"Dia tidak datang lagi?" Seorang laki-laki dengan perawakan gagah menatap ke arah kursi kosong dari meja paling kanan. Teman-teman semejanya tampak tak terlalu peduli akan hal itu. "Hhh ... anak itu kenapa susah sekali pergi kemari. Baiklah, kita mulai saja pembelajaran---sebentar, aku lupa membawa bukunya. Kalian buka saja buku kalian dulu, aku akan mengambil buku milikku."
Setelahnya, laki-laki itu pergi keluar dari ruangan.
"Kau tau ke mana dia pergi?" Matheo, laki-laki yang duduk di paling ujung sebelah kiri bertanya. Ia menatap ketiga teman semejanya bergantian.
"Ezard pemalas seperti dia memang tidak pantas berada di sini," ucap satu-satunya perempuan di meja itu, Azura.
"Dia pasti sedang tidur di gua Ezarsville," sahut laki-laki dengan rambut berwarna hijau terang yang duduk di samping kiri Azura, Navaro namanya.
Azura melirik singkat kursi kosong di samping kanannya. "Aku akan menghajarnya nanti."
"Menghajarnya pun tidak akan berguna, karena dia akan terus mengulangi hal yang sama," ucap Savian, laki-laki dengan rambut berwarna kuning yang duduk di antara Matheo dan Navaro.
"Aku akan coba berbicara dengannya nanti," final Matheo. Jika diteruskan, bisa-bisa mereka akan berdebat mengenai ke mana perginya sang pemilik kursi kosong.
"Kelompokmu tidak lengkap lagi?" Seorang laki-laki berambut hijau terang serupa dengan milik Navaro tiba-tiba berdiri di dekat meja bundar yang ditempati Matheo dan teman-temannya.
"Ezard tidak berguna seperti dia harusnya dimusnahkan," ucap laki-laki bernama Julian itu.
"Bisa kau diam? Mulutmu bau bangkai," ketus Azura, membuat Julian menggertakan giginya menahan amarah. "Pergilah! Kau menyakiti mata kami."
"Sialan!" umpat Julian. "Lihat saja, aku pasti akan merebut posisi kalian di sini," katanya, kemudian berlalu ke mejanya yang tak jauh dari tempat ia berdiri.
"Dasar gila!" hina Azura, yang hanya bisa didengar teman-temannya.
"Dia selalu mencari masalah pada kita," cetus Savian. "Aku sampai bosan melihatnya terus menerus."
"Dia ingin merebut posisi kita, tapi selalu tidak bisa," sahut Navaro.
"Pecundang sepertinya tidak pantas ada di kelompok pertama," ujar Azura.
BRAK!
Pintu ruangan terbuka dengan keras, menampilkan sang pemilik kursi kosong yang sudah cukup lama tidak terlihat kehadirannya di ruangan itu.
Dengan wajah tanpa dosanya, dia duduk di kursi kosong samping Azura.
Bukannya sambutan selamat datang atau semacamnya, dia justru mendapatkan perkataan tak mengenakkan dari Azura; "Aku akan menghajarmu nanti."
"Kau dari mana saja?" tanya Matheo pada perempuan yang baru saja tiba.
"Aku? Tentu saja tidur. Dari mana lagi?" jawab perempuan dengan rambut berwarna biru tua itu. "Kau berharap aku dari mana selain tidur?"
"Kau bahkan tidak melakukan apa pun. Kenapa kau selalu tidur seolah-olah kau sangat lelah?" tanya Navaro.
Reyasa, perempuan dengan rambut biru tua itu terdiam selama beberapa saat, kemudian menjawab, "Tidur adalah bagian penting dari diriku. Tidak mungkin aku tidak melakukannya."
"Tapi kau sampai melewati kelasmu, Reyasa," balas Savian. "Ini pertama kalinya kau masuk ke kelas ini setelah sekian lama."
Reyasa mengedikkan bahu tak acuh. "Hadir atau tidaknya aku, tidak akan memengaruhi nilai kelompok. Buktinya, kelompok ini masih menjadi kelompok pertama."
Matheo menghela napas berat. Perempuan berambut biru tua itu memang sangat sulit dinasehati, ada saja balasannya. "Itu karena kami belajar lebih giat demi mempertahankan nilainya, Reyasa."
"Kau merepotkan kami, Reyasa," sahut Azura. "Mulai sekarang, rajinlah masuk kelas atau aku akan menghajarmu."
Reyasa berdecak. "Ya, ya, ya, akan kucoba."
Tapi nanti, lanjutnya dalam hati.
Pintu kelas terbuka, menampilkan seorang laki-laki gagah yang sebelumnya berdiri di depan. Dia adalah salah satu guru di sana.
"Baiklah. Mari kita---Reyasa?" Guru laki-laki itu menatap Reyasa yang kini tengah duduk manis di kursi paling kanan kelompoknya. "Dari mana saja kau? Kenapa baru masuk kelas hari ini?"
Reyasa membalas tatapan sang guru. "Memangnya kenapa? Bapak rindu saya?"
