NovelToon NovelToon

Mendadak Menikahi Mantan

1 : Alasan Kenapa Kami Harus Menikah

Di siang yang agak terik, Calista tengah mengontrol jalannya renovasi restoran miliknya. Awalnya semuanya baik-baik saja, tapi kedatangan seorang Sabiru membuat Calista yang ada di belakang restoran bersama seorang mandor proyek, menjadi sangat gugup.

“Berarti nanti di atas dikasih taman lengkap dengan lampu, yah, Mbak?” tanya mandor proyek kepada Calista, tapi yang bersangkutan malah jadi kurang fokus mirip orang linglung sekaligus kebingungan.

“M—maaf, Pak. Tadi Bapak bilang apa? Maaf, tadi saya kurang fokus!” ucap Calista sambil sesekali melirik Sabiru.

Sabiru dengan segala pesonanya memang selalu membuat dunia Calista tidak baik-baik saja. Jantung Calista selalu berdebar lebih kencang di setiap pria berusia tiga puluh tiga tahun itu ada di dekatnya. Terlebih selain mereka yang memang sudah dijodohkan sejak bayi, kemudian sempat dekat bahkan pacaran sebelum akhirnya terpaksa memilih berpisah, Sabiru masih sangat memperhatikan Calista layaknya seorang pasangan yang begitu setia. Tiga tahun berlalu setelah Calista memutuskan hubungan mereka secara sepihak, Sabiru benar-benar masih sama—selalu bersikap layaknya pasangannya, penuh kelembutan sekaligus cinta.

Layaknya kini, Sabiru yang Calista ketahu baru pulang dinas dari luar kota, datang sembari membawa buket mawar merah terbilang besar. Hanya saja, kenyataan Sabiru yang terlihat sangat kelelahan cenderung sakit, membuat Calista sangat mengkhawatirkannya. Wajah Sabiru terlihat pucat, kedua matanya sayu, sementara bibir berisinya tampak kering layaknya orang dehidrasi.

Selain mengawasi Calista, Sabiru juga mengawasi sekitar. Balkon di atas Calista dan memang sedang dibangun, menjadi salah satu sasaran serius pengawasan Sabiru.

Calista yang menjadi salah tingkah, diam-diam juga tidak bisa berhenti memperhatikan Sabiru. Beberapa kali Calista terpeleset hanya karena kesibukannya itu. Hingga Sabiru yang memang selalu tenang sekaligus berwibawa, berakhir menghampirinya sesaat setelah menaruh buket mawar merahnya maupun jas biru gelap dan baru saja pria sangat tampan itu dilepas. Sabiru meletakan semua itu di meja bundar yang ada di sebelah pintu.

“Jangan pakai heels. Pakai sandal saja, toh di restoran sendiri. Ini kakimu terluka,” lembut Sabiru tak segan jongkok hanya untuk memastikan kedua kaki Calista. “Aku siapkan air es buat kompres, ya?”

Ulah Sabiru tidak hanya membuat Calista gugup tak karuan. Karena mandor proyek yang ada di sana juga jadi kikuk dan berakhir tersipu.

Status Calista dan Sabiru memang mantan, tapi pada kenyataannya keduanya masih saling sayang. Termasuk Calista yang sampai detik ini masih sibuk menghindar, sebenarnya wanita berhijab biru toska itu juga masih belum bisa move on dari Sabiru dan juga semua pesona anak dari sahabat baik orang tuanya itu. Masalahnya, Calista memiliki alasan kuat kenapa dirinya harus menghindari Sabiru. Alasan kuat yang membuat Calista harus mengubur dalam-dalam rasa cintanya kepada cinta pertamanya itu.

Demi menghindari Sabiru, Calista sengaja menjawab telepon masuk di ponselnya sembari pergi ke samping restoran. Calista sengaja melakukannya agar jantungnya aman, selain ia yang tak mau terlihat bodoh karena kegugupannya di hadapan Sabiru. Terlebih di setiap Calista gugup menghadapi Sabiru, Calista akan menjadi sibuk bersin dan jika itu sudah terjadi, yang ada Sabiru jadi makin peduli.

