NovelToon NovelToon

Karena Suamimu Terlalu Kaya

1. Si Gila Harta

"Habis dari mana aja, La? Kok, pulangnya malam banget?"

Gerakan Ayla yang sedang menempatkan sepatu hak tingginya di atas rak seketika terhenti. Ia mendongak, mempertemukan manik mata ber-softlens itu dengan sosok laki-laki yang mengisi kursi roda di ambang pintu.

"Kamu gak liat aku bawa barang segini banyak?" tanya Ayla tak ramah.

Bayu melirik ke lantai tepat di sebelah kaki Ayla. Di sana, tak kurang dari sepuluh tas belanja dengan logo toko ternama dibawa pulang olehnya. Ia menghela napas dan kembali berkata, "Mas liat akhir-akhir ini kamu udah sering banget belanja, La. Bukan Mas mau ngelarang, tapi kamu, kan, tau keuangan keluarga kita lagi seret banget."

"Oh, jadi kamu mau bilang kalau aku ngabisin duit kamu? Iya?" Ayla berkacak pinggang, menatap suaminya dengan berang.

"Bukan gitu, La. Tapi, cobalah kamu tahan sedikit. Belanja seperlunya aja. Yang kamu butuhkan, bukan semua yang kamu inginkan. Nanti kalau Mas udah bisa kerja lagi, Mas janji gak bakalan--"

"Eh, Mas," Ayla menyela bahkan sebelum Bayu berhasil menyelesaikan kalimatnya, "Asal kamu tau, ya. Kamu itu penyebab seretnya keuangan kita. Jadi, jangan salahin aku, dong. Tugas kamu sebagai suami, ya, cari nafkah dan bahagiain istri. Kalau kamu gak suka sama cara aku, kenapa dulu kamu nikahin aku, hah?"

Bayu tercengang. Memang ini bukan kali pertama Ayla membantah nasihatnya. Namun, mengingat betapa manisnya Ayla dulu sebelum dirinya lumpuh, rasanya tidak mungkin istrinya bisa berkata sekasar ini.

"Mas minta maaf kalau saat ini kamu gak bahagia, La. Mas juga gak nyalahin kamu. Mas cuma mau pengertian kamu sedikit aja. Tolong pahami kondisi Mas," kata Bayu dengan sangat tenang. Biar bagaimanapun, Ayla merupakan wanita yang dicintai olehnya. Dia tidak ingin menyakiti Ayla dan berakhir salah paham.

Ayla memutar kedua bola matanya dengan malas. Dia sudah lelah seharian ini, mengapa Bayu harus menahan langkahnya, sih?

"Salah kamu kenapa harus jadi lumpuh, Mas. Kalau aja kamu dengerin aku buat gak keluar malam itu, kamu gak bakalan kecelakaan dan berakhir di kursi roda kayak gini. Kalau kamu butuh pengertian aku, sampai saat ini pun aku udah cukup mengerti, Mas. Dengan tidak minta pisah sama kamu aja, harusnya itu udah cukup. Karena kalau gak ada aku, siapa lagi yang mau ngurusin kamu yang cacat begini? Kamu itu sebatang kara, Mas. Iya, kamu punya uang. Tapi, sayangnya uang itu lama-kelamaan bakalan habis. Tapi, kalau gak punya keluarga, mau jadi apa kamu? Gembel?"

Setelah mengeluarkan kalimat yang menyakiti hati Bayu, Ayla berlalu ke kamarnya yang terletak di lantai dua dengan perasaan dongkol.

Sementara itu, Bayu hanya bisa memandangi kepergian Ayla dengan pasrah. Dia menghela napas lalu mendorong kursi rodanya untuk mencapai pintu dan menutupnya dari dalam.

