NovelToon NovelToon

Living The Underworld

Chapter 1

Untuk yang memilih buku ini, terimakasih. Saya usahakan update setiap hari. Jangan lupa like, ya. Komentar juga boleh, tapi jangan ke aku. Komentari karakternya aja✌️🙏🖤

![](contribute/fiction/7872545/markdown/21004989/1701347326334.png)

Tanda tangani.

Cukup tanda tangani kertasnya!

"Ini sempurna, Millie. Aku bisa membayangkan lukisan ini menggantung di ruang makan rumahku." kata Mr. DeLuca, mengabaikan bolpen yang kusodorkan dan mengeluarkan bolpennya sendiri.

Cepat, tanda tangani!

Dari tempat dudukku, aku mencoba memerintah bolpennya melalui pikiran agar bergerak. Kesepakatan sudah dicapai, dan yang kubutuhkan hanya satu tanda tangan saja. Ini akan selesai seandainya dia mencoret kertas yang dia pegang.

Sejak memutuskan untuk mengembangkan bisnis dan membuka galeri, lukisan ini akan menjadi penjualan pertama dari hasil karyaku sendiri. Sejauh ini kami masih bertahan tanpa keuntungan, hanya bantuan para seniman dan fotografer yang kami sewa, tapi yang satu ini benar-benar milikku. Bagiku ini bukan hanya sekedar keberhasilan menjual karya, namun lebih kepada validasi bahwa aku sudah menentukan pilihan yang tepat. Bahwa melompat untuk mengejar mimpiku adalah hal yang benar, di luar protes dari orang-orang penting di hidupku. Ini membuktikan aku bisa, dan karyaku akan di terima. Dan mungkin... mungkin aku memang handal di bidang ini.

Lukisan yang akan di beli Mr. DeLuca menurutku agak kekanakan, dan meskipun aku menginginkan keberhasilan penjualan ini, tetap saja agak sulit bagiku melepaskannya. Aku bekerja selama berbulan-bulan untuk memoles dan memoles lagi. Namun, entah kenapa aku merasa lukisan itu tidak pernah selesai. Bahkan, walaupun saat ini dia menggantung indah di galeri, aku masih merasa ada yang janggal. Di tambah lagi, ini bukan karya terbaikku, dan itulah yang membuatku terkejut saat Mr. DeLuca mengatakan ingin membelinya seharga tiga belas ribu dolar.

Napasku tersekat saat dia menggerakkan tangan, menggores bagian bawah kertas, dan dengan begitu saja lukisan itu jatuh kepadanya.

Aku berhasil! Aku menjual karya pertamaku!

"Nah, Millie, aku yakin ini takkan menjadi kesepakatan terakhir kita. Aku tidak sabar menantikan apa yang bisa kau tawarkan berikutnya padaku. Siapa tahu aku akan menjadi langganan tetap untuk hasil karyamu yang lain." Dia mengedipkan mata, lalu mengulurkan cek padaku.

Tiga belas ribu dolar!

Tanganku nyaris gemetar saat aku menerima cek dari Mr. DeLuca. Belum pernah aku mendapatkan uang sebanyak ini sebelumnya. Bahkan ketika aku menyelesaikan program sarjana di bidang seni, baik ibuku maupun aku tak pernah mengira aku akan memiliki karir dengan pemasukan sebesar ini. Rasanya sungguh seperti mimpi, dan aku masih menunggu seseorang untuk menghambur lalu mengatakan ini hanya jebakan.

Mencoba bersikap profesional, aku memberi senyum percaya diri pada Mr. DeLuca sebelum berdiri dan merapikan gaun.

"Aku senang kau bisa membawanya pulang, Mr. DeLuca. Suatu kehormatan bisa bekerja sama denganmu."

Beberapa bulan belakangan hubunganku dengannya semakin akrab. Mr. DeLuca rutin mengunjungi galeri dan dengan serius mempelajari makna dari setiap lukisan yang terpajang. Dia mengapresiasi segala macam karya, tapi entah kenapa hanya lukisanku yang kerap menarik perhatiannya. Setiap kali Mr. DeLuca datang, dia selalu melihat apa yang sedang kukerjakan. Kebanyakan pembeli tak mau tahu kisah di balik sebuah karya, tapi sepertinya itulah yang paling disukai Mr. DeLuca. Dan sebagai kolektor seni, ketertarikannya pada karyaku membuatku sangat bangga.

"Aku juga senang bekerja sama denganmu, dan aku menghargai setiap waktu yang kau habiskan untukku." katanya. "Sekarang, kau boleh melanjutkan petualangan, Millie. Karena sepertinya aku bukan satu-satunya orang disini yang mengagumi lukisanmu."