“Mbak Calistaaaaaaa!”

Teriakan dari mandor proyek yang Calista tinggalkan layaknya Sabiru, sukses mematahkan langkah Calista. Tepat ketika Calista akan menoleh ke belakang, tubuhnya sudah terlempar setelah didorong sekuat tenaga oleh kedua tangan kokoh Sabiru.

“Innalilahi, Mas Bi!” histeris Calista.

Air mata Calista luruh membasahi pipi. Selain itu, tubuhnya juga jadi gemetaran hebat mengiringi dadanya yang bergemuruh. Sebab alasan Sabiru mendorongnya dan membuatnya berakhir jatuh memang karena balkon di atas dan harusnya mengenai Calista, ambruk menimpa Sabiru setelah pria itu menyelamatkannya.

Keadaan sudah langsung kacau. Calista yang merasa sangat bersalah refleks bernazar akan melakukan apa pun asal Sabiru selamat.

“Mas Bi ... tolong ... tolong bantu bawa ke rumah sakit! Mas Bi, bertahan Mas. Kuat! Aku mohon! Aku benar-benar minta maaf!” Calista sudah tersedu-sedu. Hatinya remuk redam menyaksikan sebagian tubuh Sabiru dipenuhi darah. Hingga lagi-lagi ia bernazar, “Ya Allah, ... apa pun akan hamba lakukan asal Mas Bi selamat! Hamba akan mengabdikan hidup hamba dalam sebuah pernikahan sakral dengan Mas Bi, seperti yang selama ini Mas Bi harapkan!”

Di bantu mandor proyek dan juga karyawan restorannya, Calista memboyong Sabiru ke mobilnya. Wanita berusia dua puluh tujuh tahun itu nekat menyetir mobilnya sendiri, membawa Sabiru ke rumah sakit terdekat. Sepanjang perjalanan, Calista yang masih sangat kacau juga sengaja mengabari kedua orang tua mereka.

Orang tua mereka datang nyaris di waktu yang sama tak lama setelah Sabiru ditangani di IGD. Tulang tangan kanan dan kaki kanan Sabiru patah hingga harus dilakukan tindakan operasi pemasangan pen. Karenanya, orang tua Sabiru sudah langsung mengurus persetujuan tindakan operasi guna mempercepat tindakan dilakukan.

“Mas Bi juga kena cacar. Pantas tadi kelihatan kayak kelelahan khas orang sakit,” lirih Calista tersedu-sedu.

Calista membiarkan tubuhnya didekap erat oleh sang papah seiring tatapannya yang melepas kepergian Sabiru menuju ruang operasi.

Para orang tua tak hentinya menatap sedih satu sama lain. Mereka tak menyangka dan memang masih sangat terkejut atas kecelakaan yang menimpa Sabiru maupun Calista.

“Sesuai nazarku ... aku ingin merawat Mas Bi. Semoga Mas Bi mau menikah denganku. Apalagi Mas Bi juga sampai kena cacar. Duh, enggak kebayang gimana rasanya. Pasti Mas Bi tersiksa banget!” sedih Calista dalam hatinya dan sampai sekarang masih belum bisa menghentikan tangisnya.

Sepanjang Sabiru berada di ruang operasi, juga setelah pria itu akhirnya diboyong ke ruang rawat tapi belum juga siuman, Calista merasa dunianya menjadi berputar lebih lambat. Calista sampai tidak bisa tidur dan menghabiskan waktunya untuk mendoakan Sabiru. Malahan, Calista masih memakai mukena lengkap ketika di pagi menjelang subuh, Sabiru akhirnya sadar.