Tiga bulan yang lalu, Bayu mengalami kecelakaan di jalan raya saat mobil yang dikendarai olehnya menabrak pembatas jalan tol. Bukan hanya mobilnya saja yang rusak parah, tetapi fisik Bayu juga. Dia dilarikan ke rumah sakit secepat mungkin. Oleh sang dokter, kedua kaki Bayu divonis mengalami kelumpuhan.

Bayu pikir hanya tenaga dari kedua kakinya saja yang hilang, ternyata Ayla-nya juga. Setelah kejadian yang nyaris merenggut nyawanya, sikap Ayla perlahan-lahan mulai berubah.

Ayla yang manis, kini menjelma menjadi sosok pemarah dan tak sabar. Ayla yang lembut, kini menjadi si kasar yang selalu meledak-ledak. Bayu bahkan sempat tidak mengenali istrinya dalam beberapa waktu. Namun, mau sekeras apa pun ia menolak kenyataan, wanita ini tetaplah istrinya.

Sampai detik ini, Bayu selalu merasa bersalah. Dia merasa gagal menjadi suami yang baik untuk Ayla. Andai saja malam itu dia mendengarkan Ayla untuk di rumah saja, mungkin saja hal ini tidak akan terjadi. Dan, mungkin saja cinta Ayla akan selalu manis seperti sebelumnya.

Dan, karena perasaan bersalah tersebut, Bayu tidak mencegah saat Ayla memilih tidur sendiri di lantai atas. Bayu membiarkan Ayla senang dengan pilihannya. Asalkan untuk Ayla, Bayu rela mempertaruhkan segalanya.

"Ayla ...."

"Ck, Mas Bayu kenapa lagi, sih? Perasaan dari tadi ganggu mulu."

Sambil berdecak, Ayla tetap saja keluar dari kamar dan berdiri di ujung tangga untuk melihat keberadaan Bayu. Karena menggunakan kursi roda, tentu saja suaminya itu tidak bisa naik ke atas.

"Kenapa lagi, sih, Mas? Aku mau tidur. Capek," omel Ayla dengan muka masam.

"Ada Ibu di bawah, La. Mau ketemu kamu," jawab Bayu.

Ayla terdiam lalu segera turun dan melintas begitu saja di hadapan Bayu. Ketika sampai di ruang tamu, sebuah sosok mungil berambut pendek dan lipstik merah menyala menatap tajam ke arahnya.

"Sok sibuk banget, sih, kamu. Dari tadi Ibu telpon, kenapa gak satu pun kamu angkat?"

Ayla tidak langsung menjawab. Ia lebih dulu menjatuhkan tubuhnya pada sofa berwarna cokelat terang sambil menyilangkan kaki. "Kenapa? Ibu mau apa? Uang Ibu habis lagi?"

"Kalau kamu tau, kenapa uangnya gak langsung kamu transfer aja? Sengaja mau bikin Ibu capek buat ngunjungin kamu?"

Ayla tertawa kecil lalu mengambil ponsel dan mengirimkan sejumlah uang ke rekening Bu Rosli. "Tuh, uangnya udah aku kirim," kata Ayla seraya menunjukkan layar ponselnya yang menyala.

Setelah itu, wajah Bu Rosli berbinar. "Tumben banyak banget? Biasanya gak segitu? Kamu dapat duit dari mana? Secara, kan, Bayu lagi gak bisa kerja. Ibu perhatiin, akhir-akhir ini barang-barang yang kamu pakai mewah dan mahal semua."

"Gak usah kepo, deh, Bu. Ini urusan aku."

Bu Rosli berdecak. Bisa-bisanya putri yang ia besarkan seorang diri menjawab pertanyaannya dengan respons acuh tak acuh.

"Masih ada perlu? Aku mau tidur, Bu. Capek. Tadi Mas Bayu yang ganggu aku, sekarang Ibu."

"Iya, iya. Ibu pulang," jawab Bu Rosli tak santai. "Oh, iya, minggu depan Ibu pinjam rumah kamu bentar, ya."

"Mau ngapain?"

