NovelToon NovelToon

Pernikahan Yang Tak Diinginkan

Episode 1: Selimut Kesedihan

..."Tak harus sedarah untuk menjadi saudara."...

...***...

Matahari bersinar cerah dalam pilu yang selalu melingkupi sebuah makam. Batu nisan masih lembap karena hujan yang tadinya mendera. Pepohonan menjatuhkan tetesan air yang menyentuh setiap helaian daunnya.

Dua pasang kaki menapaki tanah yang becek menghadap batu nisan. Dari ujung kaki sampai ujung kepala pakaian serba hitam menghiasi tubuh mereka. Hari itu adalah peringatan kematian seseorang. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, seikat bunga Lily diletakkan di bawah batu nisan yang bertuliskan nama ‘Emily Anderson’.

Ainsley masih ingat dengan jelas saat pertama kali bertemu dengan Emily. Waktu itu dia masih berusia 7 tahun. Pertemuan mereka terjalin di sebuah panti asuhan yang mana keluarga bermarga Anderson ingin mengadopsi seorang anak dari panti asuhan tersebut.

Dia tidak ingin menjadi anak yang dipilih untuk diadopsi. Oleh karena itu dia memilih untuk bersembunyi di dalam lemari pakaian. Alasannya ialah karena dia memiliki kenangan buruk saat bertemu dengan orang yang pernah mengadopsinya.

Di dalam kurungan kegelapan, sebuah senyuman menggantikannya dengan cahaya. Uluran tangan yang seakan menawarkan kehangatan itu membuatnya tanpa sadar keluar dari kegelapan yang selama ini mengikuti. Senyuman tulus itu berasal dari wajah Emily, anak tunggal dari keluarga Anderson.

Di usia itu pula Ainsley resmi menjadi anggota keluarga Anderson, pemilik salah satu perusahaan jasa. Masa lalu kelam yang dialaminya tidak menjadi penghalang bagi mereka untuk menjadikan Ainsley sebagai anak bungsu di keluarga tersebut.

Di rumah baru itu Ainsley menemukan kebahagiaan yang selama ini tidak pernah didapatkan. Dia disayangi layaknya anak kandung sendiri dan diberikan pendidikan yang sama seperti Emily. Keutuhan keluarga itu berhasil membuat dia memiliki hari-hari yang sangat bahagia.

...***...

"Emily, bangun! Kau ingin terlambat ke sekolah? Bangunkan adikmu! Kita harus segera berangkat,” perintah sang ibu dengan teriakan yang sudah biasa didengar oleh seluruh penghuni rumah.

Emily menguap sembari menyingkirkan selimut dari tubuhnya. Menghampiri ranjang adiknya yang mana masih berada di ruangan yang sama dengannya, lalu melompat ke atas tubuh yang masih terbalut selimut dan menggelitikinya.

Di sela tawa yang sudah memenuhi diri, Ainsley memohon agar Emily menghentikan gelitikan itu, "Hentikan! Baiklah! Aku bangun! Aku mohon, hentikan!"

Mata yang sudah terbuka lebar membuat Ainsley tidak lagi digelitiki. Dia berusaha mengatur napas yang seperti sedang dikejar-kejar oleh penagih hutang. Saat mengambil handuk yang menggantung di belakang pintu, dia mencuri kesempatan membalas keusilan Emily dengan hal yang serupa. Setelah itu dia berlari keluar kamar secepat mungkin.

Sang ibu yang menyaksikan keusilan mereka tidak bisa menahan tawa. Begitu pun sang ayah yang baru saja terlibat dalam keusilan kedua anaknya. Tubuhnya kerap dijadikan sebagai tempat persembunyian kala dua makhluk kecil itu berkejaran. Kebahagiaan selalu merebak di antara mereka semua.

Di perjalanan menuju sekolah, tingkah lucu mereka kembali terjadi. Kali ini bukan lagi di dalam rumah, melainkan di dalam mobil yang dikendarai oleh sang ayah ketika hendak mengantar anak-anaknya ke sekolah.

"Hari ini kalian pulang dengan bus sekolah ya, karena ibu dan ayah harus pergi ke luar kota. Kami akan kembali besok pagi. Nanti ibu akan mengabari kalian."

"Yes!!" Ainsley dan Emily yang duduk di bangku penumpang serentak bersuara.

Sang ibu mengernyitkan alis dan menggelengkan kepala memandang tingkah laku anak-anaknya. Sedangkan sang ayah yang sedaritadi menyetir mobil hanya bisa tersenyum geli.

"Ibu tidak akan membawakan oleh-oleh jika kalian nakal selama kami pergi."

Ancaman itu seperti aba-aba yang mengharuskan kedua makhluk kecil itu duduk dengan manis tanpa mengeluarkan bantahan sedikit pun.

"Kami tidak akan nakal selama ibu dan ayah pergi. Jadi aku ingin dibawakan mainan mobil-mobilan."

"Kau itu anak perempuan. Mainannya boneka, bukannya mobil-mobilan," ucap Emily bersungut-sungut.

"Tapi aku menginginkannya," Ainsley memasang tampang cemberut.

Emily menyerah dan membiarkan adiknya meminta mainan mobil-mobilan karena bukan hal yang baru lagi jika Ainsley menginginkan mainan anak laki-laki. Kamar mereka pun dipenuhi oleh mainan yang bertolak belakang dari anak perempuan seharusnya.

"Ibu akan membawakannya untuk putri kecil ibu. Tapi syaratnya kalian tidak boleh nakal, ya!"

Ainsley mengangguk mantap. Matanya berbinar cerah tidak sabar menantikan mainan yang akan didapatkan setelah orangtuanya pulang nanti.

"Jaga adikmu, Emily."

"Siap, komandan!" Emily meniru gerakan tangan petugas keamanan sekolah.

Lantas semuanya tertawa karena respons Emily terhadap perintah sang ayah yang tidak pernah diduga sebelumnya.

***

Jam menunjukkan pukul sembilan malam. Emily mondar-mandir di depan Ainsley. Jika biasanya di jam tersebut adalah jadwal mereka untuk tidur malam namun kali ini dia ingin melakukan sesuatu yang berbeda.

"Bagaimana kalau kita menonton TV sambil makan camilan?"

"Ibu akan marah jika tahu. Kita sudah berjanji pada ibu untuk tidak berbuat nakal," ucap Ainsley masih berselonjor santai di atas ranjang.

"Ayolah, Ley! Hanya TV dan beberapa camilan saja," bujuk Emily sambil mengguncang-guncang tubuh adiknya.

"Ibu tidak membolehkan kita menonton TV pada malam hari. Kata ibu di jam seperti ini hanya orang dewasa yang boleh menyalakan TV."

