Plakk
"Kurang ajar kamu, Dit!"
"Kamu beralasan pergi keluar kota, nyatanya apa?"
"Kali ini aku tidak bisa memaafkan tindakanmu!"
Suara terdengar lantang dan menggema di penjuru rumah. Tampak seorang lelaki memegangi pipinya yang mulai terasa panas. Ia bisa merasakan jika tamparan yang diterima cukup meyakinkan bahwasanya amarah telah memuncak.
"Apa maksudmu, May?"
"Mengapa kamu marah-marah begini?"
Dilihatnya lamat-lamat wajah wanita yang berdiri di depannya, kedamaian tidak ditemukan lagi. Benar, wanita itu telah berubah menjadi sangat menakutkan saat ini. Kedua matanya melotot dengan dada naik turun.
Lelaki yang dipanggil "Dit" itu tahu jika wanita berparas cantik dengan menggunakan gamis rumahan itu sedang berada di atas puncak lelah. Sebab tidak pernah ia saksikan keadaan seperti ini dalam perjalanan hidupnya dari saat mereka menikah.
"Breng sek kau memang! Masih berani kau datang kemari, hah!"
"Aku sudah tahu semuanya! Mama mengirimkan video pernikahanmu dengan wanita itu!"
Kali ini tampak lelaki itu memejamkan mata sembari mengembuskan napas besar. Sungguh tidak disangka jika keadaan akan sangat sulit sekarang. Tidak ada keputusan yang ingin diambilnya untuk saat ini. Sebab ia tidak ingin memilih.
"Maafkan aku, May!" balas lelaki itu lemas.
"Aku tidak butuh permintaan maafmu! Aku tidak butuh! Lebih baik kau tidak usah datang lagi!"
"Maya, mengertilah! Aku melakukan semua ini karena terpaksa menuruti permintaan mama."
"Aku sungguh pusing dengan pertanyaan-pertanyaan yang sangat memuakkan bagiku."
"Cukup berat bagiku melakukan semua ini jika kamu tahu, May. Mama bahkan mengancam akan memaksaku untuk menceraikanmu."
Mencoba menjelaskan lelaki itu atas keadaan diri yang tidak berdaya oleh permintaan seorang ibu.
"Aku tidak butuh semua omong kosongmu, Radit. Kau bebas menentukan pilihan, entah kau mau menikah lagi atau mau pergi, bahkan menceraikan aku, silakan! Yang jelas aku tidak mau dimadu!"
Menghembuskan napas besar. Wanita cantik itu tadinya sedang beberes rumah dengan perasaan campur aduk setelah menerima pesan dari mertuanya semalam.
Merasa marah juga teriris hatinya saat membuka kiriman video yang menunjukkan acara pesta digelar cukup meriah, yang mana ia sangat kenal dengan mempelai lelaki yang bersanding dengan wanita cantik dan masih cukup muda dari dirinya.
Sesimpel itu dunia mempermainkan sebuah hubungan. Bahkan lelaki yang begitu ia cintai turut serta dalam mempermainkan hidupnya.
Siapa yang menyangka jika setelah tiga hari pergi beralasan untuk keluar kota, nyatanya lelaki yang sudah menjadi separuh jiwanya telah bersandiwara.
Pelukan sayang yang diberikan saat ingin melepaskan rindu pada kekasih hati, sungguh tidak disangka jika kerinduannya harus pupus saat sebuah tamparan sebagai imbalan.
"Cukup! Semua sudah cukup bagiku. Aku tidak bisa lanjut denganmu!"
Tetap mempertahankan keadaan diri yang masih dikuasai oleh amarah. Begitu kokoh pendiriannya meski melihat lelaki yang dicintainya tampak memelas.
"Apa yang kamu katakan, Sayang?"
Terperangah tidak percaya atas apa yang baru saja didengar. Seperti ada bom yang kini menghancurkan seluruh isi hatinya. Begitu saja lelaki itu merasa lemas.
"Sungguh aku tidak akan pernah mau menceraikan mu. Meski kamu memaksa. Aku hanya mencintaimu, May. Sedikit pun aku tidak memiliki cinta untuknya. Semua aku lakukan hanya untuk mendapatkan keinginan mama, tidak lebih."
