NovelToon NovelToon

Menikahi Tuan Danzel

Penyelamatan (Lamaran Tiba-tiba)

Luna menatap satu per satu rekan kerjanya yang sejak tadi terus berbincang. Dia sangat lelah sekarang. Dia ingin segera pulang dan berbaring di kasurnya.

"Kau tahu, tuan Danzel itu benar-benar sangat tampan," ucap Selly, teman Luna yang suka sekali bergosip.

"Kau bilang begitu, apa kau pernah melihatnya?" celetuk Luna. Dia sudah begitu pusing dengan pekerjaannya, dan semakin dibuat pusing dengan suara teman-temannya. Dia berharap agar ketua divisi mereka segera tiba dan membungkam mulut teman-temannya ini.

"Luna sayang, aku belum pernah melihatnya. Tapi, aku yakin, dia pasti sangat tampan."

"Ya, dia sangat tampan. Aku pernah melihatnya. Tapi, dia selalu menolak jika orang-orang mengambil gambarnya." Suara seseorang membuat semua karyawan di ruangan itu menoleh. Itu Ivan, dia baru saja kembali dari dapur, dan membawa dua cangkir kopi. Laki-laki itu meletakkan secangkir di hadapan Selly. Membuat wanita centil itu tersenyum manis.

"Kecentilan!" sinis Luna.

Selly tersenyum, lalu mendongakkan kepalanya, mendekat ke arah Luna. Gadis itu lalu berbisik pelan. "Kecentilan sama calon suami sendiri, bukan masalah," bisiknya lalu terkekeh pelan.

Luna mendengus kesal. Tapi, dia selalu berdoa agar hubungan Selly dan Ivan selalu langgeng.

Waktu berputar cepat. Jarum jam pun menunjukkan waktu pulang. Semua karyawan bergegas merapihkan meja dan segera pulang.

Luna meninggalkan perusahaan dengan berjalan kaki. Beberapa taksi yang ditahannya selalu berpenumpang. Gadis itu berhenti di dekat sebuah mini market. Berdiri disana sembari menunggu taksi.

Ia menoleh ke arah kanan berharap ada taksi. Namun, dia malah dikejutkan oleh seorang kakek yang berada tak jauh darinya dan hendak menyeberang, sementara dari arah kanan terdapat sebuah bus yang hendak melintas dengan melaju kencang.

"Kakek, awas!" Tanpa berpikir panjang, Luna berlari dan menarik kakek itu ke pinggir jalan. Alhasil, kepala Luna terbentur tiang lampu jalanan. Sementara kakek yang ditarik Luna tidak terjatuh karena berhasil ditahan oleh seorang pria.

Namun si Kakek yang sudah berusia lanjut dan memiliki riwayat jantung mendadak menyentuh jantungnya dan meringis kesakitan. Dan tak lama pingsan.

Luna yang masih pusing dan samar-samar melihat mendekati si Kakek.

"Tuan," ucap seorang pria yang menahan Kakek, yang merupakan supir si Kakek.

"Kakek? Ya Tuhan, Kakek pingsan. Ayo, cepat antarkan Kakek ke rumah sakit," ucap Luna. Dia tak peduli dengan keningnya yang berdarah.

Dengn cepat dia membantu supir si Kakek untuk membuka pintu mobil. Dia juga ikut masuk ke mobil bersama si Kakek, sementara sang supir bergerak cepat melajukan mobilnya.

"Kenapa Kakek bisa pingsan?" tanya Luna. Setahunya, sang Kakek baik-baik saja. Tidak ada cedera ringan maupun serius.

"Tuan memiliki riwayat jantung. Terkejut bisa memicu Tuan mengalami serangan jantung." Luna terdiam dengan perasaan bersalah yang berkecambuk. Tapi, dia memang harus menolong Kakek sebelum si Kakek benar-benar tertabrak.

Mobil yang membawa mereka tiba di rumah sakit. Para suster yang siap siaga segera membawa Kakek menuju sebuah ruangan, lalu dengan cepat ditangani dokter. Dari gerak gerik dokter dan suster, sepertinya mereka mengenali siapa Kakek itu.

"Maafkan, aku. Aku tidak bermaksud membuat kakek itu terkejut," ucap Luna pada si supir.

"Tidak masalah, Nona. Anda hanya mencoba menyelamatkan tuan. Saya percaya jika Nona tidak berniat membuat Tuan mengalami serangan jantung." Luna mengangguk pelan. "Anda sebaiknya mengobati luka di kening anda, Nona," lanjut si supir.

Luna menyentuh keningnya dan mendapati darah menempel pada jarinya. Sungguh, dia tidak sadar jika kepalanya terbentur menimbulkan luka dan berdarah.

Luna segera menemui perawat yang dapat membantunya mengobati lukanya. Setelah selesai, Luna kembali menemui supir dan menunggu untuk mengetahui kondisi si Kakek. Setelah mendapat kabar jika kondisi Kakek sudah melewati masa kritis, Luna bernafas lega. Dia berpamitan pada supir dan juga kakek yang baru saja sadar.

***

Luna tiba di rumah dan disambut dengan wajah khawatir kedua orang tuanya. Terlebih lagi saat mereka melihat sebagian kecil kening bagian kiri Luna yang terbalut kasa.

