana tanpa ragu langsung memeluk Vania. Berharap dengan pelukan itu sedikit memberikan semangat untuknya.
Hingga setelah tangis Vania mereda dan lebih tenang kini Diana dan Vania kembali bergabung dengan semua keluarga. Vania sendiri pasrah dengan keputusan Diana.
"Baiklah, aku memutuskan untuk menerima perjodohan ini." ucap Diana kepada semua orang.
Tentu saja semua terkejut dan tak menyangka dengan keputusan Diana. Senyum bahagia langsung terpancar di wajah Vania.
...****************...
"Saya terima nikahnya Diana Elvira binti Bapak Hermanto dengan Mas Kawin tersebut, Tunai."
Tepat pada pagi ini Nico mengucapkan kalimat akad yang disaksikan oleh seluruh keluarga besarnya sukses membuat statusnya berubah.
Diana yang sudah cantik dengan kebaya putih lengkap beserta riasan tradisional adat Jawa terlihat begitu luwes dan anggun. Senyum tipis terpancar di wajahnya yang sebenarnya tengah menahan rasa gugup luar biasa.
Dengan dituntun oleh Hana, kakak iparnya kini Diana dipersilahkan duduk tepat disamping Nico, pria yang telah halal untuknya.
Sementara Nico sendiri sempat terkesima saat melihat gadis yang telah resmi menjadi istrinya itu. Begitu cantik dan anggun. Tanpa sadar dia mengulas senyum tipis.
Dengan tatapan yang terus menunduk Diana meraih tangan Nico dan menciumnya dengan takzim.
Usapan lembut pada pipi kanannya perlahan membuat Diana memberanikan diri menatap sang suami. Senyum lembut terukir pada wajah tampan itu.
Malu-malu Diana kembali menundukkan wajahnya. Rasanya tak kuat lama-lama memandang Nico. Namun kecupan yang mendarat di keningnya serta sebuah doa akad yang Nico bisikkan sukses membuat Diana semakin membeku.
Semua orang yang berada di tempat itu tampak bersorak gembira melihat kedua insan itu telah sah dimata Agama dan hukum Negara.
Tampak senyum indah serta tangis haru terpancar di wajah Vania. Akhirnya apa yang dia inginkan kini telah terkabul. Kini tak ada lagi kegelisahan dan rasa khawatirnya akan sang putra sedikit berkurang. Setidaknya dia berada ditangan wanita yang tepat.
Pernikahan yang dimajukan jadwalnya dari kesepakatan sebelumnya memang membuat beberapa orang terkejut. Harusnya masih akan terlaksana satu bulan lagi namun kini harus dimajukan menjadi dua minggu lebih cepat.
Tentu alasan sebenarnya adalah kondisi kesehatan Vania yang semakin memburuk. Namun hal itu hanya diketahui oleh Nathan dan Diana. Nico yang putranya sendiri masih belum mengetahui hal tersebut.
Baik Nico maupun Diana hanya bisa pasrah dengan keputusan orang tuanya. Menikah tanpa landasan cinta tentu bukan keinginan keduanya namun untuk menolak hal itu juga mereka tak memiliki alasan.
Selama waktu menjelang pernikahan keduanya tak banyak terlibat pembicaraan. Hanya menyampaikan hal-hal seperlunya saja karena Nico juga tengah sibuk mengurus perusahaan cabang orang tuanya.
Keakraban yang biasanya terjalin seperti layaknya seorang kakak dan adik kini entah kenapa berubah menjadi rasa canggung. Mungkin karena status baru mereka yang membuatnya masih belum terbiasa.
Setelah membaca doa setelah ijab kabul kini keduanya berjalan mendekati kedua orang tua Nico untuk meminta restu. Dengan senyum lebarnya Vania langsung menyambut putra dan menantunya itu ke dalam pelukannya.
Air mata bahagia terus mengalir. Namun tetap saja ditengah kebahagiaan itu masih berselimut haru.
"Akhirnya kalian bersatu, mama sangat bahagia anak-anakku. Semoga kalian bahagia dan pernikahan ini langgeng selamanya." Vania mencium putra dan menantunya secara bergantian.
Sementara giliran Nathan, sang Papa yang kini tengah memeluk Nico.
"Maafkan Papa dan Mama. Mungkin ini bukan keinginan kamu tapi suatu saat nanti kamu akan mengerti alasannya." Nico sedikit terkejut saat papanya menuturkan kalimat itu. Biasanya pria itu selalu kaku dan irit bicara hanya membahas hal yang tak jauh-jauh dari pekerjaan dan bisnis.