"Tidakkah kau penasaran kenapa ibu bilang begitu pada kita?"

Dalam keadaan telentang Ainsley menghela napas sambil melipatkan tangan di dada, "Kau terlalu cepat untuk dewasa, Mily."

"Tenang saja! Ibu tidak akan tahu jika kita tidak memberitahu. Aku tidak akan meninggalkan jejak sedikit pun."

Setelah berpikir panjang akhirnya Ainsley menyetujui ajakan Emily. Selain belum mengantuk, dia juga tidak tahu harus melakukan apa jika ditinggal sendirian di kamar.

Camilan disediakan di hadapan mereka. Sebuah remote televisi yang bebas untuk digunakan juga tersedia di atas meja. Tayangan berpindah dari satu saluran ke saluran lainnya. Mereka memilih film yang menurut mereka terlihat menarik untuk ditonton.

Tontonan yang berlangsung hingga larut malam itu mengantarkan mereka pada mimpi indah. Mereka terlelap di atas sofa dengan televisi masih menyala dan sampah camilan berserakan di lantai.

...***...

Pagi harinya suara deringan telepon membangunkan Ainsley lebih dulu. Saat membuka mata dia teringat pada ibunya yang berkata akan menghubungi mereka sebelum pulang ke rumah. Bergegas dia menggapai gagang telepon dan mengangkatnya.

"Halo? Ibu?" mengucek mata.

"Apakah ini Emily Anderson?" suara orang asing dari seberang sana.

"Bukan. Ini Ainsley Anderson, adiknya Emily Anderson."

Emily ikut terbangun dan dengan spontan memungut satu persatu sampah camilan di lantai. Membersihkan kenakalan yang mereka tinggalkan semalam. Berjaga-jaga jikalau orangtuanya sudah hampir sampai.

Ainsley melirik Emily yang kini sedang sibuk bersih-bersih. Kemudian sembari mengangguk dia mengatakan bahwa Emily ada bersamanya sekarang. Pembicaraan melalui telepon pun berlanjut.

Suara formal seorang pria itu seperti berusaha menenangkannya dan yang terjadi setelah itu kabar mengejutkan terdengar. Ainsley meneteskan air mata disusul dengan memanggil nama kedua orangtuanya berulang kali.

Emily yang mendengar suara tangis seketika menjatuhkan sampah camilan begitu saja, lalu berlari mengambil alih telepon dan menempelkannya ke telinga. Pada orang asing di seberang sana dia bertanya mengapa adiknya menangis dan jawaban yang sama didapatkan. Ekspresinya berubah sama seperti ekspresi adiknya.

Sebuah kecelakaan telah merenggut nyawa orangtua mereka dalam perjalanan pulang. Mobil yang harusnya sampai di rumah pada pagi hari, menabrak mobil besar yang terparkir di pinggir jalan. Kelelahan adalah penyebab utama dari tragedi itu.

Dijemput oleh polisi setempat, mereka datang ke pemakaman. Di sana Ainsley disodorkan sebuah kotak berukuran mini oleh polisi. Kotak itu dibungkus cantik dengan kertas kado. Di dalamnya ada sebuah mainan mobil-mobilan. Mainan itu membuat dia teringat akan percakapan yang terjadi di dalam mobil pagi kemarin.

"Ainsley sudah berbuat nakal, Bu. Ainsley tidak bisa menerima ini. Kembali ayah, kembali ibu," ucapnya sambil menangis tersedu.

Di samping itu Emily juga menangis di sudut ruangan. Sambil memeluk lutut dia memanggil-manggil nama ayah dan ibunya. Sosok ceria yang selama ini diperlihatkan pada semua orang, akhirnya menampakkan kesedihan di baliknya. Hari ini Emily tidak tegar. Hari ini Emily adalah anak yang cengeng.

Ainsley merangkul tangisan kakaknya, menggantikan dirinya yang selalu dirangkul ketika menangis. Dia menepuk-nepuk punggung Emily berusaha menenangkan kesedihan. Sesekali tangan diusap ke pipinya menghapus air mata yang juga mengalir.

Usia yang masih belia membuat mereka harus tinggal bersama paman dan bibi. Di rumah itu hidup mereka tidak berjalan mulus seperti yang dibayangkan. Mereka menghadapi berbagai macam rintangan di sana.

Setiap hari mereka diperlakukan seperti orang rendahan. Mereka dipaksa mengerjakan seluruh pekerjaan rumah. Mulai dari membersihkan rumah, mencuci piring, mencuci pakaian, hingga memasak. Selain itu mereka tidak dibiarkan menyantap makanan yang mereka buat sendiri. Untuk mengisi kekosongan perut mereka hanya disuguhkan makanan berupa roti.

Tetapi perlakuan paman dan bibi terhadap mereka akan jauh berbeda ketika orang lain datang berkunjung. Contohnya saja seperti teman baik dari kedua orangtua mereka. Kasih sayang yang dibuat-buat diperlihatkan dan penjilatan juga terjadi. Belum sampai di situ, siasat dimainkan untuk mengalihkan kepemilikan perusahaan yang tadinya diwariskan untuk Emily.

Mereka tidak bisa membocorkan sifat asli paman dan bibi karena hal itu hanya akan membuat perlakuan yang didapatkan menjadi bertambah buruk. Untuk sekarang yang bisa mereka lakukan hanya menunggu waktu agar bisa pergi dari rumah bagaikan penjara itu.

Sejak perusahaan direbut, orang yang harusnya mengasuh mereka menjadi jarang pulang ke rumah. Jika pulang pun hanya singgah sekedar meninggalkan menu yang sama setiap harinya untuk mereka santap, beberapa potong roti.

Ketika hanya ada Ainsley di rumah, kalimat yang berisikan hinaan sering dilontarkan padanya. Bahkan kebanyakan adalah sesuatu yang tidak benar-benar dipahami anak seusianya. Jika paman atau bibinya pulang, dia akan dikatai sebagai anak yang tidak jelas asal-usulnya, penipu, pembuat onar, bahkan dalam segala masalah yang sama sekali tidak di mengerti oleh anak seusianya. Dia selalu dijadikan kambing hitam.

Gedoran pintu yang terdengar tidak sabar itu membuat Ainsley harus segera membukanya. Meninggalkan kain pel tergeletak di lantai, dengan langkah cepat dia menghampiri pintu.

Dia terkejut mengetahui pamannya adalah orang yang menggedor pintu. Bau menusuk tercium dari arah pamannya. Dia tidak tahan untuk tidak menutup hidung. Sungguh hal yang mengejutkan karena sudah dua bulan lamanya dan sekarang pamannya pulang ke rumah.

