'Pekerjaanku belum selesai, mungkin nanti agak telat datangnya.'
Sebaris pesan yang berisi kata maaf berhasil membangkitkan emosi Keanne Syahira Dirgantara—direktur utama di perusahaan cabang Victory—di Kota Surabaya. Sementara kantor pusatnya, ada di Kota Jakarta.
"Selalu seperti ini. Kerja! Kerja! Kerja! Bahkan, di hari ulang tahunku dia masih mementingkan kerjaan. Ah, sial sekali aku punya kekasih seperti dia." Anne menggerutu sembari membanting kasar ponselnya ke atas meja. Dia sudah lelah dengan tingkah calon tunangannya—Nero Morvion.
Meski tampan dan kaya raya, tetapi dalam hidup Nero nyaris tak ada kata santai. Setiap harinya hanya disibukkan dengan pekerjaan, memang ambisinya untuk menjadi pebisnis besar cukup tinggi. Pikirnya, masa depan akan cerah jika uang berlimpah. Namun sayangnya, prinsip itu tidak sejalan dengan Anne.
Sebagai wanita dewasa yang sudah memiliki kedudukan tinggi, ada kalanya Anne juga ingin menikmati hidup dengan bersenang-senang.
"Punya pasangan, tapi apa-apa selalu sendiri. Tahu nggak, kamu itu sangat jahat, Nero!" Anne kembali mengambil ponselnya dan memaki dengan intonasi tinggi, sampai-sampai mencuri perhatian beberapa pengunjung yang ada di restoran itu.
Akan tetapi, Anne tidak peduli. Dia hanya ingin meluapkan kekesalannya saja.
Dengan wajah yang ditekuk, Anne meletakkan ponselnya begitu saja. Lantas, kembali memanggil pelayan dan memesan minuman untuk yang ketiga kalinya. Ya, dua gelas sudah tandas tak tersisa, dan kini ia butuh gelas ketiga untuk menemaninya menunggu Nero, yang belum jelas berapa lama lagi datangnya. Anne sudah cukup bersabar, bukan?
"Kalau sampai malam ini kamu nggak datang, aku benar-benar marah, Nero," gumam Anne sambil mengembuskan napas kasar.
Tak berselang lama, pelayan datang dan mengantarkan minuman yang dia pesan. Dengan senyum yang sangat dipaksakan, Anne meraih gelas tersebut dan mulai meneguknya.
Satu kali, dua kali, tiga kali, sampai akhirnya ... gelas minumannya kembali kosong. Namun, tak ada jua tanda-tanda kedatangan Nero di sana.
'Aku sudah lumutan menunggumu. Kamu di mana?'
Anne mengirimkan satu pesan lagi, tetapi sialnya tak kunjung dibalas. Bahkan saat Anne mencobanya meneleponnya, tak ada jawaban sama sekali. Padahal, tidak hanya dua atau tiga kali, melainkan lebih dari lima kali.
"Kesabaranku sudah habis. Aku nggak akan menunggu kamu lagi." Anne menggeram seorang diri, sembari beranjak dari tempat duduknya.
Tekad Anne sudah bulat untuk pergi. Karena menunggu pun percuma, Nero pasti tidak akan datang.
Namun, baru saja Anne keluar dari pintu restoran, seorang lelaki menghampirinya dengan langkah yang tergesa-gesa. Bahkan, napas pula terdengar memburu. Tampaknya, dia dikejar waktu untuk tiba di hadapan Anne.
"Maaf, Nona, saya sedikit terlambat."
Anne menatap jeli pada lelaki yang kini menunduk hormat di hadapannya. Raksa Saskara, begitulah Anne mengenalnya. Dia adalah tangan kanan Nero. Bukan pertama kali ini Raksa datang menemuinya, melainkan sudah beberapa kali. Apa lagi penyebabnya kalau bukan kesibukan Nero, memang sialan lelaki itu.
"Aku tidak butuh kamu. Pergilah!" Anne berkata pedas. Biarlah, ia sudah sangat kesal malam itu, dan kedatangan Raksa yang ada malah menambah emosi.
"Tapi, Nona, saya___"
Anne pergi begitu saja, meninggalkan Raksa yang belum sempat menyelesaikan kalimatnya.
Namun, sebagai seseorang yang mengemban tugas dari sang tuan, Raksa pantang menyerah. Dia turut mengambil langkah dan mengikuti Anne, yang kala itu sedang menuju ke mobil.
