NovelToon NovelToon

Pesona Anak Pembokat

PAP 1. NASIHAT BUNDA

Malam sudah larut. Di kamar tak begitu lebar itu hanya terdengar suara jangkrik kecil di bawah lemari kaca yang sudah usang. Sedang di atas kasur Bi Minah dan anak gadisnya Biduri belum tidur.

"Nduk, kamu itu sudah semakin gede. Payudaramu sudah kelihatan menonjol bokongmu juga. Kamu mbok yang bener berbusana?" kata Bi Minah menasihati.

Dia berkata begitu lantaran Biduri akhir -akhir ini sering mengenakan rok mini dan tshirt tipis longgar yang menurut Bi Minah bisa mengundang perhatian laki-laki. Bila dikaitkan dengan peristiwa yang sangat pribadi yang baru dialami oleh Biduri, nasihat itu sebenarnya sudah terlambat. Ibarat pemadam yang datang setelah api berkobar.

"Bukankah gadis sebayaku banyak juga mengenakan pakaian yang sedang ngetren seperti itu, Bun. Lagian saya kan memakainya di dalam rumah," jawab Biduri sambil siap-siap metebahkan badannya.

"Masalahnya di rumah ini kita ini numpang hidup, Nduk. Bila kamu memakai pakaian seperti itu tiap hari dan den Raka atau tuan Arkan melihatnya, aku malu dikira tidak bisa mendidik kamu," Jelas Bi Minah.

"Tapi aku lihat mereka cuek saja kok kalau Biduri memakai rok mini," kata gadis ABG itu berbohong. Sebab peristiwa yang baru ia alami bisa juga terpicu karena persoalan rok mininya itu.

"Kamu itu memang masih kanak-kanak. Tidak paham omongan Bunda. Badanmu saja yang gede tapi otakmu kosong!" kata Bi Minah kesal.

"Apa sih, Bun. Rok mini itu kan pakaian model anak zaman sekarang. Sudah umum dipakai cewek seusiaku," ucap Biduri dengan santainya.

"Pakaian model jaman sekarang yang lain kan ada. Tapi yang kamu pakai itu kurang sopan, Nduk. Karena kamu sudah besar sekarang," Bi Minah menurunkan nada bicaranya. Karena percuma bersikap keras kepada anaknya yang belum genap 16 tahun itu.

"Sebel aah! Aku mau tidur!" seru Biduri kelihatan tak suka dinasihati oleh ibunya.

Bi Minah geleng-geleng kepala. Lalu ia perhatikan tubuh anak gadisnya itu yang sudah berbaring memeluk bantal.

Walaupun belum genap 16 tahun. Tapi postur tubuh Biduri sudah seperti gadis dewasa. Kakinya yang jenjang dengan kulit putih bersih sudah ditumbuhi rambut halus. Begitu juga lengannya.

Gadis yang sedang dipikirkan oleh Bi Minah itu cuek saja rebahan menghadap ke dinding. Matanya yang lentik indah itu terpejam. Namun hati dan pikirannya terjaga penuh. Bahkan masih sibuk mengumpulkan sisa-sisa kenangan tadi siang yang masih tertinggal.

"Sedang apa kau Raka malam-malam begini," gumam Bidari dalam hati sambil membayangkan wajah Raka yang tampan dengan kumisnya yang baru tumbuh tipis itu.

Siang tadi anak pertama Tuan Arkan itu secara tak sengaja bertindihan dengan Biduri di hamparan rumput area taman yang ada di belakang rumah. Biduri saat itu sedang mencabuti rumput liar. Tiba-tiba dari belakang Raka terpental karena kursi rodanya terantuk batu. Biduri yang mencoba mendekapnya hilang keseimbangan. Akibatnya fatal mereka jatuh bersama di atas rerumputan dengan posisi bertindihan.

Siang itu kebetulan Bi Minah sedang belanja ke pasar kota. Sedangkan Tuan Arkan dan istrinya Nyonya Elzatie sudah berangkat ke kantornya masing-masing. Praktis hanya Raka dan Biduri yang tinggal di rumah.