Kini bisa dilihat dengan kedua mata wanita cantik di depannya. Lelaki itu menangis tanpa suara. Ia benar-benar merasa sangat sakit saat mendengar istrinya meminta cerai. Hal itulah yang selama ini tidak bisa ia lakukan, sebabnya pernikahan diam-diam itu dilakukan supaya tidak kehilangan kekasih hatinya. Wanita pujaan hatinya.
Menggelengkan kepalanya Maya. Ia merasa semua ini tidak perlu dibicarakan lagi, benar-benar tidak ada kebenaran yang telah dilakukan oleh suaminya.
"Sungguh, aku sangat menghormati setiap permintaan mama mu yang kadang suka dibuat-buat. Tapi, kali ini maaf, Radit. Keluargamu telah menghina harga diriku secara terang-terangan!"
"Aku tahu jika aku bukan berasal dari keluarga terpandang, tapi ibuku jauh lebih baik dalam memperlakukan orang meski dulunya ia berasal dari keluarga terpandang sebelum menikah dengan ayahku."
"Maya, mengertilah! Aku tidak punya pilihan lain. Aku tidak ingin bercerai denganmu."
Lelaki itu tidak berdaya lagi ketika melihat sosok wanita pujaan hatinya yang menggeleng. Ia tidak siap dengan apa yang terjadi saat ini. Sungguh diluar dugaan.
"Aku tidak bisa melanjutkan pernikahan ini!"
"Maya!" teriak Radit yang kali ini tersulut emosi. Ia benar-benar tidak sanggup jika harus kehilangan wanita itu.
"Lebih baik kamu pulang saja ke rumah wanita itu! Kurasa tiga hari tidak cukup untuk berbulan madu."
"Aku tidak akan melarangmu pergi."
"Kamu bisa bersenang-senang dengannya dan menghabiskan malam berdua."
"Maya, cukup!"
Plakkk
Sebuah suara yang terdengar mengerikan. Sangat keras dan cukup sakit kini dirasa. Sebuah tamparan yang terbayar lunas. Maya menatap sosok lelaki yang begitu lembut dan sangat menyayanginya kini ia pikir telah berubah.
Tidak terasa air tiba-tiba menggenang di pelupuk mata. Ia tidak sanggup menahan diri atas rasa kecewa dan sakit hati. Tidak disangka jika lelaki itu tega membalas tamparannya karena masalah ini.
Berlinang air mata kemudian. Maya hanya membutuhkan pelukan hangat dan penuh cinta saat ini. Akan tetapi, apa yang ia terima. Bukan hanya pengkhianatan yang didapat, tapi harga dirinya juga direndahkan atas keputusan yang saat ini dijalani oleh sang suami tanpa ada ijin darinya.
"Kamu bisa memintaku pulang ke rumah ibu tanpa harus melakukan semua ini, Dit!"
Mulai terisak wanita cantik itu. Ia sudah tidak sanggup bertahan di atas ketegaran. Rasa sakit itu kini juga ia rasakan di kulit pipi. Sangat disayangkan.
"Sayang, maafkan aku!"
Mencoba untuk memeluk tubuh wanita pujaan hatinya. Radit meraih tubuh sang istri untuk dibawanya masuk dalam rengkuhan. Tidak, Maya lebih dulu menghindar.
"Jangan sentuh aku!" teriak Maya.
"Sayang, kumohon maafkan aku!"
"Aku terbawa emosi."
Menggelengkan kepalanya wanita itu.
"Lebih baik hubungan ini sampai di sini saja, Radit!"
Tanpa berpikir panjang, dibantu oleh perasaan kecewa juga sakit hati, Maya kini telah berlari menaiki tangga. Ia telah memikirkan sesuatu untuk dijadikan sebagai keputusan terbaik saat ini.
"Maya!"
Disusul kemudian langkah kaki yang telah melangkah menaiki tangga. Maya membawa langkahnya berbelok ke arah kiri setelah menaiki tangga. Tujuannya memang untuk segera masuk ke dalam kamar. Ia tidak sanggup untuk bertahan. Menatap wajah suaminya terus menerus membuatnya muak dan emosi semakin bertambah.
"Maya!"