Theodore/Theo, guru laki-laki berambut hitam itu berdecak pelan. "Yang benar saja," ketusnya. "Kau melewatkan banyak pelajaran, Reyasa. Kehadiranmu sangat minim di kelas saya."
Reyasa mengangguk. "Hmm ... lalu? Masalahnya di mana?"
Theo menghela napas berat, kemudian tersenyum paksa. "Sudahlah. Saya tidak ingin menjawabnya. Sekarang buka bukumu!"
"Saya tidak membawa apa pun."
Theo menutup mata sejenak. Reyasa sangat jarang hadir di kelasnya. Kalaupun hadir, anak itu pasti akan bertingkah seperti ini. "Terserah, Reyasa, terserah!" ucap Theo penuh penekanan.
Reyasa terkekeh pelan. Ia menatap teman-temannya yang kini tengah melayangkan tatapan tajam padanya. "Hehehe ... bisa aku melihat buku kalian?"
***
Ezard.
Mahluk yang dianugerahi kekuatan dan dunianya sendiri. Tempat mereka tinggal disebut Ezarsville, tempat yang indah dengan banyak perumahan berkonsep menyatu dengan alam.
Di dunia pendidikan, Ezard dibagi menjadi 2; yang pertama adalah Ezard Teamzard. Untuk angkatan saat ini, mereka terbagi menjadi 7 kelompok, masing-masing harusnya memiliki 7 Ezard. Namun, yang ada saat ini hanya 5 Ezard di masing-masing kelompok.
Di setiap kelompok, ada yang rambutnya berwarna Jingga, Kuning, Hijau, Biru, dan Biru Tua. Jadi, di angkatan saat ini, ada 7 Ezard dengan rambut berwarna Jingga, 7 Ezard dengan rambut berwarna Kuning, 7 Ezard dengan rambut berwarna hijau, 7 Ezard dengan rambut berwarna biru, dan 7 Ezard dengan rambut berwarna biru tua.
Setiap 3 bulan, akan dilaksanakan ujian penentuan posisi kelompok. Yang nilai kelompoknya paling tinggi, maka akan menempati posisi Onezard alias kelompok 1. Posisi itu dinilai terhormat di kalangan para Ezard, karena itu berarti para Ezard yang ada di kelompok 1 adalah Ezard yang paling kuat dan cerdas di antara yang lain.
Selama ini, kelompok Matheo selalu menempati posisi Onezard. Belum ada yang bisa mengalahkan mereka dari segi kecerdasan mau pun kekuatan.
Adapun yang kedua adalah Ezard Individuzard. Saat ujian, mereka melaksanakannya sendiri. Sedangkan di Teamzard, ada 2 ujian; yakni ujian individu dan ujian kelompok.
Individuzard biasanya memiliki warna rambut selain merah, jingga, kuning, hijau, biru, biru tua, ungu, putih dan hitam.
Rambut dengan 7 warna di atas hanya bisa dimiliki oleh Ezard Teamzard. Sedangkan untuk rambut berwarna putih dan hitam hanya bisa dimiliki oleh Ezard yang sudah lulus dari pendidikan dan juga para Vardz.
Vardz sendiri adalah para petinggi Ezard atau bisa disebut Dewa Dewi Ezard. Mereka berjumlah 7 Vardz dan tinggal di dunia mereka sendiri yaitu Vardzone.
Namun, baik Ezard mau pun Vardz masih bisa saling mengunjungi tanpa halangan, meski tempat mereka terpisah.
Adapun tempat para Ezard menempuh pendidikan adalah Ferezard yang terletak di pusat Ezarsville.
"Ezard pemalas sepertimu tidak pantas berada di sini. Harusnya kau dimusnahkan sejak lama."
Reyasa menghela napas pelan. Sebenarnya, ada apa dengan laki-laki yang kini tengah berdiri di dekat mejanya itu? Ia sedang makan, lalu tiba-tiba laki-laki berambut hijau datang dan berceloteh perihal ia yang pemalas.
Laki-laki itu bahkan bukan bagian dari kelompok Reyasa, tapi dia bertingkah seolah paling dirugikan atas sifat pemalas Reyasa.
Reyasa memilih bangkit, hendak pergi dari meja tempat ia makan. Namun, tangannya ditahan oleh laki-laki berambut hijau.
"Berani sekali kau pergi saat aku sedang berbicara," kata laki-laki itu.
Reyasa menarik tangannya. Kemudian membalas tatapan tajam yang dilayangkan si rambut hijau dengan tatapan andalan miliknya, yaitu tatapan biasa saja tapi terkesan meremehkan.
"Dengar, ya, Tuan Hijau. Aku sama sekali tidak mengenalmu," ujar Reyasa. "Aku bukan bagian dari kelompokmu dan kemalasanku tidak ada sangkut pautnya denganmu. Jadi, berhenti berbicara denganku, karena aku muak mendengar suaramu."
Setelah berkata seperti itu, Reyasa berlalu dari ruangan yang menyediakan makanan untuk para Ezard. Padahal, ia hanya ingin makan, tapi dunia seolah tidak membiarkannya tenang, selalu ada saja yang mengganggunya.
Si Hijau itu benar-benar menyebalkan.
