Dua orang gadis remaja berjalan bersama, mengendap-endap keluar dari kedai makan yang tengah viral di kalangan anak muda. Mereka terlihat bahagia setelah berhasil mengerjai teman mereka dengan cara meninggalkan dia di dalam restoran sendirian untuk membayar makanan yang telah mereka makan.
"Menurutmu bagaimana dia akan membayar semua makanan yang kita pesan tadi?" tanya Rieke sambil mengintip di balik pintu.
"Bodo amat, emang gue pikirin?!" balas Selvi dengan nada acuh. Gadis itu merasa puas telah berhasil mengerjai anak dari pembantu di rumahnya yang juga merupakan teman sekolahnya. "Yuk, kita pergi sebelum dia sadar kalau kita meninggalkannya," lanjutnya. Lalu kedua gadis remaja itu pun pergi sambil terkekeh puas.
Sementara itu di dalam restoran seorang gadis lugu dan berpenampilan ala kadarnya terlihat cemas dan berkali-kali menoleh ke arah toilet. Tadi kedua temannya pamit untuk ke toilet. Tetapi sudah hampir setengah jam mereka berdua belum kembali juga.
"Mbak, boleh aku ke toilet sebentar untuk menyusul temanku?" tanya remaja lugu itu kepada pelayan restoran yang saat ini berdiri dengan tatapan tidak suka kepadanya.
"Itu hanya alasanmu untuk kabur seperti kedua temanmu tadi 'kan?" balas pelayan itu sinis.
"Apa maksudmu? Te ... Temanku kabur?!" jawab gadis itu tergagap.
"Aku yakin kalian bekerja sama! Tidak usah memasang tampang polos seperti itu. Aku sudah hafal modus anak-anak seperti kalian agar bisa makan gratis di sini! Cepat bayar semua ini!"
"Apa? Aku harus bayar semua ini?" Seketika wajah remaja itu pucat. Darimana dia punya uang untuk membayar makanan sebanyak ini? Dia masih SMA dan hanya seorang anak pembantu yang hidup pas-pasan. Dia bisa sekolah juga karena mendapatkan beasiswa atas kepintarannya. "Tapi ... Tapi bukan aku yang memesan makanan ini. Teman-temanku tadi yang pesan dan mereka juga yang makan."
"Jangan banyak alasan! Bayar sekarang atau aku akan panggil petugas keamanan?!" ancam pelayan tersebut dengan suara meninggi sehingga menarik perhatian pengunjung kedai tersebut.
"Tapi aku tidak punya uang," jawab gadis belia itu lirih.
"Kalau tidak punya uang kenapa makan di sini?!" bentak pelayan itu. "Sini, berikan nomor telepon orang tuamu. Akan aku telepon orang tuamu biar mereka yang bertanggung jawab!"
"Jangan, aku mohon jangan telepon ibuku. Akan aku lakukan apapun agar bisa membayar semua ini," ucap gadis itu dengan mata berkaca-kaca.
"Ada apa ini?" datang seorang perempuan menghampiri.
"Biasa, modus ngga mau bayar!"
"Siapa namamu?" tanya perempuan itu lembut.
"Namaku Dira," jawab gadis belia itu sambil terus menunduk menahan tangis dan menahan malu karena semua mata sedang mengarah kepadanya dengan tatapan menghakimi.
Tadi Dira datang ke restoran ini karena Selvi yang mengajaknya. Sebenarnya dari awal Gita tidak ingin ikut karena tahu pasti akan terjadi hal buruk padanya jika ada Selvi di dekatnya. Dia tahu Selvi dan Rieke tidak pernah tulus padanya dan hanya bersikap baik kepadanya di depan orang-orang tertentu.
Tetapi sang ibu terus memaksa sehingga Dira mau tidak mau menuruti ajakan Selvi untuk makan di kedai makan yang sedang populer di kalangan anak seusia mereka itu.
"Baiklah Dira, ikut aku sebentar. Kita bisa bicarakan ini di belakang agar tidak dilihat pengunjung yang lain," ucap perempuan itu dengan lembut.
"Aku akan diapakan? Apa kalian akan melaporkan aku ke polisi?" tanya Dira dengan wajah semakin pucat karena ketakutan.
