Di malam yang gelap dan kelam, rembulan bersembunyi di balik pekatnya awan hitam. Dari kejauhan terdengar lolongan anjing yang lirih menyayat hati, mengiringi proses pemakaman sepasang suami-istri yang tewas secara mengenaskan di dalam rumahnya. Burung-burung malam pun mendadak terbungkam, meratap di malam yang kelam. Angin malam yang dingin dan lembap berembus perlahan, seolah ikut merasakan kesedihan yang menyelimuti area pemakaman. Seekor kucing tersentak dari lamunannya, lantas kabur meninggalkan kerumunan yang tengah berduka. Semerbak bau mawar begitu menyengat di area pemakaman, membuat semua orang bergidik ketakutan.
Para penggali kubur serentak menghentikan kegiatan. Wajah-wajah lelah itu mengernyit dengan hidung yang mengerut ketika semerbak bau mawar merasukinya. Mereka menoleh ke arah suara lolongan anjing yang terdengar; menajamkan telinga, mencari tahu. Akan tetapi, lolongan itu telah lenyap dan bau mawar tak tercium lagi. Semuanya menghela napas panjang, kemudian meneruskan kegiatannya. Malam yang sepi mencekik, kembali dipecahkan oleh suara pacul dan sekop yang terayun menggali tanah.
Kali ini para penggali kubur mempercepat penggaliannya hingga beberapa menit kemudian, dua lubang tanah telah terbentuk sempurna dan siap untuk membenamkan kedua jenazah. Setelah itu, para penggali merangkak keluar dari lubang kubur, namun mereka tidak menemukan keberadaan warga yang berkerumun di area pemakaman. Tidak tampak apa-apa di sekitarnya, kecuali dua buah keranda yang tergeletak sejajar dan batu-batu nisan yang tetap tegak dengan diam di tempatnya, serta dedaunan kamboja yang bergoyang-goyang dengan lemah tertiup angin.
"Apa aku tidak salah lihat?" tanya pria berbadan kurus membuyarkan keheningan. Raut wajahnya setegang rembulan yang bersembunyi di balik pekatnya awan.
Beberapa penggali lainnya tersadar dari lamunan; mereka serentak menggeleng pelan. Tak lama berselang, seorang pria berkepala plontos menjawab, “Tidak salah, mereka semua pergi setelah mencium aroma mawar.”
Yang lainnya mengangguk mengiyakan ucapannya.
"Ba … bagaimana ini? Apa kita tinggalkan saja jenazahnya?" sambung tanya pria berpeci. Terlihat, ia sangat ketakutan.
"Hus, tidak boleh begitu!” tegur si pria kurus, “ayo kita selesaikan saja pemakamannya!"
Tidak ada pilihan lain untuk pergi selain menyelesaikan pekerjaan. Para penggali kubur melanjutkan kembali aktivitasnya menguburkan kedua jenazah hingga tuntas, dan mereka semua kembali pulang dengan langkah cepat.
Sepulangnya para penggali kubur ternyata telah ditunggu oleh sebagian warga yang sebelumnya ikut mengantarkan jenazah. Bersama dengan beberapa orang dari pihak kepolisian, para penggali kubur ikut dimintai keterangan.
Bertempat di balai desa, suasana gemuruh menemani dialog yang diprakarsai oleh pihak yang berwenang. Bisikan-bisikan samar merayap di antara kata-kata, menciptakan aroma kecurigaan yang melekat pada Mawar Merah, yang kini menjadi titik fokus perbincangan.
Sementara pihak berwenang meminta keterangan pada orang-orang yang ditunjuk secara bergantian, dialog antarwarga semakin sengit dalam mengemukakan pendapatnya.
“Aku yakin anak gadis mereka–Mawar Merah–yang menjadi dalang di balik tragedi mengerikan ini. Kita tahu sampai detik ini pun, anak itu tak kunjung menampakkan dirinya,” ujar seorang warga bertubuh gempal mengutarakan pendapat.
“Jangan asal menuduh, bisa saja anak itu menjadi korban yang diculik oleh pembunuh sebenarnya,” sahut pria yang melingkarkan kedua tangan di dada, menolaknya.