"Ibu mau bikin acara. Soalnya teman-teman arisan Ibu lagi gencar-gencarnya pamer harta. Ya, Ibu gak mau kalah, dong. Ibu juga harus kayak mereka. Jadi, Ibu udah putusin buat bikin acara mewah dengan undang mereka semua."

"Tapi, kenapa gak di rumah Ibu aja? Kenapa harus di sini?" Ayla tentu saja keberatan. Dia tidak suka dengan permintaan ibunya. Walaupun rumah ini bukan atas namanya, tetapi tetap saja rasanya tidak mungkin ia meminjamkan tempat ini untuk acara sehari yang menurutnya sangat tidak berguna.

"Ya, rumah Ibu, kan, kecil, La. Kalau Ibu bawa mereka ke sana, yang ada Ibu bakalan diejek sama mereka. Lagian masalah kamu apa, sih? Ini, tuh, rumahnya Bayu. Ibu cuma bilang, bukan minta izin ke kamu."

"Enak aja." Ayla sudah berdiri, mukanya memerah garang.

"Biarin ajalah, La. Tadi Ibu udah izin sama Mas."

"Dan, kamu ngizinin?" Ayla yang tengah emosi dibuat tambah marah di saat Bayu menganggukkan kepala seolah tanpa beban. Laki-laki itu bahkan tampak tersenyum tipis. Seolah permintaan gila ibunya bukanlah sebuah masalah.

"Kamu udah gila, ya, Mas? Mentang-mentang ini rumah kamu, seenaknya aja kamu kasih izin buat Ibu ngundang teman-temannya ke sini."

"Emang apa salahnya, sih, La? Kamu juga suka gitu, 'kan? Dan, aku gak pernah sekalipun ngelarang kamu. Lagian ini cuma acara kumpul-kumpul, La. Bukan buat rusuhan."

"Terserah kamu, deh, Mas."

Sekali lagi, Ayla meninggalkan Bayu dengan perasaan marah. Ia kembali menaiki tangga yang akan membawanya ke kamar pribadi miliknya. Tak lama setelahnya, suara pintu yang dibanting menjadi pertanda bahwa Ayla tak main-main dengan amarahnya.

"Makasih, ya, Bayu, udah ngizinin Ibu buat bawa teman-teman Ibu ke sini."

Bayu tersenyum dan mengangguk. Kemudian ia mengangsurkan sebuah amplop berwarna cokelat ke arah Bu Rosli. "Bayu ada sedikit rezeki buat Ibu. Walaupun jumlahnya gak banyak, tapi mohon diterima, ya, Bu."

Tentu saja Bu Rosli menerimanya dengan senang hati. Ini yang dia sukai dari Bayu. Walaupun cacat, tetapi menantunya ini sangat baik hati.

"Oh, iya. Ibu boleh minta guci antik yang di sana gak? Bagus banget. Ibu suka. Itu juga kalau kamu gak keberatan, sih. Kalau gak dikasih juga gapapa," minta Bu Rosli dengan tidak tahu dirinya.

Dia tahu, apa pun yang diminta olehnya, Bayu pasti akan memberikannya.

2. Sakit Tak Berdarah

Sebuah rumah bergaya Eropa dengan pilar-pilar tinggi dan air mancur di tengahnya tampak indah lagi menawan dipandang mata. Suasana sunyi dan sepi. Selain beberapa orang penjaga yang hilir mudik pada setiap sudut halaman, tak ada kehidupan lain yang menandakan keberadaan si pemilik rumah.

Mobil hitam metalik keluaran terbaru tampak melaju ke arah gerbang rumah tersebut. Para penjaga mengenali jika itu adalah mobil milik majikan mereka. Tanpa berlama-lama, dua orang penjaga kompak membuka gerbang dan membiarkan mobil tersebut lewat dengan cepat.

