NovelToon NovelToon

Kau Fitnah Aku, Ku Jebak Daddy Mu

Awal bermula kehancuran

"Aku Galih Abdi. Hari ini juga aku menjatuhkan kamu talak 3, dan mulai hari ini, kau bukan istriku lagi!" Lantang Galih menceraikan istrinya sambil meletakkan di hadapan wanita itu surat penceraian yang ternyata sudah dia siapkan dari beberapa hari sebelum Indira melahirkan.

Kaget, sedih, kecewa, sakit, marah, bercampur menjadi satu dalam diri wanita berusia 20 tahun itu saat melihat surat cerai di hadapannya yang di letakkan oleh pria yang begitu ia cintai.

Belum hilang rasa sakit di bahagian kewanitaannya karena baru saja 30 menit ia selesai dan selamat melahirkan benih pria itu, bukannya mendapat kebahagiaan yang dia harapkan, tapi pria itu menceraikannya dengan nada lantang dan nyaring.

Tubuhnya bergetar mengambil lembaran kertas di hadapannya. Ia membaca seperti tak percaya dengan apa yang dia lihat, ternyata pria itu benar-benar ingin menceraikannya.

Mengangkat padangan dengan kedua pipi semakin deras di banjiri air mata, dadanya terasa begitu sesak saat melihat Gladis sahabat baiknya sedang memeluk lengan si sang suami terlihat mesra.

"M-Mas... A-apa maksudnya ini? Kenapa kau tega menceraikan aku, Mas? Kenapa? Belum 1 jam aku melahirkan buah hati kita, tapi kau sudah menceraikan aku, Mas. Kenapa? Aku salah apa padamu, Mas?"

"Dan ada hubungan apa, Mas Galih dengan Gladis, Mas?" Lanjut Indira dengan suara bergetar hebat.

Galih mendekati istrinya kemudian memperlihatkan foto-foto Indira bersama seorang pria yang terlihat begitu mesra, dan ada berapa foto-foto Indira yang tidur bersama Bagus salah satu sahabat Galih.

Indira menggeleng keras, "Tidak, Mas! Mas Galih jangan percaya dengan apa yang, Mas Galih lihat ini! Ini semua tidak benar, Mas! Aku tidak memiliki hubungan apapun dengan Mas Bagus, Mas! Tolong percaya sama aku...." Indira menangis dan berusaha meraih tangan Galih, tapi secepat kilat pria itu menarik tangannya untuk menjauh.

"Jangan menjadi wanita munafik dan merasa dirimu lah yang paling terzholimi." Sinis Galih.

"Kau tidak bisa mempercayai foto-foto ini begitu saja, Mas! Aku tidak pernah melakukan apa yang ada dalam foto ini! Ku mohon percaya padaku, Mas! Aku tidak pernah selingkuh dengan siapapun termasuk Mas Bagus... Tolong percaya sama aku, Mas!" Indira menangis semakin deras dan terus berusaha memohon pada pria itu.

"Cukup! Indira! Aku sudah mengatakan talak dari bibirku, itu artinya aku sudah menceraikan kamu! Dan tentang hubungan aku dengan Gladis, aku sudah menjalin hubungan dengan Gladis selama 6 bulan, dan saat ini Gladis sudah mengandung anakku."

"Aku memutuskan selingkuh saat mengetahui jika ternyata kau juga selingkuh dan tidur bersama laki-laki lain di luar sana, bahkan sampai kau hamil."

"Dan lagi, kau ambil saja anak haram yang baru setengah jam itu kau lahirkan, aku tidak ingin melihat, apa lagi sampai menyentuh anak haram itu!" Ucap Galih menghancurkan hati Indira sehingga tak berkeping.

Indira menutup mulutnya tak percaya dengan apa yang dia dengar. Ternyata suaminya itu menganggap dia hamil anak orang lain, dan lagi pria itu juga terang-terangan memberitahukan padanya tentang perselingkuhannya dengan sahabat baiknya Gladis yang ternyata duri dalam daging.