“Tak usah berspekulasi, kita serahkan masalah ini kepada pihak yang berwajib. Bukankah mereka sudah ada di sini untuk mengusutnya?” timpal pria botak yang langsung diamini oleh para warga.
Obrolan yang dibumbui oleh intrik dan kecurigaan terus berkembang di balai desa, menciptakan lapisan baru misteri di dalam misteri. Desa ini seakan menjadi panggung bagi drama yang tak terduga, di mana setiap kata dan pandangan dapat menjadi petunjuk menuju kebenaran yang sejati.
Kematian tragis Agung Pramono dan Jasmin Intan menjadi berita yang menggemparkan seluruh desa. Semua penduduk desa terguncang oleh kejadian tersebut, dan rumor cepat menyebar seperti api di semak belukar. Spekulasi mencuat, dan sebagian besar mata tertuju pada Mawar Merah, anak semata wayang dari pasangan yang menjadi korban. Ketika keberadaannya tiba-tiba menghilang setelah insiden tersebut, para penduduk desa semakin yakin bahwa Mawar memiliki peran dalam tragedi itu.
Percakapan berlanjut ke setiap sudut kota dengan bisikan tak pasti dari pemberitaan di media masa, mengaitkan Mawar Merah dengan pembunuhan misterius tersebut. Pada pandangan mereka, Mawar yang lenyap menjadi bukti cukup untuk menetapkan tuduhan. Namun, kebenaran yang sebenarnya masih terbungkam di dalam bayang-bayang, menunggu untuk diungkapkan. Desa yang dahulu tenang dan damai kini dirundung oleh ketakutan dan kecurigaan, menciptakan lapisan kabut misteri yang menyelimuti kehidupan Mawar Merah.
Di balik meluasnya kegemparan dari tragedi yang menyita perhatian publik, ada pihak yang tengah bergembira menyaksikannya. Pihak itu tak lain adalah Baron Martin, seorang pengusaha yang menjadi dalang kematian tragis yang tengah diperbincangkan. Ia duduk dalam kegelapan ruangannya yang mewah, menikmati secangkir minuman keras dengan senyum penuh kepuasan. Sorot matanya yang tajam mengisyaratkan kegembiraan dan kepuasan mendalam. Upayanya untuk menyingkirkan Agung Pramono, pesaing bisnis yang selama ini menjadi duri dalam dagingnya, akhirnya berbuah manis.
Dengan tenang, Baron memutar bola dunia di meja kerjanya, seolah memainkan pertunjukan atas keberhasilan rahasianya. "Semua berjalan sesuai rencana," gumamnya dengan nada dingin. Peta bisnis di dinding ruangannya menjadi saksi bisu dari kekuasaan baru yang berhasil dia raih.
Baron melangkah menuju jendela besar yang menawarkan pemandangan malam yang gelap, dan dia tersenyum lebih dalam ketika mendengar gosip-gosip yang merayap di antara semua orang yang membicarakannya.
Keruntuhan Agung Pramono dan keluarganya telah memunculkan citra kekuasaan tak terbendung pada Baron Martin. Dalam kesunyian malam, senyumnya yang menggoda mencerminkan kepuasan atas keberhasilannya menghapus pesaingnya dari peta bisnis. Sebuah langkah cerdik yang membawanya mendekati dominasi sepenuhnya di dunia bisnis mereka.
Dalam ruangan mewah yang dihiasi cahaya redup, pintu terbuka perlahan. Kedatangan para pembunuh bayaran terungkap dalam penampilan yang dramatis, seperti karakter-karakter dari dunia mafia yang dikenal dengan keanggunan gelap mereka. Senjata-senjata tersembunyi di balik jas hitam mereka, menciptakan aura misterius dan menegangkan.
"Tugas telah selesai, Tuan Baron," ucap sang ketua melaporkan.
Baron Martin menatap mereka dengan seutas senyum kepuasan. “Ya, aku bahagia menyaksikan kegemparan yang memukau. Kerja kalian sangat hebat dan rapi.”