"Nona, tunggu sebentar!" Dengan terpaksa Raksa menghalangi langkah Anne. Pikirnya, dari pada gagal menjalankan perintah.
"Sudah kubilang aku tidak butuh kamu!"
"Tuan Nero menyuruh saya untuk memberikan ini pada Anda." Raksa menyodorkan kartu kredit milik Nero. "Tuan masih ada pertemuan dengan rekannya, jadi tidak bisa menemui Anda. Sebagai gantinya, Anda bebas membeli apa pun dengan kartu ini. Kata Tuan, anggap saja itu sebagai hadiah ulang tahun. Tuan tidak membatasi berapa juta yang akan gunakan nanti," sambungnya.
Anne tersenyum miring. Uang lagi, uang lagi. Padahal yang ia butuhkan hanyalah kehadiran Nero. Karena kalau uang, ia pun tak pernah kekurangan.
"Katakan pada tuanmu, aku tidak butuh itu! Aku bisa membeli apa pun dengan uangku sendiri," ucap Anne sambil bersiap pergi.
Namun, lagi-lagi Raksa menahan.
"Tolong jangan mempersulit saya, Nona! Ambil kartu ini dan belanjakan sesuka hati Anda. Ini perintah dari Tuan. Jika Anda menolak, sama saja dengan saya gagal menjalankan perintah. Dan nanti bonus saya tidak cair, Nona."
"Berapa bonusnya? Biar aku ganti sekarang juga. Asal kamu pergi dan jangan menghalangi jalanku lagi!" jawab Anne saking kesalnya. Kalaupun Raksa setuju, anggap saja itu sebagai bukti bahwa dirinya juga banyak uang, agar Nero tak lagi mengutamakan materi dalam hubungan mereka.
"Maaf, Nona, saya hanya akan menerima gaji dari Tuan Nero."
Anne tak menjawab lagi, hanya kakinya yang kembali mengayunkan langkah. Namun, dengan cekatan Raksa mengambil tempat di depannya. Berdiri dan menghalangi jalan, seraya menyodorkan kartu kredit yang belum jua Anne sentuh.
"Nona, saya mohon, jangan mempersulit saya!" ucap Raksa. Pelan, sopan, tetapi juga memaksa.
Karena telanjur kesal, akhirnya Anne mengambil kartu tersebut.
"Baik, kartunya kuambil. Sekarang pergi dan katakan pada tuanmu, aku akan menggunakan kartu ini untuk menyewa gi-golo. Sebagai hadiah ulang tahun karena dia sendiri tidak bisa datang!"
Usai berkata demikian, Anne mendorong tubuh Raksa dan kemudian melangkah cepat menuju mobilnya.
Sementara itu, Raksa yang terkejut dengan kata 'gi-golo', tidak sempat menahan langkah Anne. Bahkan ketika dikejar, Anne sudah lebih dulu masuk mobil dan melajukannya dengan kecepatan tinggi.
"Dia hanya bercanda, kan? Bisa mampus kalau sampai serius, karena pasti aku yang disalahkan. Emang dasar ya, satu gila kerja, satu emosian. Kenapa nggak putus saja coba. Kalau begini, aku yang pusing. Nggak ikut pacaran, tapi ikut ruwetnya. Sial banget! Untung gajinya gede," gerutu Raksa sambil berkacak pinggang, menatap ke arah jalan di mana mobil Anne berbelok dan menghilang.
Bersambung...
Anne melempar tas dan kartu kredit milik Nero dengan asal ke atas meja. Lantas, mendaratkan tubuhnya dengan kasar pula ke atas sofa yang berada di dekat meja. Tak sampai di situ saja, high heels yang ia kenakan juga dilepas dan dilempar asal-asalan. Sampai-sampai yang sebelah masuk ke kolong meja.
"Tahu gini aku nggak akan pernah tertarik sama kamu, apalagi sampai pacaran dan merencanakan tunangan! Kamu itu cowok paling brengsek yang pernah aku kenal!" umpat Anne sambil menatap foto dirinya ketika bersama Nero.
Seiring desa-han kasar yang keluar dari bibirnya, ingatan tentang dulu kembali terlintas dalam pikiran Anne. Saat dia pertama kali bertemu dengan Nero, dan langsung jatuh cinta pada pandangan pertama.