Aku mengangguk, lalu menarik diri darinya.

Malam ini berbeda dari malam-malam biasanya karena kami mengeluarkan beberapa lukisan baru dan spesial yang menarik perhatian pengunjung di malam peresmian galeri. Suara piano mengalun lembut dari seorang pianis muda berbakat, para pelayan berkeliling membawa gelas-gelas berisi sampanye, wine, dan tequila di atas nampan, sementara beberapa seniman lokal berbincang dengan klien potensial, dan sejauh ini semuanya berjalan lancar.

Kegiatan semacam inilah yang muncul di benakku saat aku berniat untuk menyewa galeri, dan menyaksikannya secara langsung bahkan lebih memuaskan.

Sahabat sekaligus rekan kerjaku, Owen, sibuk berpindah dari satu ke kelompok ke lain, memberikan brosur sambil menjawab pertanyaan mereka. Energinya menular, dan Owen memiliki kemampuan untuk membuat siapapun tertarik dengan apa yang dia tawarkan. Bisnis kami berkembang pesat hanya dalam hitungan bulan, dan jika segalanya berjalan seperti yang direncanakan, kami akan menjadi salah satu pemilik galeri terbesar di New York. Owen dan aku memulai dari bawah, itulah kenapa aku sulit percaya pada apa yang terjadi malam ini.

Aku bertemu Owen saat kuliah di salah satu kampus di California. Secara penampilan maupun kepribadian, kami sangat jauh berbeda. Owen dengan rambut pirang dan mata biru, tingkahnya aneh dan unik, memilih jurusan seni karena tidak banyak mata kuliah sains disana. Dia hanya berpegangan pada apa yang dia sukai dan tidak akan paham soal konsep rencana sekalipun aku menghantam kepalanya dengan itu. Sementara di sisi lain, aku hidup dan mati penuh perencanaan, dan terobsesi pada kegiatan melukis sejak kecil. Owen yang impulsif dan aku yang senantiasa memikirkan konsekuensi. Kami tim yang bagus. Jadi, tidak ada kesulitan ketika membahas tentang pembukaan galeri di New York.

Namun, tidak ada juga yang mudah. New York kota besar, keras, dan tak bisa di tebak, terutama di bidang industri seni. Minggu-minggu awal pembukaan, bisa di bilang kami tidak memiliki pengunjung, dan dengan melonjaknya nilai sewa gedung, kami bahkan nyaris tak bisa membuka galeri. Beruntung kami bisa melewati masa-masa itu.

Aku tersentak saat tiba-tiba Owen datang entah dari mana, menghambur dan memelukku erat, hampir mematahkan leherku. "Ya Tuhan, Millie! Kau berhasil! Lukisan pertamamu terjual!"

"Bisakah kau percaya itu?" Aku tak dapat menahan senyum. Ini merupakan mimpiku seumur hidup. "Rasanya mustahil sekali. Kupikir aku akan terkena serangan jantung saat Mr. DeLuca menandatangani ceknya."

"Yah, ini baru permulaan. Sebaiknya kau bersiap untuk terbiasa." Owen menyeringai, meraih dua gelas kecil dari nampan dan memberikan segelas padaku.

"Apa ini sampanye?" tanyaku ketika mencium aroma yang lebih kuat.

"Astaga, tidak!" Dia mendengus. "Ini tequila. Tapi aku bisa membawakan sampanye khusus untukmu."

"Kurasa ini bukan ide bagus."

"Tequila tak pernah salah, Millie." Owen memutar mata.

Ketika pelayan lain lewat, aku mengganti tequila dengan segelas wine dari nampannya. "Aku ingin tetap sadar sampai acaranya selesai." kataku.

"Baiklah," dengus Owen pasrah. "Tapi setelah ini kita harus merayakan keberhasilanmu."

Owen menghilang secepat dia datang, sementara aku berdiri di bagian belakang galeri sembari memperhatikan kerumunan pengunjung. Ada beberapa wajah yang kukenal, tapi sebagian besar merupakan pengunjung baru. Kemudian, pintu depan terbuka dan udara kering musim gugur New York menerobos masuk. Aku menoleh, mendapati empat orang pria berjalan ke dalam.

Kedatangan mereka sontak menarik perhatian orang-orang, ada yang melirik sambil tersenyum genit, bahkan ada yang tanpa ragu meraung dan memuji ke empat pria itu. Segalanya tentang mereka terasa mengintimidasi, dari rambut hitam gelap, tato di leher dan tangan, sampai beratnya udara yang mereka bawa, bahkan jas yang melekat sempurna di tubuh mereka pun bisa dibilang terlalu mewah berada di tempat ini.