“Mas ...? Alhamdullilah ....” Calista buru-buru menaruh tasbihnya. Ia beranjak berdiri, kemudian meraih sebotol air mineral yang sudah tersedia di meja nakas sebelah ranjang rawat Sabiru berada.

“Li ... ini beneran kamu?” lirih Sabiru dengan suara yang masih lemah. Pandangannya masih belum sempurna, tapi ia melihat wanita cantik yang memakai mukena putih di hadapannya memang Calista. Sabiru sengaja memastikan karena rasa cintanya yang begitu besar kepada Calista, kerap membuatnya tidak bisa membedakan antara nyata maupun halusinasi.

Calista mengangguk tanpa bisa menyudahi kesedihannya. Ia berangsur membantu Sabiru minum.

Sabiru yang tidak bisa berhenti mengawasi wajah khususnya kedua mata Calista bertanya, “Aku sudah bikin kamu sedih?”

Pertanyaan Sabiru barusan sukses mengaduk-aduk perasaan Calista. Air matanya berlinang seiring tatapannya yang berakhir fokus kepada kedua mata Sabiru. “Nikah, yuk?”

Baru siuman sudah langsung diajak menikah dan itu oleh Calista yang sangat ia cintai, kenyataan tersebut justru membuat Sabiru yakin dirinya sedang bermimpi.

“Mas Bi, ... ayo kita nikah! Aku mohon! Aku ingin merawat Mas. Aku ingin menjalani hidup ini penuh bahagia dengan Mas. Aku ingin menua bersama Mas dan hanya maut yang bisa memisahkan kita!” yakin Calista masih dengan suara lirih sekaligus lembut. Ia agak membungkuk dan bertahan duduk di hadapan Sabiru.

Demi Sabiru yang selalu berkorban untuknya, Calista mengesampingkan alasannya sempat sibuk menghindar pria itu.

2 : Jawaban Sabiru Dan Keluarga Besar

Dengan air mata berlinang, Sabiru tersenyum haru kemudian menyatakan persetujuannya. “Tentu! Ayo kita menikah! Ayo kita sama-sama dalam suka maupun duka. Ayo kita menua bersama, dan benar-benar hanya maut yang mampu memisahkan!”

Mendengar itu, Calista yang sampai detik ini masih sibuk bersin, merasa sangat lega tanpa bisa menyudahi rasa gugupnya. “Alhamdullilah ...,” lirihnya.

“Aku beneran enggak tahan kalau hanya karena dekat-dekat denganku, kamu jadi bersin bahkan bengek enggak karuan begitu,” ucap Sabiru yang refleks menggerakkan tangan kanannya dan bermaksud mengelus hidung Calista. Namun kenyataan tersebut sudah langsung membuatnya meringis menahan sakit mengingat baik tangan kanan maupun kaki kanannya, baru saja menjalani operasi pasang pen.

“Pelan-pelan ... tangan kanan dan kaki kanan Mas, tulangnya patah. Itu dipasang pen. Sakit banget, ya?” balas Calista tidak bisa untuk tidak peduli.

“Yang penting kamu enggak kenapa-kenapa,” lembut Sabiru.

“K—kata siapa?” balas Calista mendadak sedih dan tak lagi menatap Sabiru. Ia tak sanggup untuk sekadar menatap Sabiru jika keadaan pria itu sedang terluka parah layaknya sekarang dan itu karenanya.

“Hm ...? Kamu terluka? Oh, apa gara-gara aku mendorongmu terlalu kuat?” sergah Sabiru yang sampai berusaha duduk demi bisa memastikan kekhawatirannya bahwa Calista terluka karenanya.

Calista buru-buru menggeleng seiring ia yang kembali menatap Sabiru. Pria itu sudah meringis kesakitan akibat gerak berlebihan yang dilakukan. “Aku sakit karena gara-gara aku, Mas jadi—”

“Lebih bahaya lagi kalau justru kamu yang mengalami. Sudah jangan dibahas lagi. Kita lanjut saja rencana pernikahan kita.” Sabiru sengaja mengalihkan pembicaraan. Detik itu juga mata lebar Calista yang awalnya menunduk, berangsur menatapnya.

