NovelToon NovelToon

Diabaikan Karena Miskin

BERTEMU IBU

Aku sudah tidak sabar lagi ingin bertemu ibu dikampung halaman. Empat tahun berada di negeri orang. tepatnnya di negeri upin-ipin bukanlah hal yang mudah ku lalui.

Aku ingin segera bertemu dan segera memeluk ibu, wanita yang sudah melahirkan dan merawatku. walaupun, sering kali Selisih pendapat dan berakhir dengan pertengkaran. Ibu tetaplah ibu. Tanpa ibu aku tidak akan bisa seperti sekarang, meskipun aku hanya bisa menyelesaikan pendidikan sampai SMA tapi aku tetap bangga atas perjuangan ibu .

Dalam perjalanan dari Malaysia ke Indonesia memang hanya empat puluh lima menit. Tapi dari kota Medan sampai ke lau baleng desa tempatku tinggal menempuh waktu sekitar enam jam dan selama itu wajah dan senyum ibu yang selalu menghiasi pikiranku.

Bahagia sekali rasanya bisa kembali ke desa tempatku dibesarkan dengan kasih sayang ibu.

Meskipun rindu yang selama ini ku pendam akan terobati, tetap saja perasaan sedih selalu mengganggu pikiranku . Bagaimana tidak, sehari sebelum kontrak kerja ku habis aku sudah diberitahu salah satu adikku kalau ibu sakit sudah tiga Minggu .

Setelah membayar taksi aku membawa semua barangku ke rumah yang menjadi tempat ternyaman sejak dari kecil. tidak ada yang berubah. hanya saja, penduduk sudah semakin ramai berbeda dengan beberapa tahun yang lalu.

Mba pulang! Mba ku pulang ! Teriak adikku . Aku sedikit terpesona dengan pemandangan dihadapanku. Sudah banyak rumah yang kelihatan baru dibangun, sudah banyak motor dan mobil hang lewat. Sangat berbeda dengan beberapa tahun yang lalu . Kemana-mana Hanya berjalan kaki.

"Ibu dimana"? tanyaku heran . Keadaan rumah terlihat sepi bagaikan tidak berpenghuni .

"Ibu sedang pergi kak" ucap adikku bersedih.

Untuk apaa keluar rumah malam-malam begini? Tanyaku heran .

" Ini sudah jadi kebiasaan ibu berkumpul dengan ibu-ibu lainnya di balai desa setiap hari" jelas adikku.

Setelah menyimpan semua barang di kamar, aku pergi menemui ibu ke balai desa. Sesampainya di balai desa, hanya senyum bahagia yang terpancar di wajah ibu.

Walaupun aku tau senyum ibu hanya pura-pura untuk menutupi kesedihannya selama ini . Sejak kecil, kami memang dianggap seakan-akan tidak pernah ada oleh keluarga .

Begitulah takdir keberuntungan selalu saja tidak berpihak pada kami hanya karena kami dari keluarga yang sederhana . Kami hanya tinggal di kontrakan yang membuat banyak orang yang memandang sebelah mata. Dianggap ada hanya saat di perlukan.

Akupun segera berpamit pada ibu-ibu yang lain.

Setelah sampai di rumah entahlah aku bingung dengan perasaanku sendiri rasanya sesak banyak yang ingin ku ceritakan tapi tidak ingin menambah ke sedihan ibu.

Zahra! Kamu kenapa? Kenapa menangis apa yang membuat mi bersedih begini?

Aku memeluk tubuh ibu dengan sangat erat. Dapat kurasakan pelukan hangat dari ibuku. Ibu tersenyum melihatku dan membelai lembut rambutku.

Tetesan air mata ibu membuat ku semakin terisak. Aku tak menyangka pertemuan dengan ibu memilukan begini. Ibu yang kurindukan seha walafiat nyatanya sakit dengan banyaknya tekanan dari keluarga . Orang tuaku masih lengkap tapi aku dibesarkan dengan kasih sayang ibu tanpa campur tangan dari ayahku. Ayahku ada tapi kami tidak pernah merasakan disayangi layaknya seorang ayah. Keseharian ibu hanya bekerja di ladang orang untuk mendapatkan sesuap nasi sedangkan ayah tidak pernah mau tahu apa yang dilakukan ibu dan Dimata keluarga ibu selalu salah hanya dikarenakan kami miskin ditambah lagi kami dilahirkan sebagai perempuan hingga apa pun yang terjadi tidak akan ada yang peduli. Bagi mereka anak laki-laki lah yang akan sebagai penerus keturunan jadi seburuk apapun mereka tetap harus disayangi berbeda denganku dan saudaraku diperlukan baik hanya untuk kepentingan pribadi. Setelah apa yang mereka inginkan hinaan yang akan kami dapatkan .

