NovelToon NovelToon

Benih Yang Kau Tinggalkan

Kenangan 1

#Pernikahan yang bahagia adalah percakapan panjang, yang selalu tampak terlalu singkat. (Andre Marois)#

...***...

“Nona Irena maaf, terpaksa saya memberitahukan bahwa anda ternyata mengidap Endometriosis.”

Bagai vonis mutlak saat menghadiri sebuah pengadilan, kerutan kening begitu terlihat tak kala mencoba untuk tidak percaya dengan apa yang didengarkan. Titik air mata jatuh tak tertahan, di saat menyadari akan kehadiran buah hati yang tak kunjung akan datang.

Pertanyaan akan butuh waktu berapa lama lagi untuk menanti kehadiran buah cinta, di saat jiwa dan raga yang sudah tersakiti pun semakin menoreh semakin dalam. Tak kala perkataan orang terkasih menyudutkan, bagai belati menghunjam tepat mengenai setiap relung hengkang hati.

“APA?! Bagaimana bisa wanita sepertinya masuk ke keluarga Kessler? Memalukan sekali, Irene, apa kau tahu berapa banyak wanita yang ingin berada di posisimu saat ini?! Tapi, apa? Endometriosis?!” sentak Anna, Tante dari Hendrik sang suami yang kini mendiami kediaman keluarga Kessler.

“Tan, meski begitu Irene masih ada kemungkinan hamil. Aku akan berjuang bersamanya, jadi berhenti menyudutkan Irene seperti ini,” balas Hendrik berdiri tegap dihadapan Irene.

“Ayah dan ibumu memberi wewenang padaku untuk mengurus keluarga ini selama mereka pergi keluar negeri, dan aku tidak ingin wanita itu membuat malu keluarga Kessler!” Anna menunjukkan jarinya kearah Irene dengan penuh amarah.

“TANTE! Aku diam bukan berarti takut, tapi karena aku menghargaimu. Karena itu jangan pernah lagi mengganggu urusan rumah tangga kami!” Hendrik menarik tangan Irene berjalan meninggalkan ruangan tengah menuju kamar mereka di lantai atas.

Jika ada yang bisa mendengar jerit tangis hatinya, tentu bagi Irene saat ini kelapangan dada adalah jawaban dari semua doa-doanya. Tahu akan adanya penolakan keras yang akan diberikan keluarga Kessler padanya, Irene hanya dapat menundukkan kepala tak kala Hendrik begitu terbawa emosi.

Yang dikatakan tante Anna memang benar, dengan status sosial keluarga Kessler seharusnya aku sadar diri dengan bercermin menatap diri sendiri mempertanyakan, apa kelebihanmu hingga Hendrik pantas menikah denganmu, gumam Irene dalam hatinya.

Lembaran putih kini dipenuhi noda tinta hitam yang pekat, kembali menatap Hendrik dengan begitu sendu, kesedihan pun terpancar di saat kedua bola mata indahnya yang berkaca-kaca mencoba menahan tangisnya, menatap pada Irene yang terlihat begitu sangat tertekan.

Terduduk lemas pada sebuah sofa berwarna jingga muda, hiasan kamar tidur pun menjadi saksi bisu percakapan Hendrik dan Irene saat mencoba mencari jalan keluar lain, yang tentunya sudah di bicarakan dengan dokter kandungan sebelumnya.

“Operasi? Kau yakin, dear?” tanya Hendrik begitu lirih saat menyentuh lembut wajah istrinya.

“Bukankah ini jalan satu-satunya? Lagi pula rasa sakit ini semakin lama semakin menjadi, dengan semua kegiatan sosial dan perkumpulan yang harus aku datangi, akan sangat memalukan jika aku selalu absent tidak hadir,” balas Irene mengecup tangan sang suami.

“Tapi Irene, operasi bisa me—”

“Bayi tabung ... jika memang masih gagal, kita lakukan bayi tabung. Babe, please ...,” Irene begitu memohon pada Hendrik yang mulai terlihat mempertimbangkan permintaannya.

Hendrik mengeluarkan handphone dari balik jas yang dikenakannya untuk kembali berkonsultasi dengan dokter kandungan akan apa saja kemungkinan terburuk atau terbaik dari tindakan ini. Tersadar akan keinginan serta permintaan akan harapan ahli waris utama, mau tidak mau Irene memang harus melakukan operasi atau bahkan melakukan proses bayi tabung.

Hendrik tak kuasa menahan kegelisahannya dengan hanya dapat menundukkan kepala, tak mampu lagi menatap pada Irene. Hendrik menyadari karena dalam proses itu, tentu Irenelah yang akan mengalami rasa sakit, bukan hanya pada tubuhnya, namun Hendrik lebih mengkhawatirkan kondisi psikis Irene.

