Tok.Tok.Tok
Suara ketukan pintu.
“Masuk!” Sahut Pria itu.
“Permisi, Tuan. Saya kesini mengantarkan kopi anda, Tuan.” Ucap gadis itu.
“Letakkan saja disitu!” Perintahnya.
Pria itu mendongakkan kepalanya lalu menatap lekat manik mata gadis itu. Lalu berkata
“Ngapain kamu masih berdiri disitu?” Tanya pria itu.
“Tuan, saya hamil...," lirihnya.
Deg!
"Gugurkan kandungan itu...!!!"
***
Pagi hari, seorang gadis desa sedang memakai pakaian seragam kerjanya. Namanya Natasya. Natasya baru lulus sekolah menengah atas. Natasya memutuskan untuk bekerja, karena tidak ada biaya untuk melanjutkan kuliah.
Mengingat jika dirinya adalah seorang anak yatim piatu, hanya menumpang tinggal dirumah Bibi dan Pamannya, yaitu Bibi adalah Kakak dari Ibunya.
Kini Natasya bekerja di restoran yang baru dibuka serta tidak jauh dari rumahnya. Hanya dengan berjalan kaki selama lima belas menit saja Natasya bisa sampai di tempat kerjanya.
“Selamat Pagi, Mbak...,” sapa Natasya kepada teman kerjanya.
“Pagi, Nat. Eh iya, Nat. Katanya Manager kita sekarang mau datang kesini.” Jawab Anisa dia adalah teman kerja Natasya.
“Seriusan Mbak? Apa ada masalah ya, Mbak? Sampai Pak Manager kita mau datang kesini.” Tanya Natasya kepada Anisa. Natasya sangat penasaran karena selama dia bekerja di restaurant ini. Natasya tidak pernah bertemu secara lansung dengan pemilik restaurant tempat dia bekerja.
“Entahlah, Nat. Lebih baik kita mulai bekerja saja. Sebelum kita kena semprotan mulut pedas Tuti.” Ajak Anisa.
“Iya, Mbak. Benar sekali.” Balas Natasya menyetujui perkataan Anisa.
Natasya dan Anisa mulai bekerja dengan mebersihkan lantai, mengelap meja, dan juga mengepel lantai.
Natasya bekerja sebagai pelayan yang bertanggung jawab melayani pengunjung yang datang serta bertanggung jawab untuk menjaga kebersihan meja. Walaupun gajinya tidak banyak, Natasya tetap bersemangat karena dia tidak mau membebani keluarga bibinya.
Waktu pun kini telah berlalu. Jarum jam sudah menunjukkan pukul dua siang. Waktunya giliran Natasya yang beristirahat untuk makan siang dan juga melaksanakan ibadah sholat dzuhur.
Di selang waktu makan, tiba-tiba Natasya dipanggil oleh Tuti yang tak lain adalah karyawan restoran yang paling ditakuti oleh karyawan lainnya. Yang tak lain juga adalah tangan kanan Manager yang mempunyai restaurant ini.
“NATASYA!!!” Teriak Tuti memanggil nama Natasya.
Sontak saja Natasya kaget, Tuti begitu keras meneriaki namanya sehingga membuat seluruh ruangan itu penuh dengan suara Tuti.
“Iya Mbak ada apa?” Jawab Natasya menghampiri Tuti.
“Ada pengunjung di depan. Cepat layani dia!” Perintah Tuti.
“Tapi Mbak aku belum selesai makan.” Jawab Natasya protes kepada Tuti.
“Owhhh... kamu berani membantah ucapan saya sekarang, Natasya!” Ucap Tuti mengangkat jari telunjuknya dan menunjuk Natasya. Lalu Tuti melangkahkan kakinya mendekat kearah Natasya. Hingga tepat Tuti berada didepan Natasya.
“Bukan begitu Mbak.” Jawab Natasya takut sambil menundukkan kepalanya.
“Kalau saya bilang layani ya layani! Sana kedepan atau tidak saya bakalan aduin ke Pak Manager!” Ucap Tuti dia mulai mengancam Natasya dengan embel-embel akan melaporkan Natasya ke pemilik restaurant ini.
“Ba-baik Mbak.” Ucap Natasya gugup sekaligus takut jika Tuti mengadu ke Bos pemilik restaurant ini. Bisa-bisa nantinya dirinya dipecat.
Apalagi Tuti dikenal dengan mulut pedas dan juga jago berakting, Natasya terpaksa membungkus kembali makanannya.
Padahal perutnya masih sangat terasa lapar. Tapi mau bagaimana lagi Natasya tidak mau dirinya dipecat. Mencari pekerjaan sekarang dengan bermodalkan ijazah SMA sangat sulit. Lebih baik menahan lapar daripada dirinya harus dipecat.
Natasya bergegas langsung kedepan menemui pengungjung. Natasya mengambil beberapa lembar menu makanan dan minuman, tidak lupa juga dia membawa buku kecil dan juga bolpoint untuk mencatat pesanan dari pengunjung.
“Selamat Siang Kak, ini menunya. Silahkan mau pesan apa?” Sapanya dengan ramah dengan senyum yang tercetak dibibirnya sambil meyodorkan beberapa lembar menu yang dibawanya.
“Loh Natasya. Lo bekerja disini?” Tanya Laura dengan senyuman sinis lebih tepatnya senyuman yang mengejek bagi Natasya.