"i-iya Pa.." Nico berusaha tersenyum dan memahami penuturan Papanya.
Selanjutnya Diana dan Nico menghampiri kedua orang tua Diana. Pak Herman dan Bu Wati tampak tersenyum sambil terharu melihat anak gadisnya kini telah dipersunting pria.
"Bapak harap kalian selalu rukun, jalani pernikahan ini dengan hati yang lapang nak. Bapak tidak bisa memberikan apa-apa. Hanya doa semoga kalian langgeng selamanya." ucap Pak Herman kepada Diana. Dia tak kuasa menahan air mata harunya karena harus berpisah dengan putri kesayangannya.
Kini bergantian Nico menghampiri pria paruh baya itu yang statusnya telah menjadi mertuanya.
"Pak.. Mohon doa restunya ya.." ucap Nico segan.
"Iya nak Nico, Bapak pasti merestui kalian. Bapak percaya kamu adalah kepala rumah tangga yang baik untuk Diana. Nak, kalau boleh bapak minta tolong jaga Diana ya, mungkin dia masih muda dan kadang kekanakan sifatnya, tegur dia jika salah. Ajari dia jika belum bisa. Dan.. jika kamu bosan tolong kembalikan kepada Bapak.. jangan pernah sakiti hatinya ataupun mengkhianatinya. Bapak membesarkannya bukan untuk itu." tampak kedua netra Pak Herman sudah berembun.
Nico tertegun dengan perkataan bapak mertuanya. Dia tahu pasti berat sebagai seorang ayah melepaskan anak gadisnya. Tapi jujur saja saat ini tak ada perasaan yang bagaimana-bagaimana. Hatinya masih terlalu datar untuk Diana. Terlebih Nico sendiri masih sibuk menata hatinya yang sempat berantakan karena patah hati dengan hubungannya terdahulu.
"i-iya Pak.." jawab Nico sedikit terbata.
Tampak Bu Wati menciumi Diana bertubi-tubi. Rasa sayang yang diberikan kedua orang tuanya memang tampak begitu tulus. Meski dengan kesederhanaannya Diana mampu tumbuh menjadi gadis yang baik.
Tanpa sadar Nico tampak tersenyum melihat pemandangan itu. Pasti akan menyenangkan mendapatkan kasih sayang setiap hari seperti itu. Sementara dirinya lebih sering ditinggal sendiri karena kedua orang tuanya selalu sibuk dengan urusan pekerjaannya.
"Jagain adek gue, mungkin kalian belum saling cinta tapi setidaknya cobalah untuk membuka diri. Diana gadis penurut dan gak kekanakan amat kok." Nico terkejut saat tiba-tiba Shaka, kakak dari Diana menepuk bahunya. Sebelumnya mereka memang sudah akrab terlebih sejak kecil Nico sudah bersahabat dengan Dion, adik angkat Shaka.
"Eh, Kak Shaka.. iya-iya gue jagain. Gimana keadaan Dion? sedih banget harusnya dia saat ini ada disini nyaksiin pernikahan gue, huft.." Nico kembali bersedih kala mengingat sahabatnya yang beberapa minggu yang lalu mengalami insiden kurang menyenangkan.
Dion diserang seseorang dan mengalami pendarahan hebat hingga membuatnya koma, sementara Shaka yang merupakan kakak angkat dari Dion tentu juga ikut merawatnya.
"Dion masih belum ada perubahan. Tpi gue akan terus cari tahu siapa dalang dibalik kejahatan itu. Udah lo jangan sedih, hari ini hari bahagia lo." Shaka berusaha tersenyum menguatkan meski dia sendiri juga tengah bersedih karena keadaan adik angkatnya itu.
Baik Nico maupun Diana kini disibukkan dengan acara ramah tamah dengan para kerabatnya. Acara ijab kabul yang ternyata dihadiri banyak kerabat dekatnya membuat mereka harus menyapa satu persatu.
Bahkan beberapa teman arisan Vania juga hadir. Vania tak bisa menolak hal tersebut karena beberapa temannya yang mengetahui rencana pernikahan Nico tersebut.
"Wah.. ternyata secantik ini ya Van mantunya, pantesan kebelet banget nikahin dia." ujar salah satu teman Vania.
"Selain cantik Diana ini punya attitude yang bagus, anaknya sopan dan gak neko-neko. Aku yakin Nico akan bahagia bersamanya." ucap Vania penuh bangga.