"Sayang, kau kenapa?" Tanya Vaela, Ibu Luna.

"Tidak apa-apa, Bu. Ini hanya kecelakaan kecil.

"Kecelakaan kecil? Kecelakaan apa hingga membuat anak Ayah terluka seperti ini?" Basil, Ayah Luna, mendekati sang putri dan merangkulnya. Luna adalah satu-satunya putrinya. Rasa sayangnya tak bisa dia gambarkan. Meskipun sering menjaili sang putri, dia tetaplah seorang ayah yang tidak ingin putrinya terluka.

"Aku menolong seorang kakek yang hampir saja tertabrak. Aku berhasil menolongnya dari tabrakan, hingga kepalaku terbentur tiang lampu jalanan, dan terluka. Tapi...." Luna sedikit menjeda ucapannya, membuat kedua orang tuanya menantikan kelanjutan ceritanya.

"Tapi apa?" tanya Vaela penasaran.

Tapi, dengan tengilnya Luna mengabaikan pertanyaan sang Ibu dan berpamitan pada kedunya.

"Tapi.... Aku mau ke kamar. Aku sangat gerah hari," ucap Luna sambil menahan senyum melihat tatapan mematikan kedua orang tuanya.

"Luna!!" teriak ayah dan ibunya bersamaan. Luna bukannya takut malah terkekeh.

"Hehehe... Luna bercanda. Tadi Luna berhasil menolong si kakek dari tabrakan. Tapi, kakek mengalami serangan jantung karena terkejut. Jadi, aku dan supir kakek bergegas mengantar kakek ke rumah sakit.

Mendengar penjelasan putri mereka, Basil dan Vaela mengangguk. Keduanya menarik Luna dalan pelukan mereka. Sungguh merasa bangga dengan apa yang putri mereka lakukan.

***

Beberapa hari berlalu. Tapi, kondisi kakek masih belum benar-benar membaik. Luna juga sering mengunjungi si kakek setiap kali pulang kerja. Dia juga menyempatkan diri untuk mengurus sang kakek sebentar, sebelum kembali ke rumah.

Hari ini adalah hari libur. Luna mengajak kedua orang tuanya untuk menjenguk sang kakek. Suami istri itu menurut saja apa yang putri mereka inginkan. Hingga akhirnya, disinilah mereka. Di lorong rumah sakit yang mengarah ke ruang si kakek.

"Luna, ini benar ruangan si kakek itu?" tanya Vaela. Dia heran melihat beberapa orang berjas hitam di depan ruangan yang Luna maksud. Dia juga bukan orang yang tidak tahu, ruangan seperti apa yang ada di depan mereka sekarang. Ruang VVIP yang biasanya digunakan oleh orang-orang kelas atas.

"Iya, Bu. Jangan takut. Mereka semua tidak menyakiti orang tanpa alasan. Mereka tidak akan berbicara jika tidak ada urusan dengan kita," ucap Luna.

"Nak, orang yang kau tolong, bukan orang sembarangan," tutur Basil.

"Luna tidak tahu, Yah. Luna tidak butuh latar belakangnya. Luna hanya ingin menolong."

Basil dan Vaela tersenyum. Setelah itu mereka berempat sama-sama memasuki ruangan tersebut. Kedatangan mereka disambut dengan senyum manis kakek yang masih terbaring.

Luna melangkah mendekat. Sementara kedua orang tuanya terdiam mematung. Tak lama kemudian, keduanya serentak menundukkan wajah mereka, menyapa si Kakek.

"Tuan Berto," sapa Basil dan Vaela bersmaan.

Luna yang mendengarnya lantas menoleh. Raut bingung tergambar jelas di wajah cantik itu.

"Ayah sama Ibu, kenal Kakek?"

"Tentu saja, Nak. Dia Tuan besar Berto Maxon. Pemilik Maxon group," ujar Basil.

Luna sontak melototkan matanya. Dia benar-benar tidak tahu siapa yang diselamatkannya dan dirawatnya beberapa hari ini. Kenyataan membuatnya terkejut, jika pria tua itu adalah konglomerat.

"Maaf, Tuan. Saya benar-benar tidak tahu jika tuan adalah Kakek Berto yang terkenal."

"Tidak. Tidak masalah. Kakek lebih senang ada yang tidak tahu tentang kakek, " ucap si kakek dengan senyuman.

Luna mengangguk pelan. Dia meraih semangkuk sarapan untuk Kakek Berto dan menyuapi kakek itu. Dia begitu telaten mengurus orang tua itu. Membuat semua si Kakek semakin yakin dengan apa yang dia pikirkan beberapa hari ini.

"Saya sangat senang melihat kalian datang. Saya merasa memiliki kembali keluarga saya yang sudah terpecah," ucap Kakek Berto. Basil dan Vaela hanya mengangguk.

"Karena kalian berada di sini, saya juga ingin mengutarakan keinginan saya. Saya sudah memikirkan semua ini. Saya berniat mengunjungi kalian di rumah setelah saya diperbolehkan pulang dari rumah sakit ini."

"Ada apa ya, Tuan?"

"Saya ingin melamar putri kalian, Luna, sebagai istri cucu saya."

Basil, Vaela maupun Luna terdiam saling menatap. Kemudian mereka kembali menatap si Kakek.