Salah seorang penjaga yang bernama Amar sigap berlari untuk membuka pintu mobil. Namun, bukan majikan mereka yang keluar, melainkan Ruben--asisten pribadi Fais.

"Pak, tolong bantu saya membawa masuk Pak Fais ke dalam," kata Ruben kepada pria dengan tubuh tinggi, berotot tegap, dan rambut panjang disanggul rapi.

"Baik, Pak."

Bersama-sama mereka menuju pintu satunya lagi. Begitu membukanya, tampak Fais--majikan sekaligus pemilik rumah ini--terkapar tak berdaya. Bau alkohol menguar dari tubuhnya. Tak perlu bertanya, Amar sudah tahu apa yang terjadi pada majikannya itu.

Untuk mencapai pintu utama, baik Amar, Ruben, dan Fais--yang diapit di antara kedua orang tersebut--perlu menaiki beberapa anak tangga. Setelah itu, pintu bergaya klasik dengan ukiran-ukiran rumit terlihat jelas di depan mata.

Amar menekan bel yang terdapat di samping pintu. Kemudian, pintu besar tersebut dibuka dari dalam.

"Ya, Tuhan, apa yang terjadi sama Mas Fais?" pekik Diana yang terkejut melihat keadaan suaminya. Namun, belum pun Ruben memberikan penjelasan, hidungnya mencium bau minuman yang sangat pekat. "Mas Fais mabuk lagi?" tanyanya hati-hati dan Ruben menganggukkan kepala.

"Ya, sudah, tolong dibawa ke kamar, ya," lirihnya lagi seraya memberi jalan agar dua orang laki-laki tersebut bisa memapah suaminya ke kamar.

"Mas Fais, kenapa harus begini lagi?" Air mata Diana mengalir. Sebelum ada yang melihatnya, ia cepat-cepat menyekanya.

Setelah menutup pintu, Diana menyusul Ruben dan Amar yang baru saja selesai menidurkan Fais di kasur. Dengan sungkan, Amar lebih dulu berpamitan keluar.

Ruben juga mengambil langkah yang sama, tetapi di ambang pintu kamar, Diana mencegah langkahnya.

"Mas Fais kenapa bisa mabuk-mabukkan lagi? Emangnya gak kamu cegah?"

"Maaf, Bu. Saya sudah berusaha melarangnya, tapi malah saya yang kena marah," jawab Ruben sangat sopan.

"Ya, sudah. Makasih banyak udah nganterin Mas Fais ke sini. Nanti pulangnya minta diantar sama supir di sini aja. Pasti mobil kamu ditinggal lagi di sana, 'kan?"

Ruben mengangguk lalu berpamitan keluar setelah kata 'terima kasih' terlontar dari bibirnya.

Saat Ruben sudah benar-benar pergi, Diana kembali ke kamar. Matanya menatap lama ke arah Fais yang terkapar tak berdaya. Bahkan, dari jarak yang cukup jauh saja, bau alkohol tercium sama pekat. Diana tidak bisa menebak sebanyak apa suaminya ini menenggak minuman tersebut.

Tak membiarkan air matanya berjatuhan, Diana mendekat dan melepaskan sepatu lalu kaus kaki Fais yang masih melekat. Dia juga menanggalkan jas hitam yang Fais kenakan dengan sangat hati-hati. Diikuti dengan kemeja putih lalu celana berbahan kain dengan harga tak main-main.

Lagi dan lagi, Diana kembali mengurus Fais yang tidak sadarkan diri seperti ini. Bukan kali pertama dan bukan rahasia lagi baginya. Sejak mereka menikah setahun yang lalu, beberapa bulan sekali Fais pasti akan seperti ini.

Diana bersabar, mengabdi pada sosok suami yang tersenyum saja sangat jarang untuknya. Dia yakin jika suatu hari nanti, Fais pasti akan mencintainya.