Indira tak mampu mengeluarkan kata-kata lagi melihat semua fitnah yang telah Gladis lakukan itu.

Galih mengambil pulpen dari dalam sakunya kemudian memberikan pulpen tersebut pada Indira yang tak berdaya meski hanya untuk membela diri sedikitpun.

"Tandatangani surat penceraian ini, setelah itu kita berdua resmi bercerai. Dan ingat, kau jangan memperlihatkan wajahmu lagi di hadapan ku, setelah kita resmi bercerai, aku jijik melihat mu. Tidak ada nafkah lagi dariku, karena anak yang baru saja kau lahirkan itu bukan darah daging ku!"

"Aku juga mengharamkan sepeserpun uang untuk aku berikan padamu, dan juga pada anak haram itu!" Tegas Galih melempar pulpen tepat mengenai dahi Indira yang menyebabkan dahi gadis malang itu terluka.

Berusaha menegakkan hati yang terasa begitu rapuh atas tuduhan dan hinaan yang di ucapkan oleh Galih. Dengan tangan bergetar menahan sakit pada sekujur tubuhnya yang tak kalah sakit hatinya sehingga menjadi luka tak berdarah. Akhirnya wanita lemah itu menandatangani surat perceraiannya dengan Galih dan keduanya resmi bercerai.

Galih mengambil surat cerai tersebut tanpa mengeluarkan sepatah kata lagi dan langsung keluar dari ruangan Indira di rawat. Gladis tak langsung menyusul Galih keluar, ia mendekati Indira dengan tatapan sinisnya.

Gladis tersenyum miring dengan angkuh mengangkat dagu Indira agar bisa melihat wajahnya.

"Mau aku kasih tau satu rahasia?" Ucap Gladis tanpa rasa bersalah sedikitpun.

Ia mendekatkan bibirnya ke telinga gadis itu dan berbisik, "Aku yang telah memfitnah mu, Indira. Kau yang terlalu polos atau memang terlalu bodoh, aku sudah lama mendambakan suami mu yang tampan itu. Dan......" Menggantung ucapannya dengan bibir semakin di dekatkan pada kuping Indira.

"Suara desahan yang sering kau dengar setiap malam, itu adalah suara desahan ku yang berasal dari kamar tamu setiap kali aku menginap di rumahmu. Tentu saja kau tahu aku melakukannya dengan siapa." Gladis tak lagi menyembunyikan semua kebusukannya pada Indira yang terdiam membeku mendengar pengakuan Gladis.

Iya, benar selama ini Indira sering mengadu pada temannya itu jika dia seperti selalu mendengar suara desahan dari arah yang dia sendiri tak tahu.

Dan rasa penasaran itu akhirnya terjawab setelah Gladis sendiri yang mengakui kelakuan tidak wajarnya pada Galih waktu itu masih status suaminya.

"Kenapa kau tega melakukan ini padaku, Gladis? Padahal kita sahabat baik sudah cukup lama. Tapi kenapa kau tega pada ku?" Suara bergetar dari bibir gadis itu bertanya pada Gladis.

Gladis mengangkat bahu acuh, "Singkat saja alasannya, itu karena aku menyukai dan mendambakan suami mu." Jawab Gladis membalik badan kemudian pergi begitu saja dari hadapan Indira tanpa rasa bersalah.

Indira menangis sejadi-jadinya tak pernah membayangkan akan seperti itu nasibnya. Ia tak menyangka jika Gladis adalah sahabat yang akan menghancurkan rumah tangganya.

Seperti itulah sebuah kehidupan, jika kita baik, kadang orang-orang memanfaatkan kebaikan kita, tapi jika kita jahat, maka orang-orang juga akan menjauhi kita. Hidup tidak ada yang sempurna, kadang ada suka, dan kadang ada duka.