"Nak segeralah beristirahat kamu pasti letih" ucap ibu menyadarkanku yang sedang termenung meratapi nasib kami yang selalu saja berakhir dengan air mata .

_______________________________________________

Aku sedang berpikir bagaimana caranya aku bisa mendapat uang tambahan sambil menjaga ibu. Hidup juga membutuhkan biaya, aku tidak bisa hanya berdiam tanpa melakukan apa-apa. Meminta bantuan saudara-saudaraku juga tidak mungkin. Minta bantuan mereka tidak akan dapat apa-apa yang ada malah hinaan yang kudapatkan.

" Nak, sabarlah ketika kita sedang diuji. Mengalah untuk menang, biarkan mereka yang menghina kita suatu saat mereka pasti akan menerima balasan dari perbuatan mereka" ucap ibu .

Kami memang miskin tapi Alhamdulillah diberi seorang ibu yang pantang menyerah dan tidak pernah gagal mendidik kami anak-anaknya.

Sudah tak terhitung berapa banyak air mata ibuku keluar menerima hinaan dari semua orang.

" Bu, Zahra ingin bekerja di warung makan desa sebelah kebetulan pemilik warung sedang mencari pekerja untuk tokonya" izinku pada ibu. Biar bagaimanapun aku harus minta izin pada ibu agar tidak membuatnya khawatir.

" Pergilah nak. Kamu tidak perlu khawatir, ada adikmu gina yang akan menjaga ibu" jelas ibu berusaha meyakinkanku.

Keesokan harinya aku pun segera mendatangi warung tersebu. Warung yang diberi nama warung makan muslim desa gunung pamah. kini sudah buka dan mulai ramai didatangi pembeli.

" Maaf, saya ingin melamar di warung makan ibu. Saya bisa melakukan apa saja yang penting di gaji" ucapku penuh harap.

"Mau masuk kerja hari ini atau besok" tanya pemilik warung dengan ramah.

" Hmm, bagaimana kalau besok pak" ucapku takut malah digantikan dengan orang lain.

" Ok. Besok jam enam pagi kamu harus stanbay di toko" ucap bu siti pemilik warung tempatku bekerja besok.

Alhamdulillah kali ini keberuntungan berpihak padaku. Aku di terima kerja tanpa syarat apapun. Bekerja dari jam enam pagi sampai warung tutup. Warung tutup jam sembilan malam, tapi kalau pembeli ramai warung tetap buka sampai pembeli benar-benar tidak ada lagi. Aku digaji delapan ratus ribu sebulan miris sekali bukan, tapi tak apalah yang penting bisa digunakan untuk keperluan sehari-hari sambil menjaga ibu. Saat warung sepi pembeli bisa digunakan untuk beristirahat. Walaupun kerja membantu perekonomian keluarga tetap saja kesehatan yang harus diutamakan.

" Alhamdulillah. Aku diterima kerja Bu" ucapku pada ibu dengan semangat.

Tak henti-hentinya aku bersyukur melihat ibu yang kini sudah terlihat berisi dan wajah yang segar berbeda saat pertama kali melihatnya yang terlihat pucat dan tidak bergairah.

Ibuku sakit bukan hanya lelah fisik tapi juga lelah tekanan batin akibat hinaan yang selalu keluar dari mulut orang-orang yang memandang segalanya dengan harta. Tidak ada yang lebih bahagia melihat orang yang ku sayangi kembali seperti sedia kala.

Aku pun mengguyur badanku dengan air hangat untuk mempersiapkan diri untuk bekerja apalagi hari ini hari pertamaku bekerja aku tidak ingin melakukan kesalahan apapun.

Setelah mandi segera memakai pakaian yang rapi dan sarapan bersama ibu dan adik-adikku.

Sampai di tempat kerja aku melayani pembeli dengan ramah dan menulis apa saja yang diinginkan pembeli. Hari pertama memang sangat melelahkan. Pekerjaanku sekarang pembelilah yang menentukan pekerjaanku berbeda dengan pekerjaanku saat masih di Malaysia. Dulu aku hanya bekerja sebagai operator di salah satu pabrik yang memproduksi barang elektronik dengan gaji yang lumayan besar.

"Wah, kamu ternyata gigih dalam bekerja Zahra" ucap astuti salah satu pekerja sama sepertiku.

Aku hanya menanggapi dengan senyuman.

Waktu makan siang pun tiba, kami diberi makan gratis dan boleh mengambil apa saja kecuali ikan dan ayam.

Jatah makan siangku hari ini aku mengambil sambal tahu tempe. Makanan yang sederhana tapi terlihat mewah bagi orang yang pandai bersyukur.

