Dorr
Dorr
Dorr
Suara pistol menggema di sepanjang tambang tua. Peluru saling bergesekan menciptakan suasana yang tegang.
Terlihat beberapa tubuh tanpa jiwa berserakan tak terurus dimana-mana, bagai medan perang yang panas dan kejam.
Sebuah seringai kejam terukir indah di wajah pemuda tampan, matanya tajam bagaikan pisau yang baru diasah. seperti elang, melihat mangsanya dengan seksama.
Sorot dinginnya mengalahkan es Antartika yang membeku, tidak peduli sebanyak apa lawannya berusaha tetap saja akan jatuh ke tangannya.
Tak perlu waktu lama untuk menghabisi musuhnya, dengan sekali tembakan pistolnya, jangan harap untuk selamat dari sang kematian. Bagaikan sang maut menjemput, ia akan mempermudah sang maut itu sendiri.
"Bersihkan semuanya! Jangan sampai pemerintah tahu tentang ini."
Pemuda itu pun pergi dengan puntung rokok mengepul di mulutnya, meninggalkan sang bawahan dengan para mayat.
"Baik Tuan!"
Pemuda itu nampak menjauh dengan mengemudi mobil hitamnya yang terkesan misterius dan dingin. Tidak ada sopir atau bawahan yang menemani. Sorot mata yang tadi dingin, kini berubah kosong secepat mata berkedip.
Mobil itu berhenti di sebuah bar mewah pinggir kota, tempat maksiat juga tempat kenikmatan dunia.
Pemuda itu berjalan tegak dengan angkuh, beberapa orang mendatanginya dan mengantarnya ke salah satu ruang VVIP.
Dua pelayan wanita berjalan masuk dengan seksinya, membawa banyak botol wine di atas nampan. Salah satu dari mereka mencoba mendekat, berjalan lenggak-lenggok untuk menggoda.
Orang lain mungkin akan tergoda, tapi dirinya tidak. Matanya menatap tak minat juga benci, dengan satu gerakan...
Dorr!
Peluru panas melesat cepat tepat mengenai kepala wanita itu.
"Akhh!!" tubuhnya ambruk dengan suara jeritan wanita lain.
Beberapa bodyguard masuk untuk melihat keadaan, mereka ketakutan karena telah mengganggu bos mafia berkuasa di negara Australia. Mafia yang terkenal dengan kehebatan serta kekuatannya.
Dan kini terpampang nyata bos besar mafia itu di depan mereka.
Dari arah luar, seseorang berlari ketika mendapat laporan jika ada kekacauan. Manajer bar segera datang, dan di sinilah dia sekarang...
Menghadapi bos mafia besar dengan peluh keringat mengalir di dahinya. Hatinya bergemuruh takut, wajah manajer pucat seperti akan pingsan.
"Robin!" panggil pemuda itu.
"Di..sini Tuan" ucap manajer Robin dengan gagap.
"Apa kau lupa dengan perintahku?!" suara beratnya membuat semua orang terintimidasi.
"Ti.. tidak Tuan."
"Lalu?"
"Apa kau bisa menjelaskan semua ini?!"
Glupp, manajer Robin menelan ludah. Siapa yang harus bertanggung jawab, pikirnya.
Semakin lama ia menunggu jawaban dari manajer, semakin emosi pula dirinya. Manajer Robin yang melihatnya tak kuasa lagi rasanya untuk berdiri.
"Ma..af Tuan, rendahan ini tidak tahu apa-apa. Na..namun, su..sudah saya pasti..kan jika pelayan itu sendiri yang bergerak."
Manajer merasa kakinya gemetaran mengikuti suaranya yang gagap.
"Huh, bereskan sekarang! Jangan ganggu saya!" manusia itu merasa, seperti bangun dari kematian, begitu lega.
Setelah semua selesai, pemuda itu melanjutkan meminum wine nya dengan langsung dari botol. Kentara sekali, seperti beban berat menimpa pundaknya. Raut putus asa tergambar jelas di wajah tampannya.