Apa yang terjadi setelah mereka jatuh ke rumput dengan posisi bertindihan. Tanpa dikomando kedua remaja lain jenis itu langsung berciuman. Memang Raka yang memulai duluan. Tetapi Biduri tidak menghindar malah membalas ciuman itu dengan sangat manis.

"Kamu tahu sebenarnya aku sudah lama menginginkan mement yang indah seperti ini," bisik Raka di telinga Biduri.

"Masa sih, mas Raka. Aku juga begitu. Bahkan aku merasa ini seperti dalam mimpi saja. Tak percaya mas mau denganku," balas Biduri dengan tersenyum manis.

"Aku mencintaimu, Bid," meluncur dengan mudah kalimat itu dari mulut Raka.

"Terlebih aku. Aku sangat tersanjung mas mau denganku."

Mereka lalu berciuman lagi. Kali ini dilakukan dengan sangat mesra.

Biduri tidak bodoh. Setidaknya pernah melihat adegan serupa itu entah di mana. Sedangkan Raka mungkin lebih banyak lagi pengetahuannya dalam menyenangkan seorang gadis. Karena dia mahasiswa semester lima. Orangtuanya kaya raya dan wajah Raka tampan lagi. Cewek mana yang tidak ingin jadi pacarnya.

Sambil berciuman tangan Raka membelai rambut Biduri yang hitam panjang itu dengan penuh perasaan. Lalu turun ke bawah mengusap pipi dan hidungnya yang mancung.

Tanpa diduga oleh Biduri cowok itu tiba-tiba menurunkan tangannya lagi mengelus lehernya sampai ke area dada.

"Awas kalau sampai memegang!" Biduri mengingatkan. Entah apa maksudnya.

Tapi Raka seolah tak mendengarkan. Karena telapak tangannya suah terlanjur menggenggam ****** Biduri yang sudah tumbuh besar.

Sontak kedua mata gadis itu membulat lebar. Tidak menyangka Raka yang biasanya kalem dan terkesan angkuh itu kini begitu serius menggodanya.

Tangan nakal itu kemudian tidak hanya memegang tapi memijit-mijitnya secara perlahan.

Tentu saja Biduri melek merem dan tubuhnya terasa panas dingin. Luapan gairahnya ia lampiaskan dengan melumat bibir Raka sambil mencengkram punggungnya.

Pada menit berikutnya kedua remaja lain jenis itu makin tak terkendali.

Raka pun dengan beraninya mengalihkan permainan tangannya di seputar dada turun ke perut dan detik berikutnya turun ke rok mini yang saat itu dikenakan oleh Biduri.

Seketika itu tubuh Biduri menggelinjang kaget dan secara reflek menaha tangan Raka.

"J - jangan kau sentuh i - tu," suara Biduri terdengar lirih.

Tapi terlambat karena telapak tangan Raka telah menangkup gundukan berselaput CD warna putih itu dengan hangat.

"Disini sudah basah, sayang...." Raka memandang wajah Biduri yang merah padam karena tertekan gairahnya sendiri yang meluap-luap.

"K - kamu nakal, sayang" ucap Biduri tapi dalam hati tidak ingin jari-jari Raka berhenti bermain di daerah sana. Kadang menusuk kadang menaikturunkan ibu jarinya.

"Aakhh..., sayangku...," lirih suara itu keluar dari mulutnya.

Raka tersenyum puas sambil terus menggerakan ibu jarinya. Dia sengaja kali ini hanya ingin menggoda Biduri saja. Walaupun hasratnya sudah ingin lebih jauh dari sekedar bermain-main.

Tapi dasar cowok Raka penasaran ingin tahu bagaimana reaksi Biduri bila tangannya ia telusupkan ke bawah CD. Ternyata membuat Biduri makin menggelinjang merasakan sensasi yang luar biasa.

"Sss - sayang....saya mau keluar!"