Laura adalah teman sekelas Natasya yang terkenal sebagai siswi yang sering membuly anak orang. Yah salah satu korbannya Natasya yang paling sering Laura buly.
“Ehh, Laura. Iya Ra.” Jawab Natasya dengan tetap ramah.
“Jadi ini temen lo yang sok kecantikan itu Ra?” Timpal Dini dengan tatapan merendahkan yang tak lain adalah teman satu geng Laura.
Laura mempunyai geng yang berjumlah lima orang. Namun saat ini laura hanya berdua dengan Dini. Apa jadinya jika satu geng yang datang ke restoran itu. Pasti Natasya dibuly habis-habisan.
“Iya Dini, masa lo lupa sama si udik dekil ini. Kalau gue sih, gak bakalan lupa sama dia, iya...kerena dia Rafka gak pernah lirik gue.” Tutur Laura dengan nada sinis.
“Gue heran deh sama Rafka, apa sih yang diliat sama cewek udik ini. Padahal dari segi penampilan gak ada apa-apanya tuh dia dibanding lo!” Ejek Dini melirik penampilan Natasya.
“Ouhh... jelas penampilan gue lah yang lebih bagus dari dia! Lihat aja deh penampilannya kayak kain pel KUCEL dan BAU.” Laura merendahkan Natasya dengan setiap kata yang keluar dengan penuh penekanan.
Natasya yang mendengar dirinya di hina malah tak mau menghiraukannya. Mau membalasnya tapi percuma, memang benar apa yang dikatakan oleh kedua orang itu bahwa dirinya kucel dan bau.
Dibanding mereka yang penampilannya memukau. Memakai pakaian yang bermerek. Sedangkan dirinya hanya memakai pakaian rombengan yang dibeli di pasar.
Setelah selesai mencatat pesanan temannya, Natasya langsung bergegas pergi meninggalkan kedua temannya yang tukang buly itu.
Selang beberapa waktu...
“Pelayan...pelayan...Minta bilnya dong!” Teriak Laura.
“Natasya, sana gih layani pengunjung tadi aku masih ada urusan dibelakang.” Suruh Anisa.
“Mbak Anisa aja ya yang layani, sini pekerjaan Mbak aku saja yang kerjakan. Please Mbak...” Mohon Natasya kepada Anisa karena dia malas sekali melayani Laura dan Dini.
“Aduh... bagaimana ya. Mmm ya sudahlah, Mana bilnya Nat?” Tanya Anisa akhirnya dia mengalah.
“Ini Mbak...Terimkasih ya, Mbak Nisa. Aku kebelakang dulu.” Natasya menyodorkan kertas itu dirinya sangat bersyukur ada Anisa yang mau menggantikannya.
“Selamat Siang, Kak. Ini bilnya. Totalnya 250 ribu." Ucap Anisa menyodorkan bil total pesanannya.
“Mmm... maaf Mbak boleh saya dilayani oleh pelayan bernama Natasya?” Tanya Laura.
“Tapi...Kak Natasya se*”
“Ini tip buat, Mbak.” Menyodorkan selembar uang bewarna merah. “Sekarang tolong panggilkan saya pelayan yang bernama Natasya! Saya mau dia yang melayani saya dan teman saya!” Perintah Laura memotong ucapan Anisa.
“Baik Kak, tunggu sebentar ya, saya panggilkan Natasya nya dulu.” Ucapnya lalu mengambil uang itu lumayan untuk biaya makan katanya dalam hati.
“Natasya, layani mereka gih! Katanya dia mau dilayani sama kamu.” Kata Anisa setelah menghampiri Natasya.
“Kenapa gak bilang kalau aku lagi ada kerjaan Mbak?” Tanya Natasya sedikit kesal.
“Sudah tadi. Tapi orang itu ngotot maunya di layani sama kamu aja, Nat. Iya... Mbak terpaksa deh ngalah. Kan pembeli adalah raja.” Bohong Anisa padahal dirinya belum saja menjelaskan tetapi sudah dipotong saja ucapannya. “Maafin aku ya Natasya aku terpaksa berbohong... siapa sih yang tidak mau uang.” Batin Anisa senang.
“Huh...” Natasya membuang napasnya dengan kasar. “Iya sudah kalau begitu, Sini bilnya Mbak Nisa,” Sambungnya dengan pasrah.
“Sudah Mbak kasih tadi, sana gih nanti mereka marah kelamaan nunggu. Biar Mbak saja yang selesaikan pekerjaan ini,” Jawab Anisa.
“Oh... ya sudah Mbak aku kedepan dulu.” Ucapnya lagi Natasya menarik napasnya dalam-dalam dan menghembuskannya secara perlahan. Dirinya harus mengatur mimik wajah setenang mungkin agar tidak terbawa emosi.
“Selamat Siang Kak, ada yang bisa saya bantu?” Sapa Natasya dengan ramah, walau degup jantungnya berdetak dengan kencang.
“Nah begitu dong jadi pelayan belagu amat,” ujar Dini dengan sinis.
“Oh iya... bukannya dirumah lo, Ra. Ada lowongan ya menjadi pembantu.” Sambung Dini melirik sinis Natasya.