Mempercayai seseorang itu bisa, tapi di cukupkan saja dengan porsi yang wajar, begitu pun sebaliknya, membenci seseorang itu juga bisa, tapi cukup dengan sewajarnya saja. Karena saat kematian menjemput, hanya pada orang-orang sekeliling kitalah yang kita harapkan untuk mengangkat jasad kita. Karena sepanjang sejarah, belum ada manusia yang mati dan menguburkan dirinya sendiri.

Tak sampai di situ, tiba-tiba saja ponsel Indira berdering.

Dengan tangan lemah ia berusaha mengangkat panggilan tersebut.

"Hello, Assalamualaikum, Indira." Kata seseorang dari seberang panggilan.

"Waalaikumussalam." Jawab Indira bersamaan alisnya mengerut sambil berusaha menahan tangisnya agar tidak terdengar oleh orang di seberang panggilan.

"Maaf, Indira. Tapi, Ayahmu baru saja meninggal akibat kecelakaan." Kata orang di seberang panggilan terdengar cemas.

Pembalasan Di Mulai

Ponsel Indira jatuh dari tangannya saat mendapat kabar yang memilukan. Hatinya bergetar hebat terasa begitu nyeri, kesakitan tak ada habisnya datang bertubi-tubi tanpa memberikannya sedikit waktu saja untuk bernafas sejenak.

Baru saja ia melahirkan dan di ceraikan oleh suaminya. Sekarang dia harus mengalami hal buruk karena Ayahnya juga meninggal karena kecelakaan yang menimpa pria paruh baya itu.

Musibah yang menyakitkan menimpanya bertubi-tubi. Ia berusaha menurunkan kakinya untuk berdiri tapi hasilnya nihil, ia belum sejam melahirkan. Jadi tubuhnya masih terlalu lemah untuk berlari pergi dari rumah sakit ke lokasi sang Ayah kecelakaan.

Hanya bisa menangis tak berdaya, tak ada siapapun yang dia harapkan untuk menolongnya saat ini karena ia hanya anak tunggal dan memiliki beberapa paman dan tante. Tentu saja ia tak berharap banyak karena saudara Ayahnya tidak ada yang menyukai dia dengan almarhum Ayahnya. sedangkan sang ibu sudah lama berpulang.

Mengetahui Ayah Indira meninggal, saudara-saudara Ayahnya bukannya bersedih atau mencari dirinya, tapi mereka sedang memperebutkan tanah, rumah, dan lahan yang berhektar milik Ayah indira untuk mereka jual. Padahal semua yang di dapat kan itu hasil dari kerja keras Ayah Indira sendiri.

,,,

Sehari berlalu dengan cepat. Indira yang masih sakit dengan wajah pucat-nya terpaksa keluar dari rumah sakit saat merasa dia tak akan mampu untuk membiayai rumah sakit lagi, Indira tak memiliki sepeser uang-pun dalam dirinya setelah selesai membayar tagihan rumah sakit.

Ia juga memilih kembali ke rumah Ayahnya, mengingat di suami sudah resmi menceraikan dirinya. Setibanya di sana, berharap ia bisa beristirahat dengan tenang, tapi bukannya tenang. Ia malah melihat rumah itu sudah di gembok dari luar.

Langkah kaki lemahnya berjalan mendekati pintu rumah dan melihat gembok tersebut.

Kaget, "Kenapa rumah ini di kunci?" Ucap Nadira menahan rasa sakit di sekujur tubuh sambil menggendong bayinya.

Kebetulan Indira melihat ada seorang ibu-ibu yang lewat, "Bu, apa ibu tahu kenapa rumah Ayah di gembok, bu?" Tanya Indira.

"Oh, itukan rumahnya sudah di jual kemarin, sama saudara almarhum Ayah kamu, Indira. Saat selesai Ayahmu di kebumikan, rumah dan semua lahan Ayahmu langsung di jual oleh saudara-saudara, almarhum," jawab ibu tersebut membuat Indira semakin terkejut.