Banyak botol yang telah ia minum, pemuda itu pun terlihat mabuk dan menggumamkan sesuatu. Sayup-sayup terdengar seperti memanggil seseorang.
"Maafkan aku, tolong kembalilah, Aku membutuhkanmu.."
Banyak racauwan yang di keluarkan oleh pemuda itu.
Siapa yang menyangka, jika di balik sosoknya yang kejam, di balik sosoknya yang mendominasi negara Australia Terdapat hati yang patah, entah masa lalu seperti apa yang pernah pemuda itu alami.
Malam pun berlalu dengan lambannya, pemuda itu terus-menerus meminum wine merahnya. Hanya barang itu yang dapat menjadi obat untuk hal yang ia rasakan.
Walaupun memabukkan, pemuda itu telah kecanduan.
Pada detik terakhir kesadarannya, bayangan seorang wanita memenuhi penglihatannya. Perasaan rindu dan juga sakit. Pemuda itu membayangkan ketika ia merengkuh bahu wanita itu.
...
Di dalam jet pribadi, seorang pria tengah sibuk dengan laptopnya, sesekali akan memijat pelipis dan pangkal hidungnya yang sakit.
Membuka beberapa dokumen penting perusahaan.
Dialah pemuda yang semalaman meminum banyak wine hingga mabuk. Dia sedang dalam perjalanan ke negara Jepang untuk menghadiri sebuah perayaan dan juga memantau cabang perusahaannya di negara itu.
"Maaf Tuan, kita sebentar lagi akan sampai di negara Jepang" pernyataan itu ia jawab dengan anggukan.
Masih dengan kesibukannya, memandang laptop, dan juga dokumennya.
Ketika melihat ke samping jendela transparan, terlihat banyak awan yang indah. Tidak sengaja, membuatnya ingat akan suatu hal.
"Kamu ada di mana..."
"Bisakah kamu memaafkan ku setelah semua yang kulakukan?" pemuda itu pun mengingat masa lalunya...
...• • • • •...
"Malvin!" seorang gadis cantik menyerukan nama kekasihnya.
"Hey sayang! Gimana liburannya?" ucapan lembut Malvin mengandung kerinduan.
"Seru dong! Kamu sih, kenapa gak ikut aja" gadis itu merasa sebal dengan cemberutnya.
"Kamu tahu sendiri kan Helen, aku dihukum papa gara-gara balapan" Malvin tersenyum kecut karena tak bisa ikut kekasihnya liburan.
"Kamu sihh, kan aku udah pernah larang kan. Kamu Nya aja yang bandel."
"Hey! Aku gak bandel sayang, balapan adalah hobiku" ucapnya tidak terima.
"Ya ya ya" sahutnya malas.
"Tunggu dulu, apa kamu mau ikut aku ke galeri seni?" harapannya jatuh kala Malvin menolaknya.
"Maaf Helen, hukumanku belum selesai" senyumnya meminta maaf.
"Aku harus tetap di rumah selama seminggu, dan hukumanku masih sisa 3 hari. Mungkin juga..aku takkan bisa menjemputmu dan pergi ke sekolah sama-sama."
"Maafkan aku Helena."
Gadis cantik bernama Helena itu pun tersenyum, "gak papa kok, aku bareng kakak aku aja nggak papa."
"Kalau gitu, aku mau pulang dulu ya.."
"Mau siap-siap ke galeri seni nya" gadis itu terlihat riang karena dia begitu menyukai karya seni.
"Hati-hati sayang!"
"Iyaa!"
"Kamu itu, kalau dibilangin orang tua itu nurut. Bukan cuma bisanya buat kekacauan. Sudah benar Helena memperingatkan mu" pria tua dari arah sebaliknya berbicara dengan nada ketus.
Malvin memutar bola matanya tanda malas.
"Ayolah! Malvin cuma main-main pa!"
"Terus saja bilang begitu! Beruntung keluarga Helena tidak mempermasalahkan sifatmu yang seperti ini."
"Karena bagi mereka, kebahagiaan Helena adalah nomor satu."