***
"Ke mana Reya pergi?" Matheo menatap sekeliling ruangan. Namun, ia tidak mendapati kehadiran perempuan dengan rambut berwarna biru tua itu. Bahkan, ia tidak dapat merasakan energinya di radius 1 kilometer. Itu berarti, Reyasa sedang tidak berada di Ferezard.
"Anak itu benar-benar minta dihabisi," ucap Azura penuh penekanan.
"Tenanglah, dia pasti akan datang," sahut Savian, meski dirinya juga tidak yakin akan hal itu. "Aku tadi melihatnya diganggu Julian saat makan. Mungkin sekarang dia sedang makan di rumah."
Azura mengernyit tak suka. "Julian?"
Savian mengangguk. "Dia selalu mengganggu Reya setiap bertemu," lanjutnya. "Bahkan, yang dia cari-cari kesalahannya di kelompok kita hanyalah Reya. Sepertinya, dia selalu mengamati Reya."
"Tadi aku berniat membantu Reya, tapi ternyata dia melawan Julian, haha," sahut Navaro diakhiri dengan tawanya. "Aku pikir dia akan diam seperti biasa, ternyata tidak."
"Baguslah," ujar Matheo. "Dia sesekali harus melawan agar tidak terus-menerus direndahkan."
Keempat Ezard itu menoleh, kala pintu ruangan terbuka dan menampilkan Reyasa dengan cengiran khasnya.
Itu adalah ruangan khusus untuk kelompok 1 yang diberikan oleh Ferezard pada siapa pun yang menempati posisi Onezard. Karena saat ini, Matheo dan teman-temannya masih menduduki posisi Onezard, jadilah mereka yang menempati ruangan khusus itu.
"Tadi aku lapar," celetuk Reyasa, setelah duduk di kursi miliknya, tepat di samping kanan Azura, sama seperti posisi di kelas beberapa saat lalu.
"Mana bukumu?" tanya Matheo saat menyadari bahwa Reyasa tidak membawa apa pun.
"Buku? Untuk apa?"
"Bodoh!" umpat Azura sembari memukul kepala Reyasa menggunakan buku miliknya. Beruntung, bukunya tidak tebal, jadi tidak terlalu sakit. "Kau pikir kita akan melakukan apa di sini?"
Meski terlihat kesal, Azura menggeser buku miliknya ke hadapan Reyasa.
Ketiga laki-laki yang melihat tingkah keduanya hanya bisa menggeleng. Hubungan Kakak-Adik mereka benar-benar nyata. Azura terlihat membenci Reyasa, tapi dia juga tetap peduli padanya.
"Kalian Kakak-Adik yang serasi," cetus Navaro, yang dihadiahi tatapan tajam milik Azura. "Apa? Aku benar, 'kan? Kita memang Kakak-Adik."
Azura berhenti menatap Navaro, karena perkataan laki-laki berambut hijau itu benar adanya. Mereka berlima memanglah Kakak-Adik. Mereka lahir dari Ezard yang sama dalam periode berbeda. Selisih usia mereka masing-masing adalah 2000 tahun dan Reyasa menjadi adik bungsu dengan usia 10 ribu tahun.
Di dunia Ezard, Ayah dan Ibu akan meninggal setelah 100 ribu tahun. Saat ini, usia Ayah dan Ibu Matheo dan adik sekaligus teman-temannya itu sekitar 50 ribu tahun.
"Reya, kau melewatkan banyak pelajaran dari Pak Theo," celetuk Matheo. "Sekarang, kami akan mengajarimu pelajaran yang tertinggal, baru setelah itu kita belajar materi baru."
Reyasa menghela napas pelan. Harusnya, saat ini ia sedang berbaring, lalu tidur, bukan belajar seperti ini. "Pelajaran Pak Theo membosankan."
"Tapi dia mengajarkan hal yang penting, Reya," balas Savian. "Kau harus tau sejarah Ezard, Vardz, dan yang lainnya."
Reyasa mendengus kesal. "Untuk apa pula kita belajar masa lalu? Aku lebih suka mempelajari masa depan," ujarnya.
"Suka dari mananya? Kau bahkan tidak pernah hadir saat kelas Bu Trisha," tangkas Matheo.
"Itu 'kan karena---"
"Malas," potong Azura. "Katakan saja, kau malas belajar. Tidak perlu mencari alasan, karena kami sudah tau sifatmu."
Reyasa menampilkan cengirannya. "Itu bukan salahku, karena aku sudah diciptakan tanpa sifat rajin seperti kalian."
Azura memutar bola mata jengah. "Sudahlah. Kau membuang waktuku. Cepat belajar!"
"Hhh ... ujian masih sepekan lagi, kenapa buru-buru sekali?" gerutu Reyasa.
"Sepekan itu waktu yang singkat, Reya. Materi yang kau tinggalkan banyak, kau harus belajar dari sekarang," terang Matheo. "Kita mulai dari pelajaran Pak Theo. Kau harus mempelajari semua hal tentang Ezard, mulai dari sejarahnya."
"Hhh ... Ibu, aku ingin pulang."