“Maaf, Kak... mau bayar cash atau debit?” Natasya mulai membuka suaranya lagi, dirinya tidak mau membuat keributan disana dia takut dipecat.
Brakkk!
Laura menggebrak meja.
“Bisa gak kalau melayani orang itu dengan sopan!” Tunjuk Laura ke wajah Natasya. “Gak ada sopan santunnya sama sekali jadi pelayan, saya itu dari tadi berbicara sama Mbak dengan sopan. Tapi kenapa Mbak sinis sih jawabnya. Panggil manager kamu sekarang!” Teriak Laura lalu tersenyum licik. Laura sudah emosi dan benci sekali dengan Natasya yang sok tenang. Padahal mulutnya sudah gatal untuk memancing emosinya, tapi apa Natasya tidak menghiraukan kata-kata pedasnya.
“Maksud kamu apa, Laura? Aku gak pernah ngomong apa-apa. Apalagi berkata sinis kepadamu,” ucap Natasya berusaha membela dirinya.
Nah ini yang membuat dirinya malas sekali melayani Laura yang selalu mencari masalah dengan dirinya.
“Panggil Manager kamu sekarang juga! Biar dia pecat pelayan yang tidak punya sopan santun seperti kamu!” Ucap Laura lagi.
“Hey... semuanya dengar! Pelayan ini mulutnya pedas sekali... Masak teman saya mau bayar dikatain kalau teman saya gak mampu bayar, miskin lah. Lain kali jangan mau dilayani oleh pelayan yang tidak punya sopan santun seperti ini,” Dini ikut angkat bicara dia menunjuk Laura, dan berteriak menyita waktu pengunjung disana sehingga pengunjung disana beralih menatap Natasya, dan Dini mulai menjatuhkan Natasya.
Pengunjung restaurant yang ada disana semuanya menatap Natasya. Natasya menunduk malu dirinya menahan emosi. Dia menunduk meremas bajunya menahan air matanya yang akan jatuh.
“Kenapa restaurant ini memperkerjakan pelayan seperti itu”
“Syukur-syukur dikasih pekerjaan, tinggal jaga mulut saja kok susah amat”
“Iya kalau merasa dirinya paling banyak uang kenapa kerja sebagai pelayan”
“Dasar pelayan sombong, ogah banget dilayani sama dia”
“Tidak tahu diri sekali iya wanita itu”
Begitulah cemohan dari pengunjung yang masih bisa terdengar ditelinga Natasya.
“Ada apa ini ribut-ribut?” Tanya Tuti yang mendengar keributan di restaurant itu.
“Mbak manager restaurant disini?” Tanya balik Dini.
“Tidak ada manager disini, tapi saya adalah salah satu kepercayaan bos di restaurant ini.” Jelas Tuti dengan angkuh.
“Tepat sekali kalau begitu. Ini Mbak tolong diurus pelayanmu ini! Dia sudah mengatai saya bahkan dia menghina saya. Kalau bisa Mbak pecat aja pelayan yang tidak punya sopan santun ini!” Ucap Laura dengan lantang.
“Bukan begitu Mbak Tuti. Saya tidak pernah mengatainya Mbak, Say*”
“Sudah cukup! Saya tidak mau mendengar penjelasan dari kamu. Maafin atas sikap pelayan ini ya Mbak, sebagai gantinya Mbak tidak usah membayar makanan ini. semuanya gratis.” Ucap Tuti memotong pembicaraan Natasya. Bahkan dia tidak mau mendengarkan penjelasan Natasya. Jujur saja dia pun tidak suka dengan Natasya semenjak pertama kali wanita itu bekerja direstaurant ini.
“Baiklah kalau begitu, Mbak. Lebih bagus sih dia dipecat Mbak, biar pelanggan yang lainnya tidak menjadi korban dari mulut pedasnya yang tidak mempunyai sopan santun itu.” Ucap Laura dengan senyum penuh kemenangan. Lalu dia beranjak dari tempat duduknya dan berlalu begitu saja.
“Mbak, saya mohon jangan pecat saya,” Natasya memohon karena dia tidak mau dipecat dia sangat membutuhkan pekerjaan itu.
“Saya tidak akan pecat kamu. Tapi gajimu dipotong bulan ini. Sana kamu kebelakang bersihkan meja ini, sebagai hukuman cuci piring kotor! Kamu itu ya baru kerja beberapa minggu sudah membuat masalah disini,” tegur Tuti.
“Tapi, Mbak. Saya tidak pernah menghinanya, Mbak. Apalagi mengatainya," ucap Natasya membela dirinya yang memang tidak salah.
“Diam!” bentak Tuti. “Jangan ngeles atau membela diri. Mau saya tambah hukumannya? Sudah salah masih saja mengelak," sambungnya lagi yang tidak percaya seakan akan Natasya salah.
“Ngapain kamu mematung disitu? Beresin itu meja habis ini kamu cuci piringnya," katanya lagi.
“Baik, Mbak,” jawab Natasya pasrah mau membela diri pun pasti dirinya tetap salah dimata Tuti. “Huh... sabar Nat sabar... kamu sangat membutuhkan pekerjaan ini.” Gumamnya setelah Tuti pergi dari hadapannya.
Natasya langsung membersihkan meja dan mencuci semua piring kotor yang sudah banyak menumpuk. Sambil menitikkan air matanya dia menangis, hatinya sungguh terasa perih.