"Tanamkan ini baik-baik Malvin!"
"Jaga baik-baik perasaan Helena, orang tuanya adalah sahabat kami. Jika sesuatu terjadi, apa yang akan papa dan mama katakan kepada mereka?"
"Iya sayang..mama dengar dari seseorang kalau kamu sering membuat Helena terluka."
Malvin yang mendengarkan merasa muak, baginya.. apapun kemauannya, saat itu juga harus dikabulkan.
Kemewahan yang mengelilinginya selama ini membuatnya egois dan tempramen. Apapun yang diinginkan harus dia dapatkan.
"Ingat sayang, Helena itu tidak bisa dengan hal keras. Hatinya terlalu lembut untuk merasakannya."
"Mama hanya berpesan ini sayang, untuk kalian juga.."
"Papa dan mama terlalu ikut campur, Helena adalah kekasihku! Jadi, ini adalah masalahku dengan Helena. Tidak ada seorang pun yang boleh masuk kedalamnya.."
Perlahan-lahan, Malvin pergi meninggalkan orang tuanya yang tidak habis pikir dengan tingkah anaknya tersebut.
Dari mana sifat itu turun? Seingat mereka, tidak sekalipun memanjakan Malvin hingga menjadi seperti ini..
"Kak, Helen pergi ke galeri seni ya."
"Gak bareng Malvin dek? Dimana dia?"
"Enggak kak, Malvin masih di hukum papanya untuk tidak keluar rumah selama seminggu."
"Pasti gara-gara balapan" tebaknya tepat sasaran.
"Haishhh, kapan anak itu berubah?" dia terlihat kesal.
"Bukannya kakak juga begitu!" tudingnya.
"Sial!" batinnya.
"Itu beda dek" ucapnya mencari alasan.
"Entahlah kak, Helen mau pergi dulu ya.."
"Iyaa! Hati hati, nanti kamu akan lewat jalan diskotik itu kan? Berhati-hatilah saat lewat sana, jangan sekali-kali turun dari mobil jika belum sampai galeri seni!" teriaknya saat Helena sudah sampai di depan.
Manusia ini adalah kakak kandung Helena, namanya adalah Galan Tarso Jackson.
Meskipun usia mereka terpaut satu tahun, Galan cenderung lebih dewasa dengan sifatnya yang terkadang jahil. Dia sangat menyayangi adiknya itu, Helena adalah berlian kesayangan keluarga Jackson.
"Bagaimana dengan balapan minggu depan?" ucap seseorang di seberang telepon.
"Tentu aku ikut!"
Seseorang di seberang telepon itu tertawa terbahak-bahak, "dan kau pasti akan dihukum lagi."
"Itu hanya sedikit menyusahkan" jawab Malvin.
Malvin menutup log panggilan dan berjalan menuju cermin, "tidak ada yang bisa menghalangiku, walau itu orang terdekatku."
"Tuan dan Nona, di depan kalian ini terdapat lukisan tiruan paling fenomenal yaitu Monalisa."
"Tentu kalian sudah tau jika lukisan ini berada di Prancis, dan kami hanya bisa membuat tiruannya saja. Tapi jangan asal melaporkan kami, tentu kami sudah memiliki izin untuk ini.."
"Lagipula, meskipun tiruan harganya tidak sedikit."
"Baiklah kita beralih ke sampingnya yaitu ....." petugas itu terus menjelaskan semua yang ada di galeri seni tersebut.
"Apakah ada pertanyaan?"
"Saya!" sahut Helena.
"Itu adalah nona yang sangat cantik" Helena tersipu malu.
"Jadi, apa pertanyaannya?"
"Begini, jika ada yang asli kenapa harus membuat tiruan yang begitu mirip? Maaf jika kalian tersinggung.."
"Waw, itu pertanyaan yang berani. Tidak papa nona, kami tidak tersinggung" pengunjung lainnya ikut tertawa dengan interaksi tersebut.