Salah satu dari pria itu tampak seperti pemimpin di antara mereka, berjalan penuh percaya diri. Dia menyadari orang memperhatikannya seakan itu hal biasa, dan tak membuatnya terganggu sama sekali. Faktanya, dia justru menikmatinya. Ketiga temannya terus mengekor sebelum pada akhirnya memilih jalan sendiri-sendiri.

Si pemimpin berdiri membelakangiku, fokus memperhatikan salah satu lukisanku selama beberapa menit. Sesaat kukira aku bisa menjawab pertanyaan untuknya, tapi mendadak Owen muncul lagi.

"Itu Orion Alano." Dia menunjuk dari balik bahuku ke arah si pria pemimpin. "Dia merupakan salah satu investor properti terbesar di New York. Lihat, penampilannya saja seperti Hercules."

"Maksudmu, film kartun itu?" gumamku menahan tawa, mengangkat gelas wine ke bibir. Owen terkesiap, menepuk keras pundakku. "Kenapa kau tidak kesana dan memberinya brosur?"

"Tepat sekali." Owen sudah menunggu kesempatan untuk berbicara dengan salah satu dari mereka dan aku baru saja memberikannya.

Aku meneguk wine lagi, menikmati pertunjukan selagi Owen memperkenalkan diri, mengulurkan brosur kepada si pemimpin sementara satu-persatu temannya berdatangan. Owen berbicara secepat kilat, menunjuk setiap lukisan di galeri sebelum mengarah padaku.

Mataku beradu pandang dengan si pemimpin. Ini pertama kali aku bisa melihatnya dengan jelas, dan seketika aku terpaku. Warna matanya sama gelap dengan rambutnya, dan tatapannya seakan menusukku. Bahkan dari seberang ruangan sekalipun aku aku bisa merasakan ketajamannya, sejenak pria itu membuatku tersipu. Kenapa dia terlihat seolah sedang marah padaku?

Mencoba lari dari momen menegangkan itu, aku berbalik ke arah sekumpulan wanita dan berbaur dengan mereka.

"Oh, Millie! Ini sangat luar biasa." kata seorang pengunjung setia galeri saat aku mendekat.

"Benarkah begitu, Mrs. Roy? Ini karya salah seorang pelukis baru kami. Dia sangat..." Aku berhenti ketika merasakan tepukan di pundak, dan mendapati Owen sudah berdiri di belakangku.

"Millie, lihat pria di sebelah sana. Mereka tertarik dengan lukisanmu." kata Owen dengan nada antusias. Dia berpindah di antara Mrs. Roy dan aku, tak memberiku pilihan sama sekali. "Dengan senang hati aku akan menjelaskan tentang lukisan ini padamu, Mrs. Roy."

Dengan ragu-ragu, perlahan aku melangkah ke arah pria yang di maksud Owen.

Orion Alano. Yang kutahu soal pria ini hanya informasi singkat dari Owen. Dan kenapa dia bisa tersesat di galeri kami sekaligus tertarik pada lukisanku, merupakan sebuah misteri besar.

Begitu tiba di dekatnya, dia masih berdiri dengan posisi yang sama, menghadap lukisan.

"Hai." sapaku, menyentuh pelan pundaknya untuk memberitahu kedatanganku.

Tapi ternyata aku salah. Dia berbalik dengan cepat, menjauhkan diri dan meletakkan sebelah tangan di pinggang. Apa itu pistol? Gerakannya yang tiba-tiba membuatku terlonjak, sehingga tanpa sengaja gelas wine di gengamanku terjatuh dan menciptakan genangan merah di antara kami.

"Sial!" Dia mendengus. Dia membuka jas sebelum percikan wine mengenai kemejanya.

"Orion?" kata seorang temannya.

"Aku baik-baik saja, Javer." jawabnya, mengangkat tangan, menghentikan apapun yang akan dilakukan temannya.

"Maaf, aku tidak bermaksud mengejutkanmu. Sini biar kubantu." Aku mencoba meraih jasnya.

"Sudah kubilang aku baik-baik saja!" Dia meletakkan jas itu di meja koktail di sampingnya. Sementara dia menggulung lengan kemeja, beberapa tato menarik mengintip dari balik sana.

Entah apa yang salah denganku malam ini, tapi aku tak bisa berhenti memperhatikan pria itu. Otot lengannya yang kokoh mengancam tampak siap merobek kemejanya yang tidak terkancing penuh. Rahangnya keras dan tajam mempesona. Aksen Italia tipis terdengar dari suaranya yang serak, berat, dan dalam.