Setelah pekerjaanku selesai, aku izin pamit pulang pada pemilik warung.

Baru saja sampai di rumah aku melihat pria memarkir mobil hitam di depan rumah dengan gelagat aneh.

Karena heran aku pun berniat menghampiri pria tersebut dan bertanya ada apa gerangan apa ada yang di perlukan. Baru saja ingin bertanya pria tersebut sudah meninggalkan Halaman rumahku. Karena heran aku pun langsung menanyakannya pada ibu. Kata ibu pria itu mungkin orang yang ingin membeli rumah yang saat ini tempatku tinggal. Pemilik rumah ingin menjual padahal kontrak masih lama. Kami mengontrak dengan bayaran satu juta per tahun. Aku pun tidak bertanya lagi setelah mendengar penjelasan dari ibu walaupun sedikit mengganggu pikiranku kalau ini sesuai dengan yang ibu bilang kami nantinya tinggal dimana lagi. Hanya rumah ini satu-satunya tempat tinggal yang bisa kami tempati walaupun saat pertama kali mengontrak tidak ada fasilitas apa pun bahkan listrik pun tidak ada hanya sumur yang ada. Dari tempat tidur, dapur , listrik hingga air kamilah yang mengisi hingga layak untuk ditempati.

DIMANA ADIKKU?

" Zahra bagaimana dengan keadaan ibumu?" Tanya Bu Siti suatu ketika.

" Alhamdulillah sehat bu" jawabku .

" Heran deh liat kamu sekeluarga kenapa ga pindah aja kerumah kerabat kamu kan bisa hidup enak tanpa harus capek kerja lagian harta nenek kamu kan banyak kalau beliau meninggal juga pasti kamu dapat harta biar gmna pun ayah kamu tetap anak kandungnya " ucap Bu Siti tanpa mikir kalau ucapannya barusan Sangat keterlaluan.

Bu Siti selalu menanyakan kabar karyawan serta keluarganya. Kami yang bekerja pada beliau bukan hanya sebatas karyawan tapi sudah dianggap seperti keluarga. Namun tidak dapat dipungkiri kalau terkadang sifatnya yang suka ceplas-ceplos bisa membuat orang sakit hati apalagi belum mengenalnya. Kami yang bekerja pada beliau sangat beruntung karena mendapatkan bos yang baik seperti beliau. Pantas saja banyak karyawan yang bekerja bertahun-tahun dengan beliau dan aku adalah salah satunya. Mengingat zaman sekarang sulit sekali mendapatkan pekerjaan yang layak dan bos yang baik pada pekerja. Apalagi aku hanya tamatan SMA.

" Zahra kamu tau nggak kalau mas Dimas anak pemilik warung ini selalu memerhatikan gerak-gerik kamu" ucap Melisa salah satu temanku.

" Itu cuma perasaan kamu mel, aku disini hanya bekerja bukan untuk menggoda pria yang berkunjung ke tempat ini" jelasku tanpa menghiraukan ucapannya.

" Kamu tau nggak, sebenarnya diana sepupuku sudah mengincar mas Dimas sejak lama tapi kayaknya mas Dimas biasa aja . Walaupun Diana genit dengan Dimas" ucap Melisa .

Diana adalah sepupu Melisa sekaligus salah satu pelayan ditempatku bekerja. Gayanya bagaikan ibu-ibu sosialita membuatku malas berteman dengannya. Dulu aku pernah mengajaknya sekedar berkenalan dan berusaha ramah tapi dia terlihat memilih teman . Berbeda sekali dengan Melisa yang mudah bergaul dengan siapa saja tanpa melihat status orang-orang berdekatan dengannya.

Jujur, aku sama sekali tidak tertarik dengan pria. Aku sudah terlanjur sakit hati dengan perilaku kerabat ayah begitu juga dengan ayah yang acuh tak acuh pada kami meskipun banyak yang menghina kami. Hatiku saat ini hanya ingin fokus merawat ibu dan menyekolahkan adikku ke jenjang yang lebih tinggi. Entahlah kapan rasanya hati ini benar-benar akan merasakan disayangi seorang pria. Dimas adalah pria yang pernah kusukai pada zaman SMA tapi tak pernah ku ungkapkan. Aku cukup tau diri.

Karena Melisa merasa diabaikan, gadis itu pun pergi meninggalkanku dan segera melayani pembeli sedang melihat-lihat menu yang tersedia.

Tidak terasa jam kerjaku hari ini pun berakhir. Rasa lelah ini sangat nikmat kurasakan, karena aku bisa bekerja dan berdekatan dengan ibu.