Kala itu, keduanya bertemu di acara peresmian kantor cabang milik Cakra Adiguna. Penampilan Nero yang elegan dan penuh kharisma mencuri perhatian Anne. Sampai akhirnya, ia memutuskan untuk mendekati dengan alasan membahas bisnis.
"Aku mencintaimu. Maukah kamu menjadi kekasihku?"
Setelah tiga bulan saling mengenal, kalimat itu terucap juga dari bibir Nero. Sebuah ungkapan yang disambut baik oleh Anne, karena sejatinya ... Nero adalah orang pertama yang berhasil mencuri hatinya.
Di awal hubungan, semua berjalan indah. Sikap manis Nero menjadi warna teristimewa dalam hidup Anne. Dia layaknya wanita yang paling bahagia sedunia.
Namun, perlahan segalanya berubah sedikit demi sedikit. Sikap manis dan romantis dari Nero lambat laun tergeser oleh kesibukan kerja. Dua tahun menjadi sepasang kekasih, nyatanya malah makin jarang menghabiskan waktu berdua.
"Aku sibuk kerja karena memikirkan masa depan kita. Aku ingin memberikan kehidupan yang terbaik untuk kamu dan anak-anak kita nanti," ucap Nero ketika Anne melayangkan protes atas waktunya yang habis untuk kerja—empat bulan lalu.
Pada mulanya, Anne tetap kesal. Namun, hati itu luluh mana kala Nero menyematkan cincin permata di jari manisnya.
"Ini adalah bukti keseriusanku. Tunggu aku ada waktu senggang, kita ke rumah orang tuamu dan aku akan melamarmu secara resmi."
Janji yang kala itu terdengar manis dan penuh untaian mimpi, kini tak ubahnya angin lalu yang tak ada arti. Karena kenyatannya, sampai saat ini Nero belum juga meluangkan waktu untuk datang ke Jakarta dan melamarnya di depan orang tua. Masih mengurus kontrak kerja sama, masih ada pertemuan dengan klien, masih ada pembahasan dengan rekan. Selalu saja ada alasan.
Meski diakui Nero memang sangat royal, tetapi sejatinya bukan itu yang Anne inginkan. Anne sendiri adalah wanita kaya yang sukses dalam karier, tak pernah kekurangan uang sedikit pun. Tak perlu mengandalkan laki-laki jika hanya ingin belanja perhiasaan atau barang-barang branded lainnya. Yang paling Anne butuhkan adalah perhatian dan kebersamaan, yang sayangnya malah sulit didapatkan.
Tak lama setelah Anne terdiam dalam kekesalan, tiba-tiba ia dikejutkan dengan dering ponsel.
Dengan sedikit malas, Anne mengambilnya. Setelah membaca nama 'Nero' di layar, Anne kembali meletakkannya. Ia biarkan benda itu berdering sampai beberapa saat dan diam dengan sendirinya.
Akan tetapi, tak cukup satu kali Nero menghubungi, melainkan berulang kali. Sampai telinga Anne bosan sendiri mendengarnya. Lantas pada panggilan kelima, dengan sedikit terpaksa Anne menjawabnya.
"Sayang, aku benar-benar minta maaf. Malam ini___"
"Nggak perlu dijelaskan. Hari ulang tahunku memang nggak sebanding dengan pekerjaanmu kok," pungkas Anne. Tak mau lagi mendengar alasan dari bibir Nero, sudah bosan dia.
"Bukan seperti itu, Sayang. Tadi memang ada urusan yang nggak bisa ditinggalkan."
Anne tak menyahut.
"Kartu kreditku sudah ada di kamu, kan? Belanjakan sesukamu, anggap itu hadiah ulang tahun dariku." Nero kembali bicara, dan tanpa ia sadari itu justru memancing kembali emosi Anne.
"Nggak perlu khawatir, udah kugunakan dengan baik kok. Besok notifnya pasti masuk. Kamu jangan kaget ya kalau nominal yang kupakai cukup tinggi," jawab Anne dengan asal.
"Nggak masalah, aku kerja salah satunya memang untuk kamu."
"Baguslah kalau begitu," sahut Anne.
"Kamu___"
"Sudah, jangan bicara lagi! Matikan saja teleponnya. Kamu tahu, aku akan menggunakan uangmu untuk membayar gigo-lo! Jadi, sekarang jangan menganggu waktu kami! Aku ingin bersenang-senang."
"Aku tahu kamu nggak akan melakukan itu, Anne. Aku mengenalmu lebih dari siapa pun."