"Kami tidak bisa memutuskan, Tuan. Biar Luna saja yang menjawab," ucap Basil, membuat tiga pasang mata tertuju ke arah Luna.

"Kakek, aku tidak bisa, Kek. Aku—"

"Nak, Kakek mohon. Kau sendiri tahu, bagaimana kondisi Kakek. Kakek hanya ingin cucu kakek memiliki pendamping hidup yang baik, sebelum hidup Kakek berakhir. Kakek— akhh...." Kakek Berto tiba-tiba mengerang kesakitan sembari memegang dadanya. Hal itu seketika membuat panik Luna dan kedua orang tuanya.

"Kakek!" Luna dengan cepat mendekati laki-laki tua itu. Basil dengan segera menekan tombol emergency. Tak lama, seorang dokter dan seorang perawat masuk.

Luna dan kedua orang tuanya dipersilakan menunggu di luar.

Ya Tuhan, selamatkan Kakek. Batin Luna.

Gadis itu duduk di sebuah kursi di depan ruangan Kakek Berto. Wajahnya terlihat cemas. Begitu juga dengan hati dan otaknya yang tak hentinya berpikir, keputusannya terhadap apa yang dikatakan Kakek Berto.

Setelah cukup lama menunggu, akhirnya dokter keluar dan memberitahukan keadaan Kakek Berto. Luna cukup terguncang dengan kondisi Kakek yang kembali memburuk. Dia dengan cepat memasuki kembali ruangan tersebut. Tapi, tidak dengan kedua orang tuanya yang ditahan oleh 4 pengawal yang berjaga. 4 pengawal itu tidak ingin terulang lagi kejadian yang membahayakan Tuan mereka.

Luna terdiam cukup lama menatap Kakek Berto yang berbaring dengan mata terpejam. Dia menarik nafasnya panjang. Tak ada kata-kata yang ia ucapkan. Hingga pada akhirnya, Kakek Berto terbangun.

"Kakek," panggil Luna lirih, membuat Kakek Berto yang baru saja terbangun tersenyum tipis.

"Kakek, maafkan Luna. Karena Luna, penyakit Kakek kambuh."

"Tidak, Nak. Ini bukan karena kau," ucap Kakek Berto. "Nak, bagaimana dengan jawabanmu? Kakek sangat berharap kau mau menerima cucu kakek."

Luna terdiam, lalu menarik nafasnya. Ada kebimbangan yang Luna rasakan. Tapi, dia juga tidak tega melihat kondisi Kakek Berto. "Aku akan menerima permintaan Kakek. Tapi, aku mohon. Kakek cepatlah sembuh."

Pria tua itu tersenyum tipis dan mengangguk lemah. Dia bisa lega sekarang. Cucunya, si lelaki dingin itu akan segera menikah.

"Terima kasih, Nak. Kakek akan membicarakan pada cucu Kakek. Setelah Kakek pulang dari sini, Kakek akan berkunjung ke rumahmu, menemui kedua orang tuamu.

Luna mengangguk sambil tersenyum paksa. Dia hanya berdoa semoga keputusannya ini tidak salah.

***

Danzel menatap sang Kakek dengan sorot yang tak bisa dijelaskan. Raut wajahnya tenang, tak ada emosi apapun yang terlihat dari wajah tersebut.

"Bagaiamana? Kau setuju kan, Danzel?" tanya Kakek Berto. Ya, Danzel Stevano Maxon, CEO Maxon Group itu merupakan cucu dari Kakek Berto. Dia baru saja tiba dari luar negeri dan langsung mendatangi sang Kakek di rumah sakit.

"Kakek—"

"Kau sudah dengar, gadis itu menyelamatkan hidup Kakek."

"Danzel tahu, Kek. Tapi, tidak harus menikah. Kita bisa memberi imbalan, Kek," ucap Danzel.

"Kakek suka gadis baik itu. Kakek ingin dia menjadi istrimu," ucap Kakek Berto. "Danzel, kau tahu kan? Kondisi Kakek saat ini tidak baik. Kakek takut jika nanti Kakek—"

"Kek, sudahlah. Jangan katakan hal yang tidak ku suka. Aku akan menikahinya," putus Danzel. Dia tidak suka jika Kakeknya sudah bersinggungan dengan penyakit yang dideritanya.

"Kau benar-benar mau menikahinya?"

"Ya."

"Terima kasih. Kakek sangat senang." Kakek Berto tersenyum senang. Sudah ia tebak, Danzel akan luluh jika dia menjadikan penyakitnya sebagai alat membujuk Danzel.

"Baiklah. Karena kau sudah setuju, pergilah ke Blue Cafe besok pukul 19.00. Luna menunggumu disana." Danzel tak menjawab. Dia hanya menganggukkan kepalanya tanda setuju. Dan tanpa Kakek Berto tahu, Danzel sudah berniat untuk tidak ke Blue Cafe dan bertemu Luna.

Dan benar saja, Danzel benar-benar tidak datang. Luna seperti gadis bodoh yang mau-maunya menunggu Danzel yang tak pasti. Ingin menghubungi laki-laki itu dan bertanya, dia tidak memiliki nomor handphone Danzel. Dan beruntung, pengawal Kakek Berto menelponnya dan memberitahu jika Danzel tidak bisa datang karena sedang memiliki urusan lain.