Banyak sekali orang yang membuat hatinya perih seperti itu. Padahal dirinya tidak pernah membuat kesalahan atau mencari gara-gara dengan mereka. Tetapi mereka dengan seenaknya menyakiti hatinya.
Karena bos pemilik restoran itu akan tiba lima menit lagi. Pegawai restoran yang lainnya sudah berkumpul untuk menyambut bosnya. Natasya sudah selesai mencuci piring ia masuk ke kamar mandi untuk mencuci mukanya agar terlihat segar. dia bergegas menghampiri pegawai yang lain. Sedari tadi Anisa memanggil dirinya.
“Selamat datang, Pak... ,” ucap mereka bersamaan.
“Silahkan duduk,” perintah Rendi pemilik restoran tersebut.
Setelah mereka duduk Rendi menjelaskan tujuan dirinya datang ke restoran miliknya. Ternyata Rendi akan memindahkan dua pegawai di restoran itu. Rendi sedang membuka restoran cabang baru di kota, namun pegawainya kurang. Sehingga dengan terpaksa melakukan sistem pengurangan karyawan di restaurant dia yang disini. Apalagi pengunjungnya tidak seramai restaurant yang berada di cabang kota.
“Saya akan mengambil dua pegawai saja yang berprofesi sebagai pelayan. Dan saya juga sudah memilih dan memutuskan. Anisa dan Natasya. Kalian yang saya pilih untuk bekerja sebagai pelayan di cabang restoran yang baru. Besiaplah besok kurir restoran akan menjemput kalian jam 7 pagi,” jelas Rendi.
“Baik, Pak,” jawab Natasya dan Anisa.
“Apakah kalian keberatan?” Tanya Rendi memastikan.
“Tidak, Pak," jawabnya serentak.
“Baiklah kalian berdua bisa pulang lebih awal,” ucap Rendi menyuruh Natasya dan Anisa pulang.
“Saya akan mengambil dua pegawai saja yang berprofesi sebagai pelayan. Dan saya juga sudah memilih dan memutuskan. Anisa dan Natasya kalian yang saya pilih untuk bekerja sebagai pelayan di cabang restoran yang baru. Besiaplah besok kurir restoran akan menjemput kalian jam 7 pagi.” Jelas Rendi.
“Baik Pak.” Jawab Natasya dan Anisa.
“Apakah kalian keberatan?” Tanya Rendi menatap Natasya dan Anisa secara bergantian untuk memastikan.
“Tidak Pak.” Jawabnya serentak.
“Baiklah kalian berdua pulang lebih awal.” Ucap Rendi.
“Yang lain silahkan kembali bekerja.” Sambung Rendi lagi langsung berlalu menuju ruangannya.
“Natasya,” Panggil Anisa. “Tadi Mbak denger dari pelayan lain kamu dicaci maki sama orang yang tadi. Apa itu bener, Nat?” Tanya Anisa sekarang mereka sedang bersiap-siap. Yah memang tadi dia mendengar pegawai lain sedang bergosip dan menyebut-nyebut nama Natasya.
“Hmmm... iya Mbak Anisa,” jawab Natasya dengan nada lesu dia tidak ingin membahas lagi kejadian itu. Namun ternyata dengan cepat berita itu menyebar.
Pasti setelah ini semua karyawan disini akan menjauhinya.
“Ya ampun Gusti... jadi gosip itu banaran ada, Nat? Maafin Mbak ya, Natasya... jika saja Mbak tidak memanggilmu tadi pasti kamu tidak di caci dan dimarahi sama nenek lampir itu,” ucap Anisa meminta maaf kepada Natasya.
Anisa mengakui jika dia salah, jika saja dia tidak menerima uang itu pasti kejadian ini tidak akan pernah terjadi, sungguh Anisa menyesali perbuatannya tidak terbayang betapa malunya Natasya dicaci dan dimaki di tempat ramai.
Ternyata menerima uang 100 ribu hanya membuat petaka baginya. Setelah ini dia tidak akan mengulanginya.
“Sudahlah, Mbak Anisa. Kenapa mesti meminta maaf, Mbak tidak salah! Mungkin ini sudah takdir aku dipermalukan seperti itu. Sudahlah Mbak, ayo kita pulang saja,” tungkas Natasya. Dia sama sekali tidak menganggap Anisa salah.
“Kamu yang sabar ya, Nat. oh iya kamu jalan kaki atau dijemput?” Tanya Anisa.
“Seperti biasa lah Mbak Nisa, aku jalan kaki. Siapa lagi yang mau menjemputku? Paman atau Bibiku? Atau kedua orang tuaku tetapi kalau mereka yang menjemputku bukan pulang kerumah yah... melainkan pulang kerahmatullah. Hehehe...” Kekeh Natasya yang menertawakan nasibnya yang begitu miris.
“Husss... jangan sampai kamu dijemput kedua orang tuamu dulu. Sukses aja belum, jadi jangan mau mati dulu, Nat. Iya sudah kalau begitu, mau bareng gak sama Mbak?" Tanya Anisa.
“Tidaklah, Mbak. Aku jalan kaki saja. Memangnya kalau aku pulang bareng sama Mbak Anisa aku duduk diamana? Di jok motor atau di rodanya?” Canda Natasya.
