Deras air langit jatuh sudah 30menit lamanya, membawa dingin udara sore itu. Seorang gadis berjalan tanpa payung mengadahkan wajahnya ke langit. Menerima air-air itu jatuh bercampur dengan air dari matanya. Begitulah cara dia menipu dunia. Menangis saat hujan adalah salah satu cara mengelabui manusia. Air mata akan jatuh bersama derasnya hujan. Siapa yang bisa membedakan mana air mata mana air hujan.
Duduk di atas bangku panjang di sebuah taman, kakinya lalu menekuk, kepalanya ia tenggelamkan di antara kedua lututnya. Sesenggukan. Terlihat pundaknya naik turun. Perlahan hujan mereda, namun dia masih meringkuk. Dering teleponnya sedari tadi meminta untuk disentuh. Matanya melirik, melihat sebuah nama di layar ponsel.
"Hallo..." suaranya parau.
"De.. Kamu di mana? Pulanglah, please!! Pulang sekarang juga atau kamu mau melihatku mendekam di kantor polisi?"
Dia menutup panggilan di ponselnya. Dengan ragu, dia menaiki sepeda motor maticnya berwarna merah yang terparkir di sisi. Pulang seperti permintaan seorang lelaki tadi dalam telepon sete6seharian memilih menghilang dari rumahnya.
Pandangannya lurus dan kosong. Terlihat masih ada sisa genangan air di kedua bola matanya. Pikirannya kacau. Dia bertekad minggat dari rumah dan tak ingin pulang, tapi ada resiko besar yang menghadang jika dia tak mengiyakan.
Pulanglah, dan menghadapi bentakan hebat dari kedua orangtuanya yang menentang keputusan besar di hidupnya. Jika sore itu dia tak juga pulang ke rumah, maka kekasihnya sudah dilaporkan polisi oleh ibunya dengan tuduhan membawa lari anak gadis orang.
Cih, sungguh picik. Hatinya muak. Sebuah tamparan mendarat ke pipinya saat ia baru saja menjejakkan kaki ke dalam rumah. Matanya merah memendam sakit dan benci yang terasa hingga ke ulu hatinya.
Dia berlari masuk ke dalam kamar. Menghempaskan diri, dan melanjutkan tangisnya. Entah manusia macam apa yang tengah ia hadapi sore ini. Begitu kata hatinya. Bagaimana bisa ada batu lebih keras dari karang yang tak mau sedikit saja mendengar keinginan anak gadisnya. Bahkan ini bukan jaman Siti Nurbaya. Ini jaman di mana seharusnya bisa bebas menentukan pilihan pada siapa dia melabuhkan cintanya.
Dia menjerit sejadinya di dalam kamar, membuat dua orang tua itu beberapa kali memanggil namanya dari luar kamar.
Ayahnya mengetuk pintu, tak juga dia hiraukan.
"Ayo bicara pada ayah. Kita cari jalan keluarnya nak." suara lelaki tua itu kencoba bernegosiasi
"Untuk apa bicara kalau ibu saja tak punya telinga untuk mendengarku."
"Ayah akan coba berunding dengan ibumu."
"Terserah!!!" dia melemparkan sebuah benda ke arah pintu.
Sejak itu diapun tak sedikitpun keluar dari kamarnya. Tidak juga ingin mengisi perutnya yang sebenarnya kosong sedari siang. Rupanya cinta sudah membuatnya kenyang.
Matanya sembab, wajahnya sedih teramat sedih mengingat kejadian kemarin sore ketika kekasihnya datang ke rumahnya untuk meminta restu pada sang ibu agar mereka berdua bisa menjalani hubungan yang lebih serius namun ditolak mentah-mentah.
Dan ini bukan penolakan yang pertama kalinya. Entah apa alasan dari ibu hingga tak mengijinkan mereka berdua. Rasanya dunia begitu suram, pagi tadi dia pun berniat membawa beberapa lembar baju dari lemari dan pergi diam-diam dari rumah. Bukan iba yang diterima dari kedua orang tuanya, justru murka malah tumbuh di hati ibunya.
Gadis itu memejamkan kedua matanya erat, menghabiskan seluruh sisa air mata yang masih mengatung. Hingga semua suara senyap. Tersisa hanya gemericik air yang masih turun dari genting, jatuh menimpa tanah dan batu.