Mencaritahu Tentang Danzel (Pernikahan)

Luna berguling-guling di atas kasurnya sambil mengingat-ingat ucapan Kakek Berto pagi tadi. Pernikahannya akan diadakan 3 hari lagi. Dan dia sama sekali tidak tahu, seperti apa cucu Kakek Berto itu. Yang ia tahu, pria itu setuju dengan pernikahan mereka. Itu pun dia tahu dari kakek Berto yang sudah pulang dari rumah sakit 3 minggu lalu, dan juga mendapat pesan dari nomor yang tak dikenal, yang ternyata dari sekretaris Danzel.

"Ya Tuhan, aku tidak menyangka akan menikah secepat ini."

"Ck!" Luna berdecak, kemudian berhenti berguling dan berbaring telentang. "Walaupun aku tidak tahu seperti apa wajah si Danzel itu, setidaknya aku tahu bagaimana orang itu. Aku harus ke rumah kakek Berto sekarang."

Luna bergegas dari kasurnya lalu menuju kamar mandi. Tak butuh waktu lama untuk membersihkan diri, Luna keluar kemudian berpakaian. Setelah itu, ia keluar kamar dan berpamitan pada orang tuanya.

"Mau kemana kamu Luna?" tanya Vaela, Ibu Luna. Wanita itu sedang membawa segelas jus dan tak sengaja bertemu sang putri di ruang tengah.

"Aku mau ke rumah Kakek Berto, Bu."

Langkah Vaela terhenti. Wanita itu menatap sang putri lalu tersenyum. "Kenapa kesana? Mau ketemu calon suami?" tanya Vaela sambil menaik turunkan alisnya, menggoda sang putri.

"Ibuuu... Luna tidak—"

"Ayaaah.... Luna izin sama Ayah mau ke rumah Tuan Berto. Sepertinya anak Ayah tidak sabar bertemu calon suaminya." Vaela berteriak membuat Basil yang sedang di ruang tamu langsung menghampiri kedua wanita itu.

Melihat kedatangan Ayahnya, Luna menepuk pelan jidatnya. Sejak ia memutuskan akan menikah, Ayah dan Ibunya suka sekali menggodanya.

"Beneran kamu mau kesana? Mau Ayah antar?" tanya Basil.

"Ayaah... Aku bisa sendiri."

"Baiklah. Tapi, pakai mobil Ayah. Kamu juga harus bicara baik-baik dengan Tuan Berto dan calon suamimu. Putuskan lagi pernikahannya secara baik-baik. Walaupun Ayah senang kamu akan menikah, tetap saja Ayah takut kamu tidak bahagia dengan cucu Tuan Berto. Ayah lebih baik kamu tidak menikah dulu dan tetap bersama Ayah dan Ibu, dari pada kamu menikah tapi tidak bahagia."

Luna yang mendengarnya terharu. Gadis itu mendekati Ayah dan Ibunya lalu memeluk keduanya. "Luna pikir, Ayah sama Ibu tidak memikirkan Luna karena terlalu bahagia Luna akan menikah. Ternyata Luna salah. Terima kasih Ayah, Ibu."

"Itu hanya pikiranmu saja. Dengar, kamu harus putuskan kembali semuanya sebelum terlambat. Kalau pun kamu jadi menikah dan tidak bahagia di pernikahanmu nanti, katakan saja pada Ayah dan Ibu. Kami akan meminta Tuan Berto dan cucunya mengembalikan kamu ke kami,” ucap Vaela.

Luna semakin terharu mendengarnya. "Terima kasih Ayah, Ibu. Tapi, Luna sudah memutuskan untuk lanjut. Luna juga sudah berjanji pada Kakek Berto. Luna tidak akan mengingkarinya."

"Baiklah. Semua keputusan ada di kamu. Kami hanya menuruti apapun yang kamu mau."

Luna mengangguk. Dia lalu berpamitan pada kedua orang tuanya lalu bergegas ke rumah kakek Berto dengan mengendarai mobil sang Ayah.

Setelah 40 menit perjalanan, Luna pun tiba. Kedatangan gadis itu disambut baik oleh para pekerja di rumah kakek Berto. Bahkan mereka memaklumi Luna yang terkagum-kagum melihat rumah Kakek Berto yang besar dan mewah.

"Luna." Suara Kakek Berto mengalihkan Luna dari rasa kagumnya. Gadis itu tersenyum pada Kakek Berto.

"Kakek," sapanya.

"Kenapa tidak bilang kalau kamu akan datang? Kakek bisa meminta orang-orang kakek menjemputmu."

"Aku ingin buat kejutan buat Kakek." Kakek Berto terkekeh pelan mendengar jawaban Luna. Luna ikut tersenyum, kemudian menarik nafasnya. "Sebenarnya, aku kesini mau berbicara dengan Kakek. Aku ingin mengetahui beberapa hal tentang Danzel. Agar aku bisa mengatur diriku berhadapan dengan segala kebiasaan Danzel nanti."

Kakek Berto tersenyum mendengarnya. Dia sangat senang dengan inisiatif Luna yang mencaritahu tentang Danzel. Baginya, ini suatu kemajuan untuk persiapan kehidupan rumah tangga mereka nanti.