Mendengar ucapan Nero, Anne hanya tertawa. Lantas berkata, "Kamu sama sekali nggak mengenalku, karena memahami mauku saja kamu nggak bisa."
"Bukan nggak bisa, memang waktuku yang nggak ada. Masa depan itu nggak cukup dengan cinta saja, Anne, harus diimbangi dengan materi."
"Yang kamu lakukan sekarang bukan untuk masa depan kita, tapi untuk kepuasan obsesimu sendiri, Nero. Aku pribadi sudah kaya, dan orang tuaku punya aset di mana-mana, kamu sendiri juga sudah mapan. Ibaratnya kita nggak kerja saja masa depan sudah cerah, tidak akan kekurangan. Lalu kenapa harus menghabiskan semua waktu untuk mengejar materi? Setidaknya sisakan sedikit waktu untuk bersantai. Harta dan kemewahan bukan poin utama yang membuat bahagia, Nero, melainkan cinta dan kebersamaan. Pahami itu!"
Embusan napas kasar keluar dari bibir Nero, usai Anne melontarkan kalimat panjang. Lantas, cukup lama keduanya terdiam. Sampai kemudian, Anne-lah yang kembali membuka suara.
"Jemput aku besok. Jika masih nggak ada waktu, kita putus aja. Aku udah lelah dengan hubungan ini, Nero."
Setetes air mata jatuh saat kalimat itu terucap dari bibirnya. Anne sangat mencintai Nero, putus darinya dan membiarkan lelaki itu dengan wanita lain pastilah menyisakan luka yang dalam. Namun, mau bagaimana lagi? Prinsip Nero tak bisa diubah, selalu mengutamakan harta, kedudukan, dan kekuasan di atas segalanya. Sebuah prinsip yang seringkali membuat Anne terbakar emosi.
Bersambung...
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 05.30, tetapi Anne masih betah bergelung di bawah selimut tebal miliknya. Meski matanya sudah terjaga sejak beberapa menit yang lalu, namun rasa malas untuk beranjak masih setia menghinggapi. Masih pagi, ada cukup waktu untuk bersantai sejenak, begitulah pikirnya.
Akan tetapi, kedamaian Anne tak berlangsung lama, karena sesaat kemudian ia terusik dengan dering ponsel yang ada di sampingnya.
"Jangan bilang kamu nggak jadi jemput," gumam Anne saat melihat nama kekasihnya di layar.
Tanpa menunggu lama, Anne pun menerima telepon tersebut. Lantas, suara Nero langsung menyambutnya dari seberang Anne.
"Sayang, bersiaplah! Sebentar lagi aku akan menjemputmu."
Mata Anne membelalak, sangat terkejut dengan ucapan Nero. Sebentar lagi akan menjemput, katanya. Yang benar saja, ini masih terlalu pagi.
"Kuharap kamu hanya bercanda, Nero."
Dari seberang sana terdengar tarikan napas panjang, seolah kurang berkenan dengan jawaban Anne barusan.
"Pagi ini aku harus menemui Tuan Kenzo, untuk membahas kerja sama yang kuajukan tempo hari. Dan tempatnya nggak searah dengan kantormu, Sayang. Tolong mengertilah!" ucap Nero setelah cukup lama terdiam.
"Apa seburu-buru itu? Nggak bisa telat sedikit?"
"Jam sembilan nanti aku ada rapat di kantor. Waktuku dengan Tuan Kenzo cukup mepet, jadi nggak bisa telat. Nanti jadwal selanjutnya ikut kacau," jawab Nero.
Anne memejam sambil mencengkeram kasar selimut yang masih menutup sebagian tubuhnya. Ia kembali merasa kesal kepada Nero, yang lagi-lagi kehabisan waktu untuk pekerjaan.
"Kamu masih punya waktu dua puluh menitan untuk bersiap," sambung Nero.
"Untuk mandiku saja itu nggak cukup. Kamu ingin aku ke kantor hanya mengenakan piyama dan rambut acak-acakan?" Anne menjawab dengan kesal. Sama sekali tak ada kesan ramah dalam nada bicaranya.
"Anne, Sayang, ayolah! Dua puluh menit itu nggak sebentar, pasti cukup untuk mandi dan dandan. Aku saja terkadang hanya lima menit."
Anne berdecak kesal. "Nggak usah jemput deh, nanti aku berangkat sendiri aja."