“Hahaha...haha...” Tawa Anisa. “ Oalah Mbak lupa ya... kita bonceng tiga aja seperti anak jaman sekarang itu loh, apa sih namanya...eeee... cabe-cabean...aduh Mbak sampai lupa maklum sudah tua.” Sambungnya lagi.
“Kalau cabe-cabean itu cewek aja Mbak. Ini kan ada cowoknya jadinya cabe sama terong kalau dicampur kan pedes” Jawab Natasya. ”Sudahlah Mbak, aku berjalan kaki saja terima kasih loh atas tawarannya,Mbak. Lebih baik Mbak pulang saja. Tuh di tunggin Pak suami.” Tunjuk Natasya yang melihat suami Anisa sudah datang menjemput istrinya.
“Ya sudah... kalau begitu Mbak duluan yah...Sampai ketemu besok cantik.” Ucap Anisa lalu menghampiri suaminya dan naik di jok belakang.
“Iya... Mbak Anisa hati-hati.” Teriak Natasya saat Anisa melambaikan tangannya.
Kini Natasya sedang berjalan menelusuri jalan yang begitu terik. Seperti biasa dia berjalan kaki. Sedangkan Anisa sudah dijemput oleh suaminya. Natasya berjalan sambil memikirkan cara agar bibinya mengizinkannya pergi ke kota.
“Assalamualaikum.” Natasya mengucap salam ketika sudah sampai di depan teras rumah Bibinya.
“Tumben cepat pulang. Jangan bilang kamu dipecat.” Bukannya menjawab salam Natasya. Rumi Bibinya Natasya itu malah mulai seuzon.
“Tidak Bibi. Natasya disuruh pulang duluan sama bos Natasya.” Jawab Natasya.
“Bagus deh kalok kamu gak dipecat. Mumpung kamu pulang cepat, sana cuci baju! Cucian sudah numpuk.” Suruh Rumi dengan nada sinis.
“Iya Bibi.” Jawab Natasya dengan pasrah dan berlalu meninggalkan sang Bibi yang masih menatapnya dengan tajam.
Seperti biasa Natasya memang dianggap pembantu dirumah bibinya. Setiap hari melakukan pekerjaan rumah seperti memasak, membersihkan rumah, mencuci baju dan menyetrika baju.
Setiap hari bibinya selalu mencari masalah dengannya, bukan bibinya saja. Sepupunya juga senang sekali melihat Natasya menderita.
Sepertinya Bibi dan Sepupunya tidak suka dengan kehadirannya. Dan mungkin juga Bibi dan Sepupunya menaruh dendam dengannya.
Berbeda dengan Pamannya, yang sering membela dirinya. Bahkan pamannya mau membiayai sekolahnya hingga sampai lulus SMA.
Orang tua Natasya meninggal dunia sejak Natasya kelas tiga SMP. Akibat kedua orang tuanya meninggal adalah kebakaran yang terjadi pada toko milik kedua orang tuanya.
Dimana saat kebaran itu terjadi orang tuanya berada didalam toko itu sehingga kedua orang tuanya ikut terbakar dan tidak bisa diselamatkan.
Setelah selesai mencuci baju yang sangat menumpuk hingga hari sudah mulai gelap. Natasya tidak langsung beristirahat melainkan dia langsung memasak untuk makan malam keluarga Bibinya.
Setelah memasak hampir setengah jam. Sekarang Natasya sedang menyajikan makan malam di meja makan.
Seperti biasa, Natasya di izinkan makan setelah keluarga Bibinya selesai makan.
"Wah, sepertinya hidangan kali ini rupanya sangat menggairahkan serela makan Paman, Nak," ucap Arya memuji masakan Natasya.
"Ah, Paman bisa aja. Ayo Paman silahkan duduk. Bibi dimana Paman?" Tanya Natasya.
"Memang dari dulu masakan kamu itu sangat lezat, Natasya. Paman saja sampai ingin menambah lagi. Oh iya sebentar lagi Bibi kamu akan turun," jawab Arya.
Selang beberapa menit, Rumi turun dan melangkahkan kakinya mendekat kearah meja makan.
"Nah itu Bibimu sudah turun. Ayo kamu duduk Natasya kita makan bersama-sama," suruh Arya kepada Natasya.
"Eh, maksud Mas apa ya? Pakek suruh-suruh pembantu makan bersama kita!" Timpal Rumi dengan nada sinis bahkan tatapannya sangat tajam mengarah kepada Natasya.
Natasya hanya bisa menunduk, dia tidak berani menatap Bibinya. Setiap hari pasti ada drama seperti ini. Karena Pamannya selalu menyuruhnya ikut makan bersama. Tetapi sang Bibi tidak setuju. Sehingga terjadilah drama seperti ini.
"Maaf, Bibi. Aku kebelakang dulu. Bibi sama Paman makanlah. Selamat menikmati hidangan makan malamnya Paman, Bibi." Ucap Natasya kemudian langsung berlalu ke dapur.
Dia sebaiknya cepat pergi dari sana sebelum Paman dan Bibinya bertengkar hanya perkara dirinya.
Arya hanya menghembuskan napasnya dengan kasar. Dia sangat kesal dengan istrinya yang selalu melarang Natasya untuk makan bersama.