"Baiklah. Kakek akan menceritakan semua tentang Danzel padamu. Kakek harap, ini bisa menjadi langkah awal yang baik untuk kalian membangun rumah tangga nanti."

***

Tiga hari berlalu sejak Luna pergi ke rumah Kakek Berto. Dan hari ini adalah hari pernikahannya bersama Danzel. Luna sudah begitu cantik dengan balutan gaun pernikahan berwarna putih gading. Gadis itu terdiam di salah satu kamar hotel. Ya, pernikahan itu diadakan di sebuah hotel. Meskipun sederhana, Kakek Berto ingin memberikan yang terbaik untuk cucu dan calon cucu mantunya.

Luna menarik nafasnya. Semua cerita Kakek Berto masih terekam jelas di ingatannya. Cerita yang membuatnya semakin yakin untuk menikah dengan Danzel dan membuat hidup laki-laki itu kembali berwarna.

"Cucuku Danzel tidak pernah dekat dengan wanita. Dia tidak percaya cinta atau apapun berkaitan dengan cinta. Satu-satunya kasih sayang yang dia percaya adalah kasih sayang Kakek padanya. Cucuku menjadi orang yang dingin tak tersentuh setelah keretakan rumah tangga orang tuanya. Sejak usia 11 tahun, dia tidak pernah merasakan kasih sayang orang tua. Saya sering melihatnya menangis diam-diam ketika melihat anak-anak seusianya bermain dengan orang tua mereka. Walaupun kasih sayang saya tidak terbatas untuk Danzel, tetap saja kasih sayang orang tua yang paling dia butuhkan."

Luna lagi-lagi menarik nafasnya. Dibalik semua prestasi yang Danzel torehkan di dunia bisnis, laki-laki itu memiliki sisi hidup yang menyedihkan.

"Luna?" Panggilan Vaela membuat putri satu-satunya itu tersadar dari lamunan. Luna mengulas senyum melihat sang Ibu.

"Kenapa? Kamu keberatan melakukan pernikahan ini?"

Luna menggeleng. "Tidak, Bu. Luna teringat cerita Kakek Berto tentang Danzel."

Vaela tersenyum. Dia sudah tahu cerita Danzel dari putrinya. Dia juga merasa iba dengan calon suami putrinya itu.

"Dengar, Nak. Jika kamu benar-benar tulus menerima pernikahan ini dan juga menerima Danzel, lakukan tugasmu sebagai istri dengan baik. Buat Danzel kembali percaya cinta."

"Iya, Bu. Luna sudah bertekad agar Danzel bisa kembali percaya dengan cinta."

Vaela tersenyum. "Ya sudah. Sekarang, ayo kita keluar. Pernikahan akan segera dimulai."

Ibu dan anak itu segera berjalan keluar dari kamar menuju altar pernikahan. Perasaan gugup menyelimuti perasaan Luna. Tidak banyak yang hadir dalam pernikahan itu. Pernikahan juga dilakukan dengan sederhana, sesuai permintaan Luna.

Basil tersenyum haru melihat putrinya yang begitu cantik. Ia tidak menyangka akan melepas putri satu-satunya yang begitu dia sayangi.

"Ayah."

"Anak Ayah sangat cantik."

Luna tersenyum dengan mata yang berkaca-kaca. Basil meraih tangan putrinya, dan membawanya menggandeng tangannya. Dia menggantikan sang istri dan membawa putrinya menuju altar pernikahan.

Di depan sana, sudah ada Danzel yang berdiri tegap dengan jas hitam dan celana senda. Wajah dinginya terlihat begitu tampan dan menawan. Mata tajamnya menatap Luna yang berjalan bersama Basil. Tak lama, laki-laki itu bergerak mendekati Basil dan Luna.

Langkah Basil memelan saat Danzel mendekatinya dan Luna. Pria bertubuh tinggi tagap itu berhenti di depan keduanya. Tangannya terulur, meminta Luna agar ikut dengannya. Luna mendongak menatap Danzel. Dan saat itu juga, dia membenarkan semua ucapan teman-teman kantornya. Danzel sangat tampan. Bahkan jauh lebih tampan dari gambaran teman-teman kantornya. Tersadar, Luna pun kembali menunduk.

Dengan perasaaan gugup, Luna meraih tangan Danzel dan membiarkan laki-laki itu membawanya.

Janji suci pernikahan pun terucap oleh Luna dan Danzel. Luna sedikit gemetaran saat sesi ciuman. Ia berpikir Danzel akan mencium bibirnya. Tapi ternyata tidak. Laki-laki itu malah mengecup keningnya. Dan itu membuatnya lega.

Acara pernikahan pun usai. Danzel berpamitan pada Kakeknya untuk segera kembali ke rumah.

"Kakek harap, pernikahanmu selalu bahagia," ucap Kakek Berto pada Luna.

"Terima kasih, Kek."

"Danzel, sekarang kau tidak sendirian lagi. Ada Luna bersamamu. Kurangi waktu kerjamu, dan sempatkan untuk menemani Luna." Danzel tak menjawab apapun dan hanya menganggukkan kepalanya.