"Jadi begini, memang barang tiruan tidak bisa di sandingkan dengan yang asli. Setidaknya, setiap seniman akan memiliki ciri khasnya masing-masing untuk membedakan karyanya."
"Tiruan ini ada untuk menggantikan karya yang asli agar dapat di kenalkan kepada dunia. Dengan maksud, bahwa lukisan yang asli akan sangat dilindungi dan tidak dapat keluar dari museum."
"Tiruan-tiruan ini sangat berbeda, dimana mereka memiliki hak cipta masing-masing dan diakui oleh pengelola karya asli. Hal ini ditujukan untuk membingungkan penjarah ketika akan mencurinya."
"Jadi begitu, terimakasih atas penjelasannya."
"Ohh, itu tidak masalah. Terimakasih kami ucapkan kembali, kamu adalah orang satu-satunya yang bertanya tentang hal menakjubkan."
"Nona, kamu sungguh mengagumkan!" petugas itu bertepuk tangan atas keberanian Helena.
Sudah lama Helena berada di galeri seni ini, dia segera pulang saat jam menunjukkan angka 10 malam. Orang tuanya sudah berkali-kali menelpon.
"Iya mommy, Helena udah di jalan kok, jadi tenang aja ya..kan ada pak sopir juga" Helena saat ini sedang menenangkan mommy nya yang overprotektif padanya.
"Baiklah, putri mommy.. bilang pada sopir untuk membawa kendaraan dengan hati-hati ya.."
"Iya mom, Helena tutup oke?!"
"Nyonya sangat sayang dengan nona" ucap sopir tiba-tiba.
"Benar pak, meskipun mommy sering berlebihan, tapi Helen tidak merasa risih, justru Helena merasa di lindungi oleh mereka."
Sopir itu tersenyum di balik kaca mobil.
Keesokan harinya adalah hari minggu. Helena masih saja tertidur di kamar indahnya.
Seseorang membuka pintu kamarnya, itu kakaknya Galan. Dia mengendap-endap berjalan pelan. Galan berdiri di ujung kaki Helena dengan senyum jahilnya.
"Akhhh!" Helena teriak.
Galan tergelak karenanya. Tidak lama, Helena melempar semua bantalnya bahkan bonekanya dan selimut.
"Kakak!!"
Bagaimana dia tidak terima jika Galan menarik kakinya cepat hingga membuatnya terbangun dan terkejut.
"Helen kaget kak!" dia masih merasa marah.
Apalah daya, Galan malah semakin menjadi jadi.
Ketika Galan selesai dengan tawanya, dia menggendong Helena untuk turun di lantai bawah ruang keluarga.
"Bagaimana? Apa masih marah?" godanya.
Helena mendengus, "aku tidak akan marah lagi jika kakak membelikan aku cake keju dan coklat!"
"Baik, setelah makan siang nanti aku akan membawa adik kecilku yang paaaling manis ini ke toko dessert" Galan dapat melihat binar bintang di mata Helena.
"Setuju!"
Mereka berdua sekarang ini sendiri di rumah tanpa orang tua mereka. Orang tua mereka pergi keluar negeri untuk mengurus perusahaan, dan Daddy mereka tidak bisa tanpa kehadiran istrinya.
"Kira-kira, kapan mommy dan daddy akan pulang?"
Galan tampak berpikir, "kalau kata mereka, sekitar 1 bulan tapi bisa lebih cepat."
"Ohh.."
.....
"Bukankah ini Helena?" tanya seseorang.
Malvin tampak marah dengan foto yang dikirimkan padanya, "sepertinya iya.."
"Tapi Vin, menurutku itu bukan dia" tebak temannya yang lain.
"Itu Helena Marcell! Dia pergi ke diskotik itu, padahal dia bilang padaku kalau akan pergi ke galeri seni!"
Malvin begitu marah, tidak ada yang bisa menghentikannya ketika seperti itu. Malvin tidak mendengarkan orang lain, dan langsung percaya dengan sekali lihat jika menyangkut orang terdekatnya.
"Aku merasa kasihan dengan Helena" ucap Marcell saat Malvin sudah pergi.