Sesampainya di rumah aku melihat ibu sedang menjahit kebaya kesayangannya. Begitulah ibu, beliau akan melakukan apa saja yang bisa dilakukan. Kata ibu tidak melakukan apa-apa jauh lebih melelahkan daripada bertani.

" Ibu kenapa menjahit sendiri? Kenapa tidak diantar saja ke tukang jahit di kampung sebelah" tanyaku heran

" Biasalah, hari ini ibu tidak ada kerjaan. Daripada buang-buang duit mending jahit sendiri" ucap ibuku bahagia.

Aku pun pamit ingin segera membersihkan diri. Seharian kerja rasanya badan sangat lengket.

Setelah mandi dan mengganti pakaian, aku segera menghampiri ibu yang sudah selesai menjahit.

" Bu Tria dimana perasaan dia sepertinya jarang dirumah?" Tanyaku

Selain gina yang berusia 12 tahun, aku juga memiliki adik perempuan. Dia Tria, lebih muda 3 Tahun dariku. Bisa dikatakan seharusnya dia sudah bisa membedakan mana yang baik dan yang tidak baik. Namun, sayang sekali dia hanya akan melakukan apa saja sesuai yang diinginkannya. Hal ini juga yang membuatku takut dia salah pergaulan. Mengingat zaman sekarang pacaran dianggap halal .

" Adikkmu memang jarang dirumah dan dari tadi siang pergi entah kemana sampai sekarang belum pulang" lirih ibu khawatir.

" Lho bukannya seharusnya dia dirumah menemani ibu, apakah dia sudah bekerja Bu?" Ucapku heran.

" Dia tidak bekerja. Tadi siang dia izin pamit keluar sebentar katanya ada urusan penting. Sampai sekarang belum pulang-pulang" jelas ibu khawatir.

Kemana adikku pergi dan urusan apa yang dilakukannya hingga sampai saat ini belum pulang-pulang . Dari kemarin tingkahnya sangat mencurigakan. Dia hanya dirumah saat aku dirumah bersama ibu.

" Bu Zahra ijin pamit mencari Tria, mana tau dia ada di rumah salah satu tetangga kita" ucapku izin pamit pada ibu.

" Pergilah. Jangan lama-lama, jangan membuat ibu bertambah khawatir" ucap ibu.

" Apa ibu tidak ingin ikut bersamaku?" Ucapku menawarkan, mana tau ibu ingin ikut denganku tapi segan untuk menyampaikannya.

" Zahra, Zahra memangnya kamu pikir ibu mu ini anak-anak, harus ikut kemanapun kamu pergi. Pergilah cepat dan pulang sebelum Maghrib" ucap ibu lagi sembari tersenyum.

Aku pergi ku rumah tetangga yang sering didatangi oleh adikku. Sampai disana Ningsih anak dari Bu Ratna sahabat adikku menyampaikan, Tria sedang membantu salah satu temannya mencari kontrakan disebabkan rumah ditinggali saat ini sudah jatuh tempo.

Aku sangat terkejut mendengar penjelasan dari Bu Ratna. Mungkin suatu saat nanti aku dan keluargaku yang akan mengalami hal yang sama. Mengingat kami juga tinggal di kontrakan yang kemungkinan bisa diusir kapan saja oleh pemilik rumah. Walaupun pemilik rumah masih kerabat dekat.

Menjelang Maghrib Tria pulang dengan diantar seorang pria yang tidak dikenal. kutaksir mungkin seusiaku.

" Dari mana saja kamu ? Kenapa selalu saja membuat ibu khawatir?" Tanyaku.

" Tadi aku ada urusan yang harus ku selesaikan mba". Jawaban Tria sama dengan jawaban ibu ketika kutanya saat pulang kerja. Ada apa dengan saudaraku yang satu ini kenapa dia tidak pernah terbuka denganku.

Usai menyelesaikan sholat Maghrib, aku pun menghampiri adikku yang saat ini sedang merapikan seisi lemari.

" Mau kemana lagi kamu? Kenapa tiba-tiba merapikan isi lemari yang sudah rapi" tanyaku curiga dengan gerak-geriknya.

" Aku hanya ingin membuang pakaian yang sudah tidak layak dipakai, lemari pakaianku sudah penuh dan sudah tidak ada tempat untuk menyimpan pakaian lain" jawabnya biasa aja .

" Aku tau kamu membantu salah satu temanmu pindah rumah karena terlilit hutang dan sudah jatuh tempo" ucapku.

Adikku seketika menghentikan kegiatannya dan menatapku tajam.

" Jangan keras-keras nanti di dengar orang" ucapnya sembari mengacungkan jari telunjuk ke mulutnya seperti baru saja ketahuan melakukan kejahatan yang tidak ingin orang lain tau.