Setelah mengelap seluruh badan dan mengganti pakaian dengan baju tidur, Diana pun turun dari kasur. Namun, belum sempat ia melangkah, lengannya dicekal dan mata Fais yang setengah terbuka mengarah ke arahnya.

"Mau ke mana?" tanya Fais pelan. Suaranya rendah dan serak. Pertanda bahwa tak ada tenaga yang tersisa.

"Mau ke dapur sebentar. Kenapa? Mas mau dibawain minum?" tanya Diana.

Fais menggeleng lemah. "Jangan ke mana-mana dulu. Di sini dulu sama aku. Aku mau tidur sambil peluk kamu."

Diana tercengang. Apa yang terjadi pada suaminya ini? Minuman jenis apa yang ia minum sampai-sampai permintaannya jadi aneh seperti ini?

"Dara, Sayang .... Kenapa diam aja? Kamu gak mau? Kamu mau pergi lagi, ya? Kamu mau nninggalin aku lagi?"

Jawabannya sudah Diana temukan.

Fais bukan sedang menginginkannya. Fais bahkan tidak menatapnya sebagai Diana--istri sahnya saat ini. Efek minuman yang Fais habiskan membuat pikiran sekaligus matanya menjadi buram.

"Ma--Mas ...." Suara Diana tercekat. Cukup sulit untuk sekadar mengeluarkan kalimat, 'Aku Diana, bukan Dara'.

"Dara, Sayang." Fais kembali memanggil. Kali ini, ia menarik lengan Diana dan membuat wanita itu duduk di sisi tubuhnya. "Aku cinta kamu. Jangan pergi-pergi lagi, ya. Aku gak tau mau cari kamu ke mana."

Air mata Diana meleleh dengan sendirinya. Hatinya terasa sakit dan sesak. Tenggorokannya perih, sulit mengucapkan kata-kata. Berkali-kali Diana membuka mulutnya, berkali-kali pula suaranya hilang entah ke mana. Dengan sesegukan, Diana menatap Fais yang juga sedang menatapnya.

Suaminya ini tersenyum senang. Entah senyum Dara yang bagaimana yang terlihat di matanya.

"Jangan pergi lagi, ya. Kamu sayang juga, kan, sama aku?" tanya Fais. Genggamannya makin erat dan kuat. Sangat takut jika Dara akan kembali pergi dari sisinya.

"Iya, Mas. Dara gak bakalan pergi. Dara bakalan tetap di samping Mas."

Fais tersenyum bahagia. Perlahan-lahan, ia menutup kedua matanya dan tertidur pulas begitu saja.

Diana yang masih menangis, dengan hati-hati sekali mengelus garis wajah Fais yang hanya bisa disentuh saat suaminya terlelap seperti ini. Jika ingin mencium pun, Diana harus menunggu sampai Fais tertidur. Karena Diana sadar, mereka tak pernah lebih dari ini.

Hati Fais masih tertinggal di masa lalu. Bertaut cukup erat pada seorang wanita yang telah tiada. Diana pun tahu, penyebab Fais mabuk-mabukan hanyalah untuk melampiaskan kerinduan kepada Dara.

"Selamat tidur, Suamiku. Semoga kamu bisa mencintaiku suatu hari nanti," ucap Diana sambil menatap suaminya yang tertidur sambil memegang tangannya.

Lalu dengan gerak yang cukup pelan, Diana merendahkan tubuh dan mengecup pipi Fais cukup lama. Rasanya menyenangkan. Walaupun masih ada sakit yang terselip di antaranya, Diana yakin semuanya akan baik-baik saja.

Ini hanya tentang waktu. Ia yakin, dirinya mampu bersaing dengan Dara.

Namun, keyakinan ini mendadak pudar. Diana kembali tak yakin akan hasil akhir yang diterima olehnya. Jika sampai ini pun, foto pernikahan Fais dan Dara masih tergantung dalam bingkai besar di dalam kamar mereka.

