"Asri membutuhkan bantuanku dek."
"Tapi Bang, aku mau bicara sebentar saja..!!" Dinara mencekal lengan Bang Alan agar dirinya tidak pergi.
"Apa dek?? Bisa nanti saja atau tidak??" Tanya Bang Alan mencemaskan sahabatnya sejak di bangku SMA.
Tak ada yang bisa di lakukan pria yang biasa di sapa Pongge saat melihat sahabatnya beradu mulut dengan kekasihnya.
"Sepertinya aku hamil Bang." Jawab Dinara pelan.
"Apa katamu?? Hamil?? Kamu yakin itu anak ku???" Bentak Bang Alan.
"Laan.. rendahkan suaramu..!!" Kata Bang Pongge mengingatkan kemudian menghisap rokoknya.
Bang Alan mencengkeram kedua pipi Dinara dengan tekanan jemarinya. "Kalaupun kita melakukannya.. itu hanya sekali, semua tidak sengaja. Mana mungkin kamu hamil. Siapa laki-laki yang menidurimu??? Cepat katakan..!!"
"Sudah Lan.. semua sudah kejadian. Mau satu kali kamu melakukannya kalau memang takdirnya dia ingin ikut denganmu ya sudah. Itu takdirmu. Tanggung jawab lah kamu..!!"
"Enak saja. Aku pasti di jebak Ge." Jawab Bang Alan. "Kau pulangkan dia ke orang tuanya, aku mau lihat keadaan Asri. Tadi dia nangis di telepon."
Bang Pongge berdiri kemudian mengambil kunci motor Bang Alan yang masih menempel pada motornya dan segera menggenggamnya. Ia menatap wajah sahabatnya dengan tajam.
"Jangan buat masalah jadi semakin panjang. Kita berdua ini bergantian jaga Arra. Pak Anom tidak tau kalau kamu pacaran sama Arra. Sekarang Arra hamil. Dimana tanggung jawab mu c*k?? Aku sudah pernah bilang jangan macam-macam apalagi bawa anak panglima menginap di puncak. Kamu kira aku tidak tau kejadian malam itu????" Tegur keras Bang Pongge.
"Mana kuncinya?? Aku mau pergi..!! Kalau kau mau dengan perempuan macam Arra ya silakan saja. Perempuan baik-baik tidak akan menjebak dengan cara licik seperti itu." Kata Bang Alan kemudian merampas kunci di tangan Bang Pongge kemudian pergi meninggalkan sahabat dan juga kekasihnya.
"Baaaangg.. Abaaaaang..!!!!!!" Teriak Dinara histeris. Gadis itu benar-benar kalut dan begitu ketakutan. "Abaaang.. ini anak Abang." Dinara sesenggukan melihat kekasihnya pergi meninggalkannya. Dinara terduduk lemas tanpa bisa berbuat apapun.
Bang Pongge mengulurkan tangannya tapi Dinara tidak menyambutnya. Bang Pongge pun segera membantu Dinara untuk berdiri dan membawanya ke dalam mobilnya.
:
Sepanjang jalan Dinara hanya menangis meratapi kebodohannya. Lama kelamaan Bang Pongge tidak tahan juga melihat pemandangan itu.
"Sudah tiga bulan ya?"
Dinara mengangguk sembari mengusap air matanya yang berlelehan.
"Saya sudah bilang sama kamu. Jangan ikut Alan saat dia sedang mabuk. Kamu tidak mau dengar saya. Saya tau apa yang terjadi sama kamu tapi saya bisa apa? Alan sudah mempersiapkan berkas pengajuan nikah kalian lalu berniat bilang ke orang tuamu tentang keseriusannya, maka dari itu saya tidak ikut campur. Itu ranah pribadi kalian."
"Papa pasti akan membunuhku..!!" Dinara menahan tangisnya. Ia menyentuh perutnya yang memang kini sudah terlihat menyembul saat duduk.