Melihat sang paman berjalan sempoyongan mau tidak mau membuatnya harus membantu. Dia melingkarkan tangan ke pinggang pamannya dan menuntunnya menuju sofa. Di sofa itu dia menyandarkan pamannya, kemudian dia mengambil botol minuman yang sedaritadi berada dalam genggaman pamannya. Bau yang sama tercium dari botol itu.

Botol tersebut jatuh ketika dia hendak meletakkannya di atas meja dan di saat yang sama pula matanya melebar. Sebuah pelukan yang membuat bulu kuduknya berdiri didapatkan dari orang yang diduduki. Bukan cuma pelukan, bahkan kini pamannya juga mendaratkan ciuman di lehernya. Tidak tahan dengan sikap sang paman yang menurutnya sangat aneh, dia segera melompat dari pelukan itu.

Dia berlari sekuat tenaga agar bisa mencapai kamar. Teriakan tidak berhenti keluar dari mulutnya. Sayangnya langkah kecil itu berhasil dikejar oleh orang yang sangat ingin dihindari. Dia terjatuh saat sedang menaiki tangga. Tubuhnya ditangkap oleh sang paman. Bajunya dirobek secara paksa sehingga membuat bagian bahu kanannya terbuka lebar. Dia berusaha menutupinya dengan tangan dan menolak setiap kali pamannya mencoba membuka bagian yang lain.

Di luar sana Emily yang baru saja pulang dari kerja paruh waktu, bergegas masuk saat mendengar suara gaduh. Sampai di dalam rumah dia terkejut menyaksikan pamannya tengah membuka paksa baju adiknya. Dia mencari-cari sesuatu untuk menghentikan pamannya dan alhasil sebuah pot bunga dilayangkan ke kepala sang paman. Hantaman yang kuat itu menjatuhkan sang paman. Segera setelah itu dia membawa adiknya masuk ke dalam kamar dan mengunci diri mereka di sana.

Emily mengusap air mata yang membasahi pipi adiknya, lalu dengan suara yang bergetar berkata, "Maafkan aku tidak bisa menjagamu. Nanti setelah aku berumur dua puluh tahun, aku akan membawamu pergi dari sini dan menata kembali hidup kita. Aku harap kau bersabar sebentar lagi, adikku."

Ainsley menganggukkan kepala dalam tangis. Tangannya balik mengusap air mata yang mengalir di pipi kakaknya. Suara isak tangis merebak di ruangan yang mana hanya ada mereka saja di dalamnya.

Semenjak kejadian itu setelah sekolah usai, Ainsley selalu menyusul ke tempat kerja Emily. Dia akan duduk di sudut ruangan sambil memperhatikan Emily yang sibuk bekerja. Terkadang juga mengisi waktu kosong mengerjakan tugas yang diberikan oleh guru.

Sedangkan Emily akan datang bekerja sepulang kuliah. Beralihnya kepemilikan perusahaan membuat pembayaran pendidikan terhenti, sehingga dia harus bekerja keras agar tetap bisa membayar pendidikannya dan juga Ainsley.

Emily menggeleng melihat adiknya tertidur pulas bersama buku yang sudah tidak lagi berada di pangkuan. Satu persatu buku dan alat tulis dimasukkan ke dalam tas. Dia menyandang tas yang disandarkan di dinding itu di depan tubuhnya, lalu menggendong Ainsley di belakang punggungnya.

Tidak ada kesedihan yang menemani mereka selama perjalanan pulang di malam hari yang senyap. Hanya ada senyuman yang terpancar di wajah mereka.

"Terima kasih, Ley. Sudah mau menjadi adikku."

Episode 2: Membenahi Kehidupan

..."Usaha tidak akan mengkhianati hasil."...

...***...

2 tahun kemudian Emily menginjak usia dua puluh tahun. Hari kebebasan mulai terlihat menyinari kehidupan mereka. Penantian panjang selama ini membuahkan hasil yang cukup memuaskan. Emily sudah menjadi wanita dewasa yang berhak memiliki kehidupan mandiri.

Tabungan yang Emily sisihkan selama bekerja sebagai pelayan restoran membuatnya bisa menyewa sebuah tempat tinggal. Memang tempat itu tidak begitu besar namun bagi mereka tempat yang sekarang lebih nyaman dibandingkan rumah paman dan bibi.

Untuk menyambung kehidupan dia berusaha keras mendapatkan pekerjaan yang terbaik. Bermodalkan pendidikan yang didapatkan dengan susah payah, dia memberanikan diri melamar pekerjaan ke perusahaan besar.

"Hari ini panggilan wawancara dari perusahaan mana?" tanya Ainsley mengunyah keripik kentang dari bungkusnya.

Emily merapikan pakaian formal yang dikenakan, lalu membalikkan tubuh membelakangi cermin. Dia tertawa renyah sebelum akhirnya berkata penuh semangat, "Hughes Property!!"

Ekspresi girang yang datang secara tiba-tiba membuat Ainsley kebingungan, "Apa yang salah denganmu?" padahal biasanya ketika dipanggil wawancara, Emily tidak girang seperti sekarang.

Emily mengenakan sepatu yang senada warnanya dengan tas yang dia sandang, "Aku akan mentraktirmu di restoran mewah kalau aku berhasil mendapatkan pekerjaan ini," selesai dengan urusan sepatunya, dia melambaikan tangan pada Ainsley sebelum akhirnya pergi.

"Jangan menjanjikan yang tidak-tidak, kakak yang pelit!" teriak Ainsley setelah itu tertawa kecil.

Dia menaikkan sebelah bibir, lalu memasukkan keripik kentang ke dalam mulut. Keripik kentang dikunyah sambil memikirkan perkataan Emily barusan. Baginya ucapan itu bagaikan penghias di hari libur. Dia berpikir tidak mungkin hal mustahil itu terjadi.

Demi menghidupi kehidupan mereka, Emily rela selama ini menunda kesenangan pribadi hanya untuk menghemat biaya. Emily tidak pernah menghambur-hamburkan uang untuk sesuatu yang tidak begitu penting. Itu merupakan cara agar mereka yang tinggal berdua saja bisa bertahan sampai sekarang.

Ainsley meletakkan camilan di tangannya, lalu merebahkan tubuh, "Nikahilah pria kaya agar kau bisa hidup bahagia, Mily."

...***...

Koridor sangat ramai dan tempat duduk dipenuhi oleh para pelamar kerja. Mereka sampai harus berdiri lama sampai nama mereka dipanggil. Di tengah kegugupan yang menghiasi wajah-wajah itu tiba-tiba dari arah yang berlawanan muncul seorang pria berpakaian formal dengan tubuh proporsional dan rupa tampan berkarisma. Pria itu terus berjalan hingga tidak lagi tampak punggungnya. Memasuki ruangan yang akan menjadi tempat wawancara dilangsungkan.