" Temanku banyak hutang, sehingga rumah yang ditinggali saat ini di ambil rentenir sebab tidak mampu bayar dan sudah jatuh tempo" jelas adikku.

" Kenapa sampai banyak hutang, dia kan anak orang kaya dan punya pekerjaan tetap" ucapku penuh tanda tanya.

" Istri temanku gaya hidupnya sangat mewah. Selalu saja menuntut temanku untuk memenuhi semua kebutuhannya. Jika tidak tercapai, dia akan mengancam dengan melukai diri sendiri dan meminta cerai" jelas adikku yang membuatku tercengang mendengar penjelasan yang baru saja kudengar.

" Terus sekarang dia tinggal dimana?" Tanyaku lagi.

" Dia pindah ke rumah orang tuanya di desa sebelah, makanya aku pulangnya lama sebab membantu mengemas barangnya" jelas adikku lirih.

Kasihan juga dengannya, biar bagaimanapun aku juga bisa merasakan kesulitan yang di alami teman adikku. Tak terasa air mataku mengalir menangisi teman adikku. Andai saja aku punya segalanya, aku pasti akan membantu siapa saja yang sedang kesulitan.

Kami benar-benar diuji, meskipun teman adikku bukan anak ibuku tapi aku bisa merasakan kesulitan yang dihadapi saat ini. Di saat ingin menikmati ketenangan, saat itu jugalah akan diuji. Ya Allah entah sampai kapan kami akan merasakan kebahagiaan setelah kami diuji tidak henti-hentinya.

PERGI

Semalaman mataku tidak bisa tidur padahal besok pagi aku harus bekerja. Entah sudah berapa jam aku melamun sendiri tanpa kusadari ibu juga belum tidur dari tadi.

" Bu, tidurlah! Ini sudah larut malam biar bagaimanapun ibu harus menjaga kesehatan" ucapku .

" Ibu juga ingin istirahat nak. Tapi banyak sekali yang mengganggu pikiran. Hu hu hu" ucap ibu menangis.

" Apa yang membuat ibu terganggu, ceritalah bu jangan di pendam sendiri. Siapa tau dengan cerita pada Zahra bisa mengurangi beban pikiran ibu" jelasku berusaha meyakinkan ibu.

Ibu tidak menghiraukan ucapanku. Aku tau apa yang mengganggu pikiran ibu. Apalagi yang dipikirkan kalau bukan ayah yang selalu tidak peduli pada kami ditambah lagi saudara dari ayah yang selalu menghina kami sebab kami bukan dari orang yang terpandang.

Pagi pun tiba....

Semua barang tria sudah tertata rapi di depan rumah. Entah apa lagi yang ingin dilakukan anak itu. Masalah satu belum selesai tapi ada masalah baru lagi. Kenapa nasib kami begini tidak henti-hentinya masalah selalu saja datang menghampiri.

" Tria, ada apa ini? Kenapa semua barang kamu ada di depan rumah" tanyaku heran dan curiga dengan gerak-geriknya akhir-akhir ini.

" Maaf mba, aku sudah memutuskan untuk keluar dari rumah ini. Aku ingin ngekost dan bekerja' ucapnya santai.

" Tapi kenapa dek, apa kamu tidak betah dirumah ini sebab aku memarahimu yang selalu ingin melakukan sesuai yang kamu inginkan?"tanyaku merasa bersalah selama ini terlalu ikut campur urusan adikku.

" Aku tidak mau tinggal dirumah yang tidak pernah menganggapku ada mba. lihatlah keluarga kita mba, aku bukan tidak bersyukur masih punya keluarga yang lengkap tapi lihatlah ayah dia masih ada tapi kita semua kehilangan perannya" ucapnya lirih.

Aku paham dengan situasi saat ini. Ayah jarang berbicara dengan kami, bahkan untuk melakukan tanggung jawabnya sebagai ayah dan suami juga tidak pernah. Dari kecil ibu selalu mengeluh dengan sikap ayah yang selalu membiarkan ibu bekerja seorang diri untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sedangkan, ayah saat diberi saran hanya diam bagaikan patung Cendana dan pergi ke rumah nenek hingga berbulan-bulan tidak pulang. ya itulah kebiasaan ayah yang membuatku tidak ingin mengenal lebih dekat dengan pria manapun. Mengingat saat masih kecil ibu selalu saja marah-marah tanpa sebab yang jelas membuatku tidak menyukainya, hingga kini aku sudah memahami penderitaan ibu selama ini. Alasan satu-satunya, ibu tidak ingin kami kurang kasih sayang dari kedua orang tua.