Kematian kedua orang tua Irene yang terjadi tepat saat pergi bersama dengannya, menyisakan luka mendalam bahkan trauma saat setiap kali dirinya harus memeriksakan diri ke rumah sakit. Dan kini, Irene harus sampai melakukan operasi, tentu saja membuat Hendrik gusar dan gelisah.

...***...

“My dear, my love ... apa kau benar-benar siap dan yakin?” tanya Hendrik begitu lembut menatap Irene saat akan bersiap-siap masuk ke dalam ruangan operasi.

“Babe ... tetaplah di sini ketika aku sadar nanti. Berjanjilah padaku,” Irene menggenggam erat tangan Hendrik seraya menatapnya begitu serius.

“Tentu saja, aku tidak akan pergi kemana pun. Aku akan menunggumu,” Hendrik menyematkan sebuah ciuman hangat dan dalam, sesaat sebelum Irene memasuki ruangan operasi.

Genggaman tangan yang terlepas pun berakhir dengan senyuman kesedihan satu sama lain. Lampu indikator ruangan operasi pun menyala pertanda operasi sedang berlangsung. Hendrik terduduk dengan begitu gelisah seorang diri dengan doa yang dia panjatkan setiap detiknya.

Berlangsung selama beberapa jam, Irene pun keluar dengan kabar gembira bahwa operasi berjalan lancar. Keduanya pun saling memandang di saat Irene tersadar akan Hendrik yang selalu setia berada disisinya, bahkan sedikit pun tak beranjak meninggalkannya.

Namun kebahagian itu ternyata berlangsung semu, tak kala lapisan dinding rahim Irene kembali terjadi penebalan sehingga menjadi penghambat kehamilan. Tak kuasa akan jerit hatinya, Irene meminta Hendrik untuk menyetujui usulnya di mana  mereka pun akhirnya memutuskan untuk melakukan proses bayi tabung tanpa diketahui oleh siapa pun.

Di tengah menunggu hasil dari proses bayi tabung yang mereka lakukan, kejadian tak terduga pun kembali terjadi, di saat tante Anna tanpa di sadari mulai menyusun sebuah rencana yang ternyata berniat ingin memisahkan Hendrik dan Irene.

“Hendrik, kau ada di mana?! Terjadi masalah besar di perusahaan! Produk Levelex yang baru kita luncurkan terjadi masalah bahkan merambat ke anak cabang perusahaan di luar negeri,” ucap Anna dengan begitu panik melalui sambungan telephone.

“Pergilah babe ... aku tidak apa-apa, lagi pula lusa aku sudah boleh pulang,” pinta Irene tersenyum pada Hendrik, saat mendengar percakapan berakhir.

“Tapi jika begitu, aku harus meninggalkanmu ... anak cabang berada di luar negeri, dan me—”

“Aku tahu babe ... tenanglah, aku akan memberikan kabar padamu nanti apakah proses bayi tabung ini berhasil ... pergilah babe,” pinta Irene kembali dengan tersenyum manis.

Sebagai CEO dari perusahaan keluarga Kessler di mana PT. Ethereal, merupakan perusahaan multinasional yang bergerak di bidang manufaktur produsen elektronik dan peralatan rumah tangga, tentu sangat berpengaruh di kancah dunia bisnis.

Menikah dalam usia yang terbilang muda, Hendrik dan Irene menggemparkan media sosial karena status sosial mereka yang berbeda di mana Irene kala itu lulusan dari sebuah universitas berjurusan arsitektur dan lahir dari keluarga menengah, sangat jauh berbeda dengan Hendrik yang di katakan sebagai milyarder keluarga Kessler.

Tentu hal ini mendapat penolakan keras dari pihak keluarga seperti Anna, karena baginya status sosial sangat penting dibandingkan apa pun. Berniat ingin menikahkan anaknya dengan Hendrik, Anna yang mendengar kondisi Irene saat ini pun bagai mendapat kesempatan emas untuk melancarkan aksinya, yang ingin mengambil alih perusahaan.

Kepergian Hendrik keluar negeri pun dimanfaatkan oleh Anna dengan menyebarkan berita palsu akan kemunculan wanita tak dikenal yang mengaku sudah bertunangan secara diam-diam dengan Hendrik dan ialah yang seharusnya menikah dengannya.

Beberapa foto yang beredar dengan semua karangan cerita pun Anna sengaja lakukan, hingga berhasil memenuhi kepanikan dalam diri Irene tak kala berita dalam negeri akhirnya berhasil menyudutkan Irene yang kini dianggap sebagai wanita murahan perusak hubungan.

“Kenapa tidak diangkat?! Babe, angkat telephonenya!” Irene merasa kesal setelah beberapa kali mencoba menghubungi Hendrik namun masih tidak tersambung.