"Apa dia juga bekerja di perusahaan ini?" tanya seorang pelamar tetap mempertahankan ekspresi kekagumannya.

Pertanyaan itu juga apa yang ada di dalam pikiran para pelamar lainnya. Mereka sangat penasaran dengan pria itu atau mungkin mereka sangat tertarik untuk mengetahuinya. Sedangkan Emily yang ikut menyaksikan hanya menggelengkan kepala melihat mereka tercengang.

Di samping itu yang terjadi di dalam ruangan adalah seorang pria bernama Samuel Thomas menyambut kedatangan pria yang baru saja datang itu, "Selamat datang, temanku. Pemilik perusahaan ini, Zack Hughes!" merentangkan kedua tangan hendak memeluk namun langsung ditepis.

Zack segera duduk di tempat yang sudah disediakan khusus untuknya. Mengabaikan Samuel yang kini terlihat kesal dan berlalu duduk di sebelahnya. Tanpa mau berlama-lama dia memerintahkan semua yang ada di sana agar segera memulai wawancara kerja.

Satu persatu nama pelamar dipanggil. Pertanyaan diajukan untuk mereka yang akan menduduki jabatan sekretaris pribadi di perusahaan tersebut. Banyak jawaban yang didapatkan. Mulai dari yang penting sampai yang tidak penting sekalipun.

Tampaknya tidak semua pelamar berniat untuk bekerja di sana karena kebanyakan alasan mereka adalah ingin menghabiskan waktu dengan pemilik perusahaan itu sendiri. Entah karena pesona Zack atau karena kekayaan yang dimiliki, tidak ada yang tahu.

Yang pasti hal itu membuat Zack ingin segera menyelesaikan sesi wawancara. Baginya yang hanya ingin mendapatkan seorang sekretaris untuk meringankan pekerjaan, jadi jengkel menghadapi para pelamar. Apalagi sejak tadi para pelamar tidak berhenti memasuki ruangan. Seperti ikan di laut yang tidak ada habisnya.

"Ada berapa banyak pelamar lagi yang harus diwawancarai?"

"Sejauh ini tersisa tujuh puluh dua orang lagi," jawab Samuel mewakili orang-orang yang ada di dalam sana.

Zack meninggikan nada suaranya, "Kalian tidak memilah surat lamarannya? Tunda wawancara dan bawa semua dokumen pelamar ke hadapanku," berpikir kalau seharusnya tidak perlu membuang-buang waktu dengan pelamar yang tidak memenuhi kriteria.

Samuel segera memerintahkan pegawai yang ikut terlibat dalam wawancara itu untuk bertindak. Dalam waktu singkat seluruh dokumen pelamar diletakkan ke hadapan yang meminta. Mereka yang melihat hanya menelan ludah saat dokumen-dokumen tersebut satu persatu disingkirkan menyisakan beberapa dokumen saja.

Dokumen yang bertuliskan nama Emily Anderson berada di urutan pertama. Emily tampak tenang menghadapi mereka yang ada di dalam ruangan. Kedatangannya diawali dengan sapaan 'Selamat siang' yang ditujukan untuk semua orang di sana. Setelah itu dia duduk setelah dipersilakan.

"Perkenalkan. Saya Emily Anderson. Lulusan Sarjana Administrasi Per ...."

"Saya sudah membacanya," sela Zack tidak ingin membuang-buang waktu dengan identitas yang sudah dibacanya berulang kali. Dia meletakkan kedua siku di atas meja. Membuat tangannya mengepal menjadi satu, "Kontribusi apa yang bisa Anda berikan untuk perusahaan jika Anda diterima nanti?"

"Saya adalah orang yang jujur ...," belum sempat Emily melanjutkan ucapannya, lagi-lagi dia harus berhenti. Surat lamaran kerjanya ditutup dan disingkirkan di depan mata. Jatuh begitu saja ke lantai bersama kertas-kertas yang lain.

"Kau sudah bisa keluar," ucap Zack mengalihkan tatapan pada dokumen selanjutnya.

"Apa kau yakin menolaknya? Dia adalah salah satu lulusan terbaik," bisik Samuel.

Bisikan itu tidak digubris dan Zack kembali sibuk dengan surat lamaran kerja yang tersisa di atas meja, lalu memberikannya pada orang yang bertugas memanggil pelamar kerja. Setelah itu dia melirik lagi pada pelamar yang bergeming di posisi yang sama, "Kenapa masih belum pergi?"

Emily masih dengan tenangnya membalas pertanyaan itu dengan jawaban yang berbeda, "Saya adalah orang yang jujur dan memiliki semangat dalam bekerja. Selain itu saya adalah seorang pekerja keras," dia berdiri sambil menipiskan bibir, "Saya hanya ingin menyelesaikan kalimat yang terhenti karena ketidaksabaran seseorang," meninggalkan ruangan tanpa harus diperintah lagi.

Pintu tertutup meninggalkan bayangan kekesalan di wajah pemilik perusahaan tersebut. Hal itu membuat Samuel bangkit dan memberikan tepukan tangan dengan menuntut semua yang ada di sana bertepuk tangan pula. Alhasil suasana yang tegang menjadi sangat meriah.

"Wow! Bukankah itu sangat menakjubkan? Kau harus menerimanya! Aku bertaruh kalau dia akan mampu menundukkanmu! Dibandingkan pelamar lain, wanita yang bernama Emily ini lebih jauh kualitasnya. Cantik, jujur, dan pekerja keras sangat cocok untuk dijadikan seorang istri," sadar akan perkataan yang melenceng, dia langsung cepat-cepat mengoreksinya, "Maksudku dia adalah lulusan terbaik. Akan sangat bagus untuk memajukan perusahaan ini. Bukankah begitu?"

"Kau sudah selesai bicara?"

Samuel mengoceh kesal, "Sebenarnya apa yang sedang kau cari? Apa kau masih memikirkan wanita masa kecilmu?"

Zack tersulut kemarahan mendengar Samuel menyinggung kehidupan pribadinya. Baginya hal itu adalah sesuatu yang sangat sensitif untuk dibicarakan. Apalagi dia harus mendengarnya dari mulut pria yang masih diragukan kesetiaannya, "Apa mulutmu bisa dibungkam jika aku menerima wanita itu?"

"Ups! Tidak butuh waktu lama untuk membujukmu kali ini. Aku sudah menemukan kelemahanmu," Samuel tersenyum polos, "Wanita masa kecilmu," tertawa puas dengan hasil terakhir wawancara itu. Keberadaan Emily bukan hanya membuat pekerjaan temannya menjadi mudah namun juga berlaku untuknya.