"Tidak, kita hanya akan membicarakan bagaimana solusinya. Kamu tidak usah khawatir. Namaku Hesti," ucap perempuan yang mungkin hanya beberapa tahun lebih tua dari Dira.
Sementara itu, Selvi baru sampai di rumahnya setelah mengantarkan Rieke pulang terlebih dahulu. Selvi langsung di sambut oleh Bi Narti, ibunya Dira yang sudah lama bekerja sebagai pembantu di rumahnya.
"Pulangnya sendirian Non?"
"Iya Bi, Rieke langsung pulang ke rumah, Dira juga sudah aku antar pulang ke rumah. Bibi ngga usah khawatir," jawab Selvi tanpa merasa bersalah.
"Oh ... Ya sudah. Makasih ya Non Selvi. Bibi sangat senang karena Non Selvi baik banget sama Dira," ucap Bi Narti tulus.
"Sudahlah Bi, bibi 'kan sudah dianggap seperti keluarga sendiri di rumah ini. Jadi Dira juga sudah aku anggap seperti saudaraku sendiri," ucap Selvi sopan. "Aku langsung ke atas ya Bi, mau istirahat. Oh ya Bi ... Tadi waktu aku ngantar Dira, ada anak laki-laki yang sedang menunggu Dira di rumah. Jadi nanti kalau bibi pulang Dira tidak ada di rumah, mungkin dia sedang pergi bersama laki-laki itu," ucap Selvi sebelum pergi. Lalu dia pun menaiki tangga menuju kamarnya di lantai dua rumahnya sambil menahan senyumnya.
Bi Narti mengangguk sambil memandangi sosok Selvi yang berjalan menjauh. Sungguh dia terkagum-kagum dengan anak majikannya yang selain cantik juga sangat baik hati dan sopan. Setidaknya begitulah yang terlihat di dari luar.
Beberapa hari kemudian ...
"Hey ... dekil!!!" Baru saja melangkahkan kakinya masuk ke dalam kelas, Dira sudah mendapatkan sambutan dari Selvi. Semua orang yang berada di dalam kelas langsung menoleh ke sumber suara kecuali Dira.
"Aku memanggilmu, Dekil!!!"
Terpaksa Dira menoleh karena dia tahu panggilan itu ditujukan untuknya. "Ada apa Selvi?" tanyanya tanpa berani menatap Selvi.
"Panggil Nona! Kamu hanya anak pembantu di rumahku, ingat itu!" Beginilah aslinya sikap Selvi jika di luar rumah terutama saat bersama teman-temannya. Kasar, sombong dan seenaknya, berbeda sekali jika di depan orang yang lebih tua atau orang asing.
"Iya, ada apa Non Selvi?" ulang Dira sambil terus menunduk.
"Kamu lihat ini?" Selvi menunjukkan sebuah tas selempang kecil. "Ini adalah kado dari ibumu." Selvi melemparkan tas itu tepat di wajah Dira. Semalam dia merayakan pesta ulang tahun yang sangat meriah, dan hanya Dira sendiri yang tidak di undang. Tetapi Selvi mengatakan kepada Narti jika Dira juga diundang hanya saja Dira yang tidak mau datang.
"Apa ibumu pikir aku mau memakai tas seperti itu?" Bicara dengan menunjukkan mimik jijik melihat tas itu.
"Di tong sampah mana ibumu memungutnya?" timpal Rieke terkekeh. "Tas seperti itu cocoknya dipakai orang-orang dekil seperti kamu. Lihat, warnanya saja sama dengan warna kulitmu yang kusam dan dekil." Satu kelas tertawa mendengar kata-kata Rieke. Entah apa alasan mereka menganggap kata-kata itu lucu hingga patut ditertawakan.
"Lagian ibumu seharusnya sadar diri dimana posisinya. Dia itu hanya pembantu di rumah Selvi, sok-sokan ngasih kado segala. Daripada buat beli kado mending duitnya buat kamu perawatan biar nggak dekil kaya gitu," timpal yang lain yang diikuti dengan gelak tawa seluruh kelas.
Dira memungut tas kecil itu lalu duduk ke kursinya, berusaha mengabaikan orang-orang yang masih menertawakannya. Ini hanya sebuah contoh kecil dari apa yang biasa Dira alami di sekolah. Hampir setiap hari dia menerima hinaan seperti ini. Kadang dia biasa saja meladeninya tetapi kadang-kadang Dira tidak kuat dan ingin berhenti bersekolah.