Irene pun pulang dari rumah sakit seorang diri dengan penuh hujatan kebencian, namun masih saja melangkahkan kakinya menuju kediaman keluarga Kessler yang tanpa ia sadari, Anna dan anaknya yang bernama Sarah, sudah menunggunya sejak tadi, dengan rencana busuk mereka.

Terkejut akan apa yang di berikan Anna padanya, Irene bagai hilang akal disaat sebuah surat perceraian pun berada tepat di hadapannya dengan tanda tangan Hendrik yang sudah berada paling jelas terlihat sebagai pihak pemohon pada pengadilan.

“Tapi ... kenapa? ... Apa salahku?” tanya Irene kebingungan dengan nada begitu lirih menatap pada lembar surat perceraian.

“Masih berani bertanya?! Kau adalah aib, kehadiranmu bagai dosa terbesar di keluarga Kessler ini! Sekarang tanda tangani surat itu, karena Hendrik saja bahkan tidak mau melihatmu hingga menyuruhku memberikan ini padamu!” ucap Anna begitu ketus, dengan wajah menyudutkan.

“APA?! Tidak mungkin ... tidak mungkin dia melakukan ini pad—”

“Masih mengelak! Dasar wanita tidak tahu diri kau ini! Apa mertuamu datang kali ini untuk mendukungmu? Tidak ada bukan?! Lalu, bagaimana mungkin Hendrik ingin bersamamu jika kedua orang tuanya saja sudah tidak ingin melihatmu!”  Anna kembali berprilaku tidak sopan dengan menunjukkan jarinya, tepat mengenai kepala Irene beberapa kali.

“Hey Irene, kau tidak hamil bukan? Jadi dalam hal ini, kau tidak dirugikan sama sekali. Begini saja, aku tahu kau juga memikirkan nama baik keluargamu yang saat ini diserang oleh awak media, jadi bagaimana jika aku memberikan persyaratan?” ucap Sarah yang akhirnya ikut berbicara.

“Apa maksudmu?!” balas Irene dengan ketus.

“Kau pergi dari kediaman ini dengan tidak meninggalkan jejak apa pun! Lalu aku dan Ibu akan membereskan awak media serta nama baikmu dan juga keluargamu ... kudengar restaurant milik kakakmu saat ini terpaksa ditutup,” ucap Sarah dengan senyum menyeringai penuh hina.

“Kau ... mengancamku?!” balas Irene kembali dengan ketusnya pada Sarah.

“Ayolah Irene, restaurant itu satu-satunya pendapatan keluargamu bukan? Bisa kau bayangkan jika itu tutup selamanya?!” Anna tiba-tiba menyela pembicaraan.

“Lagi pula Hendrik sudah tidak menginginkanmu, kau tidak lihat di foto itu ia terlihat bahagia? Dia juga tidak bisa di hubungi kan? Jika tidak ingin di ganggu olehmu, apa lagi coba?!” lanjut Anna dengan tersenyum bersama Sarah.

Bagai suatu bencana buruk, disaat kabar bahagia menghampiri. Kehadiran buah hati yang begitu di nantikan hancur dalam sekejap dengan datangnya lembar perceraian. Berjalan keluar dengan menatap pantulan diri pada kaca jendela, bisakah diri ini melupakan luka hati yang begitu menyakitkan?

Kenangan 2

Banyak keluhan dan juga rasa bahagia, tanggung jawab yang hadir atas lahirnya sang buah hati pun terlepas dari begitu diinginkan atau tanpa terduga. Namun bagi jiwa yang begitu menantikan kehadirannya, tentu itu semua bagai rasa syukur dan bahagia yang tak bisa terbendung.

Kelahiran buah hati di saat detik berakhirnya pernikahan pun bagai mimpi buruk bagi Irene, karena harus berjuang seorang diri sebagai orang tua tunggal. Tak kala membuatnya mengambil keputusan untuk melarikan diri bersama keluarganya pada sebuah kota yang indah.

Dallas, adalah kota pilihan Irene pertama kali di saat harus meninggalkan kota Houston, hanya agar terlepas dari pengaruh keluarga Kessler agar dapat memulai hidup yang jauh lebih baik. Kenangan menyedihkan berhasil membuat lubang besar penuh luka, bukan hanya untuknya namun juga untuk keluarga besarnya.

Sang kakak yang bernama Collin pun menyusun sebuah rencana untuk sengaja menutupi berkas tentang kelahiran anak Irene yang terlahir di rumah, di mana anak kembar terlahir namun keduanya sungguh berbeda atau biasa di kenal dengan kembar Fraternal.