...***...

Pada akhirnya Emily yang lolos dalam wawancara. Dia berhasil menjabat sebagai sekretaris pribadi di tempat yang diinginkan. Berita bahagia itu membawanya untuk menepati janji. Sebuah restoran di tengah kota dijadikan pilihan untuk mentraktir Ainsley.

Ainsley menerima buku menu yang diberikan pelayan, lalu membukanya perlahan. Awalnya ketika memasuki restoran, dia sudah tahu kalau tempat itu tergolong mewah dan untuk makanan pasti juga sama. Tetapi dia tidak menyangka jika akan semewah itu.

"Makanan di sini sangat mahal. Traktir jajanan kaki lima saja sudah cukup," ucapnya pelan menyembunyikan ketidakmampuan dari pelayan yang masih berdiri di dekat mereka seperti sudah siap untuk mencatat menu yang akan dipesan.

"Pesan saja sesukamu. Aku yang akan membayarnya. Hari ini aku adalah wanita karier yang kaya raya," Emily tertawa bangga tanpa menyembunyikannya dari siapa pun.

Masih ragu untuk memilih yang mana karena menurutnya semua sangat mahal, Ainsley terpaksa memilih sambil menutup mata. Dia meletakkan buku itu dan membiarkannya terbuka di atas meja, "Baiklah. Aku akan mulai memilih menunya. Apa pun yang aku dapatkan nanti, itu adalah apa yang akan dipesan," ucapnya penuh tekad yang bulat.

"Pasti. Aku sebagai sponsor akan membelikan apa pun yang kau inginkan," ucapnya setengah berharap agar pilihan itu tidak terlalu mahal karena berpikir mereka bisa lebih menghemat jika Ainsley memilih yang tidak mahal harganya.

Ainsley mengarahkan telunjuknya pada sudut yang dirasa tepat untuk dipilih. Saat mata dibuka, apa yang dilihat sungguh mengejutkan, "Maafkan aku, Mily," menu dengan harga yang paling mahal terpilih olehnya.

"Tidak apa-apa," Emily tersenyum kecut.

Tidak lama setelah itu makanan yang dipesan datang. Mereka menyantapnya dengan gembira karena sudah lama sekali tidak merasakan makanan mewah seperti dulu. Hal itu membuat mereka teringat kenangan yang dilalui saat kedua orangtua masih hidup.

"Ah, maafkan aku," ucap Ainsley mengambil tisu dan mengelap air matanya.

Emily tergelak dan mengambil tisu pula. Dia juga mengelap air matanya, "Ternyata makanan yang kita pesan sangat pedas," mencoba memalingkan tatapan orang-orang dari mereka.

...***...

Keesokan harinya Emily bersenandung sambil bercermin. Dia sangat senang atas pekerjaan yang dia dapatkan. Dengan jabatan itu dia bisa memberikan kehidupan yang layak untuk Ainsley. Mengingat gaji sebagai sekretaris di sana terbilang besar.

"Sudah. Kau sudah cantik. Jadi menyingkirlah dari sana karena aku juga membutuhkan cermin untuk melihat penampilanku," protes Ainsley melihat Emily menghabiskan waktu sangat lama di depan cermin.

"Bagaimana dengan sekolahmu, Ley? Semuanya berjalan lancar?" menyerahkan giliran memakai cermin pada Ainsley.

Ainsley terdiam sejenak dan menatap Emily yang sedang merapikan pakaian di belakangnya. Kakaknya itu tampak sangat gembira hari ini. Bagaimana bisa dia melunturkan kebahagiaan itu dengan mengatakan bahwa dia tidak baik-baik saja?

"Aku baik-baik saja. Sekarang gunakanlah cermin sepuasmu. Aku akan berangkat lebih awal," memosisikan Emily di tengah cermin kembali.

"Hati-hati di jalan! Jangan makan mi instan. Aku akan pulang lebih awal untuk memasakkan makanan untukmu," tidak ada sahutan membuatnya harus bersuara kembali, "Apa kau mengerti?!"

"Baiklah!" teriak Ainsley diakhiri dengan suara pintu ditutup.

"Ah, aku juga harus berangkat," kekhawatiran disingkirkan karena hari pertamanya bekerja tidak boleh terlambat.

Sesampainya di tempat kerja, Emily berdiri tegak di depan ruang pimpinan perusahaan. Hal semacam itu sering dia lihat di dalam drama. Seorang sekretaris akan menyambut pimpinan mereka dengan memberikan senyuman lebar dan perkataan yang ramah.

Tiba-tiba seorang pria asing dengan jaket kulit menghampirinya. Terlihat mencurigakan namun tidak mungkin keamanan di perusahaan tidak terjaga. Pasti pria asing itu sudah diperiksa sebelum menembus perusahaan. Apalagi bisa sampai ke tempat dia berdiri sekarang.

"Saya sudah membuat janji temu dengan tuan Zack. Di mana saya harus menunggu?"

"Oh!" mungkin pria itu adalah tamu istimewa, "Kalau begitu silakan menunggu di dalam," membukakan pintu dengan ramah, lalu mempersilahkan pria itu memasuki ruangan.

Tidak lama kemudian orang yang ditunggu muncul. Emily tersenyum menyambut kedatangan atasannya. Dia mencondongkan sedikit tubuhnya ke depan sebagai bentuk hormat, "Ada seorang tamu yang sudah menanti Anda di dalam."

Tamu? Sepengetahuannya hari ini tidak memiliki janji apa pun untuk bertemu seseorang. Untuk mencari jawaban, Zack langsung masuk ke dalam ruangan. Seorang pria yang duduk di dalam ruangan mengundangnya untuk cepat menghampiri.

"Kau sudah menemukannya?" tanyanya pada James, mata-mata yang sengaja dibayar untuk melaksanakan tugas khusus.

"Belum, tuan. Saya baru menemukan informasi keberadaan pria yang bernama Chester."

Sesaat kemudian mereka keluar dari ruangan diiringi oleh Emily yang turut melangkah bersama mereka. Akhirnya langkah ketiga orang itu terhenti dan saling berhadapan menuntut jawaban yang sama.

Sampai akhirnya Emily yang bertanya lebih dulu, "Sebentar lagi ada jadwal rapat perencanaan."

"Tunda rapat itu."

"T-tapi ...."

"Kau bisa melakukannya bukan, sekretaris baru?"

Meskipun sangat kesal dengan ucapan atasannya, akan tetapi Emily berusaha keras untuk tidak membalas. Dia tidak ingin jika hari pertamanya bekerja menjadi rusak hanya karena sikap kekanakan itu. Secara tegas dia pun menyatakan kemampuannya untuk menunda rapat seperti yang diperintahkan.