Mendengar itu Raka tidak saja menaikturunkan ibu jarinya. Tapi juga menekan dan menggoyangkannya dengan memutar. Hingga Biduri megap-megap dan merasakan dari dalam tubuhnya ada sesuatu yang mau keluar.

"Hupz...sst...Aaaakh," jerit Biduri sebagai tanda adanya pelepasan.

\*\*

"Kamu keterlaluan, sayang...," suara Biduri yang sedang berbaring bersama ibunya terdengar seperti mengigau.

Bi Minah mendengarnya. Karena tidurnya belum pulas betul. Lantas ia duduk dan mengoyang-goyangkan tubuh anaknya itu yang tidur melungker membelakanginya.

"Nduk kamu ngelindur?" tanya Bi Minah dengan muka bingung.

Biduri cerdik tak mau menjawab. Sehingga Bi Minah tahunya gadis itu baru saja memang mengigau.

Biduri tidak mengigau tapi yang benar sedang melukis kembali kejadian tadi siang yang ia lakukan dengan Raka.

Musibah kursi roda yang terantuk batu itu telah membawa Biduri dan Raka bersatu dengan pernyataan cintanya masing-masing.

Mereka sendiri tidak menduga hari itu akan melakukan sesuatu yang bisa membikin gempar seisi rumah bila ada yang tahu.

BERSAMBUNG

🌺 Halo pembaca ini ada novel baru. Baca ya. Jangan lupa setelah baca tinggalkan tanda suka dan subcribenya ya gaes🙏

PAP 2. TINGGALKAN ROK MINI

Sudah lama sebenarnya Biduri mengagumi ketampanan anak tunggal dari pengusaha besar Tuan Arkananta dan pemilik butik terkenal Elzantie.

Kalau pas mereka ngobrol soal Raka hati Biduri merasa senang mendengarnya.

"Kamu itu seperti pungguk merindukan bulan. Tidak mungkin bisa memetik hati sang pangeran itu," kata Biduri pada dirinya sendiri ketika pertama kali mulai merasa kesengsem dengan cowok itu.

Sebelum mengalami kecelakaan yang mengakibatkan kedua kakinya lumpuh, Raka kesehariannya bersikap kaku dan cuek. Selalu fokus dengan kewajibannya sebagai anak. Sementara orangtuanya terus mengatur kegiatannya dengan ketat.

Tiap hari yang tidak pernah lepas dari belajar. Sesekal diberi kesempatan bermain itu pun dalam kegiatan di kampus. Hidup Raka seperti tidak boleh menyia-nyiakan waktu secara percuma. Agar kelak menjadi lelaki yang hebat. Siapa lagi yang akan mewarisi seluruh kejayaan perusahaan papanya kalau bukan Raka.

Karena itulah Raka hampir tidak tahu urusan di rumah. Hanya fokus pada kegiatannya sendiri. Bertemu dengan papa mamanya saja jarang sekali. Apalagi sampai bertemu dengan Bi Minah dan anak gadisnya yang lebih banyak berada di belakang.

Tapi akhirnya semua aktifitas itu berhenti total setelah Raka mengalami kecelakaan. Hari-harinya hanya dihabiskan di atas kursi roda. Sikap riangnya berubah menjadi murung. Semangatnya belajar hilang sama sekali. Bahkan sudah lama tidak masuk kuliah. Suport dan dorongan spirit dari orangtuanya tidak pernah didengarkan lagi.

"Kenapa aku tidak mati saja dalam kecelakaan itu. Selesai!" ucap Raka kepada Biduri penuh penyesalan.

Waktu itu Biduri memberanikan diri mengajaknya ngobrol. Entah karena melihat apa dalam diri Biduri, Raka mau bicara menceritakan kecelakaan yang dialami walaupun awalnya membisu dan angkuh.

"Kalau mas Raka terus berlatih saya yakin bisa sembuh dan bisa berjalan lagi seperti sediakala," kata Biduri memberikan spririt lebih giat berlatih menggerakan kakinya.

Sejak itu Raka mau berlatih berjalan dengan dituntun oleh Biduri. Ajaib memang. Raka yang tadinya keras kepala seperti batu, ternyata bisa cair dan enak diajak ngobrol.