3. Saran Dari Bu Rosli

Suara gorden yang dibuka, sinar matahari yang menembus jendela dan mengarah tepat ke matanya membuat tidur lelap Fais terusik. Ia tidak bisa membuka mata beberapa saat. Setelah berhasil menyesuaikan cahayanya, barulah kelopak mata yang dipayungi bulu-bulu lentik itu terbuka perlahan-lahan.

"Selamat pagi, Mas."

Sapaan itu membuat Fais sadar bahwa saat ini, dirinya tengah terbaring lemah di atas kasur, bukan di meja bar dengan botol-botol wiski yang ia habiskan seorang diri tanpa mau berbagi dengan Ruben sedikit pun.

Fais berusaha bangun dan sosok mungil dengan rambut yang panjangnya hanya sebahu itu terlihat olehnya.

Diana tersenyum manis, seperti biasanya. Dan, seperti biasanya pula, tak ada debaran ataupun getaran yang Fais rasakan.

"Gimana keadaannya? Apa yang Mas rasakan? Kepalanya pusing gak?" tanya Diana seraya mendekat dan berdiri di sebelah Fais.

"Kepala saya agak pengar," jawab Fais tak ingin menjelaskan lebih. Jika sudah bertanya seperti ini, tentu Diana tahu apa yang terjadi pada dirinya malam tadi.

"Bisa kerja gak, Mas? Kalau emang gak sanggup, jangan dipaksain." Diana khawatir.

"Bisa. Saya ke kamar mandi dulu."

Fais berlalu dengan langkah sempoyongan. Sementara itu, Diana hanya bisa menatapnya dengan senyum samar-samar.

Di meja makan, menu sarapan sudah ditata rapi oleh pelayan. Karena memang, rumah sebesar ini memiliki cukup banyak pelayan. Bahkan Diana sendiri sampai tidak hafal semua nama-nama mereka.

Fais sudah selesai membersihkan diri. Kini, dengan setelah jas lengkap, ia bergabung ke meja makan.

Diana tersenyum, menyambut kedatangan suaminya. Namun, Fais sendiri malah memasang wajah biasa-biasa saja.

"Semalam Mas dianterin Ruben ke sini," beritahu Diana supaya Fais tahu, tetapi Fais seolah tidak peduli.

Dia fokus menikmati makanan dalam piringnya. Tidak memberikan respons sama sekali.

Tak patah arang, Diana pun kembali mencoba peruntungan. Dia terus-terusan mencoba mengajak Fais berbicara. Entah pada pembahasan ke berapa, sepertinya Diana salah membawa topik.

"Mas, boleh gak kalau foto pernikahan Mas sama Mbak Dara yang di kamar kita dipindahin aja?"

"Kenapa?" tanya Fais seraya melirik Diana. Untuk sesaat gerakannya yang sedang menyendok makanan terhenti.

"Gapapa. Cuma aku agak kurang suka liatnya. Soalnya, kan, yang jadi istri Mas sekarang itu aku. Sementara Mbak Dara--"

"Dara kenapa? Dia udah meninggal maksud kamu? Kamu gak suka kalau foto Dara masih dipajang di kamar itu? Kamu terganggu?"

Diana tergagap. Ucapannya belum rampung, tetapi Fais sudah mencecarnya dengan banyak pertanyaan.

"Bukan gitu, Mas. Tapi, cobalah Mas fikirkan sebentar. Istri mana yang gak sakit hati kalau di kamarnya sendiri masih ada foto pernikahan suaminya dengan istrinya yang dulu? Karena kalau menurut aku, sudah saatnya Mas melupakan Mbak Dara. Bukankah sudah ada aku yang jadi istri Mas sekarang?" Diana berkata dengan sangat hati-hati. Kalimatnya tersusun rapi dan diucapkan dengan lembut pula.