"Sabar ya.. saya akan coba carikan jalan keluarnya." Bang Pongge membawa Dinara berjalan-jalan agar sedikit melupakan perasaannya yang tengah kalut.
...
Sampai di rumah panglima.
Pak Anom sedang berbincang dengan Pak Teo, sahabat Papa Anom semasa muda dulu. Disana sudah ada Bu Syila dan juga Bu Imas istri Pak Teo yang juga ayah dari Bang Pongge.
"Ini dia mereka sudah datang."
Tak jauh disana terlihat Bang Alan sudah bergabung bersama rekan anggota yang lain.
"Seperti yang aku bilang, aku tidak mau berlama-lama. Lebih baik kita lakukan pertunangan ini secepatnya. Menikahnya bisa nanti kalau Arra sudah lulus kuliah." Kata Papa Teo.
"Haaah???" Bang Pongge masih ternganga saking kagetnya.
"Tu_nang_an???" Dinara yang mendengarnya langsung syok. Bagaimana mungkin dirinya yang berbadan dua hasil perbuatan bodohnya dengan pria lain bisa bertunangan dengan pria yang sama sekali tidak di cintainya. "Nggak.. aku nggak mau Pa.. nggak mauuu..!!!!"
bruugghh..
"Arraaaaa.!!!"
Bang Pongge sigap menahan tubuh Arra tapi tidak sengaja blousenya tersingkap hingga terlihat perut Dinara yang sedikit membuncit. Mata Papa Anom memicing. Mama Syila terhuyung mundur dalam ketakutannya sendiri.
"Mbak Imas, coba tolong periksa Arra..!!" Pinta Papa Anom pada Mama Imas yang juga sebenarnya adalah seorang bidan.
:
Mama Imas gemetar. Beliau duduk berhadapan dengan semua orang yang menatapnya penuh tuntutan jawaban.
"Apa dugaan saya benar?? Apa Alan perlu saya bawa kesini??" Tanya Papa Anom.
Papa Teo sudah mengepalkan jarinya tidak mengalihkan pandangan dari putranya yang bersikap tenang dalam situasi seperti ini.
"Lebih baik begitu Bang." Jawab Mama imas.
Tak lama Bang Alan datang dengan wajah penuh kecemasan.
Suara Mama Imas bergetar tapi kenyataan harus di ungkapkan. "Arra hamil. Sekitar tiga bulan."
Papa Anom memejamkan matanya berusaha menekan emosi yang meledak di dalam dada. "Kalian pasti tahu siapa yang selama ini dekat dengan Arra." Kata Papa Anom.
Bang Alan dan Bang Pongge masih terdiam. Bang Pongge pun tidak ingin salah bicara meskipun sebenarnya hatinya berontak karena tidak tega melihat Dinara menangis.
"Jangan nangis kamu Arra. Siapa yang mengajarimu jadi wanita j****g????" Bentak Papa Anom.
Mata Bang Pongge terpejam, jujur saja hatinya terasa sakit tapi dirinya pun sadar masih memiliki kekasih meskipun dirinya tau akhir-akhir ini hubungannya dengan sang kekasih sedang tidak begitu baik.
Arra menghapus air matanya berusaha tegar tapi hatinya pun hancur karena Bang Alan tidak segera mengakui perbuatannya.
"Siapa bapaknya???????" Papa Anom kembali membentak Arra.
Arra menarik nafas panjang menguatkan hatinya. "Tidak ada Papanya, Arra tidak tau siapa Papanya. Arra mabuk." Jawab Arra.
Jantung Papa Anom berpacu cepat. Beliau berdiri di hadapan putrinya dan tanpa di sangka Papa Anom melayangkan tamparannya sekeras mungkin, sekuatnya seumur hidupnya.
plaaaakk..
"Papaaaaa.." pekik Mama Syila kemudian berlari melindungi putrinya. "Mama yang salah Pa. Mama yang tidak bisa mendidik anak. Tampar Mama saja..!!"