"Apa ada murid baru di sini?" Seorang wanita dengan rambut hitam menatap ke bagian paling belakang ruang kelas. Di sana, duduk seseorang dengan rambut biru tua yang tak lain adalah Reyasa. "Siapa yang berhasil membuatmu masuk kelas, Reyasa?" tanya wanita itu.
Sang pemilik nama hanya menampilkan cengiran khasnya. Membuat wanita itu menggelengkan kepala pelan. "Ah, terserahlah. Aku sudah bosan menyuruhmu masuk kelas. Sekarang, kita mulai saja pembelajarannya."
Wanita itu mengambil sebuah buku yang sebelumnya ia simpan di meja. Ia berdecak pelan, lalu menggerutu, "Aish! Aku lupa membawa kertas dari Aldrich."
Ia menampakkan ekspresi kesal yang sangat kentara di wajahnya. "Kenapa dia memisahkannya dari buku? Merepotkan!" keluhnya. "Kalian, jangan coba-coba untuk keluar! Terutama kau, Reyasa."
Setelah itu, ia berlalu pergi dari kelas. Meninggalkan 35 orang murid yang kini mulai ricuh.
Berbeda dengan kelas Theo, kelas saat ini tidak menggunakan meja bundar perkelompok. Mereka menggunakan 1 meja untuk 1 orang, tapi masih tetap berbaris perkelompok. Sedangkan saat pembelajaran Theo, mereka belajar di sebuah meja bundar dengan 5 kursi yang disusun seperti letter U, yang berarti, mereka hanya duduk mengelilingi sebagian meja.
Saat ini, Reyasa duduk di barisan paling belakang, dekat jendela, karena posisi kelompoknya memang berada di ujung kiri, sedangkan di ujung kanan dekat pintu adalah kelompok 7.
Karena wanita yang akan mengajar tak kunjung datang, Reyasa memilih untuk tidur dengan posisi kepala di meja.
Namun, belum sempat ia mengarungi alam mimpi, seseorang tiba-tiba menggebrak mejanya dengan keras.
Dengan terpaksa, Reyasa mendongak untuk melihat siapa mahluk kurang ajar yang mengganggu persiapan tidur paginya.
Ternyata, laki-laki berambut hijau yang kemarin mengganggunya di ruang makan Ferezard.
"Jika ingin tidur, tidak perlu datang ke kelas, kau mengganggu pemandangan."
Reyasa menegakkan tubuhnya. Laki-laki itu selalu mengganggunya setiap kali ia hadir di Ferezard. Yang dibahas pasti sifat pemalasnya yang memang sudah mendarah daging. Laki-laki berambut hijau itu seolah tidak memiliki pekerjaan lain selain mengganggunya.
"Bisa kau diam? Telingaku gatal mendengar suaramu," balas Reyasa. Demi rambut kuning Savian, Reyasa mulai muak dengan kehadiran laki-laki berambut hijau itu. Eksistensinya menyakiti mata dan suaranya menyakiti telinga.
"Aku tidak akan diam sebelum kau musnah."
Reyasa menghela napas pelan. "Dengar, ya, Tuan Hijau. Sudah kukatakan sebelumnya, aku tidak mengenalmu. Hadir atau tidaknya aku, tidak akan berpengaruh pada dirimu atau nilai kelompokmu," ujarnya. "Kau selalu menggangguku. Apa kau tidak punya pekerjaan lain? Atau ...." Reyasa tersenyum, tampak menyebalkan bagi orang yang melihatnya, " ... kau menyukaiku, ya?"
Dapat Reyasa lihat, wajah laki-laki berambut hijau dari kelompok 2 itu memerah. Reyasa terkikik geli. "Tidak kusangka, ternyata kau menyukaiku."
"Tidak!" bantah laki-laki itu yang tidak lain dan tidak bukan adalah Julian. "Aku tidak menyukaimu. Mana mungkin aku menyukai Ezard pemalas sepertimu."
Dia berkata demikian, tapi wajahnya justru merona. Dia juga terlihat salah tingkah, hingga tidak berani membalas tatapan Reyasa.
"Benar juga. Mana mungkin Ezard rajin sepertimu menyukaiku," balas Reyasa dengan disertai ekspresi dan suara sedih.
"Ha? Bukan ... maksudku ... aku---"
"Sudahlah. Kau harus pergi atau kakakku akan marah," potong Reyasa, kala matanya melihat Azura membalikkan tubuh dan menatapnya tajam. "Pergilah! Kau tidak menyukaiku, 'kan?"
Julian menurut dengan ekspresi yang tampak gelisah.
Reyasa terkekeh pelan di tempatnya. Ia langsung terdiam saat tak sengaja bertatapan dengan Azura yang duduk di depannya. "Apa? Kenapa melihatku seperti itu?"
"Jangan menyukainya!"
Reyasa mengkerutkan dahi bingung. "Aku? Menyukai dia? Yang benar saja," balasnya. "Kau menyukainya?"
Azura mendengus. "Dia bukan tipeku," ujarnya dengan nada ketus. "Jika dia mengganggumu lagi, habisi saja dia."
Reyasa mengedikkan bahu tak acuh. "Kau saja yang menghabisinya. Aku malas," jawabnya. "Lagi pula, jika ingin menghabisinya, kelompoknya harus turut dihabisi. Aku malas sekali melakukannya."