Namun, bukannya mengerti, Fais malah menjatuhkan sendok dan garpunya ke piring dengan cukup kasar. Menimbulkan bunyi keras yang membuat Diana dan seluruh pelayan yang berdiri di sana menjadi terkejut. .

"Kalau kamu sakit hati sama fotonya Dara, kamu boleh pindah dari kamar itu." Setelah mengucapkan sederet kata dengan intonasi rendah dan penuh penekanan, Fais berdiri lalu berjalan ke arah luar.

Tinggallah Diana sendirian. Ia membuang napas panjang. Sampai kapan pun, ia tidak bisa menyaingi Dara.

* * *

"Masak apa, La? Harum banget. Sampai terbang wanginya ke kamar Mas."

Ayla menoleh sebentar, menatap kedatangan Bayu bersama kursi rodanya ke arahnya. "Sup ayam. Suka, 'kan?" tanyanya dan Bayu lantas menganggukkan kepala.

"Ada yang perlu Mas bantu gak, La?" Bayu menawarkan bantuan.

"Emangnya kamu bisa apa?"

"Apa aja. Aduk-aduk supnya Mas juga bisa."

"Ck, gak usah. Kamu aja pakai kursi roda. Nanti supnya tumpah, malah jadi masalah. Kamu tunggu di meja aja. Bentar lagi siap," kata Ayla sedikit tak ramah.

Bayu yang memang sudah biasa dengan cara berbicara Ayla yang seperti hanya bisa diam dan tersenyum pelan. Dia memutar haluan, menuju meja makan dan menunggu Ayla selesai tanpa sedikit pun mengacaukan.

"Kamu kapan, sih, sembuhnya? Kapan bisa digerakin lagi? Kalau kamu gini terus, bisa-bisa aku bakalan kehilangan Ayla buat selamanya," ucap Bayu pada kedua kakinya yang tampak baik-baik saja dari luar.

"Nah, udah siap." Ayla berseru lalu membawa semangkuk besar sup ayam ke meja makan. Dia juga menata beberapa menu lain. Semuanya terlihat enak dan menggiurkan.

Kemudian, Ayla mengalaskan nasi dan memberikan lauk-pauk beserta sup ayam ke piring Bayu. Dia juga menuangkan segelas air. Setelah siap, barulah ia mengambil bagiannya sendiri.

"Makasih, Sayang," ucap Bayu yang dibalas 'iya' oleh Ayla.

"Oh, ya, La, siang ini aku ada jadwal kontrol ke rumah sakit sekalian menjalani terapi. Kamu bakalan temenin Mas, 'kan?"

"Duh, gak bisa, Mas. Aku ada urusan. Kamu perginya sendiri aja, ya?"

"Urusan apa kalau boleh tau?" Bayu hati-hati sekali bertanya. Khawatir kalau kalimatnya akan melukai Ayla.

"Banyak. Kamu gak bakalan ngerti juga kalau aku kasih tau," jawab Ayla cuek.

"Tapi, untuk kali ini aja, Mas mohon kamu tinggalkan dulu urusan kamu yang banyak itu. Mas butuh kamu, La. Sebentar aja, gak bakalan lama."

"Gak lama apaan? Aku udah pernah, ya, temani kamu kontrol, Mas," bantah Ayla dengan berang.

"Dengar dulu, La--"

"Udahlah, Mas. Jangan atur-atur aku bisa gak, sih? Aku udah capek ngurusin kamu di rumah. Masa, sih, aku gak bisa cari kesenangan lain di luar? Sebenarnya kamu bisa ngerti aku gak, sih, Mas? Aku juga butuh waktu buat diri aku sendiri. Kamu pikir jadi istri dari suami yang cacat gini gak banyak nguras tenaga?"

Suara tinggi Ayla membuat Bayu terdiam seketika. Dia berusaha untuk terus mempertahankan pandangannya, menepis rasa sakit akan setiap kata Ayla ucapkan. "Maaf kalau selama ini Mas nyusahin kamu. Mas gak tau kalau kamu capek ngurusin Mas yang cacat gini."