Padahal Arya ingin menghargai Natasya yang sudah lelah mengerjakan semua pekerjaan rumah. Yang seharusnya itu pekerjaan Istrinya. Malah Natasya yang mengerjakan semuanya.
Arya juga sangat kasihan dengan Natasya. Dia sudah bekerja seharian di restaurant ditambah lagi dengan pekerjaan rumah.
Arya selalu menegur Rumi, namun Rumi sangat keras kepala. Rumi tetap tangguh dengan pendiriannya. Dia sama sekali tidak pernah mau mendengarkannya.
Setelah keluarga Bibinya selesai makan, Natasya segera membersihkan meja dan juga mencuci piring.
Setelah selesai dengan pekerjaannya. Natasya pergi menghampiri Bibi dan Pamannya untuk meminta izin pergi ke kota. Kebetulan paman dan bibinya belum tidur.
“Paman...! Bibi...!” Panggil Natasya menghampiri kedua orang yang sedang asik menonton televisi di ruang tengah.
“Hem...” Jawab Rumi singkat tanpa menoleh ke arah keponakannya.
“Iya Nak, ada apa?” Tanya Arya menimpali Natasya dan mengalihkan pandanganny menatap Natasya.
“Begini Paman, Bibi.. aku mau izin, besok aku ditugaskan bekerja di restoran cabang baru bosku yang berada di kota.” Jelas Natasya.
Rumi yang mendengar itu langsung menoleh dan menatap keponakannya dengan tatapan sinis. Lebih tepatnya dengan tatapan mengintimidasi.
“APA...! elahh bilang saja kamu itu mau kabur dari rumah ini. Pakek alasan pekerjaan lagi! Lagu lama tahu!” Timpal Rumi dengan nada ketus bahkan nada bicaranya Rumi terdengar sangat sinis..
“Bukan begitu Bibi. Kalau Bibi tidak percaya akan aku hubungi teman kerja ku.” Jawab Natasya dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
“Alahhh... jangan ngeles deh kamu. Pasti kamu sudah sekongkol kan sama temen kamu itu! Apa kamu gak terima kalau saya suruh kamu mengerjakan tugas rumah ini tanpa saya gaji kamu? Syukur suami saya biayain kamu sekolah ya. Baru dapat pekerjaan sebagai pelayan aja sok-sokan mau kabur dari sini. Ingat ya! kamu hanya numpang disini. Setidaknya kamu balas budi sama kami udah dikasih makan, tempat tidur gratis pula. Satu lagi yang harus kamu ingat. Kalau gak ada saya yang tolongin kamu lalu siapa lagi. Mungkin kamu udah jadi pengemis dan mati kelaparan!” Ucap Rumi dengan entengnya tanpa sadar menyakiti hati keponakannya.
”Husss.. Rumi! Kamu tidak pantas berbicara seperti itu! Natasya itu anak dari kakak kandungmu, keponakanmu sendiri. Sudah wajar kalau Natasya tinggal disini.” Tungkas Arya dengan sabar mengahadapi sikap istrinya yang tidak pernah berubah.
“Sudah paman. Jangan sampai paman bertengkar dengan bibi hanya gara-gara aku. Memang benar apa yang dikatakan bibi kalau aku disini hanya menumpang tinggal disini!” Jawab Natasya dengan mulut bergetar menahan air matanya yang akan terjatuh.
“Bagus kalau kamu nyadar.” Timpal Rumi dengan nada ketusnya menatap sinis Natasya.
“Sudah. Nak kamu jangan dengarkan omongan bibimu ya. Sekarang kamu masuk saja ke kamarmu. Paman dan bibi mengizinkanmu bekerja di kota. Asalkan paman ingin kamu ingat satu hal jaga pergaulannmu disana. Jangan pernah kamu berbuat hal yang tidak boleh diperbuat, satu lagi jaga dirimu dengan baik ya.” Ucap Arya mengingatkan Natasya. Padahal Arya sangat khawatir dengan keponakannya itu.
”Baik paman, terimakasih paman. Aku akan selalu mengingat katamu paman. Kalau gitu aku pamit ke kamar paman... bibi...” Pamit Natasya berlari kecil menuju kamarnya.
Air matanya sudah tidak bisa dibendung lagi, sakit hati yang dirinya rasakan saat ini. Andaikan orang tuanya masih hidup. Pasti dirinya tidak akan pernah mendengar kata yang terucap dari mulut pedas bibinya. Yang mampu membuat hatinya terasa teriris bagaikan pisau yang tajam.
“Kamu bela saja keponakanmu itu...” Sambung Rumi yang sangat kesal dengan suaminya itu. Arya selalu saja membela Natasya dan selalu bersikap baik dan ramah dengan keponakannya itu. Jelas-jelas bahwa Natasya hanya membawa susah saja dirumah itu. Dahulu semenjak orang tuanya Natasya meninggal, Rumi tidak mau Natasya tinggal dengan dirinya. Sebenarnya Natasya akan dia titip ke panti asuhan. Tetapi suaminya lah yang memaksa agar Natasya tinggal bersamanya. Arya juga berjanji akan menyekolahkan Natasya sampai sarjana. Namun janji itu tidak bisa Arya tepati karena Rumi mengancam akan menceraikan Arya dan membawa Laura pergi meninggalkannya. Arya yang tidak mau itu terjadi bahkan belum siap untuk berpisah dengan Laura. Selain itu Arya juga sangat mencintai Rumi, sehingga Arya memberi pengertian serta meminta maaf kepada Natasya.