Sore yang amat ramai di terminal adalah pemandangan biasa setiap hari. Deretan bus-bus besar jurusan luar kota dan luar provinsi berjejer rapi siap berangkat. Suara para kondektur saling bersahutan memanggil calon penumpang mereka untuk segera menghampiri bus yang sudah mereka pesan. Satu-satu penumpang menghampiri dengan menggenggam karcis di tangan, mereka menaiki anak tangga bus antar kota antar provinsi.
Deru mesin bus mulai dinyalakan, asap kelabu dari knalpot mulai mengudara. Beberapa telah siap dibangkunya memangku tas-tas besar, membawa anak-anak, memasang headset di kuping kanan dan kiri, dan ada pula yang memasang kacamata hitam untuk mengelabui mata basahnya. Pedagang cangcimen mulai mengasongkan dagangan, ikut masuk ketika supir sudah duduk di singgasananya.
Pria berseragam biru berdiri di pintu, memanggil untuk yang terakhir kalinya pada mereka yang belum masuk ke dalam kotak panjang beroda itu. Tak lama, seorang gadis dengan satu ransel di punggungnya dan satu tas besar di tangannya naik sebagai penumpang terakhir. Wajahnya menengok ke kanan dan kiri, melihat di mana kursi yang bernomor seperti yang tercatat di dalam karcisnya.
Ada di baris tengah sana, di sisi jendela kaca, sebuah bangku kosong belum berpunya. Dengan beban berat di kedua tangan, ia melangkah menuju kursinya. Di bantu oleh kondektur, tas besarnya ia taruh di atas kabin bus di atas kepalanya.
Suara peluit panjang terdengar sebagai penanda diberangkatkannya beberapa bus yang sudah nge-tem beberapa lama itu. Bus mulai melaju perlahan keluar dari terminal Kota P. Gadis itu terus memandang keluar jendela sejak pertama kali ia menempelkan badannya di kursi sempit itu. Wajahnya, seperti memikirkan beban berat. Tangannya saling mencubit jari jemarinya sendiri.
Bus semakin berjalan jauh meninggalkan kota, Dea, nama panggilannya, tiba-tiba meneteskan air mata. Dan semakin deras air meleleh di kedua pipinya tatkala langit berubah warna dari oranye menjadi kelabu. Kedua tangannya menutupi wajahnya, menahan bibir agar tidak bersuara. Takut mengundang perhatian penumpang lain kalau-kalau mereka dengar dia sedang menangis. Pelan-pelan diusapnya sendiri air-air yang terlanjur melewati dagunya.
Ponselnya dalam nada sunyi bergetar, tampak sebuah chat dari sang ibu ia abaikan. Lalu mati, berganti getar sebagai notifikasi beberapa chat masuk. Pun dari ibunya. Dea membuka chat yang menumpuk itu, membacanya seksama satu persatu. Lalu kembali menangis. Tak ingin banyak mata curiga, Dea menutup wajahnya dengan jaket yang ia kenakan lalu memejamkan kedua kelopak matanya.
Tidak, kali ini dia tidak lagi minggat dari rumah seperti kejadian sebulan yang lalu. Kepergiannya sudah atas izin dari kedua orangtuanya meski terpaksa.
Bus berhenti di sebuah rest area yang memang tempat wajib untuk disinggahi para bus-bus antar provinsi. Beberapa penumpang turun untuk sekedar meluruskan punggung mereka atau untuk numpang buang air, ngopi, hingga makan. Dea terbangun merasa lapar. Setelah mengantri toilet, Dea membeli sewadah mie instan cup sebagai penghangat perutnya yang terlalu dingin terkena AC di dalam bus. Wajahnya tegang karena baru pertama kali ini dia pergi jauh sendirian dengan menggunakan bus malam.
Setelah menghabiskan makanannya, Dea kembali naik ke dalam bus. Duduk memandang sayu pada orang-orang di luar bus yang terburu-buru masuk. Sopir sudah bersiap dan menutup pintu. Kondektur memberi aba-aba untuk persiapan keberangkatan. Mesin mulai dinyalakan, Dea berdoa dalam hati. Dea menaikkan resleting jaketnya dan bersiap memejamkan mata yang sudah perih akibat menangis semalam. AC bus malam berhembus cukup kencang membuat para penumpang mengenggelamkan wajah mereka pada jaket, sarung, bahkan selimut.