Di kunci di dalam toilet sekolah adalah hal biasa bagi Dira. Tetapi Dia tidak lagi berteriak minta tolong atau menggedor pintu, tidak ada gunanya. Nanti petugas kebersihan sekolah akan mengeluarkannya secara tidak sengaja ketika akan membersihkan area toilet.
Sering sekali Selvi makan dan ketika tidak ada tisu untuk membersihkan tangannya yang kotor dia mengelap tangannya di baju seragam yang sedang dipakai. Tetapi itu hanya dianggap sepele bagi Dira. Hal seperti itu tidak membuatnya sakit hati.
Perbuatan paling keji yang Selvi dan Rieke lakukan kepada Dira adalah ketika mereka menyingkap rok yang sedang dipakai Dira di depan anak-anak laki-laki di kelasnya. Tidak lupa kedua gadis itu merekam dan menyebarkan videonya di seluruh sekolah. Tetapi bukan kata maaf yang keluar dari mulut mereka. Justru Selvi dan Rieke mengatakan jika Dira tidak perlu malu karena bahkan jika Dira telanjang pun tidak ada yang tertarik untuk melihatnya karena tubuh Dira yang dekil.
Tidak ada yang membantu Dira waktu itu, bahkan semua orang tertawa terbahak-bahak melihatnya. Saat itu, ingin rasanya Dira menghilang dari muka bumi ini. Dia benar-benar merasakan malu yang luar biasa bahkan sampai tidak berani berangkat sekolah berhari-hari lamanya. Ibunya tidak tahu menahu soal ini karena Dira hanya mengatakan jika dirinya tidak berangkat sekolah karena tidak enak badan.
Delapan tahun kemudian ...
Di sebuah ruangan di sebuah gedung pencakar langit, duduk seorang wanita yang sedang sibuk di depan laptop.
"Dir, ini laporan keuangan yang kamu minta," ucap seseorang yang baru saja masuk ke dalam ruangan.
"Terima kasih, taruh saja di meja. Aku akan memeriksanya nanti," balas Dira yang sekarang menjabat sebagai wakil direktur di sebuah perusahaan.
"Setengah jam lagi ada rapat direksi, aku harap kamu nggak lupa." Tia mengingatkan karena atasan yang sudah menganggapnya sebagai teman itu sering lupa waktu kalau sudah di depan laptopnya.
Dira melirik jam di tangannya. "Aku selesaikan ini dulu. Setelah itu aku akan langsung ke ruang meeting."
"Oke," jawab Tia, sang asisten lalu bergegas meninggalkan ruangan.
Belum selesai Dira mengerjakan pekerjaannya, ponselnya berdering. Dira melirik sebentar ke layar ponsel, melihat nama yang tertera di sana. "Ibu?" gumamnya. Segera dia hentikan pekerjaannya. Tidak ada alasan apapun bagi Dira untuk tidak menjawab telepon dari orang yang paling berjasa dalam hidupnya, meskipun sebenarnya hubungan mereka tidak begitu dekat.
"Halo Ibu ... " sapa Dira.
"Halo Dira, gimana kabarmu Nak?"
"Dira baik Ibu, ada apa ibu meneleponku siang-siang begini?" tanya Dira. Tidak biasanya ibunya itu menelepon di siang hari karena dia tahu siang hari adalah waktunya Dira bekerja.
"Ibu hanya kangen sama kamu Dira. Sudah berapa bulan kita tidak bertemu? Ibu sudah tua, sudah sakit-sakitan. Apa kamu tidak mau pulang dan menemani ibu menghabiskan masa tua ibu?" tanya Narti di ujung telepon.
Sudah delapan tahun sejak Dira lulus SMA, dia tidak pernah menginjakkan kakinya di kota kelahirannya. Kenangan buruk semasa remajanya begitu membekas di dalam ingatannya dan meninggalkan goresan-goresan yang dalam di hatinya membuatnya enggan kembali ke kota itu.
Setelah lulus SMA, Dira mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliah di luar kota, kebetulan setelah lulus kuliah Dira langsung mendapatkan pekerjaan di kota itu hingga Dira menetap sampai sekarang tanpa mau kembali ke kampung halamannya.