Dengan membuka restaurant milik keluarga yang baru di Dallas, keluarga Irene pun memilih untuk tinggal di satu atap yang sama dengan Colie sang kakak ipar, dan nenek Emma yang begitu dicintai Irene karena berperan menggantikan sosok kedua orang tuanya ketika mengalami kecelakaan berujung maut tak bernyawa.

“XANDER! XAVIA! Apa yang harus Mommy lakukan pada kalian berdua?! KEMARI!” teriak Irene begitu keras dari lantai bawah karena tidak berhasil mengejar kedua anaknya.

“Yess Mommy, jangan marah Mommy ...,” ucap Xavia dengan nada manjanya, memberikan tatapan malaikat seperti biasanya agar tidak di marahi, dengan Xander yang mengerutkan alisnya.

“Katakan, siapa di antara kalian yang melakukan ini?” tanya Irene memperlihatkan hasil masakannya yang kini dipenuhi tepung terigu dan dua ekor ulat bulu berwarna putih di atasnya.

“Mom bilang mau bikin salju di atasnya bukan? Xavia mau membantu Mommy,” ucap polos anak berusia 4 tahun itu.

“Bukan tepung sayang, tapi gula putih halus yang— lupakan! Lalu, kau jagoan ... apa ulat bulu ini hasil kreativitasmu? Dengan apa kau membawanya? Tanganmu?”

“No Mommy ... Xander melihat ada penjepit panjang dari kayu di ruangan tengah,” balas Xander begitu singkat dengan wajahnya yang datar, menunjuk kearah meja makan.

“Tunggu, pen-penjepit kayu? Maksudmu sumpit? Xander, apa penjepit kayu itu kau taruh di—” Irene seketika menatap pada ruangan makan di mana nenek Emma sudang menggunakan sumpit kayu tersebut untuk memakan dimsum, yang sudah digunakan Xavier untuk mengambil ulat bulu.

Tak dapat lagi berkata, Irene hanya mampu menelan salivanya seolah membayangkan bagaimana jika ia memberitahu bahwa sumpit yang digunakan nenek Emma saat ini telah anaknya gunakan untuk mengambil ulat bulu yang akan menjadi objek sains kesukaannya.

Kehadiran kembar Fraternal benar-benar luar biasa bagi Irene sebagai orang tua tunggal. Menginjak usia mereka yang kini berjalan mendekati lima tahun, raut wajah dan sifat kedua anaknya begitu sangat berbeda namun memiliki keunikan masing-masing.

Xavia begitu mirip dengan Irene bahkan dari sikap dan cara bicaranya pun sama, begitu menyukai seni gambar. Tidak lepas dari Xander yang lebih mirip dengan Hendrik, jiwa kepemimpinan begitu terlihat dalam dirinya tak kala menginginkan sesuatu dengan ide yang cemerlang.

(BRAAKK) Suara pintu halaman belakang yang tertutup.

“Jangan bilang Xander mendapatkan ulat bulu itu darimu Kak,” Irene menyempitkan matanya seraya menyudutkan sang Kakak yang baru dari halaman pekarangan belakang rumah.

“Keponakanku bilang dia ingin melihat sendiri proses metamorfosis, tentu aku harus mendukung kepintarannya,” balas Collin saat berjalan masuk ke dapur dengan senyuman jahil.

“Aaah, Sist hampir lupa ... apa proyek itu jadi kau ambil?” lanjut Collin bertanya sembari memakan sebuah apel.

“Entahlah Kak, aku baru 2 bulan kembali bekerja meski desainku memang mereka pilih, tapi ... aku masih ragu untuk memulai kembali, mengingat sudah lama tidak merancang desain dan beker—”

“Kau arsitek terbaik, ingat itu! Lagi pula kembar sudah besar, aku dan Colie bisa bergantian mengantar jemput mereka. Sekolah TK tidak terlalu ketat, kurang apa lagi?! Hey, dengar perkataan Kakak, ambil proyek itu dan kejarlah impianmu.”

Mendengar perkataan sang Kakak, akhirnya timbul keberanian dalam diri Irene saat ini. Berbagai pertimbangan akan pekerjaannya dalam perancang bangunan, terlibat dalam perencanaan, atau bahkan mengawasi konstruksi bangunan, tentu akan bergitu menyita waktunya.

Irene yang menyadari akan perannya untuk memandu keputusan yang memengaruhi aspek bangunan dalam sisi estetika, budaya, atau masalah sosial, menjadi tantangan sendiri tak kala saat menikah dulu, Hendrik begitu memanjakannya hingga ia tidak perlu bekerja keras.

“Jika begitu ... Kak, siang ini ada tanda tangan kontrak persetujuan kerja sama, bolehkah aku menitipkan mereka padamu dan kakak ipar? Karena sepertinya akan sampai malam,” tanya Irene sedikit memainkan jemari tangan.