Mereka saat ini sedang berada di markas, Malvin melanggar peraturan papanya. Dia diam-diam pergi ke luar.
"Aku juga berpikir seperti itu, Malvin tidak akan mendengar pendapat orang lain."
"Lihatlah ini, disini memang seperti Helena, tapi aku hafal dengan rambutnya. Dia memiliki rambut hitam berkilau dan tidak pernah mewarnai rambutnya" ucap Simon yang merupakan teman Helena dari kecil.
"Jika lebih diperhatikan, rambut wanita ini sedikit pirang di beberapa rambutnya."
"Aku hanya bisa berharap, Malvin tidak melakukan kesalahan yang akan menyakiti Helena lagi.." sahut orang lain.
"Aku merasa tidak berdaya sebagai sahabatnya" ucap Simon.
Disi lain, Malvin mendatangi Helena di rumahnya langsung dan ini masihlah pagi.
"Malvin? Kenapa datang tanpa kabar dulu" ucap Helena.
Ia akan bertanya lagi, namun diurungkannya. Helena melihat Malvin yang seperti orang marah, seketika ia ketakutan. Disini tidak ada Galan, tidak akan ada yang melindunginya.
"Kau bilang akan pergi ke galeri seni kemarin malam, tapi kau malah pergi ke diskotik Helena!"
Tidak ada panggilan sayang dan tidak ada kalimat yang sedikit sopan.
"Diskotik?!" Helena terkejut, kapan dia pergi kesana? Tidak pernah!
"Aku tidak ke diskotik Malvin, aku benar-benar pergi ke galeri seni."
"Tapi kau disana Helena!! Aku memiliki buktinya!"
"Tidak Malvin! Aku tidak pernah ke diskotik, jika tidak percaya kamu bisa tanya ke kakak aku atau bahkan orang tuaku! kamu bisa bertanya juga ke sopir yang mengantarku kemarin."
"Seperti ini lagi?" Batin Helena.
"Jelas-jelas kau ke sana Helena, ini fotomu kan?!"
"Mungkin kau sudah merencanakannya!" Malvin hanya bisa menuduh Helena tanpa mau berpikir tenang.
Malvin mulai berkata kasar kepada Helena, dia merasakan sakit ketika mendengarnya. Kata yang paling membuatnya sakit adalah, "dasar pelacur!"
Setelah mengucapkan itu, Malvin pergi dari rumah Helena dengan masih merasakan amarah.
"Tidak papa Helena..kamu pasti baik-baik saja.."
Namun tidak! Air matanya mengalir, isakan tangis muncul. Ini kali pertamanya mendapat sebutan pelacur.
"Aku tidak melakukannya Malvin, aku tidak pergi kesana.."
Seperti biasa, ketika dia merasa sakit. Dia akan pergi ke kamarnya dan mengurung diri. Keluarga nya tidak ada yang tau mengenai sifat Malvin.
"Mari bertahan sekali lagi.."
Lagi-lagi, kalimat itu yang Helena ucapkan. Cukup banyak mengeluarkan air mata selama ini. 2 tahun bukan waktu yang cepat juga.
Tiba-tiba Helena teringat jika siang nanti ada janji dengan kakaknya. Helena kemudian bangkit dari pojokan dan pergi ke wastafel untuk membasuh wajah dan bercermin.
Dia beruntung, setiap selesai menangis tidak akan ada bekas di wajahnya.
"Baiklah, mari kita melukis saja."
Helena sangat suka melukis untuk mencurahkan isi hatinya.
Saat dia mempersiapkan kanvas, cat warnanya habis. Berpikir untuk membeli lagi, dia meminta sopir untuk mengantarnya ke tempat penjualan itu.
"Pak Joseph bisa antar Helen ke toko cat?"
"Bis non, sebentar ya..saya mau memanaskan mobil dulu.."
"Halo kak.."
"Helen izin ke toko cat ya, cat lukis ku habis. Kakak tenang saja, Helen pergi dengan sopir kok.."