...***...

Selama perjalanan Zack tidak bisa berhenti memikirkan segala ingatan tentang masa kecilnya. Kehidupan sewaktu kecil yang mana ketika seluruh fasilitas dicabut membuatnya tidak pernah lagi bertemu dengan Chester. Bahkan saat orang yang bekerja untuknya itu mengundurkan diri.

"Kita sudah sampai, Tuan."

Mereka berhenti di depan sebuah rumah biasa yang tidak begitu besar. Zack tidak pernah menyangka jika hari ini adalah hari di mana dia akan bertemu dengan anak perempuan masa kecilnya kembali. Sedikit banyaknya ada kegugupan yang menyelimuti diri.

Di depan pintu rumah itu dia menghirup napas panjang dan mengembuskannya perlahan sebelum mengetuk pintu. Jantungnya berdetak cepat ketika membayangkan seperti apa rupa wanita yang ada di pikirannya ketika sudah dewasa. Pastinya dia sangat merindukan sosok itu. Sudah sangat lama dan akan segera terealisasi.

Saat pintu terbuka, seorang pria tidak lagi muda namun tampak masih bugar menatapnya bingung, "Chester."

Pria bernama Chester mengernyitkan dahi. Dia mengenal suara itu namun penampilan yang sangat berbeda dari pemilik suara membuatnya tidak percaya, "Tuan muda?"

Zack tersenyum lega lantaran Chester masih mengingatnya setelah bertahun-tahun. Pada akhirnya mereka beralih duduk di ruang tamu. Di sana Zack memperhatikan seluruh isi ruangan yang menjadi tempat tinggal Chester dan anak perempuan yang tidak sabar untuk ditemui.

"Ada angin apa sehingga Anda datang kemari, tuan?"

"Panggil saja aku Zack. Aku bukan lagi tuanmu." Masih sibuk memandangi sekeliling.

Chester tertawa kecil, "Saya harus terbiasa mulai sekarang."

"Kedatanganku kemari, aku ingin bertemu dengan putrimu," ucapnya dengan dada yang masih bergejolak hangat akan kerinduan.

"Putri saya?"

Chester mengingat kembali kejadian di mana dia membawa seorang anak panti asuhan ke rumahnya untuk diadopsi namun istrinya yang tidak menyukai anak kecil membuatnya harus mengembalikan anak itu.

"Dia bukan putri saya, Tuan."

...***...

...Niatnya ini visual Zack :v...

...(Versi Renko pastinya)...

Episode 3: Duplikat Hati

"Selamat, Zack! Kau berhasil memenangkan tender. Untuk merayakannya bagaimana kalau kita makan siang bersama?" Samuel memberikan pelukan selamat atas hasil kerja yang memuaskan.

"Kalau begitu saya akan mengurus jadwal anda hari ini." Ucap Emily hendak pergi.

"Sekretaris kita akan pergi kemana? Kau juga harus merayakannya bersama kami karena ini semua tidak akan berjalan lancar kalau bukan karena kerja kerasmu. Benar bukan, Zack?"

Selama ini mereka sudah bekerja keras untuk memajukan perusahaan. Dibantu oleh Emily pekerjaan pun semakin lebih ringan dibandingkan harus sendirian mengelola dua bisnis sekaligus. Sedikit perayaan atas keberhasilan yang dicapai, seharusnya makan siang bersama tidak ada salahnya.

"Kau sudah berusaha yang terbaik. Kita akan beristirahat sejenak sebelum kembali bekerja."

Ucapan yang mustahil untuk Emily dengar mengurungkan niatnya untuk pergi. Jika selama ini dia selalu dibuat kesal oleh tingkah kekanakan dan kata-kata yang tidak bersahabat dari atasannya, hari ini kalimat yang begitu pengertian didapatkan olehnya.

"Kalau begitu saya akan merepotkan kali ini."

Mereka makan siang di restoran berkelas yang letaknya tidak jauh dari perusahaan. Menu yang berbeda-beda tersuguh di hadapan mereka masing-masing. Suatu kesenangan bagi Samuel dan Emily karena semuanya dibayar oleh atasan mereka. Meskipun sudah menjadi pemeran utama dari jamuan makan siang namun Zack tidak diajak berbicara sama sekali. Dia hanya menjadi pajangan di antara kedua orang yang begitu asyik mengobrol.

"Ternyata kau memiliki seorang adik? Apa dia sudah memiliki kekasih?"

"Entahlah. Sepertinya belum." Ucap Emily sambil tertawa kecil.

"Kau memiliki fotonya? Aku sangat penasaran. Kakaknya saja sudah cantik, apalagi adiknya."

Zack memperhatikan raut wajah Emily yang sedikit berubah. Pertanyaan yang sedaritadi dijawab dengan lancar, untuk kali ini butuh waktu lama mendengarnya. Dia berpikir mungkin Emily tidak nyaman dengan sikap Samuel.

"Hentikan sikap sok akrabmu itu. Kau membuatnya tidak nyaman."

"Sejak kapan kau memperhatikan kenyamanan seseorang?"

Tadinya Emily sedikit terpikir oleh kata-kata Samuel yang mana mengatakan bahwa dia dan Ainsley memiliki kecantikan yang serupa sebagai saudara. Padahal kenyataannya mereka bukan saudara kandung. Hal itu mengingatkannya pada kedua orangtua. Sayangnya dia tidak membiarkan ingatan menyedihkan itu berlarut. "Terima kasih sudah memperhatikan saya." Mengambil ponsel dari dalam tas, lalu membuka galeri foto dan mencari foto Ainsley agar bisa diperlihatkan.

Samuel melebarkan mata ketika melihat gambar yang ada di ponsel itu. "Cantik sekali! Apa aku bisa mendapatkan nomornya?"

Zack bangkit dari duduknya. "Kalian bisa lanjut mengobrol. Aku akan kembali bekerja." Dia tidak ingin menjadi tokoh yang hanya duduk memperhatikan orang berbicara. Hal itu hanya membuang-buang waktu berharganya saja.

Berbeda dengan Emily yang diam memandangi Zack berlalu pergi, Samuel tersenyum puas. "Kau harus mendapatkannya."

Emily mencerna perkataan itu namun tetap saja dia tidak mengerti. "Apa?"

Samuel berhenti melamun dan menatap Emily sambil tersenyum. "Aku berpikir untuk mendapatkan makan malam yang enak hari ini."

***

Setibanya di ruang kerja, Zack membuka laci meja. Di sanalah dia menempatkan potret anak perempuan yang digambar. Biasanya dia akan memandanginya ketika sedang rindu atau ketika kesedihan mengusik hari-harinya.