"Apa! Di jual? Bagaimana bisa rumah ini di jual, buk? Surat-surat tanah sama rumah ini kan Ayah yang menyimpannya? lalu bagaimana bisa paman dan bibik ku bisa menemukan semua surat-suratnya?" Ucap Indira seperti tidak percaya.

"Kalau itu mah ibu juga tidak tahu, yang pastinya kemarin saudara Ayah kamu sudah menjual rumah itu, tanah dan juga lahan Ayahmu juga sudah di jual semuanya." jawab ibu-ibu tersebut.

Ya Allah... Berarti dari awal paman dan bibik sudah merencanakan untuk menjual rumah ini... Mereka bukannya sedih melihat Ayah yang baru saja meninggal, tapi mereka malah memperebutkan harta Ayah. Batin Indira.

Indira tak tahu ingin berkata apa lagi, ia memilih pergi dari rumah tersebut setelah tahu rumah itu bukan hak Ayahnya lagi.

Tiba-tiba terdengar suara petir bersamaan hujan turun dengan derasnya.

Ia membawa bayinya ke sebuah pondok yang terlihat kumuh tapi masih bisa untuk melindunginya dari terkena tetesan air hujan yang akan membahayakan bayinya.

"Ya Allah... Kenapa ujian ini sepertinya tidak ada habisnya, Ya Allah... Aku benar-benar sangat menderita." Tangis Indira memeluk bayinya erat menumpahkan kesedihannya.

Lama menangis akhirnya dia tertidur pulas sambil bersandar di tiang pondok rapuh itu.

Oek! Oek! Oek!

Terdengar tangisan sang bayi membuat Indira terbangun dan membuka netra berusaha mendiamkan bayinya.

Ia memegang tubuh bayi itu yang ternyata sangat pantas, "Dia demam... Apa yang akan aku lakukan... Aku tidak tahu apa-apa tentang bayi." Panik Indira berusaha berdiri untuk meminta bantuan orang-orang.

Sudah berapa rumah yang dia ketuk, tak ada satu orang pun yang ingin membukakannya pintu. Entah mereka mendengar ketukan gadis itu, atau sengaja membuat tidak dengar. Yang pastinya saat ini sudah menunjukkan pukul 1 dini hari.

Indira kembali berjalan dengan putus asa membawa bayinya pergi ke salah satu puskesmas terdekat dengan berjalan sambil bertelanjang kaki.

Setibanya ia di puskesmas terdekat, ia langsung meminta doktor untuk menangani bayinya.

Ternyata sang bayi sudah meninggal akibat kesejukan terkena hawa dingin malam, apa lagi hujan dan angin yang begitu deras membuat bayi yang baru lahir itu tidak bisa bertahan hidup dengan lingkungan tak mendukung.

Indira sangat terpukul, bayi yang baru saja lahir sehari, kini sudah pergi lagi meninggalkan ia sendirian. Tak ada siapapun tempat untuk bergantung hidup. Semua telah pergi meninggalkan dirinya yang terpuruk sendirian menahan rasa sakit di hati dan juga di fisik.

Indira kembali menangisi nasibnya. Karena sekarang sudah begitu larut dan orang-orang sudah banyak yang terlelap tak ada lagi yang berkeliaran hanya tinggal dirinya.

Dengan hati luka ia menggendong bayinya berjalan masih bertelanjang kaki menangis di perjalanan seperti orang gila bersamaan hujan kembali turun dengan deras.

"Ibu... Ayah.... Aku benar-benar menderita... Tidak ada orang atau siapapun yang peduli padaku. Aku sendirian, Ayah, ibu...." Teriak Indira sambil terus berjalan tanpa arah membawa bayi dalam gendongannya yang sudah basah kuyup tak bernyawa lagi.