Terasa sangat lama, Dea memandang jalanan di malam hari. Sunyi sekali. Beberapa kali ia menengok jam di tangan berharap perjalanan ini tidak cepat berhenti. Dea suka menikmati suasana perjalanan dari dalam bus. Tenang, gelap, dingin, membuat hatinya banyak berpikir.
"Mimpikah aku senekad ini pergi sendirian?" bisiknya dalam hati sedari sore tadi.
Ponselnya kembali bergetar. Kali ini chat dari seseorang yang pernah ia cintai. Namun chat itu ia abaikan. Lama kelamaan rasa kantuknya menyerang. Dea menyandarkan kepalanya ke kaca jendela dan terlelap.
Suara kondektur membangunkannya dan para penumpang lain. Rupanya bus sudah sampai di tujuan akhir, Kampung Rambutan. Dea menggendong ranselnya dan meraih tas jinjingnya dari kabin bus. Tangannya merogoh ponsel pada goodie bag berwarna hitam miliknya. Satu langkah menuruni bus besar itu, Dea sudah mendengar bisingnya deru mesin, klakson di sana sini dan teriakan para supir ojek dan angkot yang kadang memaksa untuk ditumpangi.
"Cin, aku sudah turun dari bus nih, kamu di mana?" suara Dea lirih melakukan panggilan dengan sahabatnya, Cindy.
"Gue ada di seberang, nih gue udah liat lo," Jawab gadis itu lalu melambaikan tangannya ke arah Dea
Dea berjalan melewati bahu-bahu kekar yang berbau asap menghampiri sahabatnya yang sudah lebih dulu sampai di terminal menunggu kedatangannya. Cindy bersandar pada sepeda motornya berwarna putih dan tersenyum menyambut Dea. Mereka pun langsung melaju dengan sepeda motor matic milik Cindy menuju kediaman Cindy.
Cindy Paramita Ayu, adalah sahabatnya sejak jaman putih abu-abu yang kuliah di Jakarta. Dia menerima pesan bahwa sahabatnya ini berniat pergi seorang diri ke Jakarta untuk mengadu nasib. Ini adalah perjalanan pertama Dea pergi seorang diri ke kota besar seperti Jakarta. Bermodalkan nekad dan koneksi orang terdekat, Dea berhasil sampai dengan selamat.
"Welcome Jakarta, inilah kamar kost gue, kamar mandi ada di dalam jadi lo bisa leluasa mau mandi atau ngapain kapan aja, hehe." kata Cindy membuka pintu kamar kostnya setelah mereka sampai dan memarkir sepeda motornya kembali di garasi.
"Waw, si anak Jakarta ngomongnya udah lu gue aja." jawab Dea lugu mendengar sahabat satu kotanya dulu sudah berubah gaya bahasanya.
"Yalaah, gue udah 5 tahun lebih tinggal di sini jadi wajib beradaptasi. Jadi, gimana first time nyampe Jakarta?" kata Cindy melepas jaket dan kaus kakinya lalu berganti pakaian tidurnya kembali.
"Capek!!! Karna aku baru nyampe pas udah malem begini jadi belum bisa kasih review. Sejauh ini sih, emm Jakarta itu wow banget.. hehe." Dea melepas jaket dan kaus kakinya yang sudah lepek karena 8 jam perjalanan di dalam bus malam.
"Oke deh, ini masih jam 3 gue mau tidur lagi. Lo ganggu jam tidur nyaman gue." Cindy menarik selimutnya menutupi sebagian tubuh rampingnya "Besok gue ada bimbingan jadi gue gak mau kesiangan, lo kalo mau bersih-bersih pake sabun gue dulu boleh tapi jangan banyak-banyak ya... bye!" lanjutnya menutup seluruh tubuhnya dengan selimut.
"Siap boss... thanks yaa.." Dea tersenyum melihat sahabatnya berbicara sambil terpejam
"hmm.."
Setelah selesai bersih-bersih badan, Dea duduk memandangi seisi kamar sahabatnya yang super rapih dan wangi. Inhale, exhale, Dea meraih handphonenya dan membuka beberapa chat yang belum sempat ia buka. Dea membaca kemali beberapa pesan yang ia terima dari ibunya. Jarinya menari, mengetik beberapa kata yang panjang sebagai balasan untuk ibunya yang sudah beberapa kali mencoba menelephone tapi tak terjawab. Selanjutnya Dea membuka chat dari seseorang Bernama "Rey". Matanya berkaca saat membaca. Selesai, alalu ia tutup handphonenya kembali.