"Tapi___"
"Mandi dan dandan lebih lama nggak membuatku langsung miskin. Kalaupun aku menghabiskan waktu satu jam, nyatanya masih bisa kerja dan mendapatkan uang. Jadi, untuk apa terlalu menyiksa diri?" pungkas Anne. Sebuah jawaban yang membuat Nero paham bahwa kekasihnya kembali kecewa.
"Sore ini aku sedikit senggang. Nanti kujemput ke kantormu, kita makan bersama."
Anne tertawa, kemudian menjawab ucapan Nero, "Nggak usah banyak janji dulu. Buktikan saja kalau memang niat!"
Tanpa menunggu jawaban dari Nero, Anne langsung mengakhiri panggilan secara sepihak. Biarlah. Mau marah atau tersinggung, silakan. Dirinya pula kesal dan kecewa atas sikap Nero barusan.
Saking kesalnya, seharian penuh suasana hati Anne jadi buruk, dan para karyawanlah yang akhirnya terkena imbas. Banyak dari mereka yang harus mengerjakan ulang laporan yang telah ditulis, juga terpaksa lembur karena tiba-tiba deadline dimajukan.
Vita—sekretaris pribadi Anne, pun merasakan hal yang sama. Seharian bekerja seperti di bawah tekanan, wajah keruh atasannya sangat tidak sedap dipandang. Belum lagi tatapan tajamnya bila diajak bicara, membuat nyali Vita menciut dan akhirnya memilih diam. Sampai-sampai ia tak berani beranjak meski sudah hampir petang dan pekerjaan sudah selesai. Bagaimana tidak, Anne saja belum ada tanda-tanda untuk meninggalkan kursi kerjanya. Vita tak punya pilihan lain, selain bertahan dan pura-pura sibuk.
Sementara itu, dengan perasaan dongkol Anne menatap layar ponsel yang menampilkan riwayat percakapannya dengan Nero. Kekasihnya itu sudah berjanji akan segera menjemput, tetapi hampir dua jam menunggu Nero tak jua muncul di hadapannya.
"Kau pulanglah!" ucap Anne sambil melirik sekilas ke arah Vita.
"Tapi, Bu___"
"Jika aku menginap, apa kau juga akan ikut menginap?" potong Anne. Dia tak mau lagi mendengar basa-basi dari Vita. Dia tahu sekretarisnya itu berharap pulang sejak tadi.
Namun, belum sempat Vita pamit dan beranjak pergi, pintu ruangan diketuk dari luar. Tanpa diperintah, Vita langsung bangkit dan menyambut orang tersebut, yang ternyata adalah Nero.
Usai mempersilakan Nero, Vita lekas berkemas dan pamit undur diri, meninggalkan Anne yang masih memasang tampang masam.
"Nggak kurang lama? Baru dua jam loh, harusnya digenapi lima jam. Lebih keren," sindir Anne ketika di ruangan itu tersisa dirinya dan Nero.
"Maaf, Sayang." Nero menggenggam tangan Anne. "Tadi ada Tuan Sanjaya. Kamu ingat, kan? Orang yang akan membuka hunian baru dan memintaku untuk berinvestasi di proyeknya. Nah, tadi dia tiba-tiba datang dan membahas itu. Aku sudah berusaha menyingkat waktu, Sayang, ini hanya Raksa yang kusuruh melanjutkan sampai mencapai kesepakatan. Aku sendiri memilih ke sini demi kamu," sambungnya.
Anne tak menyahut, sekadar menarik napas panjang dan memutar bola mata dengan malas.
"Sekarang waktuku free buat kamu. Setelah makan, bilang saja mau ke mana, aku temani kamu," ucap Nero, kembali membujuk Anne.
"Sudah kubilang jangan banyak janji. Buktikan saja kamu nggak pergi selagi kita masih makan." Anne menyahut sambil melepaskan genggaman Nero.
Tak peduli dengan embusan napas kasar dari sang kekasih, Anne bangkit begitu. Sejenak merapikan rambut panjangnya yang kecokelatan, lalu melangkah pergi dan membiarkan Nero tertinggal di belakang.
"Sayang, please! Cukup ya ngambeknya. Aku janji nggak akan pergi sebelum ngantar kamu pulang." Nero bicara sambil menjajari langkah Anne, lantas merengkuh pinggangnya dan membawanya dalam pelukan.