Gambar itu membuatnya terbayang kembali bagaimana pertemuan mereka. Saat itu dia bertanya-tanya siapakah gerangan anak perempuan yang ada di belakang Chester. Anak perempuan itu begitu pemalu sampai-sampai tidak membalas jabatan tangan darinya. Betapa dia sangat merindukan pertemuan itu.

Saat dia sedang asyik menikmati bayangan anak perempuan itu tiba-tiba tamu yang tidak diundang muncul. Dia segera memasukkan kertas gambar kembali ke tempat semula, lalu beralih pada pekerjaan yang ada di meja.

Samuel yang telah kembali dari makan siang mendatangi Zack kembali. "Hey, temanku tercinta. Aku datang kesini secara sukarela ingin membantu urusan percintaanmu. Soal seperti ini aku adalah pakarnya."

"Hentikan omong kosongmu."

"Ayolah, Zack. Kau harus membuka hatimu untuk wanita lain. Memangnya kalau kau menemukannya, wanita masa kecilmu itu akan menerimamu?"

"Kenapa tidak? Aku tampan dan juga kaya."

"Itulah omong kosong sebenarnya. Kau belum resmi mewarisi perusahaan ini. Hanya modal ketampanan tidak akan cukup untuk gadis zaman sekarang. Apa yang kurang dari Emily? Dia adalah wanita spektakuler. Menganggapnya sebatas teman kerja hanya akan membuatmu rugi. Lagi pula ayahmu juga menginginkan seorang cucu, bukan? Apa kau ingin menghabiskan sisa hidupmu untuk mencarinya? Ini sudah hitungan tahun dan kau masih belum menemukannya."

"Kelihatannya aku benar-benar harus melenyapkanmu."

Sepertinya cara itu tidak berhasil, tetapi setidaknya akan membuat Zack berpikir ulang mempertahankan keras kepalanya. "Baiklah. Aku akan pergi, tapi kau harus ingat apa yang aku katakan." Samuel pun keluar dari ruangan.

Benar saja karena setelah perginya Samuel, ucapan itu masih terngiang di telinga. Zack sebenarnya juga tidak tau bagaimana arti dirinya bagi anak perempuan yang dicari. Bahkan mengobrol dengannya saja dia tidak pernah. Apalagi jika tiba-tiba bertemu dan mengikatnya dalam sebuah pernikahan.

Sudah lama dia mencari namun masih tidak menemukannya. Apakah dia akan selalu terus diliputi kenangan masa lalu? Bagaimana kalau anak perempuan itu sudah menikah dan menjalani hidup dengan pria lain? Bagaimana kalau hanya dia saja yang menyukai, sedangkan anak perempuan itu tidak?

Selain itu bagaimana sebenarnya perasaan yang dia miliki pada anak perempuan itu? Apakah murni rasa cinta atau sekedar menyukai di masa kecil saja? Haruskah dia mundur sebagai pria asing yang tidak mungkin bisa menggapai apa yang diimpikan?

Tok tok tok..

Ketukan pintu yang sudah terbuka celahnya itu menampakkan sosok Emily. "Sebentar lagi anda harus menemui klien."

Zack menganggukan kepala dan segera bangkit untuk selanjutnya keluar dari ruangan. Dengan Emily yang mengendarai mobil, mereka menuju tempat di mana akan bertemu klien.

Di perjalanan Zack melirik Emily yang sedang fokus berkendara. Dia mengingat empat tahun yang dilalui selama Emily bekerja dengannya. Wanita di sampingnya itu tidak berbohong saat melakukan wawancara. Emily memang orang yang jujur dan pekerja keras. Keluhan tidak pernah keluar dari sosok Emily yang selalu tersenyum ramah pada setiap orang.

"Apa ada yang salah di wajah saya?" Emily menyadari tatapan yang tidak berhenti mengarah padanya.

"Apa kau sudah memiliki kekasih?"

Emily terkejut saat ditanyai secara mendadak. Apalagi pertanyaan itu keluar dari mulut atasannya yang dikenal cuek. Padahal selama ini mereka tidak memiliki kesempatan untuk berbicara selain bisnis. Sebaliknya sekarang mereka membicarakan hal yang bersifat pribadi. "Ke-kenapa tiba-tiba anda menanyakannya?"

"Kalau tidak ada, apa kau mau menikah denganku?" Mungkin dengan keputusannya yang sekarang bisa mengeluarkannya dari bayangan masa lalu. Memperbaruinya dengan cinta yang baru dan menurutnya Emily adalah orang yang tepat.

Tin tin..

Lampu merah berganti hijau. Beberapa mobil mengantri untuk melanjutkan perjalanan. Mereka membunyikan klakson agar mobil di depan mereka cepat bergerak namun tetap saja mobil itu bergeming.

"Kau harus menjalankan mobilnya." Berusaha membangunkan kesadaran Emily.

Emily yang baru pulih kesadarannya langsung bergerak. Dia mengemudi kembali namun perintah untuk menepikan mobil mengharuskannya menghadapi situasi mencengangkan kembali. Tampaknya lamaran itu tidak main-main.

"I-ini bukan bercanda?" Mencari-cari sesuatu di dalam mobil itu. "Hanya ada kamera dashboard saja. Apakah itu juga bisa merekam seseorang? Apakah ini sebuah jebakan? T-tapi sekarang bukan hari special."

"Apa aku sangat payah melamar seseorang sampai terlihat seperti sedang bercanda?"

Emily semakin melebarkan mata. "B-bukan begitu." Memperhatikan bagaimana ekspresi yang sedang serius itu kini. Rasanya tidak mungkin jika Zack memiliki perasaan padanya karena sikap yang sangat bertolak belakang dengan kenyataan yang ada.

Saat pertemuan dengan klien berlangsung mereka berusaha tidak banyak berinteraksi. Untuk berbicara hanya sepentingnya saja karena canggung setelah lamaran tadi. Sampai di perjalanan pulang pun mereka masih diam seribu bahasa. Mereka hanyut dalam pikiran masing-masing.

Emily yang mana kemudi telah dialihkan, turun dari mobil ketika sudah tiba di depan rumah. Sebagai sekretaris pribadi dan seorang wanita, dia memiliki tempat istimewa yang tidak mengharuskan untuk mengantarkan atasan. Selain Zack yang selalu mengedepankan harga diri sebagai seorang pria, diantarkan pulang oleh seorang wanita bukan sesuatu yang dia sukai.

"Tunggu sebentar." Ucap Emily saat jendela mobil akan dinaikkan. "Tentang lamaran," wajahnya bersemu merah jika mengingat kejadian tadi. Ditambah perasaan senang yang lahir dari ketidakpercayaan. "Saya akan memikirkannya."