Dia baru saja menghubungi kakaknya untuk memberitahu, jika tidak habislah.
Disisi lain...
"Apa itu adikmu?"
"Iyaa, memang kenapa?" tanya Galan pada temannya. Saat ini dia sedang nongkrong di cafe.
"Bukan apa-apa.." sahutnya.
"Kau berbohong, dia pernah cerita padaku jika dia mencintai adikmu!" gelak tawa ramai di cafe itu.
"Aku sempat mendengarnya" ucap Galan.
"Tapi maaf saja, adikku sudah punya pacar dan dia baik kepada adikku."
"Siapa namanya?" tanya Tom yang menyukai Helena.
"Kau akan mengajaknya berkelahi kan?" tebak temannya.
Gelak tawa kembali terdengar, "pacarnya adalah putra Filbert, dia anak tahun kedua di sekolahku."
"Putra Filbert? Apa yang kau maksud itu Malvin?!" dia sangat berharap jika itu tidak.
"Benar!"
"Ya ampun!" batinnya menjerit.
"Kau harus melindungi adikmu Lan! Dia berbahaya!" ucapnya serius.
"Itu tidak mungkin Tom, dia mencintai adikku dan orang tuanya adalah sahabat orang tua kami. Jadi itu tidak mungkin" jawabnya dengan selingan tawa lucu.
"Aku serius Lan!"
Tawanya terhenti, "kenapa kau berpikir begitu, jangan bilang untuk membuatku berpikir buruk tentangnya" Galan berucap memperingati.
"Tidak!!" teman yang lain menjawab.
"Aku tau betul dengan perangai Malvin Galan. Dia termasuk musuhku saat ini" Zero berucap jujur.
"Meskipun kami tidak satu sekolah denganmu karena kamu memilih melindungi Helena, tapi satu yang harus kau ketahui Galan. Malvin..orang yang berbahaya."
"Apa maksudnya?!" Galan mulai mendengarkan dengan serius.
"Selama ini, aku memang tau jika Malvin memiliki kekasih, tapi kami tidak pernah melihat kekasihnya itu."
"Orang kepercayaan ku mengatakan.."
"Jika Malvin sering membuat kekasihnya sakit hati dengan tingkahnya,"
"Bukan hanya itu juga" sahut Deren.
"Katanya, Malvin pernah sekali hampir melakukan kekerasan dan anggota kelompoknya selalu merasa kasihan dengan kekasihnya itu,"
"Atau bisa kami katakan, adikmu Helena."
Otak Galan saat ini masih memproses semuanya. Benarkah Malvin melakukan hal itu di belakangnya? Dia ingin tidak percaya, tapi temannya sendiri yang mengatakan. Dan dia tidak meragukan temannya.
"Aku sarankan jika kau menyelidikinya dulu sebelum membuat kesimpulan" saran Tom.
"Yang kami katakan tadi masih lah berupa informasi bukan bukti."
"Sekali lagi, selidiki lah dulu. Kami akan membantu.."
.....
"Sial..sial..sial!!"
Terdengar beberapa pukulan yang kencang, Malvin kembali ke markasnya lagi untuk menggila.
"Ku katakan padamu untuk mencari tau dulu Malvin.." ucap temannya.
"Belum tentu foto itu benar, kau terlalu cepat menyimpulkan."
"Sudahlah Ken, Malvin tidak akan mendengarkan sebelum amarahnya reda. Tunggu saja.."
"Entah apa yang dia katakan pada Helena, semoga dia tidak keterlaluan" ucap Simon.
Sekarang sudah sore hari, amarah Malvin akhirnya reda.
"Aku sudah menemukan bukti jika Helena tidak bersalah!" ucap Simon melemparkan handphone nya.
"Bagaimana pun, aku masih teman masa kecilnya, aku hanya bisa memberi pencerahan untukmu!"
Simon Cowell sebenarnya merasa kesal dan sedikit marah jika Malvin menyimpulkan sesuatu dengan cepat. Terlebih, itu masih berkaitan dengan Helena yang dia anggap saudaranya.