Brakkk
pintu kamar tertutup cukup keras. Radit tidak bisa menyusul langkah yang tertinggal. Kini ia hanya bisa menatap pintu kayu kamarnya yang telah tertutup.
"Maya, maafkan aku!"
Telapak tangan bergerak memukul pintu untuk membuat suara supaya istrinya mau membuka pintunya. Sayang sekali, ia hanya bisa menangis sambil memanggil nama istrinya. Sebab pintu kamar itu tidak juga terbuka.
Begitu pula yang terjadi di dalam sana. Maya membanting tubuhnya di atas kasur. Wanita itu juga sedang menangis. Masih belum bisa percaya jika orang yang begitu sangat dicintainya telah berkhianat hanya untuk menuruti permintaan ibunya.
Kedua orang yang saling cinta itu akhirnya menangisi keadaan diri yang tidak berdaya atas permainan takdir.
Bersambung ....
Suara langkah kaki terdengar kentara saat seseorang sedang berlari tergopoh menuruni anak tangga. Hal itu mengundang perhatian penghuni rumah lainnya yang merasa terusik oleh suara tersebut.
"Shanum jangan lari-lari!"
Teriakkan itu terdengar oleh pemilik nama. Siapa lagi yang ada di rumah ini jika tidak putrinya. Mereka memang hanya tinggal berdua di rumah mewah itu setelah neneknya meninggal lima tahun lalu. Yang mana saat itu Shanum masih berusia 20 tahun.
Begitu sepi memang, karena pembantu rumah tangga akan datang nanti di jam 8 pagi dan kembali pulang setelah rumah bersih.
Gadis cantik mengenakan setelan kemeja merah yang pas di tubuhnya dan celana kain berwarna hitam yang juga memakai kerudung hitam tersenyum tipis. Pagi ini ia melupakan sesuatu, jika di tempat dirinya bekerja akan kedatangan pemimpin baru yang katanya ialah putra dari direktur utama.
Ia lupa jika dirinya juga turut serta dalam menyambut kedatangannya. Tentu saja akan ada beberapa persiapan yang harus dilakukan. Nyatanya ia hingga pukul setengah tujuh belum juga berangkat kerja. Padahal pemimpin baru itu akan datang pada pukul tujuh katanya. Gadis itu sungguh merutuki kecerobohannya.
"Maaf Bu, Shanum buru-buru!"
Gadis dengan riasan tipis di wajahnya itu menghampiri seseorang yang sedang sibuk dengan urusan di dapur.
Menoleh ke belakang wanita setengah baya itu dan segera disambut dengan ciuman di tangan kanannya.
"Tumben? Nggak sarapan dulu?"
Sedikit berkerut keningnya, wanita setengah baya nan cantik itu menuntut jawaban.
"Shanum lupa kalau harus ikut menyambut kedatangan bos baru hari ini, Bu." jelas gadis cantik itu singkat.
"Shanum berangkat dulu, Bu! Takut telat, assalamualaikum," sambungnya cepat.
Tanpa menunggu tanggapan dari sang ibu. Gadis itu kemudian kembali berlari untuk berangkat ke kantor. Tidak lupa ia mengambil heels formal yang biasa ia pakai saat kerja di rak belakang pintu dapur.
Wanita setengah baya itu hanya menggelengkan kepala menanggapi kelakuan putri semata wayangnya.
Kembali ia fokus pada kegiatannya mencuci peralatan yang baru saja digunakan untuk memasak.
Ada napas yang terbuang kasar. Kadang kala ia merasa bersalah atas kehidupan putrinya yang kini harus bekerja keras demi meraih masa depan, tapi di sisi lain ia juga harus tega membiarkan putrinya berjuang. Sebab ia tahu jika dunia kadang sangat jahat mempermainkan jalan kehidupan manusia.
Shanum bergegas mengendarai motor matic yang biasa ia gunakan untuk bekerja. Sebenarnya ada mobil pemberian dari sang ayah, gadis itu sangat jarang memakainya. Bahkan dulu sempat ingin menjualnya, tapi sang ibu melarang. Ia harus bisa menghargai pemberian, begitulah wejangannya.
Dibawanya motor matic berwarna hitam itu membelah jalanan ibukota yang sudah padat. Hati yang cemas ia coba redam sesekali dengan membuang napas besar. Berharap ada keajaiban supaya ia tidak terlambat.