“Aku bukan membelanya. Aku mengatakan yang sepantasnya aku katakan Rum.” Jawab Arya semakin heran dengan tingkah istrinya. Jika dibandingkan sifat Arya dengan Rumi jauh berbanding terbalik dengan Rumi.
“Aku juga mengatakan hal yang sepantasnya! kalau dia itu hanya menumpang dirumah ini!” Jawab Rumi membela dirinya yang tidak mau kalah.
“Itu bukan hal sepantasnya yang kamu katakan! Dia itu keponakan kita, bahkan kamu masih dikatakan sedarah dengan Natasya...ya wajarlah kalau Natasya tinggal disini.” Tungkas Arya semakin geram.
“Terserah deh Mas kamu mau ngomong apa terserah...! Bela terus keponakan kesayangannmu itu! malam ini kamu tidur diluar!” Kata Rumi dan langsung berlalu pergi meninggalkan suaminya.
BRAK
Rumi menutup pintu dengan kasar.
“Huhhh...”Arya menghembuskan nafasnya kasar. “Kamu kapan berubahnya Rum.” Gumam Arya pasrah malam ini dirinya akan tidur disofa.
Natasya terbangun dengan mata yang bengkak, akibat menangis semalaman. Perempuan yang memiliki paras cantik itu yang mempunyai rambut panjang, mengingat kejadian semalam saat dirinya meminta izin kepada Paman dan Bibinya.
Tidak mau memikirkannya lagi lebih tepatnya yang membuatnya sakit hati nantinya, Natasya langsung beranjak ke kamar mandi.
Mengingat hari ini dia akan berangkat ke kota, dan akan dijemput jam 7 pagi.
Setelah selesai mandi, Natasya memakai pakaian dan seragam pelayannya tidak lupa dia juga memoles wajahnya dengan make up tipis.
Kemudian dia bergegas ke dapur menyiapkan sarapan untuk keluarga Bibinya, mumpung waktunya tinggal setengah jam lagi.
Sebelum keluar, Natasya mengedarkan pandangannya melihat sekeliling untuk memastikan Bibi dan Pamannya belum terbangun.
Saat memastikan keadaan yang terlihat sepi dan tidak ada orang satu pun, dia langsung menuju dapur.
Perempuan itu mengambil bahan-bahan di kulkas. Dia mengambil ayam dan sayur kangkung.
Hari ini Natasya akan membuat menu yang simpel saja, yaitu ayam goreng dan tumis kangkung. Dirinya mulai memotong cabe, bawang merah dan juga bawang putih, setelah itu menumisnya.
Di kompor sebelah dia menggoreng ayam itu. Tidak butuh waktu lama untuk memasak, hanya dengan waktu 20 menit saja makanan itu sudah siap untuk disajikan.
Setelah selasai memasak, Natasya langsung menata masakannya itu diatas meja makan.
Natasya kembali masuk kekamarnya untuk mengambil tas yang sudah diisi dengan baju dan juga peralatan yang dibutuhkannya nanti.
Secara pelan-pelan dia membuka pintu, agar tidak kedengaran oleh Bibinya. Pasti Bibinya akan mencegahnya pergi jika Bibinya tahu.
Seperti biasa Natasya berjalan kaki menuju restaurant. Selama 15 menit membutuhkan waktu hingga dirinya sampai di restauran tempat Natasya bekerja.
Disana sudah ada Anisa dan suami Anisa menunggu sopir didepan restaurant.
“Huh...huh...Mbak Nisa udah lama disini?” Sapa Natasya mulai bicara dengan nafas yang tersenggal kehabisan nafas.
“Tidak Nat! Baru sampai juga,” jawab Anisa yang memang sampai lima menit yang lalu.
“Kamu kenapa ngos-ngosan begitu?” sambungnya lagi.
“Tadi aku takut bakalan telat, makanya aku berlari kesini. Hitung-hitung joging pag, Mbak,” jawab Natasya.
“Oalah kamu toh ada-ada saja. Sekalian kamu ikut saja lomba lari maraton," canda Anisa.
“Besok, Mbak. Mbak Anisa daftarkan aku saja kalau ada lombanya," jawab Natasya yang sedang mengatur nafasnya.
“Kang Tono, kamu pulang saja ya! Disini sudah ada Natasya. Sebentar lagi juga Akang akan berangkat kerja," ucap Anisa kepada suaminya.
“Huff. Sebenarnya Akang ingin menemani Adek hingga Adek sudah jalan,” Jawab Tono dengan nada sedih, sebenarnya dirinya tidak mau berpisah dengan istrinya. Tetapi apalah daya dengan keadaan ekonominya yang sangat sulit. Gajinya hanya bisa untuk menutupi hutangnya ketika mengadakan resepsi pernikahan dengan Anisa.
“Sudah Akang jangan sedih begitu. Akang kan sudah berjanji sama Adek! Bahwa Kang Tono akan mengunjungi adek tiga bulan sekali,” Anisa menenangkan suaminya. Anisa juga sudah berbincang dan meminta izin kepada suaminya, meski berat untuk meninggalkan suaminya. Tetapi mau tidak mau dirinya harus mau demi masa depan dirinya dan juga suaminya itu.