Azura berdecak. "Sepertinya kau harus dihajar agar sifat malasmu berkurang."
"Tidak perlu, terima kasih."
***
"Ujian akan dimulai pekan depan," ucap wanita berambut hitam di depan para Teamzard. "Belajarlah dengan baik."
Ia menatap Reyasa dengan tatapan tajam. "Kau tertinggal banyak materi, Reyasa. Belajarlah lebih giat."
"Baik, Ibu Trisha Yang Terhormat."
"Lusa adalah pertemuan terakhir kita sebelum ujian. Seperti biasa, kalian akan menghadapi test sebelum ujian. Siapa pun yang tidak lulus di test itu, tidak akan bisa mengikuti ujian pekan depan. Paham?" ucap guru wanita bernama Trisha itu.
"Paham, Bu."
"Baiklah. Kelas hari ini selesai. Berlatihlah, karena besok adalah kelas Errol. Kalian akan langsung ditest besok," ujar Trisha, kemudian berlalu pergi.
Melihat itu, para Ezard segera berhamburan keluar kelas. Beberapa Ezard yang ambisius, jelas memilih untuk berlatih di lapangan atau belajar di perpustakaan. Reyasa bukanlah bagian dari Ezard ambisius, jadi dia akan pergi ke tempat lain, yaitu; ruang makan.
Para Ezard ambisius biasanya jarang ke ruang makan, karena mereka lebih memilih belajar dan berlatih kekuatan. Di kelompok 1 pun yang paling sering ke ruang makan hanyalah Reyasa, yang lainnya hanya sesekali ke sana.
"Reya, jangan coba-coba untuk kabur!" ujar Matheo sembari menahan tangan Reyasa yang hampir menyentuh jendela. "Kau harus belajar."
Reyasa melepaskan tangan Kakak tertuanya itu. "Aku tau. Sekarang, aku akan mengambil buku."
Matheo tentu saja langsung melayangkan tatapan curiga. "Jangan berbohong!"
Reyasa berdecak pelan. "Aku hanya suka tidur dan makan. Aku tidak suka berbohong," balasnya. Namun, dalam hati ia lanjutkan perkataannya, Aku hanya tidak jujur saja.
Reyasa menatap satu persatu Kakaknya yang masih menampilkan raut curiga. "Bisakah kalian menatapku biasa saja?"
"Jika kau tidak akan kabur, tidak mungkin kau pergi lewat jendela," ucap Navaro. "Untuk sekarang, ikut kami. Kau harus belajar. Kau ingin posisi Onezard direbut yang lain?"
Sial! Ancaman itu lagi.
Mana mungkin Reyasa membiarkan hal itu terjadi. Bisa-bisa ia tidak dapat tidur tenang, jika sampai posisi Onezard diambil oleh yang lain. Lagi pula, banyak keuntungan yang bisa diambil dengan mempertahankan posisi Onezard, salah satunya adalah tidur dengan tenang. Ya, karena kakak-kakaknya juga orang tuanya akan membiarkan ia melakukan apa pun yang ia mau. Mereka hanya akan memaksanya belajar ketika mendekati ujian.
Klek!
"Eh?" Reyasa menatap ke arah tangan kanannya yang sudah diikat oleh kekuatan berwarna biru yang membentuk rantai. "Apa ini?"
Azura memutar bola mata jengah. "Kau masih bertanya?" ketusnya. "Sekarang, ikut aku!"
Perempuan itu menarik rantainya, hingga Reyasa terpaksa mengikuti dari belakang sembari sesekali menggerutu karena kesal.
Ujian yang benar-benar merepotkan, menyebalkan dan memuakkan!
"Kau baik-baik saja?"
Reyasa yang baru saja merebahkan tubuhnya di sofa menoleh sekilas ke sumber suara. Ia mendapati Ibunya baru saja turun dari tangga bersama seorang laki-laki yang tak lain adalah ayahnya.
Kedua Ezard berambut putih itu memilih duduk di dekat sang anak bungsu.
"Kau terlihat lelah, Nak," ucap Ibu.
Pintu utama terbuka, menampilkan keempat saudara Reyasa. Mereka turut duduk di sofa yang ada di sana.
"Kau masih belum mempelajari materi yang disampaikan Bu Trisha pekan lalu, kenapa kau kabur, Reya?" tanya Matheo. "Kau bisa mendapat nilai kecil jika tidak belajar sekarang."
Reyasa hanya diam sembari menutup matanya.
Melihat itu, Azura turut berbicara. "Hey, bocah! Matheo sedang berbicara padamu," ujarnya.
"Sudahlah. Kalian sudah belajar terlalu keras," sahut Ayah. "Ini sudah malam. Sebaiknya, kalian istirahat. Kalian terlihat lelah."
"Kami harus berlatih malam ini," ucap Savian. "Besok ada test Pak Errol. Jika tidak lolos, kami tidak bisa ikut ujian pekan depan."
"Tapi ini sudah larut malam, Nak. Sebaiknya kalian istirahat. Kekuatan kalian tidak akan bisa digunakan secara maksimal, jika kalian kelelahan," timpal Ibu.