“Pergilah ... tenang jangan khawatirkan apa pun, usia kandungan Colie juga masih muda jadi dia masih dapat bergerak bebas. Kembar pun begitu menyayanginya bukan?” balas Collin tersenyum.

Irene menundukkan kepala seraya setuju dan dengan secepat kilat berlari menuju lantai atas untuk berganti pakaian untuk menyiapkan segala hal yang perlu dibawa untuk menjelaskan kembali kepada klien pemegang tender, tentang konsep rancangan bangunannya yang lulus seleksi.

Tidak memiliki banyak waktu tersisa, Irene memilih menggunakan jasa motor online agar dapat sampai kantor tepat waktu mengingat kepadatan kota pada tengah hari mendekati istirahat siang. Berlari secepatnya menuju ruangan meeting, Irene datang tepat waktu sesaat sebelum pihak investor utama datang untuk mendengar penjelasannya.

“Irene, akhirnya ... aku pikir kau mengundurkan diri, syukurlah kau datang,” ucap Giselle sahabat Irene sekaligus manager perusahaan.

“Maaf, kau tahu kondisiku bukan? Kedua anakku benar-benar luar biasa,” sahut Irene dengan senyuman jahilnya.

“Kau sudah menyiapkan semuanya? Kudengar klien kita ini terkenal sulit dihadapi, sudah membaca email yang kukirimkan padamu lagi?” Giselle mencoba untuk memastikan, akan sebuah emali yang terlambat dikirimkan.

“Semua klien sama saja bagiku. Jika mereka menyukai desain buatanku setelah mendengar permintaan mereka, tentu aku sangat bersyukur ... kalau gagal, aku tidak ingin mengambil pusing,” balas Irene penuh percaya diri, hingga membuat Giselle tersenyum kagum karenanya.

Terdengar percakapan orang-orang yang ramai dari luar seolah saling menyapa, tentu bagi Irene menemui rekan bisnis dengan penampilan formal dan berkelas akan terlihat biasa saja mengingat cara hidupnya dulu ketika saat masih menjadi istri Hendrik, bagian dari keluarga Kessler.

Dari balik dinding kaca, Irene menyembunyikan detak jantungnya yang berdetak kencang seolah siap berlari meninggalkan raganya. Kegugupan pada tangannya yang dingin dan bergetar pun terpaksa terhenti tak kala harus memperkenalkan diri pada investor utama tersebut. Hingga ternyata,

“Perkenalkan dia adalah Irene Farmer, arsitek yang mendesain rancangan bangunan yang anda sukai, Irene perkenalkan dirimu,” ucap Giselle sembari mengarahkan tangannya pada Irene.

“Sa-saya Irene Fa-Farmer ... senang bertemu dengan anda,” ucap Irene terkejut namun mencoba profesional.

Tatapan pria itu pun sama seperti Irene saat ini, begitu menjurus bagai tercengang menghadapi kenyataan yang begitu tak terduga. Irene seketika menundukkan kepalanya seraya menyalahkan diri sendiri karena tidak membaca email kedua dari proyek klien yang sempat dikirimkan oleh Giselle semalam.

Bagaimana bisa aku seperti ini?! Apa proyek itu diberikan oleh perusahaan keluarga Kessler? Aarrgghh, Irene! Kenapa kau bodoh sekali?! Apa dia akan menganggapku sengaja mengambil proyek ini?! Gumam Irene dalam hati, yang kini terlihat begitu gugup dan serba salah.

“Senang bertemu denganmu, silahkan berikan penjelasan lebih detail padaku tentang desain proyek pembangunan ini karena aku tidak ingin membuang waktu,” balas Hendrik begitu dingin, langsung terduduk pada sebuah kursi yang sengaja melewati Irene begitu saja.

Irene terhentak dengan langsung mengambil semua file atau lembar kertas yang sudah dikerjakannya, mencoba untuk bersikap profesional dengan menjelaskan sangat baik dan terencana, Irene berusaha memalingkan pandangan dingin Hendrik padanya seolah begitu menusuknya.

“Baiklah, berapa lama perkiraan persiapannya? Aku ingin estimasi yang akurat, agar anggaran yang dikeluarkan tepat sasaran dan proyek berjalan lancar sesuai waktu,” Hendrik kembali berperan layaknya CEO perusahaan besar yang tegas.

“Tidak lebih dari seminggu karena perizinan sudah selesai, pihak jasa konstruksi pun sudah siap, hanya tinggal persetujuan dana cadangan pembangunan saja dari anda, Pak Hendrik,” balas Irene menatap kebawah, tak mampu menadahkan tegas kepalanya keatas untuk menatap lawan bicara.

Hendrik dengan segera menandatangani kontrak kerja dan dengan begini Irene pun terikat kontrak pekerjaan dengannya, walau dalam hati ingin sekali ia meminta Hendrik untuk membatalkannya dan meminta arsitek lain yang mengambil alih proyek ini.