Tetapi itu tidak berarti Dira melupakan ibunya. Tiap bulan dia rutin mengirim uang untuk sang ibu. Bahkan dia juga mengirim uang untuk merenovasi rumah sehingga rumah sederhana mereka menjadi rumah yang cukup mewah. Tidak cukup sampai di situ, Dira juga membayar orang untuk bekerja di rumah ibunya sekaligus menjadi teman bagi ibunya. Dira tidak pernah mau kembali ke kota yang dia anggap penuh kenangan menyakitkan itu.
"Kalau begitu aku akan mengirim tiket pesawat. Ibu bisa menyusulku ke sini," jawab Dira. Setiap kali ibunya mengatakan kangen, Dira akan mengirimkan tiket pesawat dan meminta ibunya datang ke kota tempat tinggalnya sekarang. Berkali-kali Dira meminta sang ibu agar mau tinggal bersamanya tetapi Narti selalu menolak karena memilih untuk menghabiskan masa tua di tanah kelahirannya.
"Ibu lelah kalau harus bepergian jauh. Rasanya badan ibu tidak kuat jika harus duduk di dalam pesawat terlalu lama. Kamu saja yang pulang ke sini. Apa kamu tidak kangen dengan teman-temanmu sekolahmu dulu? Non Selvi dan Rieke?"
Kangen? Dira berusaha mati-matian agar bisa melupakan mereka, tetapi ibunya selalu membicarakan mereka dan membuat Dira mengingat mereka.
"Pulanglah, ibu akan sangat senang jika bisa melihatmu barang sehari atau dua hari," ucap Narti penuh harap.
"Akan aku usahakan bu, nanti aku kabari. Maaf ibu, aku harus meeting sekarang, jadi aku akan menutup teleponnya."
"Iya nak, ibu mengerti." Dira menutup teleponnya lalu pergi ke ruang meeting.
Dua jam kemudian...
Dira kembali ke ruangannya dengan wajah murung. Dewan direksi memutuskan Dira untuk memegang kendali atas perusahaan yang ada di kota X, yaitu kota asal Dira. Dira merasa dilema. Di satu sisi dia senang karena ini artinya dia naik jabatan sebagai Direktur utama tetapi di sisi lain dia tidak suka karena harus kembali ke kota yang dia anggap penuh kenangan menyakitkan itu.
"Mungkin memang sudah saatnya kembali. Setidaknya aku bisa menunjukkan pada mereka jika aku bukan si dekil dan miskin seperti yang mereka teriakan kepadaku dulu," gumam Dira meyakinkan dirinya sendiri.
Dira sangat tidak ingin kembali ke kota itu bahkan untuk sekedar berkunjung saja dia tidak sudi. Tetapi demi pekerjaan dia akan melakukannya karena Dira sangat mencintai pekerjaannya. Bagi Dira sekarang, bekerja adalah hal paling penting dalam hidupnya karena dengan bekerja dia bisa menghasilkan uang untuk memperbaiki hidupnya dan hidup ibunya.
* *
Mobil yang mengantarkan Dira berhenti persis di depan rumah yang tampak agak asing bagi Dira. Lama Dira memandangi rumah itu, rumah yang sudah bertahun-tahun dia tinggalkan. Rumah yang dulu sederhana itu kini tampak mewah dan semua berkat kerja kerasnya. Dira terus mematung, hingga akhirnya sopir yang mengantarkannya memanggilnya.
"Bu Dira, sudah sampai," ucap sopir yang mengantar Dira.
"Eh ... Iya Pak. Terimakasih. Besok tolong jemput saya di sini pukul setengah delapan ya Pak," ucap Dira kepada pak sopir yang merupakan sopir perusahaannya.
"Baik Bu Dira," jawab Pak sopir ramah.
Lalu Dira pun turun dari mobil sementara pak sopir membantu mengangkat koper-koper Dira.
"Dira ... ?!!!" pekik Narti yang tiba-tiba membuka pintu rumah. "Kamu pulang nak?! Akhirnya .... " ucapnya tidak percaya.
Dira segera berlari memeluk sang ibu sambil menahan air matanya. Setelah delapan tahun akhirnya dia pulang ke rumahnya lagi bukan karena permintaan ibunya, melainkan karena keputusan perusahaan.