Papa Anom meremas dadanya. Nafasnya seakan berhenti sejenak. "Aku tidak pernah mengharapkan dia ada. Lanang yang membuatmu nyaris meregang nyawa sudah membuatku trauma. Kelahiran Arra untuk kedua kalinya juga hampir membuatmu meninggalkan ku. Inikah balasannya untuk perjuangan mu?? Aku tidak pernah minta Arra menghargai ku tapi jika lahirnya akan menampar wajahmu seperti ini lebih baik aku tidak punya anak seperti Arra. Gugurkan saja kandungannya..!!"
Bang Pongge dan Bang Alan langsung berlutut tapi Bang Alan masih terdiam seribu bahasa tanpa pengakuan apapun.
"Papaaa.. istighfar Paaa..!!" Pekik Mama Syila.
"Keluar kamu dari rumah ini Arra..!!"
"Mas.. sabar dulu Mas. Kita bicara baik-baik..!!" Bujuk Papa Teo. Beliau sudah paham betul dengan sifat sahabatnya itu.
"Pulanglah Mas, saya minta maaf atas kejadian ini." Papa Anom sampai menunduk menahan malu di hadapan Papa Teo.
Kilas mata Bang Pongge penuh kemarahan. Ia menarik tangan Bang Alan keluar dari ruangan. Papa Teo pun menahan amarah melihat sikap putranya.
.
.
.
.
"B******n kau Lan..!! Kau tidak lihat bagaimana menderitanya Arra?????"
"Aku tau Lan. Tapi aku belum berani menikah." Jawab Bang Alan.
Bang Pongge sudah melayangkan tinjunya tapi ia segera menepisnya kembali. "Ini berarti secara tidak langsung kau mengakui perbuatanmu khan?"
"Aku titip Arra, aku janji akan membiayai anakku. Tolong aku Ge.. tolong..!!" Bang Alan terlihat sangat ketakutan.
Siapa sangka Bang Pongge melayangkan tinjunya tepat menghantam wajah Bang Alan hingga pingsan. Bang Pongge pun segera berlari masuk ke dalam rumah dinas Panglima.
:
Pak Anom begitu sulit di tenangkan. Mama Imas memeriksa keadaan Mama Syila yang sudah tidak sadarkan diri.
Secepatnya Bang Pongge menarik Arra yang sudah lemas meremas perutnya. "Saya minta maaf Panglima. Semua salah saya.. ini anak saya. Saya yang menghamili Arra. Saya akan bertanggung jawab..!!"
Papa Teo memejamkan matanya kemudian menunduk dan mendudukkan sahabatnya.
"Atas nama putra kandungku Puger.. aku minta maaf yang sebesar besarnya. Ternyata aku lah yang tidak bisa mendidik putraku Mas. Maukah Mas menerima ku sebagai besanmu?? Kita nikahkan mereka..!!"
Arra menangis histeris. Ingin bibirnya menolak tapi Bang Pongge memeluk dan mencegahnya. "Uusshh.. Sudah dek.. jangan menangis lagi. Saya menyayanginya. Kamu harus mengingatnya.. anak ini anak saya.. anak Letnan Puger." Bisik Bang Pongge menenangkan Dinara.
"A_baaang..!!"
"Sudah.. hentikan air matamu..!!"
:
Bang Pongge berhadapan dengan Papa dan Mamanya. Ia menekuk kakinya meminta restu pada kedua orang tuanya secara pribadi.
"Saya harap Mama menangis bukan karena tidak merestui pernikahan saya dan Arra. Tolong do'akan putramu ini Ma.. Pa."
"Papa tau apa yang sedang kamu lakukan." Kata Papa Teo.
"Karena sudah tiga tahun ini saya mengenal Arra lebih dekat. Saya tau semua ini bukan sepenuhnya kesalahannya Pa. Saya tau siapa ayahnya.. saya juga tau bagaimana sifat Arra. Biarkan Arra berkubang lumpur, saya yang akan mengangkatnya. Tolong hargai keputusan saya Pa."