"Maafkan aku ibu" ucapku dan hanya mampu ku ucapkan dalam hati.

Ku lihat ibu menangis terisak-isak di depan rumah. Sedangkan aku hanya mampu tertunduk malu. Aku bukan lagi anak-anak tapi Hingga saat ini aku belum bisa meringankan beban orang tuaku.

" Biarkan aku pergi Bu" ucap adikku mulai melangkahkan kaki meninggalkan pekarangan rumah.

Aku hanya bisa menyaksikan ibu berusaha menahan adikku agar tidak pergi meninggalkan rumah.

" Tria anakku, jangan pergi tidakkah kamu kasihan dengan ibu? Ibu baru merasa keluarga kita lengkap setelah kepulangan mba mu" ucap ibu memohon.

Hatiku sakit melihat ibu menangis terisak.

Tidak ada yang lebih menyakitkan dari yang ku alami saat ini. Aku tidak mampu melihat ibuku menangis dan merasa aku telah gagal membahagiakan ibu.

" Biarkan dia pergi , suatu saat nanti dia pasti akan kembali berkumpul dengan kita. Sejak kakak pergi merantau ke Malaysia, ibu selalu saja terlihat tidak bergairah. Biarkan semua yang terjadi, sekarang yang penting kita bisa selalu bersama ibu" ucap gina adikku yang bungsu.

Tidak henti-hentinya aku mencium ibu. aku tidak habis pikir bagaimana mungkin adikku yang masih remaja bisa berpikir jernih. Sedangkan, aku hanya menangis dan menangis meratapi nasib yang selalu tidak beruntung.

" Ayo sarapan bu. Aku akan selalu ada untuk ibu dan tidak akan pernah meninggalkan ibu meskipun dalam keadaan yang sulit sekalipun" ucapku pada ibu.

Saat ini aku hanya ingin selalu di dekat ibu.

" Makanlah nak dan segera pergi kerja. Jangan sampai telat dan membuatmu kehilangan pekerjaan. Mungkin nanti atau esok kita tidak bisa lagi berkumpul bersama seperti sebelumnya" ucap ibu membuatku dan gina menangis terisak-isak mendengar ucapan ibu.

" Jangan tinggalkan kami bu, kami masih membutuhkan ibu dan biarkan kami berbakti pada ibu" ucapku memohon penuh harap.

Makanan sederhana biasa yang menjadi makanan ternikmat, berbeda dengan situasi saat ini yang berubah terasa hambar. Entah sampai kapan airmata ini akan berhenti menagisi penderitaan yang tiada hentinya. Ingin sekali rasanya melihat ibuku tersenyum bahagia hingga akhir hayat.

*****

Sudah larut malam tapi entah kenapa mataku tidak bisa tidur. Banyak sekali yang mengganggu pikiranku saat ini. Semalaman mataku terjaga meratapi nasibku yang selalu tidak pernah sesuai dengan apa yang kuinginkan. Begitulah, takdir tidak ada yang tau apa yang terjadi hari ini, esok dan seterusnya kita sebagai makhluk yang paling sempurna hanya bisa menerima kenyataan dengan lapang dada.

Kemarin rasanya sangat melelahkan dan pagi ini aku harus kembali bekerja. Hari ini aku merasa tenang meninggalkan ibu dirumah karena ada ayah yang menemani sekaligus akan menjaga adikku. Dengan ayah sendiri aku tidak paham, terkadang terlihat acuh tidak acuh pada kami, berbeda dengan hari ini yang terlihat lebih ramah dari biasanya.

" Pagi semuanya! Hari ini aku ingin pergi kerja lebih awal. Jangan kemana-mana dan tolong jaga ibu dan adikku yang nakal ini" ucapku sambil mencubit gemas pipi tembem adikku dan segera melangkah pergi meninggalkan rumah.

" Zahra! Kenapa pagi sekali datangnya" ucap Bu Siti heran.

" Iya bu. Saya sengaja datang pagi-pagi karena ingin minta maaf pada ibu. Beberapa hari ini saya bekerja selalu tidak fokus, seharusnya saya tidak berlarut-larut mikirin masalah dirumah hingga tempat kerja.

" Oh, itu. Kamu tidak perlu merasa bersalah. Kita sebagai manusia, selama kita masih berada di dunia ini pasti akan diuji dengan berbagai masalah. Bukan sebab kita tidak layak untuk bahagia, tapi kita diuji sesuai kemampuan kita. Allah menguji kita ingin melihat sejauh mana kita bersabar dan selalu bersyukur dengan apa yang kita hadapi" ucapnya mengingatkanku selama ini merasa paling tersakiti.

" Ayo kita sarapan dulu. Kamu datang sepagi ini pasti belum sarapan kan?" Ujar Bu Siti sembari tersenyum.