Malvin melihat data di handphone Simon dan memeriksanya, kemudian...
"Apa yang aku lakukan?"
Penyesalan itu akhirnya datang.
"Sudah sering ku katakan kalau hilangkan sikapmu itu Malvin, jika terus seperti ini kau akan jatuh ke penyesalan."
Malvin hanya bisa memegang kepalanya frustasi dan mendengarkan semua ceramah dari teman-temannya.
"Aku sebenarnya mencintai nya, tapi entah kenapa aku selalu tidak percaya dengan apa yang kulihat jika berkaitan dengannya.."
"Cintamu itu mendatangkan obsesi Malvin!" sahut Simon datar.
"Sekarang! Pergi dan minta maaf pada Helena!" perintahnya.
Dengan gontai, Malvin berjalan menuju motornya dan melaju kencang. Panas terik tidak dia hiraukan.
"Itulah kenapa aku tidak setuju saat dia akan menyatakan perasaannya pada Helena" keluh Simon.
"Namun aku tidak bisa menghiraukan Helena yang juga mencintainya.."
"Andaikan waktu bisa diulang, aku ingin menjauhkan Malvin dari Helena. Helena terlalu lembut dan baik untuk Malvin yang seorang tempramen."
.....
"Helena!" Malvin mencoba mencari Helena di semua tempat di rumahnya.
Seorang pelayan berkata, jika Helena ada di ruang seninya.
"Helena.." ucapnya lirih.
"Iyaa.. bagaimana? Sudah merasa tenang?"
Lihatlah, setelah berbagai cacian dan tuduhan. Kekasihnya ini masih berbaik hati padanya.
"Helen..sayang.." luruh sudah air mata Malvin.
Jika pagi tadi air mata Helena yang keluar, kini terbalik dengan air mata Malvin yang tumpah ruah.
"Maaf Helen...sayang maafkan aku.."
Malvin memeluk Helena yang masih memegang kuasnya, ia baru saja selesai menggambar.
Helena kemudian mengelus rambut Malvin dengan sayangnya dan tersenyum, "aku maafkan kok,"
"Sekali lagi, aku tidak akan lelah untuk mengatakan ini.."
"Dalam sebuah hubungan, kepercayaan adalah hal yang penting. Aku selalu berharap jika kamu bisa mempercayai ku sepenuhnya."
"Aku bukan orang yang berbuat macam-macam.."
"Iya sayang..iya..., maafkan aku ya.."
"Selalu itu yang kamu ucapkan Malvin."
"Tanpa kamu ketahui, beberapa lukisan yang ada disini adalah lukisan yang aku buat ketika merasa sakit karena mu.."
"Iya sayang.." ucap Helena.
"Kamu harus berterimakasih pada Simon, pasti karena dia kamu jadi tau."
"Benar sayang, aku akan berterimakasih padanya nanti.."
"Sekarang aku ingin menghabiskan waktu denganmu."
"Tapi Malvin, bukannya kamu masih masa hukuman? Kenapa bisa keluar?!"
"Itu.."
Helena menutup matanya, "sore ini nanti aku akan pergi dengan kakak jalan-jalan."
"Lalu kamu, pulang dan istirahatlah! Masa hukumanmu belum selesai Malvin!" ucap Helena tegas.
Jika tidak seperti itu, apa yang akan terjadi kedepannya nanti. Mungkin Malvin akan semakin parah, itu yang terpikirkan oleh Helena.
"Baiklah sayang."
"Emang kamu mau pergi kemana sama Galan?!"
"Dia menjahili ku pagi tadi, jadi aku memintanya untuk membelikan ku cake di toko kesukaanku."
"Sebenarnya sih janji kita siang, tapi dia mengurus sesuatu."
"Aku bisa membelinya Helen.. bagaimana?" ucapnya berharap.
"Tidak!"
"Sekarang, kamu pulang!" Helena menarik Malvin keluar rumah dan memantaunya sampai ia benar-benar pergi.
"Terimakasih Simon" ucapnya dengan senyuman.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!