Mama Imas memeluk Bang Pongge. Ia mengusap rambut putranya hingga rapi. Ada senyum di balik rasa sedihnya.
"Tolong sayangi istriku ya Ma.. Sayangi cucu di perut istriku.. demi aku putramu yang bandel ini..!!" Pinta Bang Pongge.
Mama Imas tak sanggup berbicara apapun. Beliau mengangguk kemudian mengangguk kemudian memeluk putranya.
"Selama kamu ikhlas, Mama juga ikhlas. Selama kamu bahagia, Mama juga bahagia. Hidup Mama hanya asal anak-anaknya bahagia."
Papa Teo memeluk istri dan putranya. "Syukur Alhamdulillah.. enam bulan lagi kita punya cucu Ma."
Mama Imas tersenyum kemudian mencium pipi Bang Pongge. "Allah yang balas kebesaran hatimu Le."
"Insya Allah."
...
Dinara pingsan sempurna setelah sah menjadi istri Letnan Puger Riwangsa .S. Papa Anom pun bersandar dengan pikiran melayang-layang.
Di sudut lain, Bang Alan meneteskan air mata kepedihan melihat gadis yang sebenarnya sangat ia cintai menjadi istri sahabatnya sendiri tapi hatinya memang belum siap untuk memikul tanggung jawab sebagai seorang suami juga seorang ayah.
"Bawa Arra pergi dari sini..!!" Perintah Papa Anom.
"Baik Pak. Saya akan membawanya pergi." Jawab Bang Pongge.
"Mulai besok.. kau masuk Batalyon..!! Pakai Skep lokal dulu.. Skep resmi menyusul."
"Siap."
:
"Ge.. ini uang untuk memeriksakan kandungan Arra." Bang Alan menyerahkan uang sekitar dua juta rupiah pada Bang Pongge namun sahabatnya itu mendorong uang tersebut.
"Lancang sekali kamu mengurusi anak dan istri orang? Simpan saja untuk memperhatikan Asri. Kau sayang sekali sama sahabatmu itu khan?"
"Jangan begitu Pot. Aku berhutang budi padamu karena kamu menikahi Arra." Jawab Bang Alan.
Bang Pongge tersenyum sinis kemudian membidikan bola matanya melirik tajam ke arah Bang Alan.
"Tidak ada hutang budi di antara kita. Hubungan mu dan Arra sudah berakhir. Sekarang Arra adalah Nyonya Puger Riwangsa. Apapun yang menyangkut tentang dirinya dan bayi yang ada di dalam kandungan nya adalah tanggung jawab saya. So.. Kalau kau mau mengganggunya, pikir dua kali.. atau kamu akan berhadapan dengan saya..!!" Ancam Bang Pongge kemudian kembali masuk ke dalam rumah dinas Panglima untuk menjemput Arra.
Satu buah pick up Batalyon sudah terparkir untuk membawa beberapa barang milik Arra.
"Ijin Dan, nanti barangnya mau di letakan dimana? Rumah dinas belum ada." Kata seorang anggota mudi.
"Saya sudah ijin Danyon, nanti tolong di masukan ke dalam mess transit sebelah kiri. Besok saya minta rumah dinas sambil mengajukan surat permohonan nikah." Jawab Bang Pongge.
"Siap Danton."
...
"Kenapa Abang bertanggung jawab atas perbuatan yang tidak Abang lakukan?"
"Jodoh dari Tuhan tidak ada yang tau. Kenapa kita tidak jalani saja semuanya dengan ikhlas?" Kata Bang Pongge.
"Terima kasih atas bantuan Abang tapi Abang tidak usah sok baik. Semua laki-laki di dunia ini sama saja. Nanti jika sudah tiba saatnya, mereka akan membuang membuang wanitanya sekalipun itu istrinya demi wanita lain, dia pasti akan kasar jika sudah menyesal menikahi wanita itu." Jawab Arra masih terdengar frustasi.
