NovelToon NovelToon

Liku Cinta Cincin Wasiat

001 - Pernyataan Cinta Yang Ditolak

Viona mematut diri di depan cermin. Gadis itu memastikan bahwa rambutnya yang dikuncir kuda terikat dengan baik sambil merapikan poni di batas alisnya tertata rapi. Pelan-pelan ia memulaskan perona bibir yang memberikan efek warna jingga merona. Sesekali ia melirik ke arah jam digital yang terpampang pada monitor komputernya.

Kelas terakhir sudah hampir selesai, itu berarti ia harus siap-siap membereskan meja kerjanya. Viona bekerja sebagai pegawai administrasi di sebuah lembaga kursus, pekerjaan yang dilakoninya selama lima tahun terakhir.

Lima menit kemudian, beberapa siswa dari kelas kursus bahasa inggris sudah menyelesaikan kursus mereka.

Jantung Viona berdebar makin kencang tatkala seorang pria menghampiri meja kerjanya. Pria berparas tampan dengan senyum yang begitu murah itu menyodorkan tas laptop berwarna hitam dan setumpuk kertas lembar kerja siswa kursus.

Viona menyambutnya dengan senang, kertas lembar kerja siswa merupakan lembar jawaban kuis yang harus dikoreksi Viona untuk membantu pria itu. Maklum, pria itu hanyalah seorang instruktur paruh waktu yang mengajar kelas bahasa inggris.

Pria yang sudah mengajar selama satu tahun dan sekaligus menjadi idola Viona selama satu tahun terakhir ini. Tidak hanya Viona, hampir semua peserta kursus bahasa Inggris mengidolakan pria itu.

"Jadi, apa yang mau Anda bicarakan, Mbak Vio?"

Pria itu mengingat bahwa Viona memang mengajaknya untuk bicara begitu kelas berakhir.

Viona menarik napasnya, lalu berusaha tersenyum selebar mungkin yang justru terlihat seperti seringaian Joker.

"Bisa kita bicara di tempat lain, Mas Alan?" tanya Viona dengan suara bergetar.

"Oh begitu, oke," sahutnya.

"Sebentar saya beres-beres dulu ya, Mas," Viona memohon.

"Saya tunggu di luar."

Viona masih menyeringai, keringat dingin mengucur deras dari segala penjuru pori-porinya. Tangannya bergerak tak terkendali, hingga ia begitu sulit hanya untuk mengarahkan kursor pada menu shut down.

Tenang, Vio! Tenang! Kau harus percaya diri!

Berkali-kali ia menyemangati dirinya. Hari ini ia harus sukses menyatakan perasaannya pada Mas Alan, mumpung bosnya sedang berada di luar kota sehingga tidak akan meminta Viona untuk mengerjakan pekerjaan tambahan lain.

Viona mengunci pintu ruko dua lantai setelah memadamkan semua lampu.

Mas Alan, pria yang begitu sopan dan ramah nampak sedang berkutat di depan gawai cerdasnya.

"Mas, maaf menunggu lama ya," kata Viona masih penuh dengan rasa grogi.

"Hmm, tidak masalah," ucapnya.

Viona mengulas kembali seringaiannya. Pria yang dipanggilnya Mas Alan itu merupakan teman dari bosnya. Pria yang diminta secara khusus untuk membantu bosnya menjadi instruktur kelas bahasa inggris.

"Mas Alan, ada waktu untuk nongkrong sebentar?" tanya Viona.

"Memangnya apa yang mau dibahas? Apa Mbak Viona keberatan karena saya meminta Mbak untuk mengoreksi semua jawaban kuis siswa?" Alan balik bertanya.

"Bu-bukan, Mas! Ini bukan masalah pekerjaan!" jawab Viona tergagap.

Pria bertubuh tinggi dan tegap itu menghela napas lega.