Baron Martin membuka koper emas yang terletak di atas meja, mengungkapkan tumpukan uang yang cukup banyak. Sementara mata pembunuh bayaran tetap dingin, senyum kepuasan di wajah Baron semakin dalam. Namun, di balik kesuksesan yang terlihat, atmosfer ruangan tetap terisi oleh ketegangan yang tidak terucapkan.
"Dengan Agung Pramono dan Jasmin Intan tidak lagi berdiri di jalan kita, kekuasaan akan menjadi milik Anda sepenuhnya."
“Itu semua tidak akan terjadi tanpa andil dari kalian. Bersenang-senanglah dengan semua yang kalian peroleh!”
Sang ketua mengambil koper lalu berbalik pergi bersama anak buahnya.
Saat para pembunuh bayaran menghilang dalam bayang-bayang, Baron Martin kembali duduk di kursinya, tetapi kali ini dengan pemikiran yang jauh lebih dalam. Di dunia bisnis yang keras dan penuh intrik, keberhasilan membuka jalan bagi lebih banyak rahasia dan konspirasi yang mungkin merambah kehidupan sang otak di balik tragedi itu sendiri. Baron Martin.
Sore sebelum kegemparan terjadi di pekatnya malam, suasana di perumahan elit yang berlokasi di tengah pedesaan itu sangatlah tenang dan jauh dari kebisingan kota. Perumahan yang terapit oleh perkampungan dan bernuansa alam itu merupakan salah satu mahakarya dari seorang pengusaha properti bernama Agung Pramono.
Berkolaborasi dengan desainer ternama, Jasmin Intan, yang menjadi pasangan hidupnya selama 18 tahun, ia dan istrinya sukses membangun perusahaan properti terbesar di Nusantara. Kiprah mereka dalam dunia bisnis properti begitu mengagumkan, dengan prestasi menembus pasar Asia dan menjadi pionir dalam pembangunan setiap daerah yang menggunakan jasa perusahaan mereka. Namun, kesuksesan yang luar biasa juga membawa risiko besar, karena mereka harus tangguh menghadapi persaingan bisnis yang selalu penuh intrik dan perselisihan di antara para pengusaha yang tak segan untuk saling menjatuhkan.
***
Keindahan senja melukis warna-warni semesta, menyisipkan kehangatan magis di setiap sudut rumah yang menjadi tempat kediaman Agung Pramono dan istrinya, Jasmin Intan.
Mereka duduk di sofa empuk nan besar sambil bercengkrama penuh keakraban. Seperti biasanya, sepasang suami istri itu akan mengisi waktu luangnya dengan berduaan di dalam rumah. Namun, bukan berarti di rumah itu hanya ada mereka berdua saja, mereka juga memiliki seorang putri yang menginjak usia remaja bernama Mawar Merah.
Nahas, kehangatan keluarga itu harus sirna tatkala pintu depan rumah dibuka paksa oleh sekelompok pria berjas hitam yang melangkah masuk dengan membawa senjata tajam yang tergenggam erat di tangan mereka.
Sontak saja sepasang suami istri itu terkejut mendengarnya. Keduanya lekas berdiri dan menghampiri para pria dengan raut wajah yang begitu tegang.
“Agung Pramono, kami datang untuk menyampaikan pesan dari Baron Martin,” ucap pria bertubuh kekar dengan intonasi yang kuat.
“Siapa kalian, apa maksud semua ini, dan pesan apa yang kalian bawa?” Agung Pramono melemparkan beberapa pertanyaan secara langsung dan lugas.
“Anda ini banyak tanya!” sungut pria yang sama, “namun … terlebih dahulu saya akan menyampaikan pesan darinya, hidup kalian akan berakhir di sini dan sekarang.”
“Kami tidak memiliki masalah dengan Tuan Baron, mengapa dia ingin membunuh kami?” Jasmin Intan mempertanyakan alasannya.
“Anda salah alamat menanyakannya kepada kami, Nyonya. Kami datang hanya untuk menyampaikan pesan dan menjalankannya.” Pria kekar itu mengangkat tangan kanannya memberikan isyarat kepada yang lainnya untuk mengeksekusi.