"Papamu begitu?? Apa pernah Papamu berniat meninggalkan Mamamu demi wanita lain??" Tanya Bang Pongge membungkam mulut Dinara. "Pernahkah Papamu kasar sampai menyakiti Mamamu??"
Dinara menatap ke arah tepi jalan raya. Tidak hentinya air mata mengalir di pipinya. Bang Pongge menepikan mobilnya
"Mau apa berhenti disini?" Tanya Dinara menoleh ke arah pria yang sudah menjadi suaminya.
"Anak ku pasti lapar. Dari siang belum makan." Jawab Bang Pongge.
Mendengarnya, hati Dinara menjadi terbolak balik.
"Mau makan apa nih. Semua warung tenda. Cocok atau tidak dengan seleramu?" Dengan santainya Bang Pongge menawari Dinara sembari membalas pesan dari Danyonnya.
"Cocok Bang. Arra mau sate kambing, bubur ayam, nasi goreng, es buah sama tahu sumedang. Ini uangnya Bang." Arra memberikan uang dari dompetnya tapi Bang Pongge sudah keluar dari dalam mobil dan berjalan menuju semua makanan yang di minta Dinara tanpa bertanya.
:
Bang Pongge hanya menyantap tahu telur saja sambil sesekali melihat Dinara yang sedang melahap bubur ayam. Mereka makan di dalam mobil karena bingkai mata Dinara sembab akibat terlalu banyak menangis.
"Jangan terlalu banyak sambal..!!" Bang Pongge menjauhkan mangkok sambal dari Dinara.
Dinara melanjutkan acara makannya, Bang Pongge pun tersenyum melihat Dinara masih mau makan di balik prahara yang sempat menghantamnya tadi sore.
"Makan yang banyak biar si dedek cepat besar. Besok kita check up ke dokter ya.. Abang mau lihat di dedek lagi apa di dalam sana." Ajak Bang Pongge.
Dinara meletakan mangkok buburnya. Rasa sedih kembali menghantui dirinya. Disaat Bang Pongge bersemangat dengan kehamilannya justru Bang Alan menolak kehadiran buah hatinya.
"Kenapa diam? Apa buburnya masih panas?" Tanya Bang Pongge kemudian mengambil mangkok bubur Dinara dan mengaduknya karena Dinara sudah mengaduknya tadi.
"Nggak Bang, terima kasih. Arra bisa sendiri." Tolak Dinara.
"Haruskah sekaku itu sama Abang?"
.
.
.
.
"Ijin Danton.. semua barang sudah masuk ke dalam mess transit."
"Oke.. terima kasih ya. Maaf saya merepotkan. Ini buat beli rokok. Di bagi ya..!!" Bang Pongge menyelipkan beberapa lembar uang di kantong mudi Batalyon.
"Waahh.. terima kasih Danton."
Bang Pongge menepuk bahu mudi nya sebagai balasan.
:
Dinara duduk meluruskan kakinya. Perutnya memang belumlah besar tapi rasa lelah sudah sering kali menyerangnya, contohnya kali ini dirinya sudah merasa sangat lelah.
"Tidur di kamar dek.. sudah Abang rapikan..!!" Kata Bang Pongge.
"Abang saja tidur di kamar, Arra tidur di sini..!!" Tolak Dinara.
"Mau pindah sendiri ke kamar atau Abang angkat?" Tanya Bang Pongge datar tapi jelas pertanyaan itu penuh dengan ancaman.
Mau tidak mau Dinara bangkit dan berjalan masuk ke dalam kamar. Setelah masuk di dalam kamar Dinara menoleh.
"Abang tidur dimana? Kamar mess transit hanya ada satu?"
"Tidur satu kamar denganmu boleh???" Sengaja Bang Pongge menguji sikap Dinara.