Dia menyeringai, menangkapku sedang memandanginya. Ada keanehan dari senyumnya yang membuatku tak yakin apakah dia ingin mencium atau justru membunuhku.

"Apa kau pelukisnya?" tanyanya, menunjuk lukisan.

"Uh, aku.. mmm." Ada apa denganmu, Millie? Apa kau tidak bisa bicara?

"Lukisan ini, apa ini milikmu?" tanyanya sekali lagi, kali ini dengan nada tak sabar.

"Ya, aku pelukisnya." jawabku pada akhirnya. Pipiku terasa panas menahan malu. Ini benar-benar malapetaka. "Namaku Millie. Senang berjumpa..."

"Apa kau pernah kesana?" potongnya dengan tajam.

"Oh, tidak, itu bukan tempat nyata. Hanya muncul begitu saja di pikiranku."

Dia mengamatiku lekat-lekat, menilai apakah aku jujur atau tidak. "Aku mau lukisan ini." desisnya, beralih menghadap lukisan itu lagi.

"Kau apa?" Apakah ini nyata?

"Selesaikan urusan dengannya." gumamnya pada Javer. "Aku menunggu di mobil." Dia mulai melangkah ke pintu depan tanpa menolehku.

Chapter 2

Demi Tuhan, kumohon siapapun, bangunkan aku. Aku sudah mengotori jasnya dan sekarang dia mau membeli lukisanku?

Javer mengeluarkan kertas cek dan bolpen dari jasnya. "Miss?" katanya, menarik perhatianku, tapi aku belum bisa mengalihkan pandangan dari Orion. "Atas nama siapa ceknya?"

Aku mengerjap. "Uh, Millie Peterson."

Javer mencoret-coret cek sebelum menyerahkannya padaku. Kami bahkan belum membahas harganya, jadi aku meraih cek itu dengan bingung. Saat aku melihat nilai uang yang ditulis Javer, jantungku benar-benar lupa bekerja selama beberapa detik.

Tiga puluh ribu dolar!

Orang gila macam apa yang menyerahkan cek sebesar ini? Aku bisa merasakan darahku juga berhenti mengalir.

"Miss Peterson, apa ada yang salah? Apakah harga lukisannya lebih dari itu? Aku bisa menulis cek lain. Katakan berapa..." desak Javer bingung.

"Oh, tidak. Ini... ini terlalu banyak." gumamku, tersenyum gugup sambil mengembalikan cek itu padanya.

"Boss menyuruhku membayar segitu, Miss." Javer menggeleng.

"Aku paham, tapi... ini lebih dari dua kali lipat harga lukisanku."

"Kupikir kau terlalu meremehkan bakatmu, Miss Peterson." Javer tersenyum. "Simpan uangnya. Jikan Orion mengatakan itu harga yang pantas, berarti memang begitu. Kami akan kembali besok untuk mengambil lukisannya."

"Okay." Aku tersenyum, mencoba mencairkan suasana. "Kupastikan besok tidak ada wine."

"Kurasa itu ide yang bagus." Javer terkekeh, kemudian beranjak pergi.

Aku masih gamang dan bingung hingga sisa malam itu berakhir tanpa kejutan lain. Sepertinya lebih baik begitu karena aku takkan sanggup bertahan lebih lama.

"Malam ini benar-benar luar biasa!" kata Owen, sibuk mengumpul gelas-gelas kosong yang tertinggal di galeri.

"Ya." balasku setuju.

"Hei, apa kau keberatan menutup galeri sendiri? Aku ada janji minum-minum dengan Brad." Dia melihatku dengan tatapan memohon.

"Brad si pengacara? Tidak masalah." kataku, mengingat-ingat apakah sebelumnya dia pernah menyebutkan nama Brad padaku. Aku cukup yakin belum pernah. Owen berpindah dari satu pria ke pria lain lebih cepat dari laju pesawat tempur.

"Bukan, si pengacara itu Louis. Brad juru masak!" Owen menyeringai, meraih tas dan jaketnya. "Kau yang terbaik, Millie. Dan ingat, besok kita akan merayakan DUA penjualan hari ini. Eh, tapi omong-omong, berapa harga lukisan kedua?"

"Oh, aku memberi mereka harga yang bagus." kataku berbohong. Entah kenapa aku tak bisa jujur pada Owen soal Orion, aku merasa ada yang aneh sehingga tidak berani mengucapkannya dengan lantang.

"Mantap. Well, sampai jumpa besok." cetus Owen, mencium pipiku. "Kabari aku kalau sudah sampai di rumah."