Dea merebahkan tubuhnya di samping Cindy, menatap langit-langit. Tapi rupanya dia tidak bisa tidur senyenyak Cindy. Dilihat jam di handphonenya menunjukkan jam 4 pagi.
"Tanggung ah bentar lagi subuh, tidurnya nanti habis subuh sekalian aja." gumamnya dalam hati
Ia pun kembali beranjak. Membuka tas ranselnya dan mengeluarkan beberapa barang pribadi untuk diletakkan di meja. Selesai sholat subuh, Dea pun menuruti keinginan badannya yang ingin segera beristirahat. Rasa kaku di pundaknya sangat terasa. Lelah rasanya semalaman menahan diri duduk di kursi sempit di dalam bus.
***
HAPPY READING
Dddrrrrttt dddddddrrrrrrrrrrrtttttttttt
Getaran dari ponsel di atas meja di samping tempat tidur cukup membuat Dea terbangun. Matanya memicing karena silau sinar matahari sudah menembus masuk lewat jendela yang terbuka. Dia melihat sahabatnya sudah tidak ada di sampingnya.
"De, gue ke kampus dulu yah, lo kalo mau sarapan udah gue siapin tuh di meja. Habisin ya!! gue gak mau kamar gue banyak semut karena sisa makanan lo. Hahaha. jam 10 paling gue udah pulang."
Sebuah pesan singkat ia buka. Dea pun meraih sebungkus bubur ayam yang sudah dingin. Tetap menyantapnya karena rasa lapar sudah terasa.
"Udah jam 9 ternyata." katanya melirik ke arah jam dinding
Kakinya berjalan membuka pintu kamar yang menghadap ke arah halaman depan rumah kost berlantai 2 itu. Bersandar pada pagar besi balkon, Dea menarik nafas dalam merasakan udara Jakarta yang masih asing baginya. Senyum tipis tersembul dari bibirnya melihat pemandangan dua anak kecil berebut jajanan masih memakai seragam sekolah, gerobak mie ayam tepat di depan bangunan kost yang ramai dikunjungi pelanggan dari yang tua hingga yang muda, lalu kucing oren duduk di tengah jalan membuat pengendara motor terpaksa turun untuk memindahkannya ke tepian.
"Mungkin si oyen mau bunuh diri." Dea bergumam lalu terkikik sendiri.
"Hey, ngapain ketawa sendiri? kesambet lo yah?" sebuah teriakan membuyarkan lamunannya.
Rupanya Cindy, meneriakinya dari parkiran kost. Langkahnya sangat sat set hingga tiba-tiba sudah di depan jendela.
"Udah mandi belom?" tanya Cindy melangkahkan kakinya memasuki kamar.
"Udah, kok cepet banget udah pulang?" jawab Dea
"Iya, gue Cuma ngumpulin tugas pengganti ujian sama absen doang."
"Gimana rasanya S2? Enak nggak?"
"Kalo dinikmati sih enak-enak aja, Cuma gak seasik waktu s1 yang kebanyakan mahasiswanya masih fresh-fresh seumuran kita. Kalo S2 ini kebanyakan mahasiswanya udah berumur. Banyak yang udah nikah, bahkan ada yang udah punya cucu juga."
"Keren banget si kamu. Terus kerjaanmu gak terganggu?"
"Bos gue si ngertiin banget kalo gue lagi lanjut S2, yang penting target gue tetep kekejar. Eh masih capek gak?"
"Udah enggak sih, karna udah mandi jadi seger."
"Yok, pergi sekarang aja!"
"Kemana?"
"Yah,gimana si. Katanya mau survei calon kantor lo. Kan besok lo udah mau kerja."
"Oiya, yaudah yuk. Bentar aku ganti baju dulu." Dea buru-buru masuk ke kamar mandi
"Buruan!!" Cindy tak sabar
"Jauh nggak dari sini?" tanya Dea dari dalam kamar mandi
"Lumayan, makanya kita pergi sekarang aja biar nggak kesorean. Soalnya Jakarta itu kalo pagi sama sore macetnya minta ampun."
"Emang kalo siang nggak macet?"
"Ya macet juga tapi nggak separah jam berangkat sama jam pulang kerja."