Dinara menoleh dan sedikit mendorong lengan Bang Pongge agar segera keluar dari kamar lalu menutup pintunya rapat.
Bang Pongge menggeleng dengan senyum kecilnya. Ia memahami situasi ini dan membiarkan agar Dinara bisa sedikit lebih tenang. Setidaknya satu masalah pokok sudah terselesaikan.
***
Pagi hari tiba. Bang Pongge mengetuk pintu kamar tapi tidak ada jawaban dari dalam kamar. Perlahan Bang Pongge membuka pintunya karena ingin mengajak Dinara untuk sholat subuh.
"Dek.. bangun dulu..!! Sholat yuk, nanti tidur lagi." Sampai beberapa kali Bang Pongge membangunkan Dinara tapi istrinya itu tidak meresponnya. "Dek..!!" Dengan sangat terpaksa Bang Pongge pun mencoleknya. "Astaghfirullah hal adzim.. kenapa jadi demam begini dek???"
:
"Nggak mau.. nggak bisa."
"Di coba dulu. Ini Abang suapin. Kamu radang itu dek. Kalau nggak makan nggak bisa minum obat." Bujuk Bang Pongge.
Bang Pongge sudah tau bagaimana sifat manja anak panglima tapi jujur dirinya memang menyukai perempuan yang manja.
"Minum dulu tehnya biar nggak sakit tenggorokannya dek..!!"
Si cantik Dinara masih terus merengek tapi Bang Pongge tetap sabar menghadapi manjanya sang istri.
.
"Mau Abang suapin pakai sendok atau pakai bibir Abang?" Tanya Bang Pongge lembut tapi jelas setengah mengancam.
"Sendok." Jawab Dinara pada akhirnya karena tidak punya pilihan.
"Buka mulutnya, cepat habiskan makannya. Abang mau berangkat kerja nih dek."
Pagi ini Bang Pongge beraktivitas serba cepat. Mulai dari sholat, menyiapkan bubur untuk Dinara dan menyiapkan seragam kerjanya. Untung saja ada bubur pagi yang lewat dan akhirnya Dinara bisa sarapan.
Jam berdetak semakin cepat. Dinara belum minum obat pereda demam tapi Dinara terus menguji kesabarannya.
Terpaksa Bang Pongge menghaluskan obatnya dengan dua buah sendok dan sedikit memaksa Dinara untuk minum obat.
"Jangan di muntahkan..!! Itu demi kebaikanmu..!!" Kata Bang Pongge, wajahnya tegas penuh penekanan.
...
Danyon menarik nafas panjang, beliau sudah tau betul kualitas Bang Pongge tapi kali ini beliau tidak habis pikir dengan gosip yang menimpa juniornya itu.
"Kenapa beritanya seperti ini Ge? Abang tidak percaya kamu menghamili anak panglima." Tegur Danyon.
"Sudah terlanjur, mau bagaimana lagi Bang. Saya khilaf." Jawab Bang Pongge tak pikir pusing dengan apapun pemberitaan yang mengarah padanya. "Saya hanya minta tolong di redam semua masalah ini Bang. Tolong untuk tidak berbisik-bisik dan gunakan nama panglima untuk membungkam mulut semua orang. Saya mencemaskan kandungan Arra. Saya tidak masalah Jika saya yang mendengar semua cibiran tentang masalah ini tapi istri saya butuh ketenangan Bang." Pesan Bang Pongge.
"Tapi kamu bisa tunda pangkat karena pelanggaran disiplin Ge.. atau parahnya demi menyelamatkan pangkat dan harga dirimu, kamu harus pindah ke pelosok. Apa kamu siap?" Tanya Danyon sebenarnya tidak tega dengan Bang Pongge.
"Saya seorang pasukan, dimana pun saya di tugaskan.. saya akan selalu siap."