Mungkin karena seringnya mereka bersama itu benih-benih cinta turun di jantung mereka masing-masing. Dan pengukuhannya terjadi siang tadi.

Malam makin larut. Di kamar tak begitu lebar itu hanya terdengar suara jangkrik kecil di bawah lemari. Kini ditambah suara desah tidur Bi Minah dan Biduri.

\*\*

Tak terasa pagi begitu cepat datang. Biduri sudah selesai mandi.

Seperti yang sudah dinasihatkan ibunya semalam, pagi itu Biduri tidak akan memakai yang mini-minian atau yang ketat-ketat lagi.

Kejadian siang kemarin membuatnya dia mengerti. Bahwa mengenakan rok mini sangat merugikan!

Tapi dia bingung juga mau pakai apa? Karena di dalam lemari pakaiannya kalau tidak pendek-pendek modelnya ketat-ketat semua.

"Saya pakai apa, Bun?" tanya Biduri bingung di depan lemarinya yang ia buka lebar-lebar.

"Kalau tidak salah kamu kan punya daster baru yang belum pernah kamu pakai," kata Bi Minah seraya ikut memilah-milah tumpukan pakaian Widuri yang ada di lemari.

"Yang mana sih, Bun. Aku lupa?" tanya Biduri memperhatikan ibunya yang sibuk mencari daster yang dimaksud.

"Itu daster batik warna biru muda."

"Ah, Moh! Jadul sekali itu, Bun."

"Kamu itu mau bekerja apa mau pesta?"

"Tapi jangan daster dong, Bun. Kelihatan seperti emak-emak. Malu sama Raka," jawab Biduri.

"Maksudmu, Den Raka? Kok bisa malu sama dia sih. Emang ada apa kamu dengan dia?"

Biduri gugup ditanya ibunya seperti itu. Sial! Kenapa tadi dia menyebut nama cowok tampan itu. Jadi curiga akhirnya.

"Eh! Ya, tidak ada apa-apa kok, Bun. Cuma malu saja."

"Biasanya malunya gadis kepada seseorang itu pasti ada sesuatu yang dipendam. Apakah kamu ada hati dengan Den Raka?"

Kembali Biduri gugup dengan pertanyaan ibunya. Buru-buru dia kembalikan lagi ke persoalan baju yang dipilihkan ibunya.

"Ndak apa-apa deh, Bun. Saya Pake daster juga bisa."

"Bener kamu mau pake daster. Tidak malu kelihatan seperti emak-emak. Ini sudah saya temukan!" Bi Minah menunjukkan baju terusan yang panjangnya sampai di bawah lutut dan berwarna biru muda.

Widuri mengambil baju itu dari tangan Bi Minah. Lalu dibukanya lipatannya yang kelihatan sudah kusut. Karena ditemukan pada tumpukan paling bawah tertindih baju lainnya. Bahkan sudah bau kayu lemari dan coro.

"Masih baru tapi kusut ya, Bun," kata Widuri sambil membentang-bentangkan baju tersebut kurang bersemangat.

"Disetrika sebentar dan disemprot pewangi biar kelihatan rapih."

"Iya, Bun." Biduri cepat ke tempat setrikaan masih di dalam kamarnya.

Setelah kain daster itu sudah halus dan harum karena disemprot pewangi, Biduri segera kenakan dan mematut-matut diri di depan kaca lemari.

"Kamu itu dasarnya memang cantik. Pakai daster pun tidak hilang kecantikanmu, Nduk," ujar Bi Minah bangga kepada anak satu-satunya itu. Kemudian dia pun ingat ayah Biduri yang berada nun jauh di seberang sana. "Pasti senang dia kalau melihat anaknya sekarang sudah tumbuh besar," gumamnya.

Beberapa menit kemudian mereka sudah sampai di dalam dapur. Padahal pagi baru pukul 05.30. Tugas rutin Biduri adalah menyiapkan sarapan di meja makan utama setelah ibunya selesai memasak.