"Hati-hati." Aku berteriak padanya lalu pintu depan tertutup.

Aku melanjutkan sisa pekerjaan Owen dan baru akan pulang ketika tiba-tiba terdengar suara berisik dari ruang belakang galeri.

"Helo?" panggilku, berpikir mungkin itu salah satu pengunjung yang tak kusadari masih berada di toilet.

Tak ada jawaban. Dengan ragu-ragu aku mendekati sumber suara. Lorong ke arah belakang sudah gelap, dan dentum hak sepatuku menggema dengan keras. Aku sudah pasti gagal kalau ingin mengendap-endap.

Aku terkejut setengah mati saat ada tangan membekap mulutku dan menarikku mundur sampai punggungku menghantam sesuatu. Atau seseorang.

"Mmm..." Aku berusaha menjerit, tapi sia-sia karena mulutku tertutup rapat. Siapapun orang ini, tenagaku tidak sebanding dengannya. Kemudian mendadak tubuhku seolah melayang menghantam dinding dan dia mencekikku.

"Hello, Millie." katanya, menggeram kasar. Dari mana dia tahu namaku?

"Apa yang kau inginkan?" Aku gemetar, berusaha menarik napas. "Kami tidak memiliki uang tunai..."

Senyum sinis mengembang di sudut bibir si pria asing. "Oh, sayang, aku sudah mendapatkan apa yang kucari." dengusnya. "Kau, Millie."

Aku mengayunkan lutut, menendang dengan keras tepat di antara kedua pahanya. Dia meringis, kehilangan kendali selama beberapa saat, memberiku waktu untuk lari secepat mungkin ke depan galeri.

Derap langkahnya berdentum di belakang sementara aku hampir terguling karena hak tinggi yang kukenakan. Dasar sepatu sialan! Tak mau menyerah, aku melepaskan dan melemparkannya ke belakang berharap salah satu atau bahkan keduanya mengenai mata pria itu.

Aku hampir mencapai pintu saat sepasang tangan menarikku kembali, dan mendorongku ke belakang. Seorang pria lain muncul lalu membantingku ke lantai dengan keras. Aku mengerang. "Wanita sialan!" Desisnya, memukul pipiku dengan pistol. Pistol?

Aku masih belum menyadari apa-apa karena menahan sakit sampai terdengar suara robekan kain yang ternyata adalah gaunku. Dia menahan kedua tanganku di atas kepala.

"Hei, apa kau sudah gila? Dia ingin kita membawanya dalam keadaan baik." kata pria yang muncul berikutnya. Aku tidak mengenali satupun dari mereka dan jelas tidak tahu apa yang mereka inginkan dariku.

"Aku janji tidak meninggalkan bekas." Pria di atasku menyeringai sementara air mataku mulai mengalir. Aku yakin inilah saatnya. Aku akan mati disini, di lantai galeri yang dingin, dan yang bisa kulakukan hanya menutup mata rapat-rapat, berharap semoga ini tidak lama.

"Lepaskan dia!" Sial, berapa jumlah mereka sebenarnya?

"Apa yang kau lakukan disini?" tanya pria di atasku.

"Kubilang lepaskan dia!" Tunggu, dimana aku mendengar suaranya?

"Dengar, bung..." Pertama hanya satu, tapi kemudian muncul dua suara tembakan berikutnya. Oh, Tuhan. Hidupku benar-benar berakhir disini.

Setelah beberapa detik tidak merasakan sakit, aku menyadari bukan aku yang tertembak melainkan pria yang menyerangku. Dia tumbang ke belakang sementara aku langsung beringsut menjauhinya, dan mulai memandang ke sekitar.

Javer? Apa yang dia lakukan disini?

"Sialan kau, Tom!" Javer menunjuk ke arah pintu, satu pria lain yang menyerangku tadi berdiri disana. "Aku bisa mengurus ini!"

"Kelihatannya tidak begitu." Tom menyeringai, masuk ke dalam galeri.

Isak tangisku semakin keras dan mereka berpaling kepadaku, baru sadar aku masih berada di dalam. Sekujur tubuhku membeku karena takut.

"Sial." Javer buru-buru menghampiri.

"Apa yang kau..." desisku gemetar. Apakah dia juga ingin membunuhku? Aku bersyukur Javer dan Tom baru saja membunuh pria yang menyerangku, tapi apakah aku aman bersama mereka?

"Dengarkan aku," kata Javer, menyentak lenganku. "Sembunyi di balik sofa. Jangan kemana-mana. Komplotan pria ini masih ada di belakang. Jadi, jangan beranjak dari sini sampai aku datang. Kau paham?"