"Maaf ya, saya memang suka memberi kuis untuk mengetahui tingkat pemahaman para siswa terhadap materi yang sudah saya sampaikan," kata Alan dengan nada tegas.

Viona benar-benar makin terpesona dengan Alan. Tampan, ramah, sopan, dan penuh dengan ketegasan. Sungguh pria yang sempurna sebagai pacar bahkan suami.

"Sungguh, Mas, bukan masalah pekerjaan," kata Viona.

"Lantas apa?" tanya Alan.

Viona mengumpulkan semua keberaniannya. Semua kata-kata sudah tersusun dengan baik. Untaian kata yang dirangkainya sejak pertemuan pertama mereka. Pria tampan yang langsung membuat wanita mana pun seketika jatuh cinta pada pandangan pertama.

Meski awalnya Viona harus bergulat dengan segenap keraguan saat harus mengutarakan perasaannya. Rasa ragu muncul lantaran ia masih merasakan trauma begitu dalam ketika mengutarakan perasaannya yang kala itu ditolak mentah-mentah oleh seseorang di masa lalu. Hal itu kini masih memengaruhinya.

Dulu aku masih bocah ingusan, wajar saja jika mendapat penolakan! Yang menolakku saat itu juga hanyalah bocah ingusan! Viona membatin.

Melihat pria itu masih menunggu dengan sabar, akhirnya setelah menarik napas berkali-kali sambil memegangi jemarinya yang bergetar, Viona mulai berbicara.

"Mas Alan, sebenarnya saya mau mengatakan ini sudah dari jauh-jauh hari. Maksud saya, sudah lama sekali saya memendamnya sampai-sampai saya merasa sesak sendiri," ucap Viona.

"Sebenarnya saya sangat menyukai Mas Alan."

Viona berusaha menahan dirinya untuk tidak berlari, wajahnya memanas dengan tubuh gemetaran terlebih saat melihat senyum pria itu masih melengkung sempurna di wajah tampannya.

"Saya sudah menyukai Mas Alan sejak pertama kali kita bertemu," lanjut Viona.

"Mas Alan orangnya baik dan sopan, jadi sungguh wajar saya langsung menyukai Mas,"   Viona berucap sambil mengamati ekspresi pria itu.

"Jadi, bagaimana Mas Alan?" tanya Viona.

Kumohon jawab! Jawab dengan jawaban yang ingin kudengar! Viona membatin secara brutal.

Viona sudah mencari tahu lebih dulu, mengorek informasi tentang Alan dari bosnya. Alan tidak terindikasi memiliki pasangan. Hal itu nampak jelas karena pria itu bisa mengajar kursus bahasa Inggris di akhir pekan. Orang yang sudah memiliki pasangan tentu tidak mau akhir pekannya terganggu.

"Jadi, bagaimana Mas? Apa Mas bersedia menerima perasaan saya?" tanya Viona.

"Mbak Viona, saya sungguh tersanjung dengan apa yang Anda rasakan terhadap saya," ucap pria itu.

"Tapi maaf saya belum bisa membalasnya," lanjutnya.

Viona merasakan kakinya mulai goyah begitu mendengar penolakan yang meluncur dari bibir pria itu. 

"Ma-Mas Alan sebenarnya su-sudah punya pacar ya?" Viona tergagap.

Pria itu menggeleng pelan.

"A-apa karena saya bukan tipe Mas?" tanya Viona.

"Saya belum memikirkan untuk memiliki hubungan spesial dengan seseorang karena saat ini saya masih terfokus untuk melakukan apa yang ingin saya lakukan," jawab Alan dengan tegas.

"Saya tentu tidak ingin membuat kekasih saya kecewa lantaran saya terlalu fokus untuk meraih apa yang ingin saya raih. Oleh sebab itulah, saya lebih memilih untuk sendiri daripada harus mengecewakan orang lain."

"Oh, begitu, sungguh pemikiran yang luar biasa sekali," Viona tersenyum kecut.