Malam harinya...
Dira bersama Narti sedang menghabiskan waktu bersama di ruang keluarga. Semua barang-barang Dira sudah di tata di kamarnya oleh pembantu sehingga sekarang Dira bisa bersantai bersama ibunya. Hubungan Dira dengan ibunya tidak begitu dekat karena dari dulu ibunya selalu membandingkan dia dengan Selvi, anak majikannya. Meskipun begitu Dira tidak pernah membenci ibunya.
"Beberapa waktu yang lalu ibu bertemu Non Selvi. Dia menanyakan kabarmu Dira," ucap Narti memulai pembicaraan.
Telinga Dira langsung panas hanya mendengar namanya saja. Selama ini dia tidak pernah ingin tahu dengan apa yang terjadi pada Selvi dan yang lainnya. Dira selalu menutup mata dan telinganya rapat-rapat untuk sesuatu yang berkaitan dengan teman-teman SMA nya terutama Selvi dan Rieke. Tetapi setiap kali bertemu ibunya, selalu nama Selvi dan Rieke dia sebutkan. Biasanya Dira langsung mengalihkan topik pembicaraan jika ibunya mulai menyebut nama dua perempuan itu.
"Ibu sudah tidak bekerja di rumahnya, jadi berhentilah menyebutnya Non Selvi," balas Dira datar.
"Dia sudah punya kekasih, seorang pengusaha. Mereka akan bertunangan sebentar lagi," lanjut Narti tanpa memperhatikan perubahan raut wajah putrinya itu dan mengabaikan kata-kata Dira agar tidak menyebut Selvi dengan embel-embel "Non" lagi. "Beruntung sekali Non Selvi, lahir dari keluarga kaya, wajahnya cantik, baik hati sudah gitu dapat jodoh juga laki-laki tampan dan mapan."
Telinga Dira semakin panas mendengar kata-kata ibunya. Bagaimana bisa hidup Selvi mulus-mulus saja setelah apa yang dia lakukan kepadanya. Seharusnya sekarang dia menderita karena mendapatkan balasan atas apa yang dia lakukan dulu, tetapi nyatanya dia baik-baik saja.
"Lalu bagaimana dengan Rieke?" tanya Dira yang akhirnya penasaran dengan orang-orang yang dulu membully dirinya. Bagi Dira, mereka semua tidak layak disebut teman. Tetapi karena ibunya sejak tadi membicarakan mereka akhirnya, Dira pun terpancing.
"Rieke membuka sebuah restoran. Sepertinya usahanya juga sukses karena kata orang-orang restorannya selalu ramai pengunjung," terang Narti. Dira semakin tidak suka mendengarnya. Dira merasa tidak terima mendengar orang-orang yang dulu jahat kepadanya bisa melanjutkan hidup mereka dengan mudah sementara Dira terus dihantui rasa malu dan sakit hati seumur hidupnya. Bahkan bully-an yang dia terima dulu sering membuatnya mengalami mimpi buruk hingga insomnia.
"Mereka 'kan sahabatmu Dira, masa kamu sampai tidak tahu kabar mereka? Apa kalian tidak saling menelepon?" tanya Narti yang masih berpikir jika Selvi dan Rieke adalah sahabat Dira. "Temuilah Non Selvi dan Rieke. Mereka pasti senang melihatmu."
Di dalam kamarnya Dira tertidur tetapi dia terlihat gelisah. Keringat membasahi tubuhnya meskipun AC di dalam kamarnya menyala.
"Jangan ... " rintih Dira dalam tidurnya. "Aku mohon, jangan lakukan itu." Dira terus terisak tetapi matanya tetap terpejam. Berulangkali Dira memohon sampai akhirnya dia membuka matanya dan sadar itu hanya mimpi buruk.
Dira bangun lalu menghapus air mata yang membasahi pipinya. Ini hanya mimpi buruk, tetapi rasa sesak di dadanya sama seperti ketika Dira mengalami pembullyan itu. Kejadian itu terus membayanginya seperti baru kemarin dia mengalaminya.
Dira mengambil gelas berisi air minum yang ada di nakasnya lalu berjalan keluar menuju balkon kamarnya. Hampir setiap malam Dira mengalami mimpi seperti ini. Setelah bermimpi seperti ini Dira tidak akan bisa tertidur lagi hingga pagi harinya dan itu sangat menyiksanya.