Memangnya aku punya pilihan?

Javer dan Tom menghilang ke bagian belakang galeri dan tak lama suara tembakan kembali memantul di dinding. Aku tidak mau menunggu dan memilih berlari menuju pintu depan. Siapa yang mau mati di tertembak? Tentu bukan aku.

Kakiku bergerak secepat kilat sampai akhirnya aku berhasil keluar dari galeri dan baru hendak berbelok ke lapangan parkir ketika aku menabrak seseorang.

Dia menangkap tubuhku sebelum terjatuh dan lagi-lagi aku di bekap. Oh, tidak, tidak, tidak. Ini tidak boleh terjadi.

Rasa sakit mulai menjalar dari hidung, tenggorokan, tenggorokan sampai ke paru-paruku. Aku merasa perlahan tubuhku melemas, dan selama beberapa detik aku menahan mata untuk melihat siapa yang kali ini berhasil mendapatkanku. Entah ini keberuntungan atau kesialan, tapi aku mengenali orang ini. Dia salah satu pria yang datang ke galeri bersama Orion.

"Seharusnya kau mendengarkan Javer." katanya, menggelengkan kepala.

Dialah yang terakhir kulihat sebelum semuanya berubah hitam.

Chapter 3

Perintahku hanya satu, yaitu membawa jasku pulang dengan selamat.

Setelah si pelukis menumpahkan wine di jasku, aku meletakkannya di atas meja koktail dan lupa mengambilnya saat kami pulang. Sebenarnya aku bisa membiarkannya disana, tapi itu jas kesayanganku. Jadi, aku menyuruh Javer, Tom, dan Damien kembali ke galeri untuk mengambilnya, dan alih-alih mendapatkan jasku, mereka justru membawa pulang seorang wanita pingsan dan babak belur. Di tambah bonus perkelahian dengan salah satu grup musuh kami.

Astaga, seharusnya kubiarkan saja jas itu hilang.

Meskipun wajahnya terluka dan lebam, aku masih bisa mengenali wanita pingsan itu. Dia pelukis yang karyanya kubeli di galeri tadi. Dia mendapat luka yang cukup parah di dahinya dan aku bisa menilai luka itu di akibatkan oleh pukulan gagang pistol. Rambut cokelat gelapnya menyatu dengan darah yang mengering sementara gaun berenda yang dia pakai robek di beberapa bagian.

Tepat sekali anak buahku datang saat orang suruhan Ernesto hendak melecehkan dan menculiknya. Seandainya Javer, Tom, dan Damien terlambat sedikit saja, mereka pasti berhasil membawa si pelukis.

Jujur aku tertarik saat melihatnya tadi, tapi lebih tertarik lagi setelah memperhatikannya terbaring di sofaku sambil memulihkan diri dari serangan mafia, dan aku sama sekali tidak tahu siapa dia atau bagaimana dia bisa terjerat dalam lingkaran Ernesto. Satu-satunya penjelasan yang masuk akal adalah dia bekerja untuk Ernesto. Hanya itu kemungkinannya. Dia pasti satu dari puluhan wanita bayaran Ernesto. Mungkin itulah alasan Ernesto menyuruh orang untuk menyerang dan menculiknya karena dia sudah mengetahui kami akan menggunakan galerinya sebagai pusat pengiriman.

Aku mengusap kening, berpaling dari gadis itu kepada tiga serangkai yang berdiri di hadapanku. Sebagian dari diriku kesal karena mereka ikut campur urusan orang lain, tapi jika membayangkan situasi wanita itu, mereka tidak punya pilihan. Penampilan mereka hanya sedikit lebih kusut dibanding sebelumnya, yang berarti perkelahian di galeri berlalu dengan sangat membosankan.

Javer mendapat luka lebam di bawah mata sebelah kanan, sementara Tom terluka di bibir, tapi mereka lebih terkejut dari apapun. Intinya mereka baik-baik saja, yang artinya kali ini keberuntungan berada di pihak Ernesto. Jika salah satu anak buahku terluka parah, pasti sekarang situasinya akan berbeda.

Ernesto merupakan pemimpin keluarga Haze, dan apa yang dia cari dari wanita pemilik galeri kecil di Manhattan ini benar-benar di luar pengetahuanku. Dia memegang kendali selama bertahun-tahun, dan kemampuannya cukup baik. Kekuatan sindikatnya tak sebanding dengan kami, tapi dia selalu menjadi duri di sisiku. Keberadaan mereka bukan ancaman yang berarti, tapi terkadang cukup mengganggu.