"Saya harap, Mbak Viona mengerti hal itu," lanjutnya.

"I-iya, saya paham," ucap Viona.

"Apa ada hal lain yang ingin Mbak Viona sampaikan lagi?" tanya Alan.

Viona menggeleng cepat.

"Terima kasih, Mas Alan, kalau begitu saya pamit duluan," ucap Viona.

"Mau saya antar?" tanya Alan.

Viona menggeleng, perlahan ia melangkah mundur.

"Sampai ketemu lagi, Mas Alan."

Viona berbalik dan mempercepat langkah. Mendapat penolakan saat menyampaikan perasaan jelas bukan hal yang diinginkannya.

Viona memandangi cincin yang melingkar di jari tengahnya. Cincin yang dulunya diberikan kepada mendiang neneknya, lalu diwariskan kepada Viona.

"Cincin ini akan membawamu bertemu dengan jodohmu."

Begitulah pesan nenek saat memberikan cincin itu pada Viona.

"Huff!" Viona meniup poninya.

"Apa nenek berbohong ya?" tanya Viona dalam kegusaran yang berputar-putar di benaknya.

...*****...

002 - Wasiat Kakek

Seorang pria nampak berjalan tergesa-gesa saat memasuki sebuah ruangan tempat orang-orang sudah berkumpul.

Mata-mata tajam langsung terhujam ke arahnya. Pria itu hanya melemparkan seringaian sambil menghempaskan bokong di atas sofa.

Ia terlihat begitu santai saat menghadapi situasi di mana semua orang hanya berdiam diri, tenggelam dalam atmosfer yang begitu menegangkan.

"Maaf, aku datang terlambat, aku ketiduran," ujarnya santai ke arah seorang pria yang duduk di sampingnya.

"Jangan meminta maaf padaku," pria di sampingnya menyahut dingin.

"Haha! Aran! Kita sudah lama tidak bertemu dan kau masih belum mencair juga!" pria itu tertawa sambil berusaha menyikut lengan pria di sampingnya.

Pria yang dipanggil Aran langsung menghindar sambil melemparkan tatapan tajam.

"Arun, apa kau pikir sekarang adalah waktu yang tepat untuk bercanda?" sergah Aran.

Pria yang dipanggil Arun itu masih tetap menyeringai dan bersikap santai.

"Halo, Paman, Bibi," Arun menyapa keluarganya, sengaja mengabaikan Aran.

Trias dan Reni tidak menanggapi sapaan Arun. Keduanya bahkan terlihat berpura-pura tidak melihat pria itu.

"Sepertinya seluruh anggota keluarga Pak Sutopo sudah lengkap."

Hadian, pengacara dari pihak Pak Sutopo langsung menyita perhatian semua orang.

"Saya akan membacakan surat wasiat yang disampaikan oleh Pak Sutopo mengenai pembagian harta warisan beliau," kata Hadian.

"Oh, kakek sudah meninggal ya? Kapan?" tanya Arun.

Lagi-lagi semua mata tertuju pada Arun.

"Ehem," Aran berdeham. "Arun, kakek belum meninggal."

"Arun, kau itu sungguh cucu durhaka! Bisa-bisanya mengatai ayahku sudah meninggal!" Trias menghardik.

"Trias!" sergah Reni.

Trias mendengus keras, Reni menepuk-nepuk paha suaminya sambil melayangkan tatapan penuh kemarahan.

"Baiklah, akan saya lanjutkan kembali," kata Hadian.

Pengacara berusia hampir lima puluh tahun itu kembali membacakan secarik kertas yang ditulis langsung oleh kliennya.

"Pak Sutopo mewariskan sepenuhnya harta warisan beliau kepada cucunya," lanjut Hadian.

"Apa?! Cucu?!" Reni berteriak penuh kemurkaan.

"Pak Hadian! Apa tidak salah? Mengapa semua harta warisan ayah mertuaku harus jatuh kepada cucunya?"