Luna memeluk haru Ibu dan Ayahnya. Mulai sekarang, ia resmi tidak tinggal bersama orang tuanya. Dan dia sangat sedih. Mulai sekarang, dia tidak bisa bergelayut maja lagi pada keduanya setiap hari.

"Anak Ibu kok menangis? Jangan cengeng dong. Kan udah punya suami," ucap Vaela sambil mengusap air mata Luna.

"Ibu, Luna sayang Ibu. Mulai sekarang, Luna gak bisa manja-manja lagi sama Ibu sama Ayah setiap hari... hiks."

Vaela dan Basil terkekeh mendengarnya, begitu juga Kakek Berto. Berbeda dengan Danzel yang hanya menatap dingin interaksi mereka. Namun, ia tiba-tiba dikejutkan oleh tepukan pelan dibahunya. Dan pelakunya adalah Basil, sang Ayah mertua.

"Nak, kau bisa lihat sendiri bagaimana sikap putri kami. Dia gadis ceria dan manja. Saya harap, kau bisa memakluminya."

"Akan saya usahakan," balas Danzel yang mendapat anggukkan Basil.

Setelah berpamitan, Danzel langsung membawa Luna menuju kediamannya.

***

Kediaman Danzel tak kalah bagus dengan rumah Kakek Berto. Dan itu kembali membuat Luna terkagum-kagum. Tapi, gadis itu dengan sangat baik menutupi rasa kagumnya.

"Kau bisa tidur di kamar mana saja di rumah ini. Tapi, jangan di kamar sebelah kanan lantai dua." Suara Danzel membuat Luna menatapnya. Keningnya berkerut mendengar ucapan Danzel.

"Apa itu kamarmu?" tanya Luna. Meskipun gugup, dia tetap berusaha tenang.

"Hmm."

"Baiklah. Aku akan tidur di kamar itu."

"Apa maksudmu?" tanya Danzel bernada tak suka.

"Kenapa? Bukankah kita suami istri sekarang?"

Danzel menatap Luna tajam. Gadis itu berani padanya. Mendapat tatapan Danzel, Luna menjadi gugup. Tapi, gadis itu dengan baik menyembunyikan rasa gugupnya.

"Hehehe... Ibu dan Ayahku selalu tidur bersama. Itu kerena mereka suami istri. Kita berdua juga suami istri. Dan sudah seharusnya tidur bersama."

"Kita tidak ada ikatan apapun!"

"Loh? Bukannya tadi kita baru saja—"

"Kau bisa diam tidak?!"

"Aku akan diam saat tidur. Jadi, biarkan aku tidur di kamarmu."

Danzel mengeraskan rahangnya, dan melemparkan tatapan tajam pada Luna. Setelah itu dia berjalan menaiki tangga meninggalkan Luna.

Luna menarik nafas lega. Dia sangat gugup berhadapan dengan Danzel. Meski begitu, dia harus tetap bertahan.

Luna kembali menarik nafasnya, lalu meraih kopernya. Dengan segera gadis itu mengikuti Danzel sambil menyeret kopernya.

Hari Pertama Bersama Luna

Suara pintu yang dibuka membuat Danzel menoleh. Sorot matanya sejenak menatap Luna dengan tatapan tajam. Setelah itu, di kembali fokus pada handphonenya, membalas pesan dari Kakek Berto.

"Kamarmu bagus," ucap Luna yang diabaikan Danzel.

"Oh ya, dimana aku harus menyimpan baju-bajuku?" Lagi-lagi Danzel mengabaikannya. Laki-laki itu menyimpan handphonenya lalu melepaskan jas yang melekat di tubuhnya. "Aku tidak—"

Ucapan Luna langsung terhenti saat Danzel malah melangkah meninggalkannya. Kesal? Tentu saja Luna rasakan. Tapi, Luna tidak akan diam saja. Dia mengikuti langkah Danzel yang sepertinya akan ke kamar mandi. Sebelum laki-laki itu meraih gagang pintu kamar mandi, Luna dengan cepat menghalanginya dan berdiri tepat di depan laki-laki itu.

"Apa yang kau lakukan!" Suara Danzel terdengar sangat kesal.

"Kau marah? Sama sepertiku. Aku juga marah karena kau tak menjawabku!" balas Luna. "Apa susahnya kau mengatakan di mana aku harus menyimpan baju-bajuku? Aku tidak mungkin membiarkannya di koper terus."

Danzel tak menjawab. Dia menatap tajam Luna, kemudian berbalik dan melangkah menuju salah satu pintu selain pintu kamar mandi yang ada dalam kamarnya itu.

Luna mendengus kesal dalam hati. Dia harus menebalkan kata sabar dalam dirinya untuk menghadapi Danzel.

Sementara Danzel, ia membuka pintu tersebut, lalu menatap Luna. "Simpan bajumu disini," ucapnya.

Senyum manis langsung tercetak di bibir Luna. Dengan cepat dia mengambil kopernya dan mendekati ruangan tersebut. Sementara Danzel, laki-laki itu segera menggeser tubuhnya dan berjalan menuju kamar mandi.

"Waah... ternyata ini walk in closet," gumam Luna, kagum melihat ruangan penyimpanan sekaligus ruang ganti yang cukup besar baginya. Hampir setengah bagian ruangan tersebut masih kosong. Dan setengah bagian lagi dipenuhi dengan barang-barang milik Danzel.