“Tunggu!” pekik lantang Agung Pramono mencoba mengulur waktu.
“Masalah ini bisa diselesaikan dengan cara lain. Tolong, bicaralah dengan Baron, katakan padanya kita bisa menemui solusi!” imbuhnya.
“Tidak ada negosiasi di antara kita.” Pria kekar melambaikan tangan, menyeru kepada para pembunuh untuk menjalankan tugas.
Suasana menjadi semakin tegang. Ruang keluarga yang sebelumnya menjadi saksi kebahagiaan, kini menjadi tempat terakhir mereka berdua; terseret dalam persaingan bisnis yang kejam. Sementara itu, Mawar Merah yang belum pulang, tidak tahu dirinya berada di ambang kehidupan yang mencekam.
Belum sampai para pembunuh menebaskan senjata, tiba-tiba terdengar suara lantang dari pria kekar yang mendadak menghentikan eksekusi. Para pembunuh langsung menoleh ke arahnya dengan tatapan heran.
“Tidakkah kalian memperhatikan Nyonya Jasmin begitu menggairahkan?” Pria kekar menatap rakus pada pinggul sang nyonya yang begitu montok tengah berdiri dengan merapatkan tubuh pada suaminya.
Para pembunuh langsung mengalihkan pandangan ke arah pinggul Nyonya Jasmin, seperti yang ditunjukkan oleh tatapan si pria kekar. Mereka semua melebarkan mata menatap bongkahan besar yang begitu menggairahkan.
“Bunuh saja kami, tapi jangan kalian lecehkan istriku,” pinta Agung Pramono, membela kehormatan istrinya.
Sayangnya, permohonan Agung Pramono seakan tersapu oleh embusan angin dingin. Dengan kejam, beberapa pria merenggut Nyonya Jasmin dari pelukan suaminya. Agung Pramono–tanpa menyerah–berusaha mempertahankan istrinya dengan kedua tangannya yang melingkar semakin erat memeluknya, tetapi upayanya menjadi sia-sia. Para pembunuh dengan kejam mengayunkan golok-golok mereka secara berulang ke arah kepala Agung Pramono. Tubuh pengusaha properti itu jatuh tanpa daya, ditandai oleh luka-luka keji di sekitar kepala. Nyawanya lenyap seketika di pangkuan sang istri. Sekarang, giliran Nyonya Jasmin yang menjadi sasaran, dengan kedua tangan dan kakinya ditarik paksa oleh para pembunuh yang tanpa belas kasihan menelantangkannya di atas lantai.
Sang nyonya terus menjerit histeris, meronta-ronta, dan mengalihkan pandangan menatap wajah suaminya yang tak lagi dapat dikenalnya karena penuh dengan luka tebasan. Ia lalu dirudapaksa secara kasar di samping tubuh suaminya yang tak lagi bernyawa. Tiba-tiba saja ia berhenti menjerit dan tak lagi meronta-ronta. Bukan karena dirinya mulai menikmati perlakuan keji para bajingan itu, melainkan amarah yang bersemayam di hatinya semakin dalam hingga menembus seluruh saraf di tubuhnya. Wajahnya beralih memandang pria yang menindihnya. Mata sang nyonya melebar menatap dingin penuh amarah pada para bajingan yang tengah menggagahinya.
“Setelah kematianku, aku pastikan kalian dan keluarga kalian akan mengalami kematian yang teramat pedih,” ucapnya begitu dingin dipenuhi dendam kesumat.
Plak, plak! Bugh, bugh!
Bukan jawaban kata yang diterima sang nyonya, melainkan jawaban dalam bentuk tamparan dan pukulan yang keras, merintih dalam derita. Ancaman yang dikeluarkan olehnya kepada para pembunuh yang terjerat dalam nafsu keji sepertinya diabaikan dengan dingin.
Setelah mereka puas, seorang pria bercodet langsung menggorok leher sang nyonya dengan sekali tebasan. Mereka lalu merapikan celana dan bersiap untuk meninggalkan kedua jasad. Akan tetapi, belum lekas para pembunuh keluar dari rumah, terdengar jeritan histeris dari ambang pintu. Seorang gadis remaja berdiri dengan kedua tangan terkepal setelah menyaksikan kedua orang tuanya mati dengan begitu mengenaskan.