Dalam sesaat, kekesalan Anne sedikit mengendur. Pelukan hangat dan wangi black musk dari tubuh Nero berhasil melunakkan hatinya. Tak dipungkiri, Anne memang merindukan dua hal itu, yang entah kapan terakhir kali ia merasakannya.
"Sekali lagi maaf ya, aku sudah sering mengecewakan kamu," bisik Nero, yang kemudian diakhiri dengan kecupan lembut di kening Anne.
"Aku hanya ingin menghabiskan lebih banyak waktu bersama kamu. Kita tinggal di kota yang sama, tapi untuk bertemu begitu sulit. Bahkan, untuk membalas pesan dan menjawab telfon pun seringnya juga telat."
"Aku benar-benar minta maaf, Sayang," jawab Nero sambil mengusap lembut rambut Anne.
______
Di dalam restoran mewah yang menyajikan makanan khas Italia, Anne dan Nero duduk berhadapan sambil berbincang ringan. Memanfaatkan waktu sebelum pramusaji mengantarkan pesanan.
Keduanya sama-sama bahagia. Anne bahagia karena akhirnya bisa menikmati waktu berdua dengan kekasih, sedangkan Nero bahagia karena melihat kembali senyuman Anne.
"Oh ya, ini kartu kamu. Aku nggak menginginkan hadiah yang berlebihan, cukup hadirnya kamu di sampingku," ujar Anne. Ia kembalikan kartu kredit yang sama sekali belum digunakan. Anne ingin menegaskan bahwa bukan harta yang ia harapkan, melainkan kebersamaan.
Namun, Nero menolaknya secara halus.
"Pegang saja, Sayang! Sebagai lelakimu, aku akan senang jika kamu mau mengandalkan aku."
"Aku___"
Ucapan Anne terhenti karena dering ponsel Nero. Anne terpaksa diam dan membiarkan Nero berbincang dengan seseorang di seberang, yang entah siapa gerangan. Namun, dari potongan-potongan jawaban yang Anne dengar, sepertinya ... Nero ada agenda lain setelah ini.
"Siapa yang telfon?" tanya Anne.
Nero menarik napas panjang. "Raksa."
"Ngomong apa dia?"
Nero terdiam.
"Ada kerjaan lagi, ya?" tanya Anne dengan mimik wajah yang kembali keruh.
"Tuan Morgan meluangkan waktu untuk makan malam denganku."
Anne berdecak kesal. Lantas, menatap Nero sambil tertawa remeh. "Ternyata benar. Kamu akan pergi selagi kita masih makan. Ahh, salah, malahan kita belum makan."
"Sayang, tolong jangan marah! Ini demi bisnis. Jaringan Tuan Morgan di luar negeri sudah luas. Dari dia, aku bisa mendapat jalan untuk mendistribusikan produk-produk perusahaan di luar negeri sana. Tuan Morgan ini orangnya sibuk. Raksa sudah dari dua minggu lalu menghubunginya dan baru ada waktu sekarang. Sayang, aku nggak mungkin melewatkan kesempatan ini," terang Nero dengan panjang lebar. Namun, tak membuat Anne luluh begitu saja.
"Kalau begitu aku pulang sekarang."
Anne sudah beranjak dan bersiap pergi. Akan tetapi, Nero dengan cepat menahan tangannya.
"Sebentar lagi pesanan kita siap. Masih ada waktu untuk menikmatinya sampai Raksa tiba. Nanti, biar dia yang mengantarmu pulang. Dia sudah selesai kok dengan Tuan Sanjaya dan siap meluncur ke sini," ucap Nero.
"Raksa lagi, Raksa lagi! Pacarku itu kamu, bukan Raksa!"
"Aku tahu, tapi aku benar-benar nggak bisa melewatkan kesempatan dengan Tuan Morgan, Sayang." Nero tetap bicara lembut meski Anne sudah melontarkan bentakan.
"Aku bisa pulang sendiri."
"Tadi aku yang jemput kamu. Mana bisa aku membiarkanmu pulang sendirian. Biar Raksa nanti yang ngantar. Dia orang kepercayaanku, kamu aman sama dia," kata Nero sambil membimbing Anne untuk duduk kembali.
Sesaat kemudian, pramusaji datang dan mengantarkan pesanan mereka. Namun, Anne sudah tak ada selera untuk menyantapnya. Terlebih saat melihat Nero menyuap makanan dengan cepat, seolah dikejar syetan. Hilang sudah rasa lapar Anne.
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!