Bisnis keluarga Kessler yang semakin melebarkan sayapnya, tentu mudah jika hanya mengeluarkan anggaran dana atau membereskan semua masalah dalam waktu singkat. Irene pun akhirnya hanya dapat tertunduk lemas, menyadari kesalahannya saat pertama kali bekerja.

...***...

“Haruskah aku datang? Ini sudah malam, Giselle jika aku ikut jamuan makan malam, kembar akan mencariku ... bisakah kau mencari alasan agar aku tidak ikut?” pinta Irene dengan begitu memohon pada Giselle yang akhirnya mengerti akan kondisi sahabatnya itu.

Tentu sebagai aktor utama dalam proyek pembangunan, ketidakhadiran Irene dalam jamuan makan malam sebagai pengikatan kerja sama pun sedikit menyinggung Hendrik, hingga membuatnya meninggalkan tempat jamuan lebih cepat, meski hanya sekedar meminum segelas wine untuk menghormati mereka yang sudah menyiapkan.

Menunggu di lobby pintu keluar, Hendrik begitu terkejut dengan apa yang dilihatnya saat ini. Kehadiran Collin dan Colie saat mengendarai sebuah mobil untuk menjemput Irene, membuatnya terhentak tak kala Irene memeluk penuh kasih sayang dengan ribuan ciuman rindu pada dua anak tersebut.

Hendrik membeku mencoba menyadarkan dirinya bahwa pemandangan yang ia lihat saat ini adalah benar. Kedua anak yang terlihat seusia namun begitu berbeda satu sama lain, entah mengapa membuat hati Hendrik merasa tertusuk atas suatu alasan yang tidak ia mengerti.

“Kedua anak itu ... Irene, apakah mereka adalah anakmu?”

Kenangan 3

“Kedua anak itu ... Irene, apakah mereka adalah anakmu?”

Bagai salju membeku dengan angin badai. Berdiri pada puncak batu karang yang terhempas terikut hujaman air laut pada lepas pantai karam, begitu terkejut tak kala menatap pada kedua mata itu, terlihat begitu menahan perasaan dengan sisa luka lama yang kembali terbuka lebar.

Tidak perlu berpura-pura merasa khawatir untuk pengorbanan yang kulakukan! Rasa sakit ini kuubah menjadi perjuangan untuk bertahan hidup, meski kehadiranku tidak diinginkan! Gumam kesal Irene dalam hatinya saat memalingkan pandangan dari Hendrik yang menatap begitu serius.

“Untuk apa menanyakan hal yang tidak masuk akal? Tentu mereka anakku! Apa ada masalah?” balas Irene dengan langsung berdiri tegap dan menarik kedua kembar ke belakang tubuhnya.

“Si-siapa ayah dari kedua anak itu? Apa mereka adalah an—”

“Hendrik? Kau ada di sini?” tanya Collin sengaja menyanggah perkataannya, melihat sang adik yang tersudutkan.

“Aku, ada urusan bisnis yang harus dilakukan ... maafkan aku tidak menyapa, aku tidak tahu kalian berada di kota ini, sungguh,” balas Hendrik seraya menyapa Collin layaknya pelukan seorang sahabat lama yang kembali bertemu.

Irene seketika memalingkan wajahnya karena memang sang Kakak adalah sahabat Hendrik saat mereka duduk dibangku perkuliahan. Bahkan di saat berita yang tersebar dengan Hendrik yang memberikan kertas perceraian pada Irene, Collin adalah orang pertama yang menyanggahnya karena begitu mengenal sifat Hendrik yang tidak mungkin melakukan hal seperti itu.

Saling tegur menyapa, tatapan Hendrik tidak terlepas dari Irene yang memeluk erat kedua anaknya. Merasa kehadirannya tidak diperlukan lagi, Irene berjalan bergandengan tangan membawa kedua anaknya untuk masuk ke dalam mobil.

“Tunggu Irene, tunggu ... jawab aku, siapa ayah dari kedua anak ini?!” Hendrik menarik tangan Irene begitu saja, agar dapat menatap dan berbicara dengan tegas kepadanya.

“Apa perdulimu mereka anak siapa?! Kenapa? Apa kau pikir mereka anakmu?!” jawab Irene dengan begitu ketus saat kembar sudah masuk kedalam mobil.

“Aku tidak bermak— lupakan! Aku hanya ingin memastikan, apakah mereka adalah an—”

“Bukan. Mereka bukan anakmu!”

Malam terasa sunyi dengan ramainya jalur lalu lintas ibu kota pada malam hari ini. Namun bagi mereka, bagai berada dalam sebuah ruang hampa, tatapan serta raut wajah Irene membuat Hendrik hanya dapat berdiri kembali diam membeku dan memandang Irene penuh tak percaya.