“Bajingan! Mengapa kalian membunuh kedua orang tuaku?” murka sang gadis yang tak lain adalah Mawar Merah, anak semata wayang dari kedua tubuh yang tergeletak tak bernyawa.
Para pembunuh saling melirik satu sama lain dengan alis yang terangkat dan mimik wajah yang bahagia. Sang pria kekar terkekeh melihatnya. Terlintas ide menjijikkan dari pikirannya yang kotor.
“Aku yakin gadis ini masih perawan, dan kalian akan bergantian menikmatinya setelah aku selesai merenggutnya,” ucap si pria kekar dengan tatapan dingin.
“Baik, Ketua,” sahut para pembunuh serentak.
“Tangkap gadis itu dan seret dia ke kamar!” perintah sang pria kekar.
Aneh atau mungkin bodoh dalam kekalutan, Mawar bukannya lari meninggalkan rumah, ia malah meluruh ke arah para pembunuh. Sontak saja sang pria kekar yang dipanggil ketua itu dengan mudahnya menangkap tubuh sang gadis, lalu menyeretnya ke kamar terdekat dari ruang keluarga.
Setelah membuka pintu kamar, sang ketua tiba-tiba berhenti lalu menoleh ke arah anak buahnya.
“Kita akan sedikit lebih lama di sini, jadi pastikan tidak ada seorang pun yang mencurigai rumah ini, dan pastikan juga tidak ada CCTV yang merekam kejadian ini, ” ujarnya seraya tersenyum simpul.
Para pembunuh menyeringai lalu berbagi tugas mengamankan rumah dari kecurigaan orang luar termasuk menghapus memori rekaman dari CCTV. Sementara sang ketua langsung menutup pintu kamar dan melakukan aksi bejatnya. Tidak sampai satu jam ia melakukannya, sang ketua keluar kamar dengan wajah yang penuh kepuasan.
“Kerbau Tiga, gadis itu sangat ranum dan capit udangnya begitu menjepit. Nikmatilah!” ucap si ketua dengan senyum mengerikan.
Dengan seringai penuh hasrat, pembunuh yang dipanggil Kerbau Tiga itu terkekeh pelan, lalu memasuki kamar dan menutupnya.
Secara bergantian para pembunuh memasuki kamar hingga sampai pada seorang pembunuh yang bertubuh kurus namun wajahnya sangat mengerikan dengan tato yang terukir hampir menutupi wajahnya, berjalan ringan memasuki kamar.
Mawar Merah yang membisu menatap plafon kamar, tampak seperti mayat hidup yang begitu menakutkan. Tidak ada lagi air mata yang menetes keluar dari sudut matanya: wajahnya pucat; tubuhnya lebam; pakaiannya compang-camping dipenuhi sobekan. Bahkan, tali terpanjang di alam semesta yang mampu mengikat dua gunung miliknya pun hilang entah ke mana. Ditambah pula dengan segitiga tidak sama sisi yang pergi begitu saja meninggalkan tempatnya. Kerbau Tiga yang sudah bersiap melancarkan aksinya menyelingar, sejenak terpaku, namun ia tidak peduli pada kondisi korbannya. Baginya yang terpenting adalah menuntaskan nafsu bejatnya.
Mawar Merah menatap dingin mata pembunuh yang berdiri di hadapannya, sinar kebencian dan tekad pembalasan memancar dari matanya yang tak kenal ampun. Meski tubuhnya tak berdaya, sikapnya tidak terguncang oleh rasa takut yang terus mencakar-cakar jiwanya. Sebaliknya, dalam keheningan sejenak sebelum adegan keji itu dimulai, ekspresi wajah Mawar menggambarkan ketenangan yang aneh, seolah menantang pembunuh tersebut untuk membawa dirinya ke dalam kegelapan tanpa menyentuh sedikit pun esensi kehidupannya.