Danyon menghela nafas. Batinnya sungguh tidak percaya kalau juniornya itu bisa melakukan perbuatan tercela bahkan sampai menghamili wanita pasalnya ia tau Bang Pongge adalah pria yang sopan terhadap lawan jenisnya.
"Baiklah, saya akan berunding dengan atasan agar di sampaikan pada panglima. Seingat saya panglima juga tidak menghendaki penundaan pangkatmu padahal segala hal yang menyangkut ketidak siplinan militer yang masuk meja panglima pasti akan di tindak lanjuti. Beliau serba salah karena hal ini menyangkut putrinya sendiri."
...
Dinara meringkuk di dalam kamar mandi. Tubuhnya basah kuyup tersiram air dingin. Teringat kejadian beberapa bulan yang lalu, kejadian yang membuat hidupnya hancur.
"Aaaaaaaaaaa.. Abang b******k..!!!" Teriak Dinara.
Mendengar suara teriakan dari arah kamar mandi, Bang Pongge mengetuknya. "Dek.. Arra..!! Buka pintunya dek..!!!!"
tok.. tok.. tok..
"Arra.. tolong dek..!! Abang dobrak ya pintunya?" Berkali-kali Bang Pongge meminta ijin tapi Dinara tidak menanggapinya. Tak lagi banyak membuang waktu, Bang Pongge segera mendobraknya. "Astagaaa.. Arra..!!!!!"
:
"Kalau kamu tau.. penyesalan terbesar Abang adalah membiarkan mu bersama Alan malam itu. Jika saja saya lebih bisa menyadari bahwa jodoh bisa berubah, maka saya akan membawamu pergi."
Flashback Bang Pongge on..
"Jangan ikut dengan Alan.. dia sedang mabuk berat..!!" Bang Pongge menarik tangan Dinara agar gadis itu tidak mengikuti langkah Bang Alan.
"Cepat Arra.. atau saya akan bongkar rahasia mu di hadapan kedua orang tua mu..!!!" Ancam Bang Alan.
"Pot, jangan begitu lah. Ini perempuan, kalau kamu tidak bisa menahan diri.. hancur semuanya." Kata Bang Pongge menasihati.
"Dia ini calon istriku, terserah aku mau ku apakan. Aku juga tau rahasianya. Orang tuanya bisa di pecat dan malu seumur hidup." Senyum Bang Alan saat itu. "Sudahlah, aku tidak akan macam-macam. Hanya ingin ngobrol saja sama Arra di dalam kamar. Masa kamu tidak percaya padaku?"
"Aku ini laki-laki Lan, aku tau bagaimana rasanya saat berdekatan dengan lawan jenis."
"Itu kamu Ge, aku tidak sepertimu." Kata Bang Alan meyakinkan.
Bang Pongge menyadari bahwa Alan akan menjadi suami Dinara, maka dirinya mengijinkan sahabatnya berduaan di dalam kamar.
:
"Nggak mau, jangan Bang.. Arra takut, Arra malu."
Terdengar suara ketakutan Arra juga Bang Alan yang memaksa Arra melayani hasratnya.
Tak lama pekik Dinara bersambung tangis pilu ikut menyayat hati Bang Pongge bahkan saat Dinara meminta agar Bang Alan tidak lagi melanjutkannya, Bang Alan pun tidak mendengarnya hingga suara Dinara tak terdengar lagi.
:
Dinara membuka pintu kamar, rambutnya acak-acakan. Bang Pongge yang melihat Dinara dalam keadaan berantakan segera berdiri.
"Arra.. kamu........!!"
"Saakiiiiiittt.. Bang Alaan..........."
Bang Pongge tidak tega melihat keadaan Dinara, ia pun memeluknya erat. "Maaf Arra , maafkan Abang. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu sama kamu." Dada Bang Pongge rasanya terhantam melihat kejadian hari ini. "Jangan nangis Arra, Abang janji tidak akan meninggalkan kamu. Cari Abang jika memang kamu tidak sanggup melewatinya."
.
.
.
.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!