“Setelah aku sembuh atau setidaknya bisa jalan, ayo kita menikah!” ucap Sabiru serius. “Kamu ingin resepsi dan acara pernikahan seperti apa, aku ikut saja, terserah kamu!”

“Aku mau sekarang saja,” pinta Calista.

“Hah ...?” refleks Sabiru merasa jantungnya seolah langsung copot karena andai apa yang ia dengar memang benar, baginya itu merupakan rezeki nomplok.

“Iya ... agar aku bisa merawat Mas tanpa batasan. Aku ingin merawat Mas dengan leluasa. Karena jika kita belum menikah, menyentuh buat membantu saja kita belum boleh,” yakin Calista refleks menatap dalam kedua mata Sabiru di tengah kesibukannya bersin.

“Nanti aku yang bilang ke mamah papah,” ucap Calista lagi.

“Ini beneran aku yang dilamar?” balas Sabiru masih tidak percaya. “Ulang tahunku masih lama, Li.”

“Mau nikah secepatnya, enggak?” rengek Calista.

“Banget lah! Aku mau banget!” yakin Sabiru yang kemudian berkata, “Biar aku saja yang bilang ke papah mamah!”

“Enggak apa-apa, aku saja Mas.” Calista menunduk dalam dan berharap Sabiru memberinya izin. Karena baginya, setelah semua yang terjadi memohon restu juga bagian dari tanggung jawabnya.

“Baiklah aku ikut kamu saja, tapi omong-omong, papah mamah kita ke mana? Enggak mungkin mereka enggak menunggu kita,” balas Sabiru masih menatap dalam setiap inci wajah cantik Calista yang sama sekali tidak tersentuh rias.

“Di sebelah,” lirih Calista sambil melirik tirai di sebelah mereka.

Detik itu juga Sabiru menahan senyumnya. “Sepertinya mereka sudah mendengar siaran langsung yang kita lakukan. Terlebih mereka selalu jadi yang paling gercep buat setiap kelanjutan hubungan kita!” Kali ini ia sengaja berbisik-bisik lebih dari sebelumnya, seiring lawan bicaranya yang berangsur tersenyum pasrah.

Sesuai kesepakatan, Calista mengabarkan niat baik mereka kepada orang tua mereka yang memang ada di sana. Mereka sungguh di ruangan yang sama dan para orang tua memang sudah kompak mendengar obrolan Calista maupun Sabiru.

“Mau nikah hari ini juga?” ucap pak Excel selaku papah dari Sabiru. Ia menatap setiap mata di sana dan sudah langsung mengangguk khususnya para orang tua dan juga Sabiru. Justru, Calista yang mengangguk paling akhir.

“I—ya!” ucap Calista yakin. Balasan Calista barusan menjadi suara pertama yang membalas pertanyaan dari pak Excel.

“Yang penting ijab kabul dulu karena keadaan Mas Sabiru enggak memungkinkan buat melangsungkan resepsi dalam waktu dekat. Semoga setelah ini Mas Sabiru cepat sehat, dan Mbak Lista juga bisa merawat sekaligus MENCINTAI Mas Biru dengan segenap jiwa,” balas pak Helios dan tak lain merupakan papah Calista. Ia sengaja menggoda putrinya yang sudah langsung tersipu malu, terlebih semuanya termasuk Sabiru sudah langsung tersenyum renyah karenanya.

“Kalau gitu pagi ini juga, Papah cari penghulu dan keperluan lainnya. Acaranya di ruangan ini saja karena keadaan Mas Sabiru memang enggak memungkinkan,” yakin pak Excel sangat bersemangat dan lagi-lagi semuanya setuju.