Luna masuk dan segera menyusun baju-bajunya. "Walaupun kalian aku beli dengan harga murah, kalian tetap yang terbaik. Jangan insecure sama tetangga, okey?" ucap Luna pada baju-bajunya.

Setelah selesai menata baju-bajunya, Luna keluar dan seketika terkejut melihat Danzel sudah berada di depan pintu dengan tubuh yang hanya berbalut handuk. Menampakkan tubuh bagian atasnya yang kekar dan memiliki otot di beberapa bagian tertentu. Luna menundukkan wajahnya karena malu. Dan sialnya, ia malah melihat perut kotak-kotak Danzel yang semakin membuatnya malu.

"Minggir!"

Tanpa banyak bicara, Luna langsung bergeser dan berjalan menjauhi Danzel. Jantungnya benar-benar tidak aman sekarang.

"Hampir saja jantungku terlepas dari tempatnya," gumam Luna.

***

Luna terbangun pukul 5 pagi. Tidak ada Danzel di kamar itu. Semalam, dia dan Danzel terlibat perdebatan kecil mengenai tempat tidur. Dia tidak mau tidur di sofa dan mau tidur seranjang dengan Danzel. Sementara Danzel, laki-laki itu bersikeras menolak. Dan akhirnya, Danzel memilih untuk tidur di kamar lain.

Luna meringis mengingat kejadian semalam. Dia seperti gadis yang tidak memiliki rasa malu sama sekali. Memaksa-maksa laki-laki untuk tidur dengannya.

Mengabaikan itu, Luna bergegas ke kamar mandi untuk membasuh wajahnya dan menyikat gigi. Setelah itu, dia turun ke lantai bawah.

"Nyonya muda," sapa seorang wanita yang sepertinya seusia Ibunya, Vaela.

Luna tersenyum. "Hallo, siapa nama Ibu?"

Wanita itu menatap Luna. Entah kenapa, dia merasa senang melihat gadis ceria ini. "Saya Berna, Nyonya."

"Saya Luna," ucap Luna. "Apa Bibi sendiri yang mengurus rumah ini?"

"Tidak. Ada sorang lagi seusia saya. Namanya Merry. Dia sedang di dapur, Nyonya. Terus ada dua orang laki-laki lagi. Seorang bertugas sebagai security, seorang lagi bertugas sebagai tukang kebun. Mereka juga merangkap menjadi supir ketika dibutuhkan.”

Luna mengangguk. "Baiklah. Aku akan berkenalan dengan mereka nanti."

"Oh ya, apa yang bisa aku bantu?"

"Hah? Tidak perlu Nyonya. Nyonya cukup diam atau berolahraga saja."

"Tidak. Aku sudah terbiasa membantu Ibuku memasak dan bersih-bersih di pagi hari. Dan karena hari ini aku tidak bekerja, aku akan membantu kalian memasak dan membersihkan rumah."

"Tapi Nyonya, tuan Danzel pasti akan marah."

"Jangan pikirkan dia. Ayo, tunjukkan aku di mana dapurnya." Luna langsung menarik tangan Bibi Berna, memaksa wanita itu memberitahunya dimana letak dapur.

Sampai di sana, Luna kembali dibuat kagum dengan desain dapur dan segala perabotannya. Gadis itu juga berkenalan dengan Bibi Merry yang sedang memasak untuk sarapan.

Sementara di salah satu kamar, Danzel terbangun. Dia terduduk di pinggir ranjang, mengumpulkan kesadarannya. Dan di saat-saat seperti itu, dia malah teringat perdebatannya dengan Luna semalam.

"Gadis itu. Kenapa Kakek memilih gadis sepertinya menjadi istriku? Dia sangat jauh dari kata baik seperti yang kakek katakan," guman Danzel.

"Baru semalam, aku sudah dibuat pusing olehnya. Ku harap hari ini bisa berlalu dengan cepat. Aku sangat pusing jika terus bersamanya. Beruntung aku menolak permintaan Kakek untuk mengambil cuti seminggu."

Danzel terbangun dan langsung berjalan keluar kamar lalu berjalan menuju kamarnya yang semalam ditempati Luna. Dia tak menemukan gadis itu disana. Danzel tak peduli. Dia bergegas mandi dan berpakaian. Setelah itu, Danzel keluar menuju lantai dasar.

"Selamat pagi, Danzel," sapa Luna.

Danzel cukup terkejut saat tahu yang sedang mengepel di dekat tangga adalah Luna. Wajahnya berubah dingin.

"Apa yang kau lakukan?" tanyanya dingin.

Luna tersenyum manis. "Aku sedang bersih-bersih rumah."

"Tinggalkan pekerjaan itu!" Suara Danzel terdengar dingin. Dia benar-benar tidak suka melihat Luna mengerjakan pekerjaan itu. Bagaimana jika tiba-tiba kakeknya datang? Pasti dia yang akan disalahkan, dan kakeknya akan kecewa.

"Danzel, aku sudah terbiasa mengerjakan pekerjaan ini."

Danzel mengeraskan rahangnya, kemudian berjalan meninggalkan Luna. Wajahnya semakin dingin. Dan itu membuat kedua ART nya meneguk ludah ketakutan.