Kalimat Bayu menjadi penutup acara sarapan mereka. Ayla pergi, naik ke lantai dua dan membanting pintu kamarnya dengan keras. Padahal suasana hatinya baik sekali pagi ini, tetapi Bayu mengacaukan semuanya.

Kembali ditinggal dengan emosi yang meledak-ledak, Bayu berusaha untuk melupakan semua perkataan Ayla. Dia membuat seolah semuanya baik-baik saja. Mengabaikan kepingan hatinya yang bertaburan dan hilang entah ke mana.

Bayu tidak ingin membuat Ayla kesusahan atau letih karena mengurusnya yang cacat ini. Jadi, sebisa mungkin Bayu membantu mengurangi pekerjaan rumah Ayla.

Seperti saat ini, dengan susah payah, Bayu berusaha mengumpulkan piring kotor dan membawanya untuk dicuci. Dia tampak kepayahan, tetapi Ayla yang menatapnya, memutuskan untuk memandangi sekilas lalu pergi begitu saja.

Suara mobil di luar rumah membuat Bayu menolehkan kepala. Ayla sudah pergi entah ke mana. Istrinya itu bahkan tidak berpamitan kepadanya.

"Maafin aku, La. Salah aku kenapa harus cacat gini." Lagi dan lagi, Bayu menyalahkan diri sendiri.

Ayla memacu mobilnya menuju rumah Bu Rosli. Tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, Ayla langsung saja memasuki rumah minimalis tersebut dengan langkah kaki yang cukup keras.

Bu Rosli yang masih di dapur sampai kaget melihatnya. Dengan kening berkerut, ia bertanya, "Kenapa, sih, kamu? Masih pagi, kok, mukanya kusut gitu?"

"Aku kesel, Bu, sama Mas Bayu. Makin ke sini, dia makin suka ngatur. Udah cacat, banyak maunya lagi," ketus Ayla seraya menuangkan segelas air putih dan meneguknya hingga tandas. Dia sadar kalau dirinya tidak minum setelah sarapan tadi.

"Mau dengar saran dari Ibu gak, La?"

"Apa?" tanya Ayla sambil menatap wajah Bu Rosli yang tersenyum senang.

"Ceraikan Bayu."

"Ceraikan Mas Bayu? Ibu gak salah kasih saran?" tanya Ayla dengan alis berkerut bingung.

"Enggak, dong, La. Kamu gak liat kalau Bayu itu cacat? Dia bisa apa selain diam di rumah doang? Kerja aja gak bisa. Gimana caranya dia mau nafkahin kamu? Uang yang dia kasih ke Ibu kemarin aja cuma sedikit. Itu artinya, uang dia udah gak banyak lagi. Jadi, sebelum kamu benar-benar jatuh miskin sama dia, lebih baik kamu ceraikan saja lalu nikah sama pria lain yang lebih kaya."

Ayla menggeleng. Saran dari ibunya tidak bisa ia gunakan dalam situasi sekarang. "Gak bisa, Bu. Uang Mas Bayu masih banyak. Cuma dia perlu berhemat di kondisi yang sekarang ini. Kalau aku cerai sama Mas Bayu, aku bisa dapat apa? Yang atas nama aku cuma mobil doang, Bu. Rumah dan tanah-tanahnya yang lain masih atas namanya sendiri."

Bu Rosli terdiam, memikirkan perkataan Ayla seraya menarik sebuah kursi dan duduk di sebelahnya. "Hm, kalau gitu, kamu pertahankanlah dia dulu. Nanti Ibu pikir lagi caranya gimana. Ibu juga udah males banget liat dia. Uang yang dia kasih ke Ibu makin berkurang aja. Padahal kebutuhan Ibu, kan, banyak."

Ayla berdecak kesal. Ibunya ini mata duitan sekali.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!