"Semoga saja aku tidak terlambat."
Beruntungnya jarak rumah dari tempat dirinya bekerja tidak terlalu jauh sebenarnya. Akan tetapi, jika jalanan macet seperti sekarang, bisa jadi dua kali lipat waktu yang akan ditempuh.
Shanum memilih untuk memarkirkan motornya di gang samping bangunan kantor. Sudah sangat dekat sebenarnya, mungkin hanya dalam waktu lima menit ia bisa sampai dan benar saja waktu yang dipunya sekarang memang tinggal lima menit. Namun, jalanan sangat padat dan berjalan merayap.
Membelokkan setir ke kanan gadis itu. Cepat ia melepaskan helm berwarna merah dan meletakkannya pada spion motor.
"Pak Bejo, minta nomor karcisnya?"
Melangkah terburu menghampiri sosok lelaki setengah baya yang sedang sibuk menata sepeda motor.
"Owalah Mbak Shanum ngagetin aja."
Merogoh saku celana, pak Bejo memberinya karcis berwarna hijau.
"Yang satu, taruh di sepeda ya, Mbak!'
Seperti biasanya, Shanum mengangguk paham.
"Siap Pak."
Cepat ia membawa langkahnya untuk berlari setelah menggantungkan salah satu karcis pada spion motornya.
Napas terengah saat dirinya baru sampai di halaman perusahaan. Gadis cantik itu tampak sedikit berantakan akibat mengejar waktu.
"Pagi Mbak Shanum!"
Melemparkan senyum tipis pada sosok petugas keamanan yang cukup akrab dengannya.
"Pagi juga Pak Andi!"
Berjalan cepat memasuki pintu utama. Shanum mengedarkan pandangannya. Terlihat beberapa petinggi perusahaan sudah siap menunggu kedatangan pemimpin baru mereka.
Shanum yang berada dibawah naungan anggota HRD tampak membungkuk hormat saat melewati orang-orang itu.
"Astaghfirullah halazim ...."
"Aku lupa nggak pakai jas."
Shanum melangkah menuju lift dengan merutuki kebodohannya. Ia melupakan sesuatu yang harusnya dipakai saat ini. Benar-benar tidak mengerti lagi apa yang akan ia lakukan.
Saat pintu lift terbuka, di lihat kepala bagian HRD yang juga atasannya. Seorang lelaki dewasa berdiri di depannya dengan beberapa orang dari departemen lain juga berdiri menunggu lift terbuka. Mereka sudah siap turun untuk menyambut kedatangan pemimpin baru yang rumornya masih sangat muda.
"Astaga ... Shanum! Kau tidak lupa kan, jika hari ini hari penting untuk kita!" ucap seseorang yang berdiri di depan gadis itu.
Beberapa orang dari mereka ada yang menggelengkan kepala menanggapi keadaan Shanum.
"Iy-iya Pak, saya tidak lupa kok."
Dengan cepat Shanum keluar dari dalam lift, digantikan dengan beberapa orang yang telah berdiri di depannya setelah beberapa menit menunggu lift yang terbuka.
"Yasudah, cepat ke bawah!" ucap atasan Shanum sebelum pintu lift tertutup dan membawa beberapa orang tadi untuk ke lantai dasar.
"Aduh ... Gimana ini?"
Shanum mencemaskan diri karena ia lupa memakai jas. Jika dirinya meminta sang ibu untuk mengantarkan jas kerjanya ke sana, itu sangat mustahil dan pasti butuh waktu lama.
Saat gadis itu akan memasuki ruangan tempat dirinya bekerja, seseorang menyapa dengan tergopoh.
"Shanum, kamu kok belum siap-siap sih!"
Menoleh gadis itu saat mendengar suara yang tidak asing di telinga. Alea adalah sahabat Shanum sejak mereka berdua menjadi anak baru. Meski berada di departemen berbeda, itu sama sekali tidak memutuskan hubungan yang telah terjalin.
"Alea ... Bantu aku dong! Aku nggak bawa jas."
Menghembuskan napas besar.
"Ya ampun, kamu ini ada-ada saja!"
Shanum memejamkan mata frustasi.
"Masa aku nggak ikut aja?"