Setelah menu makanan sudah tersajikan semua di meja dalam, biasanya Tuan Arkan, Nyonya Elzatie dan Raka baru sarapan sekitar pukul 07.00 sebelum berangkat ke tempat aktifitasnya masing-masing.

Tapi pagi itu hanya Tuan Arkan dan Elzatie sarapan lebih pagi. Karena akan pergi keluar kota. Sedangkan Raka belum kelihatan keluar dari kamar sampai papa mamanya itu berangkat.

Biduri segera memberesi piring dan gelas bekas untuk sarapan mereka berdua. Tangannya cekatan bekerja. Tetapi matanya sesekali memperhatikan kamar Raka. "Ah! Kenapa aku jadi kepingin ketemu?"

Sampai Biduri selesai membersihkan meja Raka belum keluar juga dari kamarnya. Bahkan hingga pukul 08.00 belum kedengaran suaranya memanggil Bi Minah untuk dibantu menurunkan atau menaikan kursi rodanya.

"Bun tumben Den Raka belum keluar dari kamarnya?" tanya Widuri keppo.

"Sudah kamu bekerja apa yang perlu kamu kerjakan saja. Tidak usah pingin tahu apa yang dilakukan aden."

"Iya, Bun," jawab Biduri lalu beranjak menuju ke halaman belakang.

"Kamu mau apa?"

"Bersihkan taman, Bun."

"Lho kemarin kan sudah kamu bersihkan."

Biduri jadi ingat kembali kejadian kemarin. Disaat dia sedang mencabuti rumput liar tiba-tiba datang Raka yang langsung menabraknya karena terpental alibat kursi rodanya terantuk batu.

"Oya, lupa," ucap Biduri malu. Bi Minah cuma memandangnya penuh tanda tanya.

"Kamu ke ruang tamu saja. Kelihatan masih kotor belum Bunda bersihkan semuanya."

"Iya, Bun."

Biduri segera menuju ke ruang tamu. Setengah berjinjit dia melangkah melewati kamar Raka yang berada tidak jauh dari kamar papa dan mamanya.

Namun sial malah Raka keluar dari kamarnya dan melihat gadis itu berjalan berjinjit.

"Mau kemana, kamu?" tanya Raka dengan angkuhnya. Padahal kemarin sangat lembut membelai dan mencumbunya.

"Inikah teori laki-laki. Bila sedang pingin dibelai dan disayang. Tapi bila sedang tidak kepingin menyapa pun dengan nada kasar." Kata Biduri dalam hati.

BERSAMBUNG

PAP 3. UNGKAPAN KASIH SAYANG

Boleh saja laki-laki lain kalau sedang kepingin sikapnya menjadi baik dan penuh kasih kepada pasangannya. Tapi bagi Biduri Raka tidak sama seperti itu. Ungkapan kasih sayangnya memang keras dan terkadang memaksa.

"Hai kau dengar tidak aku panggil," Raka menaikan nada suaranya melihat Biduri cuma berdiri mematung.

"A - ku..., mau kerja, Mas," jawab Biduri gugup apakah tetap melangkah ke depan membersihkan ruangan disana atau berjalan mendekati Raka yang ada di ambang pintu kamarnya.

"Kamu ingin cinta kita putus? Kesini cepat!" Raka menggertak.

Mendengar ancaman itu Biduri jadi panjang pikiran dan akhirnya melangkah mendekati Raka.

"Baru kemarin kita jadian. Kenapa sekarang kamu mau melupakan aku. Apakah karena aku lumpuh?" kata Raka emosional.

"Ti - tidak, Mas. Aku tetap sayang sama, Mas?" ucap Biduri menutupi kecanggungannya.

"Kamu jangan coba-coba mempermainkan perasaanku. Aku bisa saja memecatmu keluar dari rumah ini," Raka mengancam.

"Aduuh..., jangan, Mas. Nanti aku dan Bunda mau kerja dimana lagi." Biduri nampak ketakutan. Bila hal itu terjadi pasti dia yang akan disalahkan oleh ibunya.