Keempat Ezard itu tampak saling berpandangan selama beberapa saat, lalu mengangguk. "Baiklah. Kami akan istirahat," final Matheo. "Tolong katakan pada Reya, dia harus belajar lebih keras karena dia sudah banyak sekali tertinggal."
Cih! Setiap akan ujian selalu itu yang dikatakan, batin Reyasa. Setelah urusanku selesai, akan kubakar tempat itu, lihat saja nanti ... hhh.
Setelah suara langkah kaki para Ezard itu menjauh, Reyasa segera membuka matanya dan bangkit. "Aku izin pergi," katanya.
Jason dan Helena---orang tua Reyasa---menatap sang anak bungsu dengan tatapan bingung. "Ke mana Reya? Ini sudah larut."
"Aku melupakan sesuatu di Ferezard," jawab Reyasa. "Aku akan pulang sebelum tengah malam."
Tanpa menunggu balasan dari orang tuanya, Reyasa segera berlari ke pintu utama, kemudian melebarkan sayapnya yang berwarna biru tua, warna yang sama dengan rambutnya.
"Pelan-pelan saja, bodoh! Kenapa buru-buru sekali?"
Reyasa yang tengah mengepakkan sayapnya dengan kecepatan penuh mendengus pelan mendengar suara itu. "Aku ingin segera tidur," jawabnya dengan nada ketus.
"Hhh ... sepertinya tidur adalah belahan jiwamu."
"Tentu saja," balas Reyasa. "Kehadiranmu membuat waktu tidurku berkurang."
"Kita sudah bersama sejak kau membuka mata dan melihat dunia. Jangan bertingkah seolah kita baru saja bertemu!"
Reyasa memutar bola mata jengah. "Dulu, aku tidak bisa apa-apa selain tidur, jadi aku tidak merasa direpotkan olehmu," katanya. "Sekarang aku sudah bisa melakukan banyak hal ... dan kau sering merepotkanku."
"Hhh ... anak ini! Terserah apa katamu saja. Aku tidak peduli."
Reyasa menghilangkan sayapnya, setelah ia tiba di Ferezard. Suasana sepi dan gelap membuat siapa pun tidak akan berani memasuki tempat itu. Namun, Reyasa bukanlah mahluk yang penakut. Jadi, dengan percaya diri ia berjalan memasuki gedung perpustakaan yang berada di tengah-tengah antara gedung Teamzard dan Individuzard.
"Gelap sekali, sialan!" gerutu Reyasa, kala matanya tidak dapat melihat apa pun di dalam gedung perpustakaan.
"Gunakan saja kekuatanmu, bodoh!"
"Ah, iya. Benar juga. Tumben sekali kau pintar." Reyasa segera menggunakan kekuatannya. Sebuah cahaya biru tua muncul dari tangan kanannya, membuat area sekitar menjadi terang. "Setelah ini aku harus tidur lebih lama, energiku terkuras."
"Tidak usah drama! Kau hanya menggunakan sebagian kecil kekuatanmu untuk mengeluarkan cahaya itu, sialan!"
"Tetap saja energiku terkuras," balas Reyasa.
"Aku sudah mengatakannya tadi. Kau bisa melakukan ini besok."
"Besok aku sibuk. Para Ezard itu pasti akan menyeretku untuk ikut belajar," ucap Reyasa.
"Mereka saudaramu, jika kau lupa."
Reyasa tak membalas. Ia memilih mengamati setiap rak buku yang menjulang tinggi, berusaha mencari sesuatu yang diperintahkan oleh pemilik suara tadi. "Kau bilang bukunya akan bercahaya di kegelapan," cetusnya.
"Memang benar, bukunya akan bercahaya di kegelapan. Aku melihat bukunya langsung saat di Vardzone."
Reyasa berdecak pelan. Tidak mungkin ia terus mengamati buku-buku di sana yang jumlahnya lebih dari sepuluh ribu. Benda-benda itu terlihat memuakkan saat seperti ini. "Seharian aku terus disuruh melihat buku, sekarang pun aku harus melakukannya lagi. Menyebalkan!"
Reyasa duduk kembali memunculkan sayapnya, kemudian terbang di antara rak buku. Tidak ada satu pun buku yang bercahaya. "Kau sungguh yakin bukunya di sini?"
"Sebenarnya tidak---"
"Hey, sialan! Lalu kenapa kita kemari? Kau saja tidak yakin bukunya ada di sini," ucap Reyasa, memotong perkataan dari suara tanpa wujud itu.
"Bisa kau dengarkan aku dulu?"
"Tidak," tolak Reyasa dengan cepat. "Sebentar lagi tengah malam dan aku harus pulang. Jadi, lupakan buku itu untuk malam ini, karena aku sudah sangat mengantuk."
"Ya sudah, terserah kau saja. Yang pasti, kau harus mendapatkan buku itu sebelum bulan merah muncul."
Reyasa mengepakkan sayapnya, kemudian berbalik ke arah pintu, hendak pulang. "Memangnya kapan bulan itu muncul?"
"Aku tidak tau pasti. Yang aku tau, kau lahir di hari yang sama dengan terjadinya bulan merah."