Danzel menarik kursi yang ada di ruang makan, lalu mendudukinya. "Apa yang Luna lakukan pagi ini selain mengepel?"

"I-itu, Tuan. Nyo-nyonya memasak, membersihkan dapur, terus membantu mengepel," jelas Bibi Berna.

"Apa yang kalian lakukan sehingga dia yang mengerjakannya?"

"Bukan salah mereka. Aku yang ingin," sahut Luna, berjalan mendekati Danzel. "Aku juga tidak mengerjakan semua itu sendiri."

Danzel berdecak, lalu bangun dari duduknya. "Marry, bawa sarapan ke ruang kerja."

"Baik Tuan,"

"Aku juga mau sarapan di ruang kerja," ucap Luna cepat, yang seketika mendapat tatapan tajam Danzel.

Luna tak peduli dengan reaksi laki-laki itu. Dia malah membalas dengan tersenyum. "Matamu sangat bagus," puji Luna. Namun Danzel tetap menatapnya tajam.

"Tidak ada salahnya kita sarapan bersama. Aku hanya ingin menjadi istri yang baik, yang menemani suaminya sarapan."

Bibi Marry dan Bibi Berna tersenyum melihatnya. Baru kali ini mereka melihat seseorang yang berani dengan Tuan mereka. Semoga Nyonya muda mereka itu bisa meluluhkan Danzel.

Tak ingin berdebat dengan Luna, Danzel meninggalkan ruang makan. Luna diam-diam merasa lega. Bagaimana pun, tatapan tajam Danzel, sangat menakutkan.

***

Danzel melirik Luna yang memakan sarapannya dengan lahap. Gadis itu tidak sedikitpun merasa malu.

"Kenapa? Apa aku cantik?" tanya Luna yang sontak membuat Danzel berdecak. "Aku tahu, kau terus melirikku sejak tadi. Tidak perlu malu. Akui saja kau terpana melihat gadis cantik sepertiku."

"Cih!"

"Kenapa berdecih?"

"Karena kau aneh!" jawab Danzel yang seketika membuat Luna cemberut.

"Mulutmu sangat tajam," balas Luna, kemudian lanjut memakan sarapannya. Danzel sampai terheran melihat reaksi dan kelakuan dari Luna.

Setelah sarapan, Luna membereskan piringnya dan juga piring Danzel. Dia kemudian membawa piring bekas itu keluar.

Waktu bergulir dengan cepat. Luna baru saja bangun dari tidur siangnya. Dia langsung turun ke lantai bawah, ingin menemui Danzel di ruang kerjanya. Namun, dia malah bertemu dengan Bibi Berna yang membawa secangkir kopi.

"Untuk siapa, Bi?"

"Untuk Tuan, Nyonya."

"Danzel suka kopi?"

"Iya, Nyonya. Tuan suka kopi. Dia sering minum kopi. Sehari hampir beberapa kali dia meminumnya."

Luna terdiam. Dia jadi teringat Ayahnya yang juga suka minun kopi. Tapi, akhir-akhir ini Ayahnya hanya sesekali mengkonsumsi kopi. Dia meminta Ayahnya untuk mengganti kopi dengan jus sayur.

"Bibi, berikan kopinya padaku, biar aku ganti dengan jus."

"Nyonya, tuan—"

"Aku yang akan bertanggung jawab. Aku juga yang akan membawanya ke ruang kerja Danzel."

Bibi Berna tak bisa membantah lagi. Dia mengikuti ucapan Luna dan membiarkan wanita itu mengganti kopi dengan jus.

Setelah selesai membuat jus sayur, Luna segera membawanya menuju ruang kerja Danzel. Gadis itu mengetuk pintu sebelum masuk.

"Kenapa lama— kau? Apa yang kau lakukan disini?"

"Aku membawakan jus untukmu."

"Aku tidak butuh!"

"Kau pasti membutuhkannya." Danzel terdiam dengan perasaan kesal. Namun, laki-laki itu berusaha menahan rasa kesalnya. "Kau meminta Bibi Berna membuatkan kopi kan? Aku juga meminta Bibi Berna membawa kembali kopi itu," ucap Luna, meletakkan segelas jus itu di meja Danzel.

Danzel mendongak dengan perasaan marah. Luna ini benar-benar memancing amarahnya.

"Kau—"

"Mengkonsumsi kopi berlebihan tidak baik. Lebih baik kau meminum jus ini. Ayahku juga pencinta kopi sepertimu. Tapi, sekarang dia sudah membatasi dirinya untuk minum kopi dan memilih meminum jus."

"Itu ayahmu!!" seru Danzel dingin.

"Iya, itu Ayahku. Dan aku menjadikannya sebagai contoh untuk—"

"Keluar!"

"Kenapa?"

"Ku bilang keluar, Luna!!"

"Iya-iya, aku akan keluar. Selamat menikmati jusnya, suami."

Danzel mengusap wajahnya frustasi. Dia sangat kesal dengan Luna. Tapi, dia tidak bisa melukai gadis itu seperti yang dia lakukan kepada wanita-wanita yang suka menggodanya. Dia merasa stok kesabarannya bertambah dalam menghadapi Luna. Dan itu tidak terjadi pada wanita-wanita lain.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!