Menggelengkan kepalanya Alea.
"Tidak perlu! Sepertinya jasku yang Minggu lalu basah masih ada di tempat ku."
Sambil membuka kedua telapak tangan, Alea pun kembali menuju tempat kerjanya.
"Tunggu bentar! Semoga aja belum kubawa pulang."
Berlari cepat gadis itu, tidak ingin menunggu kedatangan Alea dengan cemas. Akhirnya Shanum pun ikut menyusul Alea.
Cepat-cepat Shanum membenarkan keadaan diri yang sedikit berantakan.
"Benerin sekalian kerudungmu itu!" pinta Alea.
Shanum pun mengangguk patuh.
"Yasudah kamu duluan turun, gih! Takut terlambat nanti kalau nungguin aku."
Kali ini Alea yang mengangguk.
"Baiklah, cepat nyusul! Jangan lama-lama!"
Jempol kanan Shanum terangkat. Ia melemparkan senyuman saat membenahi kerudungnya yang sedang ia rapikan seperti seorang ibu DPR.
Beberapa menit berlalu.
Keadaan di lobby perusahaan yang bergerak di bidang percetakan itu tampak ramai. Bahkan parkiran mobil pun penuh.
Setiap-setiap orang memposisikan diri dengan baik untuk menyambut kedatangan pemimpin baru mereka.
Di antara mereka semua yang masih terlihat cemas hanya Alea. Gadis itu merasa khawatir pada sahabatnya yang tidak kunjung datang.
"Kenapa dia belum turun juga sih!"
Dan semakin dibuat panik ketika terdengar seseorang berseloroh, "Ayo siap-siap, orangnya sudah datang!"
"Aduhhh ... Gimana ini?" ucap Alea dalam hati.
Bersambung ...
"Saat masa lalu kembali hadir, mungkin saat itu takdir telah menyiapkan kisah terbaiknya." ~Faray Glad~
****
Seseorang dengan hati cemas meremas jemari tangan sebagai pelampiasan. Berada di dalam benda angkut yang membawanya turun ke lantai dasar. Ia sudah tidak sabar untuk segera iku bergabung dengan yang lainnya.
Keadaan di lantai dasar sudah ramai dengan para karyawan yang berdiri rapi untuk menunggu kedatangan pemimpin baru mereka.
Sedang seseorang di luar perusahaan baru saja datang dan turun dari mobil. Seseorang yang lain juga baru saja keluar dari dalam lift dengan penampilannya yang cukup memukau kali ini.
"Ah ... Syukurlah dia sudah turun." ucap seseorang yang kini melihat sosok Shanum berjalan mendekat. Keduanya melemparkan senyuman.
Tanpa mereka berdua sadari jika seseorang yang sejak tadi mereka tunggu telah datang dan melangkah masuk dengan diiringi oleh asisten juga beberapa petinggi perusahaan.
Pas bertepatan dengan sosok pemimpin itu memasuki area lobby perusahaan, Shanum yang sedang melangkah keluar dari dalam lift, merupakan kebetulan yang seolah sudah direncanakan oleh Semesta.
Shanum sungguh terkejut akan kedatangan pemimpin barunya yang sangat kebetulan, saat itu dirinya baru saja keluar dari dalam lift. Ia tidak begitu fokus menatap sosok lelaki tampan yang saat ini sedang menatap dirinya dengan sedikit tertegun. Sebab ia tergopoh untuk segera bergabung dengan rekan yang lain.
"Dia ...." Batin sang pemimpin saat menatap wajah Shanum. Seolah ada yang memanggil dirinya mengenai cerita masa lalu.
Bahkan pandangannya mengikuti gestur tubuh Shanum hingga gadis itu berdiri di barisan paling belakang.
Cukup pandai mengatur keadaan diri. Lelaki tampan itu menipiskan bibir seketika. Menatap ke arah para karyawan yang telah dengan hormat menyambut kedatangannya.
"Reno!"
Pemimpin dengan wajah rupawan itu sekilas menoleh ke belakang untuk memanggil asistennya. Sigap lelaki manis bernama Reno telah melangkah mendekat.
"Iya Pak."
"Cari tahu, siapa karyawan yang berada di barisan paling ujung kanan!"