Di puncak ritual, pria yang wajahnya dipenuhi tato itu mengerang keras dengan kepala yang mendongak ke belakang punggungnya, lalu ambruk di samping sang gadis. Mawar berlari cepat tanpa memedulikan kondisi tubuhnya yang dipenuhi oleh peluh para bajingan yang bergilir merudapaksanya. Meskipun langkahnya begitu berat dengan tubuh terhuyung hampir jatuh, ia berusaha meloloskan diri dari kematian yang memburunya. Baginya, hidup merupakan jalan satu-satunya untuk mencari keadilan dan membalaskan dendam kepada orang-orang yang telah menghancurkan dirinya dan menewaskan kedua orang tuanya.
Meskipun nantinya Mawar berhasil hidup, kondisinya tidak lebih mengenaskan dari kedua orang tuanya yang meregang nyawa setelah dibunuh secara brutal oleh orang-orang yang disinyalir merupakan pembunuh bayaran yang menunaikan tugasnya setelah mendapatkan perintah dari seseorang. Kecurigaan itu bermuara dari tidak ada satu orang pun yang dikenali oleh Mawar. Satu per satu orang yang menindihnya disimpan dalam memori ingatan. Ia bertekad untuk membalaskan dendam kepada mereka semua seraya mencari tahu siapa dalang di balik musibah yang menimpa keluarganya.
Oleh sebab itu, ketika ada peluang untuk melarikan diri, Mawar tidak akan pernah menyia-nyiakannya. Kesempatan itu pun datang ketika seorang pria yang mendapatkan jatah terakhir menggauli tubuhnya ambruk di sampingnya setelah dengan puas menyalurkan hasrat. Pria yang wajahnya dipenuhi tato itu tidak mengetahui akan upaya sang gadis melarikan diri.
Dengan tubuh yang lemas dan bermandi peluh berbau kol busuk, Mawar nekat menerobos pintu kamar dan berlari ke arah pintu dapur. Dan di sinilah dia berada, di jalan setapak yang mengarah ke perkampungan. Dia berniat untuk meminta pertolongan warga kampung yang bersebelahan dengan kompleks perumahan tempat tinggalnya. Akan tetapi, sepertinya harapan untuk meminta pertolongan tidak akan terjadi, dari kejauhan ia mendengar suara derap langkah cepat dari para pembunuh bayaran yang mengejarnya.
“Ya Tuhan, apa pun yang terjadi, tolong, jangan dulu mencabut nyawaku! Aku harus mencari dalang di balik semua ini.” Mawar berdoa penuh harap.
Ia terus berlari hingga tak sengaja kakinya tersandung batu lalu terjatuh dengan keadaan menelungkup di atas tanah merah yang licin. Tak lama kemudian, ia mendengar langkah-langkah kaki yang mendekatinya dengan cepat.
“Ha-ha, mau lari ke mana kau?” cerocos pria bertubuh gempal seraya mencengkeram kedua kaki sang gadis.
“Lepaskan!” jerit Mawar sambil meronta.
Namun bukannya dilepaskan, pria gempal itu membalikkan tubuh Mawar dengan kasar. Kini ia berhadapan muka dengan delapan lelaki yang berwajah garang menatapnya dingin dan penuh nafsu bejat.
“Amboi, dalam keadaan kotor penuh tanah pun, gadis ini sangat menggiurkan!” seru pria gempal menatap rakus sang gadis.
“Tolong …, jangan menodaiku lagi!” Mawar memohon dengan pandangan sayu.
Para pembunuh itu tidak menghiraukan permohonan sang gadis. Mereka semua malah menganggap sang gadis memohon untuk digilir yang kedua kalinya. Apalagi saat melihat pandangan sayu dari si gadis yang sedang mekar-mekarnya itu, mereka tergoda untuk kembali menjamahnya.
“Lihat, Kawan-Kawan! Tatapan cewek cantik ini meminta kita untuk menggilirnya lagi,” celetuk pria berwajah penuh sayatan yang mengering itu begitu bersemangat.
“Kau salah, Kerbau Satu. Dia menginginkan kita untuk melakukannya bersama-sama,” imbuh pria bermata celeng disertai tawa yang tertahan.