Reni melayangkan tatapan penuh kemarahan ke arah Aran dan Arun.

"Lantas, bagaimana dengan suamiku yang notabene adalah anak Pak Sutopo? Apa suamiku sungguh tidak dianggap?"

Reni mencecar Hadian dengan begitu banyak pertanyaan.

"Apa yang dikatakan istriku benar! Mengapa harta warisan ayahku harus jatuh ke tangan bocah-bocah itu?" sergah Trias.

"Huh! Bocah-bocah? Paman, Bibi, usiaku sudah tiga puluhan, apa masih pantas disebut sebagai bocah?" Arun tertawa sinis.

"Kau...!" Trias menahan emosinya.

Arun, keponakannya itu memang kerap menyulut emosinya bahkan sejak masih kecil.

"Cucunya? Bukan para cucu?" Aran bertanya.

Hadian sangat paham bahwa Aran adalah orang yang memiliki pemikiran kritis.

"Ya, Pak Sutopo hanya akan mewariskan seluruh harta warisan beliau kepada salah seorang cucunya," jawab Hadian.

"Omong kosong apalagi ini!" Trias kembali memotong.

"Pak Hadian! Anda jangan bicara omong kosong, atau aku akan meminta pengacaraku untuk menuntut Anda!" sembur Reni penuh kemurkaan.

"Paman, Bibi, tolong jangan memperkeruh keadaan!" Aran menyela.

"Tutup mulutmu! Dan jangan memerintahku!" sembur Trias.

"Pak Trias, Bu Reni, saya mohon maaf, kapasitas saya di sini hanya untuk menyampaikan wasiat dari Pak Sutopo sebelum beliau meninggal," Hadian membela diri.

"Hmm, yah, memang sungguh khas dari kakek yang sangat terobsesi pada keadilan," Arun menanggapi dengan santai.

"Adil apanya?! Ini sungguh tidak adil!" sembur Reni.

"Lalu, apa syarat dan ketentuan dari kakek untuk pewarisnya?" tanya Aran.

Trias dan Reni masih melayangkan tatapan kesal mereka pada Hadian.

"Saya hanya bisa mengatakan hal ini kepada calon pewaris selaku pihak yang memiliki kepentingan," ujar Hadian.

Trias dan Reni tak bergeming.

"Dasar brengsek! Aku tidak bisa menerima semua ini! Di mana ayahku?!" hardik Trias.

"Ya, ini benar-benar tidak adil! Kami harus bicara pada beliau!" tandas Reni

Paman, Bibi, sebaiknya kalian pergi, karena kalian tidak punya kepentingan apa-apa lagi. Daripada membuat keributan seperti ini," sahut Arun.

"Tutup mulutmu, dasar bocah tidak tahu diri!" murka Trias.

"Baiklah, ayo kita pergi, Trias! Tapi, lihat saja nanti! Aku tidak akan tinggal diam!" 

Reni bergegas pergi usai melayangkan ancamannya.

Hadian menghela napas berat, kini tinggal ia dan kedua cucu dari Pak Sutopo yang harus berbicara enam mata.

Pak Sutopo memiliki dua orang anak laki-laki, yakni Trias dan Surya. Surya adalah ayah dari Aran dan Arun yang sudah lama menghilang tanpa kabar, meninggalkan kedua anak laki-laki yang dibesarkan oleh Pak Sutopo.

Trias sendiri tidak memiliki anak lantaran ia dan istrinya sepakat untuk tidak memiliki anak yang dianggap merepotkan ketika melihat Pak Sutopo kala itu justru mengurus kedua cucunya yang masih kecil.

Trias yang berharap untuk bisa memiliki semua harta warisan ayahnya harus gigit jari lantaran harta tersebut hanya diwariskan kepada keponakannya.

"Jadi, kompetisi macam apa yang kakek inginkan? Apa duel sampai mati? Haha!" Arun tertawa santai.