Genggaman tangan Hendrik pun terlepas membiarkan Irene memalingkan diri dan berjalan masuk kedalam mobil begitu saja. Tak kuasa akan kejutan yang hadir dalam satu hari yang sama semenjak kedatangannya ke Dallas untuk melakukan bisnis, Hendrik benar-benar bagai hilang akal saat ini.

Tak ingin mencari masalah dan turut campur dalam urusan rumah tangga mereka, Collin hanya dapat menepuk pundak Hendrik pelan seraya berjalan masuk kedalam mobil dan mengendarai mobilnya pulang ke rumahnya.

“Kau, tidak apa-apa? Kejutan hari ini benar-benar tidak terduga,” tanya Bastian, assisten pribadi serta manager kepercayaan Hendrik. Mengamati dari kejauhan, Bastian cukup mengerti keadaan yang terjadi saat ini.

“Menurutmu, kedua anak itu adalah anakku?” tanya Hendrik dengan nada lirih.

“Aku tahu kau penasaran, tapi mantan istrimu berkata mereka bukanlah anakmu,” balas Bastian dengan tegas seperti biasanya.

“Tidak, tidak ... usia kedua anak itu sepertinya masih kecil, dengan jarak perceraian kami, apa menurutmu Irene cukup waktu menjalin hubungan dengan pria lain? Kau juga tahu Irene wanita seperti apa, bukan?” balas Hendrik dengan begitu serius berkata pada Bastian.

“Lalu kau mau apa? Menyelidiki mereka? Aku tidak keberatan, tapi apa kau tahu? KARENA MENEMANIMU, AKU PUTUS DENGAN PACARKU!” Bastian menarik jas Hendrik, menatap dengan mata berkaca-kaca menahan tangisnya karena tahu kebiasaan Hendrik yang keras kepala.

“Ka-kau putus? Sungguh? Kenapa?” tanya Hendrik dengan polos.

Bastian melangkah kesal meninggalkan Hendrik begitu saja yang saat ini terlihat kebingungan akan sikapnya. Semenjak bercerai dari Irene dahulu, Hendrik bagai bulldozer kejam menghabiskan seluruh waktunya untuk bekerja bagai lupa dengan sekitarnya.

Tentu bagi Bastian yang masih melajang, hal ini sangat mempengaruhi kehidupan percintaannya karena selalu gagal dan gagal, namun kepekaan Hendrik benar-benar diambang batas pemahamannya.

“Jadi mau kemana sekarang? Apa kau yakin ingin menyelidikinya?” tanya Bastian pada Hendrik begitu sampai di dalam mobil, melaju menuju hotel penginapan mereka.

“Ya, tapi bawa aku ketempat biasa. Ada orang yang harus aku temui disana,” balas Hendrik sembari memeriksa layar handphonenya.

Bastian kembali melaju cepat memutar arah menuju sebuah bar di tengah kota. Hendrik ternyata memiliki kenalan yang bisa membantunya menyelidiki Irene dan kembali berbicara serius. Jujur bagi Bastian yang juga berhutang permintaan maaf pada Irene kala itu, tindakan Hendrik kali ini sangat ia dukung sepenuh hatinya, di tengah pekerjaan yang menumpuk.

***

“Mommy, you look sad ... don’t cry Mommy,” ucap Xavia lembut dengan mengusap lembut air mata Irene yang tanpa sengaja menitik.

“Ren, jika Kakak boleh memberikan pendapat, bagaimana jika kau mem—”

“Jangan sekarang Kak, kita bicarakan begitu sampai di rumah.”

Tatapan Irene kini menjurus pada Xander tak kala tangan satunya memeluk Xavia. Tatapan Xander begitu serius seolah terlihat kemarahan dalam tatapannya saat ini. Irene seketika tersenyum dan memeluk Xander karena tahu akan sifat Xander yang begitu menjaganya.

Xavia dan Xander memang sangat berbeda meski mereka kembar dan meski baru mau menginjak usia lima tahun. Xander selalu bersikap layaknya orang dewasa karena merasa perlu melindungi ibunya yang berjuang seorang diri untuknya serta adiknya, Xavia.

Melihat itu tentu membuat Irene merasa sedih karena anak seusianya seharusnya tidak perlu berprilaku seperti ini dan menikmati waktunya dengan bermain, tapi Xander benar-benar terlarut dalam perasaannya dengan pikiran polos yang membuat siapa pun pasti jatuh hati padanya.

Sesampainya di rumah percakapan pun terjadi dengan Irene yang menidurkan kedua kembar terlebih dahulu. Terduduk bagai berada di ruang sidang, Irene hanya berkali-kali menghembuskan nafas panjang seolah dirinya pun bingung menghadapi kejadian yang tak terduga.