"Jika aku gagal mendapatkannya bagaimana?" tanya Reyasa.
"Maka aku akan terus bersamamu hingga sampai ke bulan merah selanjutnya."
"Maksudmu sepuluh ribu tahun lagi? Yang benar saja! Aku sudah lelah menampungmu, asal kau tau," balas Reyasa. "Lagi pula, kenapa kau harus seperti ini, sih? Merepotkan saja."
"Inilah akibatnya jika kau sering melewatkan kelas Theo. Kau tidak tau sejarahku, padahal aku sangat terkenal."
Reyasa berdecih pelan. "Ya, terima kasih atas kesombonganmu."
"Aku hanya mengatakan fakta."
***
"Dari mana saja kau?"
Reyasa yang tengah berjalan mengendap-endap hendak menaiki anak tangga seketika terdiam saat telinganya mendengar suara yang tak asing dari arah belakang.
"Ini sudah tengah malam. Dari mana saja?"
Reyasa berbalik, hingga berhadapan dengan pemilik suara dengan nada ketus itu, Azura. Melihat aura tak bersahabat dari perempuan berambut biru muda itu membuat Reyasa menelan ludah takut. "Aku ... mmm ... aku---"
"Dari mana?" ulang Azura dengan penuh penekanan disertai tangan yang bersidekap di dada. Matanya menyorot si bungsu dengan tajam. "Apa kau tuli?"
Reyasa tiba-tiba saja terisak, lalu menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Hal itu membuat Azura menghela napas berat.
"Aku hanya bertanya. Kenapa kau menangis?" ketus Azura. Namun, tangannya menarik Reyasa, kemudian memeluk dan mengusap lembut kepala sang adik.
Reyasa di dalam dekapan hanya tersenyum.
"Cih! Kau benar-benar pintar membuat drama."
Diamlah! Kau yang membuatku harus seperti ini, batin Reyasa.
"Besok pagi ada test Pak Errol. Kau harus segera tidur," ucap Azura. Kemudian, ia melepaskan pelukannya. "Tidurlah!"
Reyasa mengangguk singkat. Wajahnya masih ia tutupi, berusaha menghindari tatapan Azura. Dengan tergesa, ia berjalan menuju kamarnya yang memang di lantai dua, tepat di samping kamar orang tuanya.
Kamar Azura sendiri berada di bagian kiri lantai dua bersama kamar ketiga saudaranya. Hanya kamar Reyasa yang terletak di bagian kanan, dekat orang tuanya.
"Huh ... hampir saja." Reyasa merebahkan tubuhnya di ranjang. "Sayapku hampir patah mendengar nada bicara Azura."
"Apa hubungannya nada bicara Azura dengan sayapmu?"
Reyasa berdecak. "Itu hanya perumpamaan, karena aku sangat kaget," jelasnya. "Begitu saja tidak tau. Bodoh sekali."
"Bahasamu saja yang terlalu aneh."
Reyasa tak membalas. Ia memilih untuk segera tidur, karena seperti yang dikatakan Azura, besok adalah hari di mana test Errol akan dilaksanakan. Errol adalah salah satu guru yang ada di Ferezard. Dia menjadi guru yang mengajar tentang kekuatan para Ezard di kelas Teamzard.
"Kau sudah tidur?"
"Diamlah! Besok aku ada test," gumam Reyasa. "Biarkan aku selesaikan ujianku dulu, setelah itu aku akan membantumu."
"Ya, baiklah."
***
"Berani sekali kau mengikuti test ini. Memangnya kekuatan Ezard pemalas sepertimu bisa apa?"
Ini masih pagi. Sangat pagi. Bahkan, matahari saja baru menampakkan seperempat cahayanya. Namun, entah kenapa hidup Reyasa tidak pernah dibiarkan tenang saat di Ferezard.
Dengan disertai senyuman, Reyasa menatap seorang perempuan berambut kuning yang berdiri di hadapannya. Padahal, niat Reyasa berangkat pagi-pagi buta ke Ferezard adalah mencari ketenangan, tapi justru gangguan yang ia dapatkan. Bukan lagi gangguan dari laki-laki berambut hijau yang tidak ia ketahui namanya, sekarang gangguan datang dari perempuan berambut kuning yang tidak ia kenal.
"Kenapa tidak menjawab? Kau tidak bisa melakukan apa pun?" tanya perempuan berambut kuning dengan nada meremehkan. "Ujian tiga bulan lalu pun nilaimu lebih banyak ditanggung oleh kelompok. Seharusnya kau pergi dari sini. Tidak pantas Ezard sepertimu menjadi bagian Ezard kelas atas."
"Kenapa hanya diam? Lawan dia, brengsek!"
Malas sekali mengeluarkan tenagaku untuk melawan. Lagi pula, aku masih ingin tidur, jawab Reyasa dalam hati. Aku berangkat pagi karena ingin tidur di perpustakaan, tapi mahluk kuning satu ini malah menghalangi jalanku.
"Maka dari itu, cepat lawan dia!"
Jangan menghasutku! balas Reyasa masih dalam hati. "Dengar, ya, Nona Kuning. Aku tidak mengenalmu, jadi menyingkirlah, aku ingin tidur."