"Baik Pak!" Sambil mengangguk lelaki itu mengiyakan perintah atasannya.
Sedikit merasakan keanehan Reno, sebab yang ia tahu dari atasannya itu, bosnya adalah lelaki yang kaku dan tidak suka mengurusi orang lain. Nyatanya kali ini dirinya dibuat terkejut oleh permintaan yang begitu mustahil baginya. Bahkan perintahnya ini berkaitan dengan seorang karyawan biasa.
"Ada apa dengan gadis itu?" Reno membatin sambil ia berusaha mencuri pandang ke arah Shanum yang saat ini berada di barisan paling pojok kanan.
"Cantik ...," bisik hati kecilnya. kedua mata Reno memperlihatkan postur tubuh Shanum yang terlihat cukup seksi.
"Lumayan, tapi dibandingkan dengan gadis berkerudung itu. Pak Ken banyak menjumpai gadis yang jauh lebih cantik juga seksi bahkan lebih menggoda."
Kembali Reno mengutarakan pendapatnya dalam hati. Bayangan liarnya mulai menari-nari di atas kepala. Ia tahu jika Ken biasa berlibur dengan sahabatnya yang tidak lupa selalu ditemani oleh gadis-gadis cantik dengan menggunakan pakaian minim bahan.
Dan kini ia begitu dibuat penasaran atas perintah Ken mengenai gadis berkerudung itu.
"Sangat mustahil jika Pak Ken menyukainya. Apa mungkin gadis itu pernah berhutang dengannya?"
Kali ini ia merasa yakin dengan tebakannya, tidak mungkin atasannya menyukai wanita lain, sedangkan beberapa minggu lagi ia akan mengadakan pesta pertunangan dengan wanita yang Reno tahu adalah kekasih bosnya.
Sudah lima tahun Reno telah menjadi asisten Kenan di perusahaan milik keluarga Ken yang lain. Mereka sudah sangat akrab karena pertemuannya dulu di kampus pada saat skripsi terakhir.
Mereka berdua telah menjadi teman sejak masa itu. Dimana mereka memiliki guru pembimbing yang sana. Ken tahu betul kepandaian Reno. Yang akhirnya Ken mengajak lelaki itu untuk bekerja dengannya.
Perusahaan Bumi Perkasa yang bergerak di bidang kemasan plastik itu sebenarnya berada dalam genggaman pamannya, merasa kurang puas atas hasil yang didapat. Akhirnya ayah Ken meminta putra kebanggaannya itu untuk mengambil alih perusahaan tersebut.
Kini tanggung jawab Ken bertambah. Ia telah berhasil memegang kendali dua perusahaan sekaligus sebelumnya. Kali ini ada satu tantangan lagi yang harus bisa lelaki itu kuasai. Keahlian Ken dalam memimpin dan mengendalikan perusahaan semakin tidak tertandingi. Ilmu yang dimilikinya tidak bisa diragukan.
Semua yang terjadi seperti sebuah anugerah yang diberikan Tuhan atas kegagalan yang dulu selalu diterima oleh Ken.
Ada sebuah kisah masa lalu, ketika lelaki itu sedang menimba ilmu di satu universitas swasta Jakarta, selama empat kali skripsi ia selalu gagal.
Tidak pernah ada yang tahu sebabnya ketika lelaki itu mengulangi skripsi yang ke lima. Seperti mendapatkan sebuah keajaiban, Ken lulus ujian skripsi dengan hasil yang sempurna.
"Mari Pak, silakan!"
Seorang lelaki dewasa bernama Handoko, begitu sopan mengarahkan langkah kaki Ken untuk masuk ke dalam lift. Sedangkan di belakang Handoko ada Sony selaku direktur sebelumnya yang juga berstatus paman bagi Ken. Lelaki itu sepertinya tidak berminat menyambut kedatangan Ken yang akan menggantikan posisinya.
Hanya beberapa detik saja pintu lift telah terbuka. Karyawan yang lain bergantian naik lift untuk menuju ruangan yang biasa digunakan untuk rapat.
Handoko kembali mengarahkan Ken menuju ke ruangan rapat yang tempatnya berada di paling ujung.
"Silakan, Pak!"