Kapan mimpi buruk ini hilang dari hidupku? Apa membalas perbuatan mereka bisa menyembuhkan sakit hatiku? Apa lantas aku akan hidup tenang setelahnya? Apakah orang-orang seperti mereka panas hidup bahagia?
Dira memandang kosong langit malam dari balkon kamarnya.
Selama ini tidak terbesit sedikitpun niat untuk membalas dendam, dia membiarkan karma bekerja dengan sendirinya. Dia sudah hidup enak sekarang, semua yang dulu dia inginkan bisa dia miliki sekarang. Uang, jabatan dan rumah mewah semuanya dia punya. Yang Dira inginkan hanyalah melanjutkan hidupnya tenang dan menjauh dari masa lalunya meskipun ada sesuatu yang terus mengganjal di hatinya.
Tetapi setelah mendengar cerita ibunya, rasa tidak terima itu muncul. Rasa sakit hati yang selama ini dia pendam juga tiba-tiba menyembul ke permukaan seperti mendorong Dira untuk membalas mereka yang pernah menyakitinya.
"Ya, aku akan membalas mereka! Aku bukan Dira yang dulu!" gumam Dira membulatkan tekadnya.
Kepulangan Dira ke kota ini yang tadinya hanya karena pekerjaan berubah setelah mendengar cerita ibunya, Dira jadi punya alasan lain. Dia pulang untuk membalas dendam. Jika karma belum mendatangi mereka, maka Dira yang akan mengantarkannya.
Keesokan harinya...
Dira memulai hari pertamanya bekerja di perusahaannya yang baru. Di perusahaan sebelumnya dia memegang jabatan sebagai wakil direktur, tetapi di sini Dira menjabat sebagai direktur utama. Dira melangkah anggun memasuki lobi perusahaan. Kulitnya yang putih bersih membuatnya terlihat cantik bahkan dari kejauhan sekalipun. Siapa yang menyangka gadis cantik dan anggun ini dulunya adalah korban bully dan mendapat julukan si dekil.
"Dira, langsung ke ruang meeting saja. Rapat akan segera di mulai," sambut Tia yang lebih dulu sampai di sana. Sebelumnya, Dira membawa Tia ikut pindah bersamanya karena dia tidak ingin mencari asisten baru. Dira merasa kinerja Tia sudah cocok dengan kriterianya.
"Oke." Dira dan Tia pun langsung menuju ruang meeting.
Meeting tidak berlangsung lama karena hanya memperkenalkan Dira sebagai Dirut baru di perusahaan ini. Selesai meeting, Dira langsung menemui klien pertamanya setelah dia menjabat sebagai Direktur utama, untuk membahas kerja sama.
"Halo Pak Zaki, senang bertemu dengan anda," sapa Dira kepada klien barunya.
"Panggil Zaki saja, saya belum tua-tua amat untuk dipanggil Bapak," jawab klien Dira yang bernama Zaki itu santai. "Selamat datang di kota ini Bu Indira, semoga anda betah di sini," balas Zaki.
Dira hanya mengangguk datar karena pada dasarnya Dira dingin kepada semua laki-laki.
Pembicaraan kerja sama berjalan lancar lalu mereka lanjut dengan pembicaraan ringan.
"Bu Dira, anda baru di sini 'kan? Kalau anda butuh teman untuk jalan-jalan aku bisa meminta kekasihku untuk menemanimu. Dia pasti senang," Zaki menawarkan.
"Terimakasih Zaki, panggil Dira saja. Saya merasa belum terlihat seperti ibu-ibu, dan tidak usah berbicara formal kepadaku," balas Dira. "Jadi kamu sudah punya kekasih?"
Zaki tersenyum. "Kami sudah berhubungan cukup lama dan akan bertunangan sebentar lagi," terang Zaki.
"Oh ... Selamat kalau begitu. Ngomong-ngomong, aku asli orang sini. Aku tetapi aku sudah lama tinggal di luar kota jadi tidak begitu punya banyak teman di sini."