"Maka turuti saja apa keinginanku. Ikut aku!" kata Raka dengan enaknya seraya memutar balik kursi rodanya masuk ke dalam kamar.

"Mas, Raka!" panggil Biduri yang masih tetap mematung di depan pintu. Aduh! Sungguh ia tidak ingin mengulang lagi kejadian kemarin. Barang miliknya yang dijamah sedemikian rupa itu masih meninggalkan rasa malu.

Raka tak menggubris kursi rodanya tetap berjalan. Akhirnya Biduri pelan-pelan mengikutinya di belakang.

"Tutup pintunya!" seru Raka tidak melihat Biduri yang sangat berat melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar.

Setelah berada di dalam Raka mencoba turun sendiri dari kursi roda walaupun kesulitan. Sehingga Biduri bergegas membantunya. Tapi Raka menolak dan nyatanya dia bisa berpindah duduk dari kursi roda ke sofa walaupun terlihat sangat kesulitan.

"Aku mau menunjukkan kepada kamu bahwa aku bisa mandiri. Papa tidak percaya kalau aku sedang terus berusaha melakukan kebutuhanku sendiri," kata Raka bernada mengadu kepada Biduri.

"Aku percaya mas Raka pasti bisa sembuh kalau terus berlatih," kata Biduri memberi semangat.

"Sekarang lihat aku mau berpindah ke toilet. Kamu lihat saja," kata Raka seraya beranjak dari sofa dan berdiri dengan kaki gemetar.

"Ayo Mas. Jangan takut gerakan sedikit-sedikit saya bersiap-siap menjaga Mas." Biduri memposisikan dirinya lebih dekat dengan tubuh Raka.

Satu...dua...tiga...langkah Raka berhenti tiba-tiba karena mau jatuh. Biduri pun langsung mendekapnya.

"Sudah kamu lihat saja!" Seru Raka emosional sambil mendorong Biduri agar menjauh.

"Nanti kalau jatuh gimana," kilah Biduri sambil melepaskan tangannya.

"Sudah kamu berjaga-jaga saja di sampingku!"

"Ya, Mas. Ayo coba lagi Mas gerakan kakinya."

Satu...dua...tiga...empat...li... Biduri berhenti menghitung karena badan Raka oleng. Biduri yang sudah siap siaga langsung mendekapnya lagi.

"Sudah, Mas. Saya takut Mas jatuh. Istirahat dulu," ujar Biduri.

Raka mau menuruti berhenti latihan jalan dan duduk di tepi tempat tidur. Sedangkan Biduri tetap berdiri di depannya.

"Sudah banyak perkembangan kaki saya, kan?" tanya Raka.

"Sudah banyak, Mas. Saya kira kalau terus latihan begini Mas Raka akan cepat bisa berjalan kembali."

"Aku ingin kamu yang terus melatihku berjalan," pinta Raka.

"Terus terang aku takut nanti dimarahi Tuan dan Nyonya berduaan di kamar seperti ini," kata Biduri prihatin.

"Mereka sudah tidak peduli padaku. Entah apa yang ada dalam pikiran mereka. Apakah ingin aku sembuh atau tidak. Aku tidak tahu."

"Mereka bukannya tidak peduli. Tapi masih sibuk, Mas."

"Papa terlalu ambisi aku harus menjadi orang yang hebat. Kala aku mengalami kecelakaan dia kecewa sekali. Harapannya terasa musnah. Aku dianggap anak yang tidak mau membantu keinginan orangtua."

"Masa gitu sih. Aku kira Tuan dan Nyonya sangat sayang kepada Mas Arka."

"Mereka sayang pada ambisinya sendiri. Buktinya aku harus menjadi apa yang diangan-angankan mereka."

"Mas Raka punya cita-cita apa dalam hidup ini?"

"Aku hampir tidak punya cita-cita. Karena benakku cuma dipenuhi keinginan dan ambisi Papa."

"Kalau Nyonya bagaimana sikapnya kepada Mas Raka?"