Bisnis Ernesto berputar di lingkaran perdagangan manusia, suatu kategori yang tidak ada dalam garis perputaran uangku dan selama beberapa bulan belakangan aku sangat menantikan waktu yang tepat untuk memberantasnya.

Aku berjalan bolak-balik sambil memikirkan langkah berikutnya. Sidik jari mereka jelas ada dimana-mana, belum lagi timah peluru Tom yang tertinggal di tubuh salah satu penyerang itu. Aku yakin mereka tidak bisa melacaknya, apalagi polisi disini bekerja seperti siput, tapi kami tetap harus hati-hati.

"Aku ingin mendengarkan penjelasan kalian."

Javer, tangan kananku, berbicara lebih dulu. "Kami kembali untuk mengambil jasmu. Saat kami tiba disana pintu depan galeri tidak terkunci dan tiba-tiba terdengar suara teriakan wanita. Ketika aku masuk salah satu orang Ernesto sedang membungkuk di atas wanita itu. Dia berusaha melawan, namun tenaganya tentu tidak sebanding dengan si pria." Javer melirik si pelukis sekilas. "Kemudian pria itu merobek pakaiannya dan memukulnya gagang pistol yang membuat kepalanya terluka. Aku sudah menyuruhnya melepaskan wanita ini tapi dia tidak mau. Aku yakin dia mengenal kami dan sengaja ingin membunuh wanita ini untuk memancing kita."

Pandanganku beralih ke si pelukis yang masih berbaring lemas di sofa. Penampilannya tidak tampak seperti wanita malam, tidak ada bekas luka atau tanda pengikat. Yang lebih mengejutkan, dia tidak memiliki tato unik yang ada pada setiap wanita yang berada di bawah kekuasaan Ernesto. Apakah mungkin Ernesto baru merekrutnya khusus untuk pekerjaan ini? Aku memutar kepala menghadap Javer yang kini duduk di pinggir sofa.

"Dia tidak mau mundur, jadi aku menembaknya." Tom menyambar dengan bangga. Dia yang terakhir bergabung dengan tiga serangkai ini, selalu berhasrat untuk membuktikan kemampuannya. Dalam pikiran Tom, membunuh seorang musuh adalah salah satu caranya.

Namun, jika aku yang di hadapkan dalam posisi seperti itu, aku tidak akan menembaknya karena itu terlalu mudah. Aku lebih memilih membawanya ke ruang bawah tanah untuk disiksa selama berhari-hari. Mencabut giginya satu-persatu dan membuatnya menelan gigi-gigi itu. Menyulut kulitnya dengan rokok lalu memotong tubuhnya sedikit demi sedikit menjadi seukuran umpan ikan. Setelah itu, aku akan melemparnya ke kandang anjing yang sengaja kubiarkan kelaparan.

Dalam kamusku, kekerasan terhadap wanita tidak bisa di toleransi. Para wanita yang bekerja untukku selalu diperlakukan dengan baik, tidak ada paksaan. Mereka boleh keluar-masuk sesuka hati karena kami tidak pernah mengikat mereka.

"Dimana kau ketika kekacauan ini terjadi?" tanyaku pada Damien.

"Aku menunggu di mobil, namun begitu mendengar suara tembakan aku langsung bergegas ke galeri dan berpapasan dengan si putri tidur." Damien mendorong dagu ke arah si pelukis.

Ah, dia memang putri tidur. Wanita itu sama sekali belum bergerak sejak mereka membaringkannya di sofa. Aku bahkan harus memeriksa apakah dia masih bernapas atau tidak. "Dan kau memberinya obat bius dengan dosis yang sama untuk menumbangkan seekor gajah?"

"Itu satu-satunya jalan agar dia tenang atau mau mendengarkan kami." balas Damien membela diri. "Dia melihat langsung Tom membunuh seseorang, aku tidak mau mengambil resiko melepaskannya dan melapor ke polisi."

Damien punya alasan yang kuat. Jika si putri tidur berkeliaran di luar sana, kami tidak akan memiliki kesempatan untuk menutupi kasus ini dan tidak pula ada petunjuk kenapa Ernesto mengincarnya.

Aku melipat tangan di dada, berpikir keras. "Apakah pembersihan sudah dilakukan?"

Javer mengangguk. "Kami mengambil beberapa lukisan agar kejadian ini terlihat seperti kasus perampokan biasa, meninggalkan dua mayat untuk membuat polisi mengira mereka bertengkar karena salah satunya terlalu serakah."