Pembawaan Zaki yang lebih dominan dalam pembicaraan membuat Dira cepat akrab dengan laki-laki itu, padahal biasanya Dira adalah sosok yang dingin terhadap laki-laki. Dira yang tidak biasa berbincang dengan orang asing bisa langsung nyambung dengan Zaki bahkan mereka terlihat asyik mengobrol layaknya sahabat yang sudah lama tidak bertemu.
"Benarkah? Kapan-kapan aku kenalkan kamu dengan calon tunanganku. Namanya Selvi Adriani, kalian pasti akan cocok," ujar Zaki yang sejak awal seperti sangat membanggakan kekasihnya.
Deg! Nama itu, tidak salah lagi!
Sepertinya semesta menyetujui rencana Dira untuk membalas dendam. Di hadapannya sekarang duduk seseorang yang saat ini menjadi kekasih dari orang yang sangat dia benci. Ini seperti umpan yang datang sendiri tanpa dicari.
"Sepertinya aku mengenal kekasihmu. Dia satu sekolah denganku ketika SMA dulu. Tetapi kami tidak begitu dekat," ucap Dira penuh percaya diri. Kenapa harus minder jika sekarang dia adalah seorang direktur utama sebuah perusahaan besar? Tidak ada lagi Dira yang minder karena dekil dan miskin.
"Wow ... Benarkah? Ternyata dunia ini sempit sekali. Aku akan katakan padanya jika aku bertemu denganmu."
"Tentu saja, tolong sampaikan salamku," ucap Dira disertai senyum misterius. Dari cara Zaki membicarakan Selvi terlihat sekali jika Zaki sangat mencintainya dan itu membuat Dira tidak suka. Seandainya dulu Selvi baik padanya pasti Dira juga akan ikut bahagia melihat temannya bahagia. Tetapi dulu Selvi sangat kejam sehingga Dira berpikir jika Selvi tidak pantas mendapatkan kebahagiaan yang dia miliki sekarang.
"Pasti akan ku sampaikan," balas Zaki.
"Sepertinya kamu sangat mencintai kekasihmu?" pancing Dira.
"Kami sudah cukup lama berhubungan. Dia sangat baik dan pengertian." Lalau Zaki menceritakan tentang dirinya dan Selvi. Tak henti-hentinya Zaki memuji Selvi yang dia anggap sempurna di matanya hingga Dira ingin sekali memberitahu Zaki seperti apa sebenarnya Selvi. Tapi tidak sekarang.
* *
Di sebuah restoran mewah...
"Bagaimana meeting dengan partner bisnis baru yang kamu ceritakan kemarin Sayang?" Selvi berbicara sambil menyantap hidangan makan malam di depannya.
"Oh ... Aku sampai lupa menceritakannya padamu. Ternyata partner bisnisku ini mengenalmu. Kami sempat ngobrol dan aku menceritakan tentang kamu kepadanya."
"Tunggu ... Tunggu ... Kamu menceritakan aku kepada partner bisnismu?" Selvi tidak percaya.
"Tentu saja, semua orang harus tahu jika aku mempunyai seorang kekasih yang cantik dan baik hati seperti kamu," jawab Zaki dengan manisnya.
"Dia laki-laki atau perempuan?"
"Dia perempuan, cantik seperti kamu. Tetapi bagiku kamu yang paling cantik."
Selvi tersenyum melihat bagaimana bucin-nya sang kekasih kepadanya. "Lalu dia bilang apa?" tanyanya.
"Dia bilang dia mengenalmu dan kalian dulu satu sekolah, bahkan satu kelas."
"Benarkah? Siapa namanya?"
"Namanya Indira Oktavia."
Selvi terdiam sejenak. "Kenapa aku tidak ingat nama itu? Kamu yakin dia teman sekolahku?" tanya Selvi kemudian. Tidak ada ekspresi apapun di wajahnya seperti dia memang tidak mengenal nama yang baru saja disebut oleh tunangannya itu.
"Masa sih? Tetapi dia bilang dia mengenalmu."
"Mungkin dia salah orang. Atau nanti aku lihat di buku tahunan sekolah. Mungkin setelah itu aku akan ingat," ucap Selvi santai.
"Kapan-kapan aku ajak kamu bertemu dengannya. Kamu mau 'kan? Dia sangat baik dan ramah, kamu pasti akan cocok berteman dengannya."
"Tentu saja, aku tidak sabar ingin segera bertemu dengannya," jawab Selvi disertai senyum.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!