Perempuan berambut kuning tetap pada pendiriannya. Ia berdiri di hadapan Reyasa sembari bersidekap dada dan menampilkan ekspresi menantang. "Aku tidak akan pergi."
Reyasa menghela napas pelan. "Kenapa makhluk-makhluk aneh selalu menggangguku di sini? Huh ... sepertinya aku memang tidak perlu melakukan pendidikan," gumamnya.
"Bodoh!"
Reyasa tak mengindahkan suara yang hanya terdengar olehnya itu. Ia menatap perempuan di hadapannya dengan tatapan lesu. "Aku benar-benar ingin tidur. Menyingkirlah dari hadapanku!"
"Tidak akan."
Lagi, Reyasa menghela napas. Ia berbalik arah, hendak ke gedung Onezard yang ada di samping kiri gedung tempat belajar Teamzard. Perempuan berambut kuning itu tidak akan bisa menghalanginya kali ini, karena hanya kelompok 1 yang bisa memasuki gedung itu.
"Kenapa tidak dari tadi saja kau kemari?"
Reyasa merebahkan tubuhnya di sofa. "Sebentar lagi para Ezard itu pasti akan datang dan menyuruhku belajar jika aku tidur di sini."
"Benar juga." balas suara tanpa wujud. "Tapi kau sudah membuang waktu dengan meladeni si kuning itu."
"Jika tenagaku sudah cukup, akan kuladeni siapa pun yang menggangguku," balas Reyasa. "Sekarang akan kubiarkan karena aku malas."
Belum lama matanya terpejam, beberapa suara mulai memasuki gendang telinganya. Itu suara saudaranya.
Padahal aku belum bermimpi sama sekali. Kenapa mereka sudah datang? batin Reyasa.
Matheo menggelengkan kepala pelan menyaksikan tingkah sang adik bungsu sekaligus teman sekelompoknya yang sering tertidur itu. Entah apa yang Reyasa lakukan, hingga ia selalu ingin beristirahat.
"Hey! Bangunlah! Kau harus berlatih," ucap Matheo sembari mengguncangkan tubuh Reyasa. "Semalam kau kabur sebelum selesai. Sekarang bangunlah, aku akan melatihmu."
Reyasa bangkit dari tidurnya dengan ekspresi kesal. "Aku lelah. Bisakah kalian membiarkanku tidur sejenak?" ujarnya. "Aku tidak akan bisa menggunakan kekuatanku secara maksimal, jika aku kelelahan."
Matheo menghela napas pelan. "Hhh ... baiklah. Kau bisa tidur sekarang. Nanti aku bangunkan saat waktunya test."
Mendengar hal itu, Reyasa langsung saja kembali berbaring dan berusaha mengarungi alam mimpinya.
"Kita berlatih sedikit di sini," ucap Matheo sembari mendudukkan tubuhnya di sofa yang ada di dekat Reyasa. "Biarkan Reya tidur sebentar untuk saat ini."
Ketiga Ezard lainnya turut mendudukkan tubuh masing-masing di sofa yang lain. Mereka mulai melaksanakan latihan mereka.
"Selain menentukan lulus atau tidaknya kita untuk menghadapi ujian, test kali ini juga akan menentukan apa elemen yang menyatu dengan kita," terang Matheo. "Untuk itu, kita harus fokus."
Cahaya berwarna jingga muncul dari telapak tangan Matheo, membentuk bulatan yang semakin lama semakin besar. Warna itu serupa dengan warna rambutnya. "Sekarang, bulatkan kekuatan kalian. Kita akan saling melemparkan kekuatan, lalu mengubah kekuatan itu menjadi kekuatan milik kita sendiri."
Cahaya dengan warna kuning, hijau, dan biru muda mulai mengisi ruangan itu. Matheo melemparkan bola kekuatannya pada Azura. Dengan sigap, Azura mengubahnya, yang semula berwarna jingga menjadi biru. Tak hanya itu, Azura juga melemparkan kekuatan miliknya pada Savian dan berlanjut terus menerus hingga beberapa saat. Mereka saling melempar kekuatan dan mengubah cahayanya menjadi warna milik mereka masing-masing.
"Hey, bodoh! Bangunlah! Kakakmu sedang berlatih, kau malah tidur."
Aku malas melakukan apa pun. Jadi, diamlah! Sebelum aku membuangmu ke laut, balas Reyasa. Lagi pula, tanpa berlatih pun aku akan tetap berada di posisi Onezard.
"Itu karena kakakmu berusaha lebih keras, hingga nilaimu tidak terlalu berpengaruh pada nilai kelompok."
Aku tau. Maka dari itu, aku harus menggunakan kesempatan yang ada untuk bermalas-malasan.
"Ya, terserahmu saja," balas suara tak berwujud dengan nada pasrah. "Aku jadi penasaran, kira-kira elemen apa yang akan menyatu denganmu."
Memangnya kau tidak tau? tanya Reyasa.
"Tentu saja tidak, bodoh! Kau pikir aku Tuhan?"
Santai saja. Aku hanya bertanya.
"Aku juga hanya menjawab."
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!