Aran tidak menanggapi candaan Arun, adiknya itu selalu menanggapi apa pun dengan candaan yang sama sekali tidak lucu. 

Hadian mengeluarkan sesuatu dari sebuah amplop cokelat dan menunjukkan benda itu kepada kedua pria di hadapannya.

Kedua pria itu langsung mengerutkan kening mereka bersamaan begitu melihat foto hitam putih seorang wanita dari zaman dahulu kala. Wanita berparas manis yang sedang menopang wajahnya dengan satu tangan.

"Siapa dia?" tanya Arun.

"Apa kami harus mencari wanita ini?" tanya Aran.

Hadian sungguh paham mengapa Pak Sutopo begitu mengunggulkan Aran. Aran memang jauh lebih cerdas daripada Arun. Namun jika hanya sekadar cerdas, masih belum bisa memenuhi standar keadilan yang diinginkan oleh Pak Sutopo.

"Pak Sutopo berpesan bahwa barang siapa lebih dulu menemukan keberadaan cincin yang dikenakan oleh wanita ini, maka orang tersebut akan mendapatkan seluruh harta warisan dari Pak Sutopo," jawab Hadian.

"Astaga kakek! Menemukan wanita ini? Yang benar saja! Bagaimana bisa menemukan wanita ini hanya bermodal foto begini?"

"Lagipula ini foto zaman kapan?! Sekarang wanita ini pasti sudah menjadi nenek-nenek atau mungkin sudah tinggal nama!" 

Arun menyampaikan pendapatnya.

"Pak Hadian, apa sungguh syaratnya hanya menemukan cincin ini saja?" tanya Aran.

"Hei, apa menurutmu mencari cincin hanya berdasarkan foto seperti ini akan semudah itu?" tanya Arun.

"Aku sungguh yakin, kakek tidak akan memberikan syarat semudah itu untuk mewariskan semua hartanya," sahut Aran.

"Lalu, kapan tenggat waktunya?" tanya Arun.

"Arun, apa kau sungguh tidak menyimak apa yang dikatakan oleh Pak Hadian?" Aran balik bertanya.

Arun mencebik, ia bisa melihat bahwa Aran sepertinya sudah mulai memikirkan apa yang harus dilakukannya.

Cih, dasar kakek tua itu! Batin Arun.

"Baiklah, untuk saat ini, itu saja yang dapat saya sampaikan. Semoga berhasil untuk kalian berdua," ucap Pak Hadian.

...*****...

003 - Beban Keluarga

Viona melangkah gontai saat memasuki pekarangan rumahnya. Ia melirik jam tangan yang sudah menunjukkan hampir pukul sepuluh malam. Matanya tertuju pada rombongan orang yang baru saja keluar dari pintu rumah.

Pak Ronal, ayah Viona terlihat sibuk berjabat tangan dengan orang-orang itu bersama sang istri. Istri Pak Ronal bernama Inaya, turut berpamitan dengan rombongan itu.

Viona menahan napas, bersembunyi di samping tembok yang berbatasan langsung dengan jalan. Mengintip dari celah-celah pagar pembatas antara rumahnya dan jalan.

Perlahan ia menyelinap masuk melalui pintu samping rumah sambil menebak-nebak siapa para tamu itu.

Sesampainya di dapur, ia berpapasan dengan Sany yang membawa nampan berisi cangkir-cangkir kosong dari ruang tamu.

Sany adalah adik sepupu Viona, usianya lebih muda satu tahun. Wanita itu berparas cantik dan bertubuh tinggi menjulang bak seorang model. Sany sudah tinggal di rumah Viona sejak wanita itu berusia lima tahun. Kedua orang tuanya meninggal karena kecelakaan, membuat wanita itu menjadi gadis yatim piatu. Inaya yang merupakan kakak dari Ibu Sany akhirnya mengambil hak asuh atas Sany lantaran kerabat Ibu Sany hanyalah ia seorang.