Malam yang gelap dengan petir dan guntur saling bersahutan tak membuat gadis itu takut maupun lelah dengan kedua kaki terus melangkah merasa hancur dan putus asa karena fitnah yang sudah di lakukan oleh sahabat baiknya sendiri.

Aku benar-benar hancur....

Kedua kaki gadis itu terhenti tepat di sebuah hutan kecil di sana sangat gelap dan sepi. Ia masuk ke dalam hutan tersebut hanya berharap kilat untuk menjadi menerang penglihatannya.

Indira membaringkan jasad bayi dalam gendongannya ke tanah, kemudian ia menggali tanah yang memang sudah lembut akibat terkena hujan deras. Ia berniat untuk menguburkan jasad bayinya sebelum bayi itu berlarut dan akan bau.

Cukup lama gadis itu berusaha menggali kuburan untuk anaknya akhirnya dia berhasil menguburkan sang bayi tanpa bantuan siapapun.

Indira memeluk tanah tempat peristirahatan sang anak yang terakhir di muka bumi.

"Aku berjanji! Aku akan membalas dendam ku pada kalian semua yang sudah membuat aku menderita! Aku berjanji pada diri ku sendiri, kalian semua akan hancur! Seperti mana kalian sudah menghancurkan aku!" tekad Indira menggenggam tanah kuburan bayinya penuh tekad.

"Aku akan menghancurkan kamu, Mas! Dan aku juga akan menghancurkan kau Gladis Bahana Calvin Cakra!" dendam yang membara dari kedua bola mata Indira.

,,,

Setahun kemudian.

Tap Tap Tap

Langkah kaki seorang gadis cantik nan seksi yang memperlihatkan belahan dada serta paha mulusnya dari balik belahan gaun indah yang dia pakai.

Tampak gadis itu berjalan dengan langkah elegan memakai topeng karena saat ini dia berada di sebuah acara dansa.

Indira membawa dua gelas minuman yang sudah ia siapkan untuk targetnya malam ini.

Bola mata indah itu tertuju pada seorang laki-laki tampan yang duduk di kursi VVIP sedang menonton acara dansa.

Calvin Cakra. Malam ini kau milikku! Putri mu sudah merebut semua kebahagiaanku dan merampas segalanya dari ku. Aku akan menghancurkan keluarga mu juga, bagaimana putri mu menghancurkan keluarga ku!. Batin Indira tersenyum jahat menatap laki-laki berusia 40 tahun tapi masih terlihat begitu muda dan kekar beserta tubuh tampak kokoh dan tegak tapi terlihat begitu dingin.

Jebakan

Gadis itu sudah tiba di dekat Calvin. Ia tersenyum miring di balik topengnya kemudian pura-pura terjatuh dan mengenai Calvin.

"Arh" Indira berteriak pelan seolah-olah gadis itu kesakitan.

"Kau tidak apa?" Tanya Calvin pada Indira membantu ia duduk di sebelah pria itu.

"Saya tidak apa-apa, Tuan. Maaf jika saya sudah menganggu ketenangan, anda," Indira berbuat seolah dia merasa bersalah.

Calvin mengerut merasa tidak asing dengan suara gadis di balik topeng itu. Meski dia tidak begitu akrab dengan sahabat putrinya, tapi dia seperti merasa gadis di harapannya itu adalah sahabat putrinya.

"Anda terlihat hanya sendiri, Tuan." ucap Indira tersenyum di balik topeng.

"Hm, saya memang datang sendirian." Jawab Calvin tak begitu tertarik dengan gadis yang mengajaknya berbicara.

"Benarkah? Kebetulan saya juga sendiri. Ini saya ada membawa dua soda, kebetulan saya juga bingung ingin memberikan pada siapa. Bagaimana jika ini buat anda saja?" Indira akhirnya menjalankan aksinya yang dari awal sudah ia susun dengan rapih.