“Nak, apa yang akan kau lakukan dengan Hendrik yang akhirnya mengetahui keberadaanmu, bahkan ia pun melihat kembar, bukan begitu?” tanya Nenek Emma dengan raut wajah menenangkan mencoba agar Irene tidak terlalu tertekan.

“Nek, Irene pun ... tidak tahu. Tapi, satu hal  yang pasti yaitu Irene tidak akan memberitahu padanya bahwa kembar adalah anaknya!” sahut Irene dengan gugup namun cukup tegas.

“Sist ... biar bagaimana pun Hendrik adalah ayah kandung mereka. Darah Hendrik ada di dalam tubuh mereka, baik kau suka atau tidak! Aku takut jika kau me—”

“Tak apa Kak, biar Irena yang menanggung semua ini. Sejak awal memang harus Irenelah yang bertanggung jawab bukan?” balas Irene tersenyum lirih.

Terdiam tak dapat lagi membalas perkataan Irene, mereka pun hanya dapat pasrah akan keputusan yang Irene ambil, meski dalam hati mereka ada rasa penolakan namun juga penerimaan. Dan bagi Irene sendiri, kehadiran Hendrik saat ini tidak lain hanya sebagai investor utama dalam proyek kerjanya dan tidak memiliki arti lainnya.

Keesokan harinya Irene datang ke kantor seperti biasa dengan Hendrik yang kembali hadir untuk bertemu dan membahas kembali dengan perwakilan dari pihak jasa konstruksi. Pembicaraan pun berlangsung normal dan profesional, di mana Irene dapat menjelaskan dengan sangat baik hingga pekerjaan berjalan lancar.

Di tengah itu, kejadian tak terduga kembali hadir tak kala CEO dari perusahaan tempat Irene bekerja bernama Luke, kembali selepas melakukan perjalanan bisnis. Ia pun langsung menyapa dan berdiskusi dengan Hendrik layaknya sesama CEO perusahaan besar yang mempuni.

Pada jam istirahat siang, Luke terlihat menghampiri ruangan Irene dan dengan tanpa malu memeluk dan mengecup pipi Irene bagai sepasang kekasih dihadapan semua orang. Irene yang terlihat terkejut langsung menjaga jarak dan mencoba untuk mengatur pandangannya dari Luke.

Jelas terlihat penolakan yang dilakukan Irene saat ini pada Luke karena merasa tidak nyaman atas tindakan Luke yang dianggap tidak sopan. Hendrik begitu memperhatikan mereka dari jauh dan mencoba untuk memastikan bahwa apa yang di pikirannya saat ini adalah benar.

“Jika berkenan, bagaimana jika kita makan malam bersama?” tanya Hendrik secara tiba-tiba saat memasuki ruangan tengah kantor.

“Tentu, tentu ... kebetulan aku sudah menyiapkan tempat untukku dan Irene untuk makan malam, bergabunglah dengan kami,” balas Luke dengan tersenyum bangga dan berlalu pergi meninggalkan ruangan, diikuti Irene dan Giselle dibelakangnya.

Hendrik membalas senyuman itu dengan berjalan mengikuti mereka semua dari belakang. Terlihat Irene sangat tidak nyaman dengan merangkulkan tangannya pada Giselle yang juga terlihat melindunginya. Tatapan Hendrik sedikit pun tidak terlepas dari Irene saat ini.

“Kau ... adalah kekasihnya?” tanya Hendrik pada Irene, sesaat sebelum masuk kedalam mobil.

“Apa urusanmu?! Pak Hendrik, sebaiknya anda menjaga sikap. Kita adalah rekan kerja, jadi jangan sampai melewati batas satu sama lain,” balas Irene begitu ketus, saat berjalan masuk kedalam mobil Luke.

Hendrik terdiam seketika dengan hanya membiarkan Irene melaju bersama Luke menggunakan mobilnya. Hendrik menatap serius hingga tanpa sadar Bastian pun sudah menunggunya di dalam mobil dan ia pun mengikuti arahan mobil Luke yang berkendara di depannya.

“Jadi ... dia adalah kekasih Luke?” tanya Bastian sembari mengemudikan mobil.

“Irene tidak menjawab, juga tidak menolaknya. Tapi jika melihat dari reaksinya, sepertinya Irene tidak memiliki perasaan pada Luke,” jelas Hendrik sembari menatap kearah luar jendela.

“Jadi, apa yang akan kau lakukan sekarang?” balas Bastian kembali bertanya.

Pertanyaan yang menyisakan jawaban yang membingungkan. Tak kala hati merasa ragu dengan penolakan yang dilakukan, kesempatan seperti apa yang akan hadir dalam kisah ini jika terus dilanjutkan?

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!