Hati Mawar terasa kandas mendengarnya. Dia tahu, petaka belum berhenti menggerogotinya. Dengan perasaan kalut, Mawar menatap para pembunuh dengan tatapan penuh kebencian. Tekadnya untuk membalas dendam semakin kuat tertanam di lubuk sanubarinya. Ia menyeret tubuhnya, berusaha menjauh dari para lelaki biadab itu. Tentu saja upayanya menjadi kesia-siaan belaka bagi mereka yang mengerubunginya. Dengan begitu mudah, mereka menggaulinya beramai-ramai di tengah jalan setapak yang begitu sunyi berselimut kegelapan malam.
Pakaian Mawar yang sobek ditarik paksa hingga lolos dari badannya. Kini, Mawar dalam kondisi tanpa busana, membuat semua bajingan itu terbahak-bahak melihatnya. Tak menunggu lama, si gempal mengeluarkan onderdilnya dan tanpa adanya pemanasan, ia membenamkan onderdilnya menerobos masuk dalam sekali tekan.
Gemeretak gigi geraham terdengar begitu memilukan ketika Mawar merasakan perih yang teramat menyiksanya; membuntang dalam kesakitan yang diterimanya hingga nyaris tak sanggup menahannya. Si gempal merudapaksanya seperti orang kesetanan, meskipun perilakunya membuat setan minder melihatnya. Sambil bergoyang dengan intensitas yang nyaris tanpa rem tangan, ia menjambak rambut, mencekik leher, dan mencium rakus bibir Mawar dengan brutal.
“Jangan menyiksanya terlalu keras, Kerbau Buduk! Dia bisa mati sebelum kami menikmatinya,” tegur pria bermata celeng.
“Sabar, Bajingan! Rudalku masih belum meledak, gadis ini masih sanggup memuaskan kalian meskipun nyawanya melarikan diri,” dengus si gempal yang belum mencapai puncaknya.
“Jangan membunuhnya di sini, terlalu berisiko untuk kita! Setelah kalian selesai, kita akan membuangnya ke sungai. Kita biarkan dia mati terbawa arus. Dengan begitu, kematiannya akan lebih mengarah kepada upaya bunuh diri,” ujar si ketua setelah memikirkannya.
“Baik, Ketua,” timpal si gempal yang langsung mengendurkan siksaannya.
Mawar menangis tanpa suara dan tanpa derai air mata, mendengar rencana keji yang ditujukan kepadanya. Rasa sakit yang begitu menyiksa hingga membuatnya mati rasa, seakan-akan menjadi sosok tak bernyawa yang membiarkan si pelaku melampiaskan kebiadabannya itu. Setelahnya, ia harus kembali menghadapi siksaan dari pihak lain yang kali ini serentak menyerangnya secara bersamaan.
Mereka menyerang sang gadis dengan kejam tanpa perikemanusiaan; memanfaatkan semua celah di tubuh Mawar dengan brutal. Yang tidak kebagian kandang, ikut membantai sang gadis dengan menyiksanya tanpa ampun.
Mawar nyaris tak sadarkan diri dari pergulatan yang timpang itu. Ia menjerit histeris dalam hatinya dan terus memanggil nama Tuhan.
“Ya Tuhan, mengapa Engkau membiarkanku tersiksa dalam neraka yang tak berkesudahan ini? Di mana pertolongan-Mu itu? Di mana diri-Mu Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang itu? Di mana!?” Mawar menatap nanar sambil terus menanyakan keberadaan Tuhan.
Satu per satu onderdil pria menerobos memasuki tubuhnya dan membenamkannya dengan begitu kasar melebihi hewan buas. Mawar nanap bagai mayat hidup, menerima siksaan demi siksaan dengan hati dipenuhi amarah dendam yang membara.
Entah sampai kapan penderitaannya berakhir? Ia terkulai tak sadarkan diri setelah tubuhnya tak sanggup lagi menahan serangan bertubi-tubi dari para iblis yang menyiksanya. Bahkan, ia tak menyadari kapan seluruh tubuhnya hanyut ke dalam arus sungai yang membawanya pergi tanpa tujuan yang jelas.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!