Calvin melirik sejenak ke arah soda yang berada di genggaman gadis itu. Tanpa berpikiran panjang ia mengambil soda dari tangan Indira dan langsung meneguknya hingga tuntas.

"Terima kasih." Ucap Indira tersenyum manis beredar dari hadapan Calvin.

Baru saja berapa saat gadis itu pergi dari hadapan Calvin, pria itu sudah mulai merasa kepanasan. Tampak Calvin mulai melonggarkan dasinya kemudian membuka kancing kemeja yang berada di balik jasnya.

Indira yang memperhatikan gerak-gerik Calvin dari kejauhan tersenyum miring saat rencananya berjalan dengan lancar.

Saatnya kehancuran keluarga mu, Gladis!. Batin Indira.

Calvin yang semakin tidak bisa mengontrol diri akhirnya berjalan menjauh dari keramaian. Tentu saja Indira mengikuti kemanapun langkah pria itu akan berjalan.

Tak di sangka Calvin menuju resepsionis dan memesan kamar yang kebetulan acara tersebut memang di adakan di sebuah hotel.

Setelah memesan kamar, Calvin langsung saja berjalan menuju lantai di mana berada nomor kamar pria itu.

Ting!

Saat lift terbuka, Calvin keluar dari lift dengan langkah yang mulai oleng dan penglihatan terasa kabur.

"Apa, anda membutuhkan bantuan?" Tanya Indira memegang lengan Calvin.

Pria itu tak menjawab, ia membiarkan gadis yang tak asing baginya membawanya masuk ke dalam kamar yang sudah ia pesan.

Tiba dalam kamar Calvin langsung mendorong tubuh Indira dan menghimpitnya ke dinding.

"Kau mencoba menjebak ku!" Tanya Calvin menarik topeng yang di pakai Indira.

Wajah cantik gadis itu terlihat utuh dengan lipstik terang berwarna maron menghiasi bibir indahnya. Tapi penglihatan Calvin sudah mulai tidak jelas dan hanya bisa melihat Indira samar-samar.

"Apa itu yang berada dalam pikiran, anda?" Tanya Indira memegang rahang Calvin.

"Apa kau tidak malu dengan apa yang sudah kau lakukan ini? Apa kau sebagai wanita begitu murahnya?" Tanya Calvin berusaha mengontrol diri yang begitu mendambakan sentuhan dari seorang wanita untuk memuaskan hasratnya yang sudah mulai di ubun-ubun.

Indra tersenyum kemudian membawa pergelangan tangan Calvin ke dadanya yang sudah terbuka.

"Bukankah kau menginginkan ini?" Ucap Indra sengaja meraba tubuh pria itu untuk membuat Calvin tidak berdaya di hadapannya.

Calvin memegang kasar dagu Indira, "Bukankah kau yang menginginkannya?" jawab Calvin.

"Kalau iya, kenapa? Kau ingin menolak ku?"

Menyeringai, "Tentu saja tidak, bukankah kau sudah mengantar tubuhmu dengan gratis? aku akan melayani keinginan hatimu."

 Akhirnya Calvin hilang kendali dan menarik tubuh Indira ke atas ranjang langsung menyetubuhi gadis itu.

Dan ternyata Indira sudah bekerja sama dengan resepsionis tadi untuk mengantar Calvin ke dalam kamar yang sudah ia siapkan camera untuk merekam permainan panas keduanya di atas ranjang.

"Aku puas! Aku puas bisa melihat mu tidak berdaya!" Bisik Indira di telinga Calvin setelah dua jam permainan panas mereka akhirnya pria itu jatuh di sampingnya dengan tubuh yang kelelahan dan langsung tertidur.

"Semua yang terjadi padamu ini, itu karena ulah picik dari putri mu yang sudah menghancurkan hidupku. Selamat menikmati tidur pulas mu, Jenderal Calvin Cakra!" Bisik Indira lagi kemudian berdiri dan memakai pakaiannya.