Zack tersenyum tipis sembari menggangguk pelan, lalu mobil dilajukan kembali. Senyuman mengendur saat dia keraguan akan keputusannya muncul. Jadi ini adalah akhir dari cerita cinta yang dia miliki? Dia sungguh pria yang sangat payah.

Di samping itu, dia terpikirkan lamaran mendadak tadi. Apakah dia terlalu buru-buru mengambil tindakan? Mungkin Emily menganggapnya sebagai pria yang hanya melakukan semua kegiatan dengan tegas, termasuk melamar. Bagaimana bisa dia melamar seorang wanita di tengah kemacetan?

"Apakah aku harus menemui Sam?"

***

Zack tiba di sebuah bar, tempat di mana Samuel biasanya menghabiskan waktu. Ada banyak orang di dalam bar, baik wanita maupun pria. Mereka menari menikmati musik yang entakannya bisa membuat kepala siapa saja menjadi pusing. Hanya mereka yang ahli bisa berlama-lama berada di sana.

Dia menatap sekeliling mencari keberadaan Samuel. Tampak orang yang dicari tengah duduk bersama para wanita. Sama dengannya yang juga menjadi pusat perhatian seperti ada banyak zombi yang ingin melahapnya. Dengan cepat dia menyingkir sebelum wanita-wanita yang menatap bergerak mendekati.

Menyadari siapa yang datang, Samuel langsung bangkit. "Ini sungguh kabar gembira untukku." Tertawa lebar melihat temannya datang tanpa diminta. Biasanya sangat sulit membawa Zack pergi ke bar bersamanya, tetapi apa yang dilihat hari ini membuatnya sangat senang.

Zack yang sama sekali tidak bisa mendengar apa yang sedang Samuel bicarakan menjadi frustasi. Seperti apa pun Samuel berkomat-kamit, dia tetap tidak mengerti. Lampu yang berkelap-kelip juga menambah tingkat kefrustrasiannya. Rasanya dia ingin membeli bar itu dan menutupnya segera.

Samuel membisikkan sesuatu ke telinga wanita yang ada di sebelahnya. "Bawa dia ke ruangan kedap suara." Setelah itu pipinya dikecup sebelum wanita itu beranjak mendekati Zack dan menuntunnya pergi menuju ruangan yang disebutkan tadi.

Zack mengernyitkan dahi menatap Samuel sambil ditarik lengannya. Dia bertanya-tanya apa yang sedang direncanakan hingga dia harus menuruti keinginan Samuel. Jawaban yang didapat hanya sebuah anggukan yang memintanya untuk menurut kali ini. Terpaksa dia menuruti kemana arah wanita berpakaian minim itu membawanya.

Di ruangan kedap suara, wanita itu langsung membanting Zack sebagai dorongan agar pintu tertutup. Kemudian melingkarkan tangan di lehernya. Tidak sampai di situ saja, bahkan kini wajah wanita itu mendekati wajahnya sehingga membuat napasnya terasa sampai ke kulit.

"Kau sangat tampan. Apa aku bisa meminta nomormu? Biar nanti kita bisa saling menghubungi." Ucapnya dengan nada sensual yang khas.

Zack berusaha melepaskan rangkulan. Sangat sulit baginya untuk lepas karena wanita itu sama sekali tidak membiarkannya pergi. Alhasil mereka terduduk di sofa bersama dengan posisi wanita itu yang menindihnya.

"Baru saja aku tinggalkan, kau sudah berselingkuh di belakangku. Lepaskan tanganmu darinya. Aku akan mengirimkan uang tambahan untukmu. Jadi pergilah cari mangsa lain." Di ambang pintu Samuel berdiri sambil melipat kedua tangan.

Zack bangkit dan berusaha kembali menyingkirkan wanita yang menempel seperti perangko itu namun sebaliknya dia dipeluk dengan sangat erat setelah itu.

"Aku lebih memilih menghabiskan waktu bersama temanmu ini, Sam. Dia sangat tampan."

"Dia adalah pacarku." Pada akhirnya Samuel harus memeluk tubuh Zack agar teman wanitanya bisa pergi meninggalkan mereka berdua.

Seketika pelukan erat itu terlepas dan dengan raut wajah cemberut, wanita itu pergi meninggalkan mereka. Dia berpikir pantas saja begitu tampan, ternyata pria tampan yang ingin dimilikinya tidak seperti pria yang ada dalam bayangan.

"Kau mencariku?" Samuel yang masih memeluk di belakang berbisik lembut di telinga Zack.

"Lepaskan!" Zack menjauhkan tangan Samuel, lalu mengibaskan jasnya. Tidak ingin membuang waktu lebih lama dia langsung menjelaskan maksud kedatangannya. "Aku tidak tau bagaimana cara mendapatkan hati Emily. Untuk itu aku datang menemuimu."

"Semudah itu melepaskan cinta pertamamu? Lagi pula apa kau seahli itu untuk menumbuhkan perasaan dengan begitu cepat? Kau tidak menjadikan Emily sebagai pelarian, bukan?"

"Aku harus menjalani kenyataan mulai dari sekarang. Katakan padaku apa yang harus aku lakukan agar Emily mau menikah denganku?"

Samuel mengangkat sebelah alisnya. Sebuah rencana yang sangat menarik sudah ada di dalam benaknya. Terlebih keberadaan Zack yang sangat langka di bar bersamanya sekarang, sangat disayangkan jika hanya memberi jawaban singkat saja. "Kau ingin menikmati malam ini agar tau bagaimana wanita? Aku akan meminta seorang wanita untuk menghiburmu."

Zack menghela napas panjang. Ternyata waktunya telah terbuang percuma datang menemui Samuel. Baginya yang menginginkan jawaban segera, menginjakkan kaki di bar itu adalah sebuah kesiaan. "Kau melupakan satu hal, Sam. Aku bisa membeli bar ini dan wanita-wanita milikmu itu. Untuk tidur dengan mereka pun aku tidak membutuhkan bantuan apa pun darimu."

Samuel menggelengkan kepala sambil tersenyum sinis. "Dalam keadaan membutuhkan bantuan, kau tidak berhenti bersikap sombong."

Zack mendekat dan mengusap pelan pundak Samuel yang mana kemejanya sedikit kusut. "Kau harus lebih menjaga dirimu agar aku tidak mengirimmu ke tempat yang jauh."

Samuel membuka mata lebar-lebar. "Jangan lakukan itu, Zack! Aku tidak ingin kembali ke Edinburgh. Perjalanannya sangat panjang. Cukup satu kali aku merasakannya." Merengek mengikuti Zack sepanjang jalan.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!