Keduanya Bersiap, dengan sepeda motor mereka menerobos padatnya jalanan ibu kota. Asap kendaraan, suara klakson, panas mesin dan knalpot kendaraan lain menjadi hal yang baru bagi Dea. Di tempat tinggalnya dulu jalan raya tak sepadat ini, maklum kota kecil. Mereka berkeliling, Dea merasa senang melihat bangunan-bangunan tinggi dan beberapa pusat keramaian.
Akhirnya sepeda motor mereka terhenti di sebuah parkiran mall. Dea membuka catatan di hpnya untuk memastikan alamat kantor yang mereka tuju. Yaah, Dea datang ke Jakarta untuk memenuhi panggilan kerja yang sudah di daftarnya lewat Job Fair beberapa waktu lalu.
Dua gadis itu berkeliling dari utara, selatan, timur,hingga barat kawasan mall tapi kantor yang mereka tuju belum juga ketemu. Sampai akhirnya mereka lelah dan duduk di depan gedung berkaca hijau sambil mencari seseorang yang bisa ditanyai.
"Kalo dilihat dari alamatnya emang bener di deket mall sini. Tapi kok gak nemu yah. coba lihat sini apa namanya!" Cindy mengibas rambutnya kepanasan wajahnya memerah.
" Lion Finance." jawab Dea
" Eh, mas.. mas.. mau tanya dong." Cindy berdiri dan mendekati seorang office boy yang lewat di depan mereka
"Iya mbak." Jawab si mas berbaju biru
" Kantor Lion Finance mana yah?" tanya Cindy dengan ekspresi kepanasan
"Lah itu di belakang mbak nya!" Si mas itu menunjuk sebuah tulisan di belakang tempat mereka beristirahat
LION BANK AND FINANCE
"Ya Allah.... dari tadi muter muter taunya kita duduk di teras ni kantor." Ekspresi Cindy sedikit kesal tapi menahan tawa
Mas berbaju biru terkekeh dan berlalu.
"Hahahaha... Mungkin kita laper siang-siang panas begini jadi gak lihat tulisan sebesar itu!" Dea menjawab sambil tertawa.
"Oke, akhirnya ketemu juga. Oiya, pertama gue ucapin Selamaaaaat... selamat bekerja di kota panas ini. Kedua hati-hati yah! Jakarta itu banyak orang bermuka dua baik di luar nusuk di belakang, jangan mudah percaya sama orang!" kata Cindy memberi peringatan.
"Termasuk kamu?" ledek Dea
"Ye,, gue beda. Eh, tapi kok bisa si lo daftar langsung di terima gak pake interview dulu?"
"Siapa bilang nggak interview. Interviewnya via zoom, kemarin lusa trus ditelepon diterima jadi suruh langsung datang secepatnya. Tapi aku minta waktu buat perjalanan ke sini karena rumah beda provinsi dan dibolehin." Dea menjelaskan sambil menyedot es tehnya yang sudah tak lagi dingin
"Oh, kirain. Besok kita bisa berangkat bareng, kebetulan mulai besok gue udah libur semester jadi paginya gue bisa agak santai siangnya berangkat magang dulu." kata Cindy
"Wuih,,, sibuk amat. Berapa lama lagi kamu lulus??" balas Dea
"Gue kan baru setahun ini, semoga aja setahun lagi gue udah lulus yah."
"Kalo udah lulus S2 nya kamu tetep di Jakarta atau pulang kampung?"
"Tetep di sini dong karena di sini banyak tempat buat kerja dari pada pulang kampung. Nanti kalo udah lulus, sementara gue tetep kerja di tempat magang gue ini, soalnya udah pewe di sana sambil cari-cari lagi lah nanti." kata Cindy "Ya udah cari makan yuk, laper gue"
"Yuk."
"Eh, tapi besok lo pulangnya sendiri aja yah. Nanti di jalan gue tunjukin halte-halte BRT sama stasiun KRL di sini dan gue ajarin caranya." lanjut Cindy
"Siap, sekalian aja cariin kost buat aku."
"Sementara lo tinggal sama gue aja dulu. Kan kamar gue lumayan gede, gue juga udah bilang kok ke ibu kost. Itung-itung nemenin kejombloan gue biar gak sepi-sepi amat.. Hahaha" kata Cindy terbahak
"Kasian banget si Jo-nes!"
"Eh,, lho lho lho.. Lu kan juga jo-nes baru... ha ha ha."