Ia tersenyum puas kemudian meletakkan satu rekaman permainan panasnya bersama pria itu. Ia juga tak lupa menyimpan sebuah nota yang bertuliskan.

Jika anda tidak ingin rekaman ini menjadi konsumsi publik yang akan menghancurkan nama baik, dan karir anda, maka itu lebih baik anda segera nikahi aku. Dan jika anda menolak, itu tidak masalah bagiku, karena kelemahan anda, ada padaku. Dan jangan salahkan aku, jika kau di pecat dengan cara tidak hormat dari jabatanmu.

Seperti di atas itulah pesanan yang Indira simpan beserta nomor ponselnya di atas meja rias.

Sedangkan Ajudan Wido sudah mencari kemana-mana tapi tetap tidak menemukan Jenderal Calvin yang menghilang tiba-tiba dari acara dansa.

"Mungkin Jenderal sudah kembali ke kediamannya." Gumam Ajudan Wido yang akhirnya memilih pulang karena ia juga sudah begitu lelah.

Iya, Calvin Cakra adalah seorang Jenderal yang berpangkat tinggi. Calvin Cakra masih memiliki seorang istri yakni ibu Gladis yang biasa di panggil Nyonya Zilva, tapi Nyonya Zilva terkenal dengan keangkuhannya saat di sekeliling orang-orang terdekatnya. Hanya publik yang menganggap Zilva adalah seorang istri dari seorang Jenderal yang baik hati dan pemurah.

Tentu saja itu semua yang hanya terlihat oleh publik. Nyatanya tak sesuai dengan kenyataan.

,,,

Sang surya masuk ke celah-celah tirai yang menutupi jendela dan menyinari mata seorang gadis yang tertidur pulas.

Saat merasa matanya seperti terkena sinaran matahari, akhirnya gadis itu terbangun dan meluruskan tulang-tulangnya sambil tersenyum bahagia karena tak lama lagi dia akan memulai hidup baru dengan cara masuk ke dalam keluarga Calvin Cakra untuk menghancur dan memporak-porandakan keluarga itu.

"Hari ini sangat berbeda dari biasanya. Aku merasa hari ini sepertinya sangat indah..." Gumam Indira masuk ke dalam kamar mandi dan menggosok giginya kemudian berkumur-kumur.

Selesai menggosok gigi dan sarapan serta bersiap-siap. Indira langsung berangkat pergi bekerja di salah satu Restoran milik temannya, ia juga bekerja sebagai Manajer di Restoran tersebut.

Di lain tempat, terlihat Gladis yang memeluk lengan suaminya.

"Sayang, makan siang nanti kita makan di luar yuk," ajak Gladis memeluk mesra sang suami.

"Tapi nanti aku ada rapat, sayang. Apa kau bisa pergi bersama Mommy saja?" Jawab Galih membuat Gladis cemberut.

"Tapi aku maunya makan sama kamu, Mas!" Ketus.

"Baiklah, itu tidak masalah. Nanti akan aku usahakan, ya sayang." Jawab Galih malas memperpanjang perdebatannya dengan Gladis yang manja dan suka membesar-besarkan masalah.

"Makasih, sayang." Gladis sangat bahagia dan mencium pipi Galih.

Kembali ke Restoran.

"Manager Indira, ada salah satu pelanggan kita yang ingin bertemu dengan, anda," ucap salah satu pelayan memberitahukan gadis itu.

"Mana orangnya?" Tanya Indira.

"Orangnya berada di ruang VIP."

"Baiklah, aku akan segera ke sana." Indira langsung saja melangkah ke ruang VIP untuk bertemu dengan orang yang mencari keberadaannya.

Cklek

Saat membuka pintu, gadis itu langsung di suguhkan pemandangan dingin dari pria yang berada di dalam.

Bukannya takut, Indira malah tersenyum tipis melangkah elegan mendekati pria tersebut.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!