" Terima kasih Bu. Saya sudah sarapan dirumah tadi sebelum berangkat" ucapku berusaha menolak.

" Ayo. Jangan menolak rezeki" ucap beliau memaksa dan menarik tanganku untuk mengikutinya masuk rumah.

Mau tidak mau aku hanya mengikuti dari belakang . Wahh.. aku takjub dengan rumah bu Siti yang begitu mewah dan barang-barang yang tersusun rapi. Di meja makan sudah tertata berbagai macam menu memenuhi meja makan. Bebrbeda sekali dengan dirumahku, setiap hari hanya ada satu jenis makanan yang tersaji di meja. Biasanya kami makan dengan lauk yang sama dalam sehari dan bisa saja jadi lauk untuk keesokan harinya.

Aku disambut hangat oleh keluarga besar bos ku dan di persilahkan untuk duduk untuk memilih makanan yang diatas meja, aku jadi teringat dengan sikap keluarga dari ayahku. Sekalipun mereka tidak pernah bersikap baik padaku dan keluargaku. Mereka hanya akan bersikap baik pada orang yang memiliki harta yang melimpah ruah. Begitulah kehidupan sebaik apapun kita tidak akan terlihat baik ketika tidak memiliki apapun. Ku akui masih banyak orang baik tanpa harus mendapatkan imbalan dan itu hanya berlaku untuk orang hebat seperti Bu Siti yang suka menolong tanpa melihat status seseorang.

" Makan yang banyak Zahra" ucap bu Siti.

" Iya Bu " ucapku tersenyum malu.

Selesai sarapan bersama dengan yang lainnya, aku bergegas membantu ART bu siti untuk membereskan piring kotor di atas meja. Sebenarnya bu siti melarangku untuk melakukannya. Namun, aku tetap melakukannya. Nak, lakukanlah segalanya tanpa diperintah terlebih dahulu nasihat ibu yang selalu ku ingat kemanapun kaki melangkah.

" Bu sisa nasi dan lauk ini disimpan dimana? ucapku .

" Biasanya di buang. Dirumah ini, setiap makanan yang tersaji di atas meja adalah menu yang baru dimasak" ucapnya menjelaskan.

" Sayang, kalau dibuang bu. Mending saya bawa pulang" ucapku jujur.

" Nggak apa-apa nih bawa pulang nasi sisa?" Tanya ragu .

" Nggak apa-apa bu, daripada dibuang kan mubazir" ucapku jujur.

Selesai membersihkan piring yang kotor dan meja, Bu Siti pun segera membungkus nasi dan lauk untuk ku bawa pulang. Alhamdulillah rezeki hari ini dengan lauk ini aku bisa memberi keluargaku makan. Miris sekali, bahkan hanya untuk mengisi perut pun kami masih saja kesusahan. Bekerja bertahun-tahun diluar negeri tidak ada aset yang bertambah sungguh menyedihkan. Tapi, tak apa yang penting diberi kesehatan dan umur yang panjang itu lebih dari cukup. Aku harus bekerja lebih giat lagi untuk menyekolahkan adikku ke jenjang yang lebih tinggi. Setidaknya, aku tidak bisa menggapai cita-cita tapi adikku bisa menggapai cita-citanya untuk membungkam mulut orang-orang yang selalu menghina kami. Kami juga layak untuk bahagia dan dihargai selayaknya manusia.

" Bu, dek , ayah . Ini ada sarapan " ucapku bahagia.

Sengaja aku meminta dibungkuskan nasi dan lauk ini, agar keluargaku bisa makan . Sebenarnya, aku malu dengan tingkahku tapi mau bagaimana lagi. Rasanya tidak sanggup harus melihat keluargaku menangis kelaparan. Mau tidak mau aku harus menurunkan egoku, meskipun terlihat bagai pengemis.

" Ma kasih nak. Insyaallah setelah keadaan membaik, ayah akan mencoba bekerja lagi untuk membantu perekonomian keluarga kita" ucap ayah semangat.

" Biarlah aku saja yang bekerja yah. Ayah dirumah saja dengan ibu" ucapku.

" Nak, laki-laki adalah kepala rumah tangga,

sekaligus tulang punggung keluarga. Andai saja penglihatan ayah masih bagus seperti dulu, mungkin kamu tidak perlu bekerja banting tulang untuk keluarga" ucap ayah lirih.

" Untuk saat ini, yang terjadi biarlah terjadi. Lagian disini sangat sulit untuk dapat pekerjaan yang layak" jelasku.