Mereka lanjut berkeliling kota. Cindy menunjukkan beberapa stasiun KRL dan halte busway yang bisa menjadi transportasi Dea selama hidup di Jakarta.
"Kalo di Jakarta paling enak naik busway aja atau KRL, karena kalo bawa kendaraan sendiri pasti macet, dan capek."
"Ooh, apa itu KRL?"
"Commuter Line kereta jarak deket. cuma area Jabodetabek aja jangkauannya. nanti di kost aku jelasin deh."
"Oh gitu."
"Banyak orang-orang Jakarta dan sekitarnya yang rumahnya jauh dari tempat kerjanya walopun mereka banyak yang punya mobil, mereka lebih milih berangkat kerja naik KRL atau busway, karena udah pasti lebih cepat daripada bawa mobil sendiri. Kecuali emang yang bener-bener bos atau jam kerjanya nyantai atau emang deket dari rumah mereka."
"Ooo, bagus juga dong, kalo banyak yang pake KRL kan bisa ngurangin macet dan polusi."
"Harusnya si gitu, tapi kenyataannya tetep aja makin macet dan makin polusi."
Mereka berhenti di sebuah restaurant cepat saji. Setelah memesan, Cindy menjelaskan gimana caranya naik busway dan KRL di Jakarta. Di kotanya, Dea tidak pernah menjumpai KRL dan busway, yang ada hanya bus biasa dan kereta api. Dea sangat antusias mendengar penjelasan Cindy yang sudah hafal kehidupan bertransportasi di Jakarta.
"Well. Welcome Jakarta. Hi hihi." Kata Cindy mengakhiri penjelasannya dan menyalami Dea.
"Hello Jakarta, be nice please. Ha ha ha." Dea membalas jabat tangan Cindy dan tertawa.
Hampir malam, keduanya pulang ke rumah kost mereka setelah puas berkeliling ibu kota.Dea keluar dari kamar mandi setelah puas seharian berkeliling kota dan menerobos jalanan yang panas, macet dan berdebu. Ia mengeluarkan satu persatu baju-bajunya dari dalam tas jinjing besarnya lalu memasukkannya ke dalam lemari milik Cindy yang masih ada ruang tersisa. Dea menggelar selimut di atas lantai sebagai alat untuk menyetrika bajunya.
Sebelum memasang setrikaan pada colokan, Dea memilih baju-bajunya yang tidak banyak itu untuk ia pakai besok di hari pertamanya kerja. Tangannya membolak -balik setumpuk baju-bajunya dengan wajah bingung.
"Kenapa lu ngelamun?" tanya Cindy melihat sahabatnya termenung di depan lemari.
"Aku bingung, pertama kerja pake baju apa yah? Kalo di kampung dulu kan pertama kerja pakainya batik. "
"Coba gue lihat. Baju lu segini doang?" Cindy ikut mengintip ke dalam lemari.
"Iya, makanya aku bingung."
"Pake baju gue dulu deh." Cindy membuka pintu yang lan dan memilih deretan baju-bajunya yang tergantung rapi."
"Coba nih, gue keluarin beberapa barangkali ada yang cocok buat lu." Cindy mengeluarkan beberapa pasang baju kerjanya.
Dea mencoba menjajal beberapa baju yang Cindy tawarkan. Untung postur tubuh mereka hampir sama, jadi tidak susah mencari baju yang pas untuknya.
"Nah,, ini! Cucooookk." Komentar Cindy setelah beberapa kali mencoba baju-bajunya
"Oke aku pinjam dulu yah.."
"Besok-besok pake aja yang lu mau yah, atau besok weekend aku temenin beli baju buat kerja gimana? Mau?" tanya Cindy
"Nanti dulu ah, aku kan baru mau kerja belum gajian. Mana bisa beli baju baru."
"Gue traktir. Itung-itung ini hadiah dari gue karena lu udah lolos kerja di sini."
"Ngarang banget pake hadiah-hadiah segala."
"Gue serius, gue kemarin dapet bonus dari bos karena proyeknya gol. Lumayanlah buat kita shopping. Mau nggak?"
"Beneran nih? Aku jadi nggak enak deh."
"Bener, denger yah. Lu di sini jadi tanggung jawab gue. Lu udah gue anggap kayak saudara, jadi gak perlu ngerasa nggak enak."
"Uuuuh, makasiiih" Dea memeluk manja sahabatnya itu.
***
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!