"Kalau Mama sih orangnya familiar penuh pengertian. Dibandingkan Papa dia sebenarnya sangat menyenangkan. Kalau Mama malah menyerahkan kepadaku untuk memilih cara hidupku sendiri."

"Baik sekali ya mama Mas?"

"Tapi sama saja kesibukannya minta ampun," keluh Raka lagi.

Biduri membayangkan wajah mama Raka yang masih nampak cantik itu. Karena Biduri tahu dari ibunya bahwa Elzantie dulu adalah ratu kecantikan di kotanya. Kini menjadi wanita karier yang sukses. Memiliki perusahaan butik terkenal dengan pangsa pasarnya para artis.

Bi Minah juga pernah menceritakan kepada Biduri tentang papa Raka. Beliau adalah seorang pengusaha yang berhasil. Sejak Raka kecil sudah ia didik dengan disiplin dan tekun belajar agar kelak bisa menggantikan memimpin perusahaannya disamping mewarisi seluruh aset kekayaannya. Tapi

angan-angannya itu musnah ketika Raka lumpuh akibat kecelakaan. Rasa kecewanya dilampiaskan dengan memperbanyak kegiatan di luar. Malas sekali ia berada di rumah melihat putra mahkotanya terpuruk dalam kesedihan. Seperti tidak bersemangat lagi untuk hidup.

"Menurutku Mas Raka itu beruntung memiliki kedua orangtua yang sama-sama hebat. Mereka sebenarnya tidak ingin melihat Mas Raka terpuruk menyesali keadaan sekarang. Mas Raka harus bangkit menjadi seperti dulu lagi."

"Saya mau menuruti saranmu asal kamu mau menjadi istriku," kata Raka sangat mengejutkan Biduri.

"Mas Raka kok sedalam itu mencintaiku?"

"Memang kamu merasa aku hanya main-main. Aku serius mencintaimu dan akan menjadikan kamu sebagai istriku."

Biduri tak bisa berkata-kata mendengar pengakuan Raka. Ia sangka bahwa cowok ini mencumbunya kemarin karena terdorong oleh nafsunya belaka melihat Biduri sering mengenakan rok mini.

"Mas Raka jangan merasa terpaksa mencintaiku. Aku tidak mempermasalahkan kejadian kemarin itu bila mas Raka ingin melupakannya," kata Biduri kemudian.

"Gila kamu, Bir. Kamu kira kemarin itu aku cuma coba-coba. Tidak serius melakukannya karena cinta?"

"Aku anggap ini sebuah keajaiban kalau Mas Raka mencintaiku dan mau menjadikanku sebagai istri."

"Kenapa kau punya perasaan begitu."

"Kita berbeda kasta, Mas. Aku tak lebih hanya seorang anak pembokat. Kasta paling rendah dalam kehidupan ini." Biduri mengatakan itu dengan mimik sedih.

"Aku melihatmu tidak dari sisi itu."

"Lalu apa yang Mas lihat pada diriku?"

"Aku melihat bahwa kita sama-sama sebagai anak manusia yang mempunyai cita-cita untuk kehidupan masa depan."

"Tetapi masa depanku tidak jelas. Sedangkan masa depan Mas Raka sangat nyata. Pasti papa mama Mas Raka sudah menyiapkannya sedemikian rupa. Termasuk mungkin calon istri Mas Raka."

"Papa hanya menginginkan aku sebagai orang pintar yang kelak bisa menghasilkan uang atau meneruskan kejayaannya agar tidak runtuh."

"Tetapi sekali lagi jangan, Mas. Aku takut menanggung akibatnya."

"Berarti kamu kemarin itu hanya untuk menyenangkan diriku saja. Kamu tidak sungguh-sungguh mencintaku?"

Biduri tak bisa berkata-kata ditanya Raka seperti itu. Dari lubuk hatinya yang paling dalam Raka memiliki ketampanan yang sangat ia idolakan. Tapi bukan berarti dia ingin memilikinya apalagi menjadi istrinya!

BERSAMBUNG

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!