Javer yang memiliki ide untuk menjadikan galeri sebagai kedok untuk mengimpor produk kami. Setiap minggu ada ribuan suku cadang senjata yang kami kirim, dan bisa dipastikan bisnis akan berkembang pesat jika kami bisa mendistribusikannya ke pasar yang sudah ada. Produk seni keluar-masuk dengan bebas di amerika, dan akan sangat memudahkan seandainya produk kami juga bisa menyusup di garis itu. Aman, bebas, tanpa ada kecurigaan.

Aku menarik napas panjang, mengusap rahang. "Apakah ada informasi dari mana Ernesto tahu soal kehadiran kita di galeri malam ini?"

Javer melirik Tom, menjawab dengan ragu. "Kupikir ini tidak ada hubungannya dengan kita, Orion."

Tom bahkan belum sempat mengutarakan pendapatnya ketika aku tertawa keras. "Maksudmu dua kelompok mafia bertemu di tempat yang sama dan pada waktu yang sama pula hanyalah sebuah kebetulan?"

Sepanjang karirku bekerja di industri ini, tidak satupun kejadian yang membuatku percaya pada 'kebetulan'.

"Tidak. Kupikir mereka memang mengincarnya."

Tentu saja, tetapi mengapa mereka rela bertindak bodoh demi gadis ini? Ernesto punya lusinan gadis di penangkarannya, dan meskipun salah satu dari mereka kabur, dia tidak akan repot-repot mencarinya. Aku mengenal Ernesto dengan sangat baik, dia ceroboh namun dia tidak akan melakukan kesalahan dengan mengirim orang-orang amatir untuk membuat keributan semacam ini.

"Siapa namanya?" tanyaku, menunjuk si putri tidur.

"Millie." jawab Javer. "Millie Peterson."

Dengan rambut dan mata berwarna cokelat, dia jauh dari kategori yang disukai Ernesto. Ernesto menggilai wanita berambut pirang dan mata sebiru lautan. Kebanyakan dari wanita itu di kurung sampai tak berdaya karena terlalu lama dalam kendali Ernesto. Lelah dan nyaris mati.

Millie tidak tampak seperti itu saat aku melihatnya di galeri. Riang, penuh semangat, dan agak pemalu. Ada seberkas kecerahan memancar dari matanya yang belum tergores oleh dunia mafia. Dia berbeda, dan pasti sangat istimewa bagi Ernesto. "Apa yang dia inginkan darimu, tesoro?" bisikku sambil membungkuk.

Bercak darah yang sudah kering menempel di pipinya, dan luka di keningnya harus segera dibersihkan dan diobati. Gaunnya yang robek nyaris mempertontonkan seluruh tubuhnya, dan tatapanku turun ke bagian rusuknya yang juga ternyata lebam. Namun meski keadaannya sangat berantakan, dia tetap terlihat mempesona.

Aku duduk di tepi sofa, membuka kancing kemejaku sambil membayangkan ekspresinya yang menggemaskan ketika berbicara denganku di galeri. Kemudian, pelan-pelan aku membuka gaunnya.

"Orion, apa yang kau lakukan..." tanya Javer, bingung melihat tindakanku.

Aku tak mengatakan apapun selama beberapa menit, terpana pada gadis di hadapanku. Tidak hanya sekedar cantik, dia juga membuatku penasaran setengah mati. Apapun yang dia sembunyikan, dari manapun dia berasal, aku harus mengetahuinya. Aku tidak suka teka-teki tak terpecahkan, dan begitulah Millie bagiku.

"Aku ingin menutupi tubuhnya, dia berbaring nyaris tanpa busana. Ada yang salah dengan itu?" kataku menghardik Javer.

Aku mengangkat Millie dengan pelan, memasukkan lengannya ke lengan kemejaku satu persatu sampai bagian atas tubuh hingga ke pahanya tertutup dengan baik. Seolah berterima kasih, dia mendesah sebelum tertidur pulas lagi.

Javer berderap dan kembali membawa handuk basah, membersihkan luka dan bercak darah di pipi Millie dengan lembut. Dia menarik napas dalam-dalam. "Mereka benar-benar membuatnya babak belur."

Aku mengangguk setuju. Para bajingan itu tidak tahu apa yang sedang mereka hadapi. Sungguh suatu kesenangan besar bagi kami untuk melayani tantangan Ernesto.

"Lukanya harus di jahit." gumam Javer. "Aku akan melakukannya selagi dia tidur."

Javer berdiri, memberi isyarat kepada Tom dan Damien yang langsung mengikutunya.

"Javer." kataku sebelum mereka menghilang. "Kumpul semua infomasi tentangnya, apapun itu."

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!