“Tenang saja, mas Tono! Aku akan menjaga dan merawat Mbak Anisa dengan baik disana. Aku sudah menganggap Mbak Anisa seperti Kakak kandungku sendiri," timpal Natasya, sejujurnya juga dirinya merasa kasihan kepada sepasang suami istri itu.
Natasya juga sudah tahu keadaan yang menimpa keluarga Anisa. Anisa sendiri menceritakan masalahnya itu kepada Natasya. Benar memang Natasya sudah menganggap Anisa sebagai Kakak kandungnya. Sikap baik, ramah dan peduli Anisa yang membuat Natasya nyaman berada didekat Anisa.
“Jagain Anisa ya, Natasya. Jangan biarkan ada jantan lain yang mendekatinya. Secara orang kota toh ganteng dan sugih,” Pinta Tono khawatir istrinya berpaling darinya.
“Tenang saja mas Tono. Natasya akan melindungi mbak Anisa dari godaan lelaki yang bukan mahramnya.” Sahut Natasya dengan lantangnya.
“Hahaha, astaga Akang-Akang... Adek tidak akan berpaling toh. Sudah-sudah. Sebaiknya Kang Tono pulang saja.” Timpal Anisa tertawa renyah.
“Akang pulang dulu dek. Kamu baik-baik disana.” Pamit Tono tak lupa juga lelaki itu mencium kening istrinya dan menaiki motor bututnya.
“Natasya ingat pesan Mas, jaga mbakmu baik-baik.” Teriak Tono yang hendak mengendari motornya. Ditanggapi dengan acung jempol dari Natasya.
“Hati-hati Kang.” Teriak Anisa juga melambaikan tangannya.
“Mbak Nisa, bawa apa saja nih?” Tanya Natasya menunjuk tas yang dibawa oleh Anisa.
“Cuman pakaian dan peralatan mandi Nat. Hanya itu saja.” Jelas Anisa.
“Sama dong mbak. Aku juga bawa yang penting saja! Sepertinya itu mobil yang menjemput kita mbak Nisa.” Tunjuk Natasya kearah mobil yang menghampirinya.
Anisa mengedarkan pandangannya ke arah yang ditunjuk Natasya. Seorang lelaki paruh baya yang baru turun dari mobil itu menghampiri mereka. Memang benar mobil itu yang akan mengantarkan mereka ke kota. Karena Natasya mengingat plat nomor mobil yang sering dikendarai Pak Adi. Ya lelaki paruh baya yang keluar dari mobil itu adalah Pak Adi seorang kurir restaurant yang bekerja sebagai pengantar makanan dan juga mengambil barang serta bahan-bahan masakan restaurant.
“Selamat Pagi neng Anisa, Natasya.” Sapa Pak Adi setelah menghampiri mereka berdua. Pak Adi memang terkenal ramah dan suka menolong. Umurnya yang sudah 50 tahun seharusnya dia tidak bekerja. Tetapi Pak Adi sama nasibnya seperti mereka yang serba kekurangan ditambah anaknya yang pemalas dan sering berfoya-foya dan meminum miras. Itu yang membuat dirinya terpaksa untuk bekerja.
“Selamat pagi jug Pak Adi.” Jawab mereka berdua bersamaan.
“Apa kalian sudah siap? Biar sekarang kita berangkat.” Ucap Pak Adi memastikan.
“Iya sudah toh Pak Adi kita berangkat saja.” Jawab Anisa.
“Iya sudah kalau begitu,barang bawaan kalian taruh saja dibagasi.” Suruh Pak Adi.
“Sini Mbak Nisa, biar aku saja yang memasukkan barang Mbak.” Tutur Natasya mengambil barang Anisa.
“Ya Gusti, kamu baik sekali memang Natasya. Kalau begitu Mbak tunggu di dalam.” Anisa masuk kedalam mobil duluan. Natasya mulai memasuki barang bawaan mereka berdua kedalam bagasi mobil. Setelah itu perempuan itu masuk kedalam mobil dirinya duduk bersebelahan dengan Anisa di jok belakang. Pak Toni melihat mereka dari kaca mobil. Dia mulai melajukan mobilnya.
“Pak Adi berapa jam kita menempuh perjalanan menuju kota?” Natasya mulai membuka suara memecah keheningan didalam mobil. Semenjak mobil ini dilajukan tidak ada yang memulai berbicara mereka berdua sibuk memainkan ponselnya dan Pak Adi sibuk mengemudi.
“Sekitar 6 jam lagi neng.”Jawab Pak Adi dan Natasya tidak menjawabnya lagi.
“Kamu sudah sarapan Nat?” Tanya Anisa yang sudah berhenti memainkan ponselnya. Tadi dirinya mengabari suaminya bahwa dia sudah berangkat.
“Belum Mbak Nisa. Aku hanya memasak saja tadi untuk keluarga bibiku. Aku buru-buru karena takut bibiku itu terbangun.” Jelasnya.
“Astaga neng geulis. Untung mbak buat lebih ini kamu makan saja. Mbak sudah sarapan tadi sama Kang Tono sebelum berangkat.” Anisa menyodorkan nasi goreng yang dirinya buat banyak. Dia sengaja membawa bekal. Siapa tahu dirinya akan lapar lagi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!