"Siapa yang datang, Sany?" tanya Viona.

Sany mengulas senyum bak malaikat, mata berbinar dan kulit putihnya memancarkan rona merah muda lembut.

"Keluarga Angga datang melamarku," jawabnya dengan suara yang lembut.

"Oh, wah!" Viona terbelalak.

Ekspresi berpura-pura yang harus dikeluarkannya karena sudah bisa memprediksi apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Kau dan Angga berkencan?" tanya Viona.

Sany menggeleng pelan.

"Kami hanya dekat sebagai rekan kerja," jawabnya.

Viona menyeringai, mengasihani Angga yang sudah dekat dengan Sany. Viona tahu hasil dari acara lamaran itu. Jika Sany mengatakan hanya dekat, itu berarti penolakan. Entah sudah berapa banyak pria yang bernasib sama dengan Angga.

"Kamu baru pulang?"

Tiba-tiba Bu Inaya muncul di dapur.

"Eh, I-Ibu," Viona terbata.

"Vio, kemari," Pak Ronal yang berada di belakang Bu Inaya memanggil.

Viona mengekor di belakang ayahnya menuju ke ruang tamu.

"Vio," kata Pak Ronal.

"I-iya, Ayah," jawab Viona tergagap.

Ia sudah bisa menebak, apa yang akan disampaikan oleh ayahnya.

"Kamu kapan akan menikah?"

Viona menelan ludahnya dengan susah payah, kemunculan Ibu Inaya yang langsung duduk di samping suaminya membuat fokus Viona terdistraksi dengan tatapan tajam ibunya.

Kapan akan menikah? Pacar saja tak punya! Viona membatin.

"Vio, kamu ini. Lihat, sudah berapa banyak Ibu dan Ayah menolak lamaran dari para pria yang ingin mempersunting Sany?! Kami terpaksa menolak karena Sany tidak mau menikah sebelum kamu menikah!"

Lagi-lagi ibunya mengungkit masalah ini. Entah sudah berapa kali, saking banyaknya sampai-sampai Viona tak mampu menghitungnya.

"Kamu jangan menjadi orang yang menghalangi jodoh orang lain, Vi," sambung Pak Ronal.

A-apa?! Aku menghalangi jodoh orang?! Viona terbelalak.

"A-Ayah, aku sungguh tidak masalah kalau Sany menikah lebih dulu dariku," kata Viona.

"Tidak masalah bagimu?! Kalau dilangkahi, itu justru benar-benar jadi masalah untukmu! Bisa-bisa kamu melajang seumur hidup!" sergah Bu Inaya.

Viona tertunduk lesu, lagi-lagi ibunya melontarkan hal ini untuk kesekian ratus atau ribu kali.

"Untung saja Sany itu cantik sehingga masih banyak pria yang mau menikahinya!"

Lagi-lagi, Bu Inaya menggoreskan luka di hati Viona.

"Ayah beri waktu tiga bulan!" kata Pak Ronal.

"Ayah, Ibu," potong Sany.

Sany memegangi pundak Viona, memberi topangan yang kuat agar Viona tidak ambruk.

"Kalau Vio belum mau menikah, kita tidak boleh memaksanya. Vio pasti punya alasan tersendiri mengapa belum mau menikah," kata Sany.

Viona mendelik gusar, ucapan itu justru lebih pantas untuk dirimu sendiri, batinnya.

"Ayah dan Ibu tidak perlu mencemaskanku. Tidak masalah kita menolak banyak lamaran dari para pria itu. Jodoh tidak akan ke mana," lanjut Sany.

Viona merasakan perutnya mual mendengar omong kosong yang diucapkan oleh Sany.

"Vio, kamu kenapa sih belum mau menikah? Menikahlah dan berhenti menjadi beban orang tua!" tandas Pak Ronal.