Ken mengangguk menanggapi saat Handoko membukakan pintu. Segera Ken masuk ke dalam ruangan yang cukup luas dengan kursi duduk dan meja melingkar.
Ken mengedarkan pandangannya. Merasakan sejuknya udara dari pendingin ruangan. Ia seperti teringat pada sebuah kisah masa lalu.
Membayangkan dirinya yang duduk di bangku paling belakang. Di mana seorang gadis datang terlambat yang akhirnya harus duduk di barisan yang sama dengannya.
Ken tersenyum tipis saat mengingat seorang gadis yang membuatnya kesal karena telah membangunkan dirinya pada masa itu.
"Pak Ken!"
Sebuah panggilan menyadarkan lamunan Kenan mengenai masa lalunya.
"Ah, iya!" Kenan menjawab asal.
Kenan pun dituntun Reno dan Handoko untuk duduk di depan. Sony sang paman pun juga ikut duduk di depan, ada juga beberapa manager yang juga ikut duduk di sampingnya.
Karyawan yang lain mulai memasuki ruangan. Samar terdengar bisik-bisik seperti suara tawon ketika rombongan karyawan wanita memasuki ruangan.
"Aku juga tidak menyangka."
"Aaa ... Aku suka sekali melihatnya."
"Iya, sepertinya bos kita masih sangat muda."
"Rasanya aku seperti kena hipnotis saat melihatnya."
Mereka sungguh tidak menyangka jika pemimpin baru yang datang cukup tampan dan gagah. Menatap dari penampilannya saja semua mata sudah terpanah. Benar-benar terlihat berwibawa.
"Semua sudah berada di tempat?"
Suara terdengar saat Handoko akan memulai penyambutan. Ia memastikan karyawannya telah duduk di tempat tanpa tertinggal.
Terdengar suara gemuruh yang memenuhi ruangan. Semua karyawan menjawab jika mereka sudah berada di tempat.
"Baik, jika semua sudah berada di tempat, saya akan memulai acara penyambutan ini!"
Karena pintu ruangan yang telah tertutup. Dikiranya semua karyawan telah berada di sana.
"Assalamualaikum warahmatullahi wa barrakatu."
Sejenak Handoko membiarkan karyawannya menjawab salam.
"Puji syukur atas nikmat yang diberikan oleh Allah SWT yang mana membuat kita senantiasa bisa berkumpul di sini dengan keadaan sehat."
"Untuk menyingkat waktu, mari kita sejenak berdoa menurut agama kita masing-masing sebelum acara penyambutan ini dimulai."
"Berdoa mulai!"
Memberikan waktu untuknya dan yang lain melakukan doa demi kelancaran acara.
"Selesai!"
"Semua pasti sudah tahu bukan, jika perusahaan kita kedatangan pemimpin baru. Yang mana beliau adalah putra dari bapak Bagus Pratama."
"Pak Sony masih tetap akan menjadi bagian dari perusahaan ini. Beliau tentunya akan turut serta memberikan arahan pada pemimpin baru kita."
"Untuk mempersingkat waktu, saya akan mempersilakan pak Kenan Adi Pratama memperkenalkan diri dan sedikit memberikan kata sambutan pada karyawan di sini."
"Silahkan Pak Ken!"
Handoko memberikan mikrofonnya pada lelaki tampan yang duduk di sampingnya. Berdiri lelaki gagah yang menggunakan jas hitam tersebut. Suara bisik-bisik mulai terdengar lagi.
"Assalamualaikum warahmatullahi wa barrakatu. Selamat pagi bagi yang beragama lain."
"Kalian sudah mengenal saya?"
Serentak semua karyawan menjawab "belum".
"Baik, perkenalkan saya Kenan Adi Pratama dan kalian bisa memanggil saya Ken."
Dan tanpa ada yang menduga, suara ketukan pintu mengalihkan perhatian semua orang. Tak lama suara ketukan pintu terhenti, pintu ruangan pun terbuka. Perlahan sosok gadis cantik mulai masuk dan membungkuk hormat.
Termangu seketika gadis itu ketika kini sepasang mata menatap lurus ke depan. Di mana seorang lelaki tampan yang berdiri sambil membawa mikrofon juga sedang memandangnya. Mereka saling mengunci pandangan mata.
"Dia ...."
Bersambung ....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!