Ayah pun mengalah dan tidak berdebat lagi denganku. Satu-satunya penghasilan di desa hanya dengan bertani. Itu pun kalau hasil panen memuaskan, kalau tidak terpaksa pinjam sana sini untuk bertahan hidup.

Baru saja memasuki tempatku kerja aku sudah dihadang mas dimas anak dari pemilik warung tempatku bekerja .

" Kamu membawa makanan dari rumahku?" Tanyanya tanpa basa basi.

Degh! Rasanya memalukan ditanya seperti ini. Aku bagaikan pencuri yang sedang di interogasi.

" I - i - iya mas. Sayang kalau dibuang. Lebih baik saya bawa pulang" jawabku gugup.

" Maaf" ucapku menunduk malu.

" Nama kamu siapa? " Tanyanya sembari tersenyum.

" Zahra mas" jawabku singkat.

" Panggil saja dimas. Sepertinya kita seusia" ucapnya mengulurkan tangannya.

" Zahra" ucapku sedikit menjauh. Biar bagaimanapun tidak seharusnya aku berdekatan dengan pria yang bukan mahramku . Berlama-lama berhadapan dengannya, rasanya jantungku berdetak lebih kencang. Aku segera bergegas meninggalkannya takutnya nanti malah jadi fitnah.

Dimas hanya tersenyum menanggapiku, aku pun izin pergi untuk melakukan pekerjaanku. Kulihat dia juga segera berangkat kerja atau kuliah dengan mobilnya. Entahlah dia pergi kemanapun aku tidak ingin mengetahui urusan orang lain yang bukan urusanku.

" Duh ada yang kemarin katanya tidak ingin mengenal pria nih. Eh pagi ini dah disapa aja sama ayang" goda Melisa .

" Kamu apaan sih" tanyaku tak suka.

Heh! Jangan ngegosip aja. Selesaikan pekerjaan kalian dengan baik. Kalian disini dibayar untuk bekerja bukan untuk menggoda pria disini. Dan kamu anak baru nggak usah keganjenan jadi perempuan" ucap Diana menegurku.

" Tuh kan, ada yang merasa kalah saing nih" ucap Melisa di telingaku.

Aku tak lagi menanggapi dua temanku yang sedang berdebat. Aku pergi meninggalkan mereka dan fokus melakukan pekerjaanku.

Adzan Dzuhur sudah berkumandang, pertanda kami harus meninggalkan pekerjaan dan segera beristirahat. Setelah jatah makan siangku diberikan, seperti biasanya aku bawa pulang untuk makan bersama dengan ibu.

" Zahra, kamu kok setiap jam makan siang tidak pernah keliatan?" Tanya Melisa heran

" Maaf Mel, setiap jam makan siang aku memang pulang ke rumah untuk makan bersama ibu" ucapku meninggalkan tempat kerja.

Sesampainya dirumah kudapati keluarga ku sedang makan siang.

". Eh mba, kebetulan nih kita lagi makan. Ayo kak gabung bareng kita" ucap adikku semangat.

Aku segera menghampiri ibu dan yang lainnya dan segera memakan jatah makan siang yang dibagikan hari ini. Meskipun tengah makan tapi tetap saja pikiran kemana-mana. Mengingat setiap hari keluargaku hanya makan menungguku pulang, tapi berbeda dengan hari ini.

" Dek, nasi ini dari mana?" Tanyaku penasaran

" Ouh itu. Tadi ada yang ngantar katanya teman mba" jawab Gina adikku.

" Teman? Tapi siapa ? Rasanya aku tidak punya teman dekat selain Melisa" ucapku sambil menggaruk kepala yang tidak gatal.

Tanpa bertanya lagi, aku pun segera masuk kamar untuk melaksanakan ibadah Dzuhur. Selesai sholat aku kembali lagi ke tempat kerja

.

" Eh Zahra, tau nggak tadi saat kamu nggak ada. Dimas tanya-tanya tentang kamu" sapa Melisa temanku.

" Untuk apa ?" Tanyaku heran.

Aku dan Melisa segera melayani pembeli yang baru saja berkunjung.

" Menurutku wajar saja kalau banyak pria yang menyukaimu Zahra. Kamu itu anak yang baik dan kamu juga pantas bahagia. Aku juga mengakui selain wajah kamu yang cantik, kamu juga memiliki sifat yang rendah hati. Jauh berbeda dengan Diana yang judes suka bertindak semaunya. Dia memang cantik tapi sayang sekali sifatnya yang suka semena-mena terhadap orang lain yang membuat orang enggan untuk berteman dengannya.

Aku bersyukur bisa punya teman seperti Melisa. Aku tersenyum dan pergi meninggalkan Melisa agar berhenti membicarakan keburukan orang lain terlebih lagi dia adalah sepupunya sendiri.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!