Hujaman kata-kata pedas dari Pak Ronal membuat Viona merasa sesak.

"Ayah, Ibu, aku mau beristirahat," Viona berpamitan.

"Vio, pembicaraan kita belum selesai!" potong Bu Inaya.

Viona mengabaikan ucapan ibunya, ia melangkah gontai menuju ke kamarnya yang terletak di samping dapur. 

Kamar tidur Viona dulunya difungsikan sebagai gudang. Namun beralih fungsi sebagai kamar setelah Viona memutuskan untuk berhenti berbagi kamar dengan Sany ketika ia mulai masuk SMA.

Viona membutuhkan privasi dan ia tidak mau Sany menuduhnya memakai barang-barang miliknya tanpa izin.

"Yang belum mau menikah itu Sany! Dia tidak mau kehilangan para penggemar yang memujanya dan memberikan hadiah-hadiah mahal!" Viona mencibir kesal begitu memasuki kamarnya.

Rasa kesal, marah, dan kecewa bergejolak dalam diri Viona. 

Viona marah kepada orang tuanya yang menganggapnya hanya beban. Dan ia marah karena Sany bersikap sok baik namun menyudutkannya. Menjadikan Viona sebagai alasan untuk tidak menikah lebih dulu.

Viona bahkan menutup akun sosial medianya lantaran tidak mau lagi menerima teror dari para penggemar Sany. 

Mereka meluapkan kemarahan, mencaci maki, dengan segala sumpah serapah karena lamaran mereka ditolak oleh Sany.

Bahkan salah satu dari mereka pernah meminta pada Viona untuk bertanggung jawab, meminta penggantian sejumlah uang yang telah digelontorkan untuk membelikan Sany hadiah-hadiah mahal.

Viona merebahkan dirinya di atas tempat tidur. Matanya memandangi langit-langit kamar yang dipenuhi bekas rembesan air, membentuk peta pulau-pulau berwarna kecokelatan. Cat pada dinding kamar bahkan sudah banyak terkelupas.

Viona tidak punya banyak uang untuk merenovasi kamar. Penghasilannya setiap bulan sebagai staf administrasi di salah satu lembaga kursus bahkan tidak mencapai UMR.

Yah, maklum saja, Viona hanya mempunyai ijazah SMA. Ia tidak mengenyam bangku kuliah lantaran terkendala pada nilai ijazahnya yang hancur lebur. Akibatnya ia tidak bisa mendapatkan beasiswa.

Ayah dan ibunya terlanjur kecewa pada Viona, mereka lebih memilih untuk membiayai kuliah Sany yang mereka anggap lebih pintar dari Viona.

Kehidupan Viona berubah sejak kehadiran Sany. Sany mendapatkan kasih sayang dan perhatian yang lebih dari ayah dan ibunya. Hal itu membuat Viona merasa dianak tirikan oleh orang tua kandungnya sendiri.

Hiks..

Sedih jika harus mengingat hal yang sudah berlalu. Namun lebih menyedihkan lagi saat harus mengalami penolakan dari pria pujaannya.

Alan, sang pujaan hati yang sudah dicintainya selama 365 hari menolak untuk menjadi kekasihnya.

Pupus sudah harapan Viona untuk mendapatkan kekasih yang akan menemani dalam rangka menghadiri undangan resepsi pernikahan musuh bebuyutan di zaman sekolah.

Padahal Viona sudah berandai-andai, datang ke acara tersebut untuk memamerkan kekasihnya yang luar biasa tampan. Namun rupanya kehaluannya cukup menjadi halusinasi saja.

Viona kembali memandangi cincin di jari tengahnya.

"Nenek, sampai kapan aku harus menunggu jodohku datang? Usiaku sudah 32 tahun dan sudah dipaksa untuk menikah! Apa nenek hanya memberi harapan palsu untukku?"

Sampai kapan aku harus menunggu?

...*****...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!