"AMin, aku doakan yang terbaik untuk mereka. Kapan-kapan nanti ajakin menantumu itu untuk ketemu teman-teman yang lain, mereka semua pada penasaran tau." ujar Nia, sahabat Vania.
"Iya-iya nanti deh.. jangan digangguin dulu pengantin baru biar nikmati waktu mereka berdua." ujar Vania.
"Iya.. eh tapi aku lihat kamu makin kurusan deh.. diet atau gimana? jangan-jangan kamu sakit?" tanya Nia.
"emm.. a-aku.. " Vania bingung harus menjawab apa, tidak mungkin dia mengumbar apa yang dia derita.
"Ya akhir-akhir ini dia sedikit berantakan pola makannya, terlalu sibuk membuatnya sedikit kelelahan." Dengan cepat Nathan membantu Vania memberi alasan.
Bersyukur sekali Vania memiliki suami yang selalu siaga kepadanya. Meski Nathan begitu kaku dan dingin kepada setiap orang namun pria itu selalu menyayangi Vania istrinya. Pernikahan yang berawal dari perjodohan membuat mereka tumbuh dan saling cinta, sebab itu keduanya tak ragu untuk menjodohkan Nico pula.
"Jadi ini ya namanya Diana, cantik sih masih muda lagi. Tapi memangnya sudah siap berumah tangga? menikah itu bukan hal mudah lo nak, kamu harus siap layani suami kamu, jangan karena suamimu kaya raya dan kamu cuma mau enak-enak aja." seorang wanita paruh baya menyeletuk di depan Diana.
Wajahnya mirip dengan Nathan, ayah mertuanya dan mungkin saja dia adalah saudaranya, Diana belum hafal siapa-siapa kerabat dari keluarga Nico.
"Iya nih, Memang budhe kelihatan suka banget sama kamu tapi jangan harap kamu bisa memanfaatkan situasi ya, aku tau kamu cuma anak petani dan mendapatkan kak Nico sepertinya rejeki nomplok banget nih. Awas saja sampai kamu semena-mena nantinya, ingat asal usul ya." Seorang wanita yang mungkin seumuran dengan Nico berbicara sedikit berbisik, namun terlihat dari sorot keduanya menunjukkan rasa tidak suka.
"Ada apa ini? kok istriku kelihatan tegang begitu. Kalian ngomongin apa?" Nico menghampiri Diana yang tampak tertekan ditatap tante dan sepupunya.
"Nggak kok, tante cuma tanya ke istri kamu aja, dia kan masih muda banget nih.. emang udah bener-bener siap buat menikah? kan nantinya harus layani kamu, menyiapkan semua kebutuhanmu, dan nggak mudah lo berumah tangga. Jangan mentang-mentang menikah dengan orang kaya jadi seenaknya." ucap wanita itu nyinyir.
"Tante Mila ini gimana sih? baru juga kami menikah udah ditakut-takuti begitu, udah sayang nggak usah hiraukan omongan tante Mila. Kamu itu istriku tugas kamu hanyalah menemaniku dan urusan menyiapkan kebutuhanku itu sudah ada asisten. Manfaatin aja sayang punya suami kaya kayak aku, mau apapun kamu bilang ya." Nico merengkuh pinggang Diana dengan senyum mengembang.
Sementara Diana hanya bisa tersenyum canggung. Awalnya dia memang merasa begitu minder saat tante Mila menggunjingnya. Namun kedatangan Nico telah membuatnya merasa begitu lega.
"Yaudah ayo sayang temani suamimu ini makan, udah laper tau. Tante permisi ya." Nico pun membawa pergi Diana dari hadapan Tante julidnya. Membuat dua orang itu kesal.
"Kamu nggak perlu ambil perasaan omongan tante Milla, dia memang begitu suka julid sama semua orang. jangan sampai kamu merendah di hadapan mereka." bisik Nico.
Diana menoleh menatap suaminya yang tampak santai. Wajah tampan Nico sukses membuat Diana terkesima untuk sejenak. Dia sedikit lega setidaknya Nico masih tetap sama seperti dulu, pria itu tetap memperlakukannya dengan baik.
Namun rasa sukacita dan bahagia itu tiba-tiba berubah menjadi kepanikan ketika Vania tiba-tiba pingsan. Tentu saja semua orang langsung berhambur menghampiri sang tuan rumah pemilik acara tersebut.
"Mama.. mama kenapa?" Nico yang panik langsung menghampiri mamanya begitu pula dengan Diana.
"Cepat siapkan mobil bawa ke rumah sakit X." Pinta Nathan.
...****************...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!