Tak ada halangan berarti, niat baik Calista dan Sabiru sungguh dilancarkan hingga ijab kabul usai. Keluarga besar mereka menjadi saksi, selain beberapa petugas rumah sakit karena biar bagaimanapun, mereka sengaja izin demi kebaikan bersama.

“Mau peluk lagi ...!” ucap Kim dan merupakan kakak laki-laki Calista.

Calista yang memang memiliki kepribadian baik sekaligus menyenangkan, memang sangat disayangi oleh saudara laki-lakinya. Terbukti, bukan hanya Kim sang kakak yang merasa kehilangan Calista. Karena pernikahan Calista juga membuat Brandon yang terkenal dingin sekaligus cuek, menitikkan air mata.

“Mas Brand, enggak mau peluk juga?” lembut Calista sembari merentangkan kedua tangannya. Ia siap memeluk saudaranya yang selama ini begitu sibuk menyendiri, selain Brandon yang memang selalu tampak kuat padahal ia yakin, sang adik yang juga memiliki kembaran itu sangat kesepian. Dengan mata yang basah, Calista sungguh siap memeluk Brandon yang sangat mirip papah mereka.

“Minggir ih, Boy!” sebal Brandon kepada kembarannya dan sampai detik ini masih memeluk Calista dari belakang mengingat hubungan keduanya yang memang sangat dekat.

“Mas Brand beneran jelmaan papah Helios muda no kaleng-kaleng!” ucap pak Excel sengaja memijat kedua pundak Brandon dan sukses membuat semua yang ada di sana tertawa.

Sebenarnya Calista masih memiliki satu adik, tapi tak sampai hadir di sana. Sosok yang menjadi satu-satunya yang absen dalam acara ijab kabul Calista dan Sabiru. Adalah Hyera selaku satu-satunya saudara perempuan Calista. Kini Hyera masih kuliah di Australia, hingga gadis yang usianya terpaut lima tahun lebih muda dari Calista, menjadi satu-satunya yang absen dalam kebersamaan mereka.

“Andai ada Hyera, pasti kamu yang jadi enggak nyaman, kan?” ucap Sabiru bertepatan dengan Calista yang baru saja kembali setelah menutup pintu, mengantar keluarga besar mereka hingga depan pintu.

Disinggung tentang Hyera yang memang sangat menyukai Sabiru, Calista langsung menjadi merasa canggung.

“Kamu tidur gih. Dari kemarin pasti kamu belum tidur karena terlalu mengkhawatirkan aku, kan?” ucap Sabiru tidak bisa untuk tidak perhatian kepada Calista.

Status mereka sebagai pengantin baru, dan mereka hanya ditinggal berdua oleh keluarga mereka, membuat keduanya khususnya Calista, melakukan segala sesuatunya penuh kecanggungan. Kecanggungan yang manis. Karena bukannya tidur layaknya arahan Sabiru, Calista justru langsung merawat Sabiru.

“Daripada disuapi, sebenarnya aku lebih ingin dipeluk,” ucap Sabiru sambil mengunyah suapan dari Calista dengan tidak bersemangat.

Mendengar itu, Calista yang sengaja memakai masker agar efek bersinnya tak separah andai ia tak memakai masker, langsung deg-degan. Padahal harusnya Calista tahu, hal seperti sekarang bahkan yang lebih, akan mewarnai hubungan mereka. Kini status mereka sudah menjadi suami istri, dan otomatis interaksi lebih akan selalu mewarnai.

“Habisin dulu makannya, habis itu baru ....” Tiba-tiba saja lidah Calista menjadi kelu hanya karena wanita itu akan membahas apa yang Sabiru inginkan.

“Baru ...?” Sabiru yang sebenarnya sudah tahu maksud istrinya, sengaja membuat Calista mengatakannya langsung.

Malu-malu, mengandalkan ajian nekat, Calista berkata, “Peluk!”

“Yes!” ucap Sabiru sangat bersemangat dan langsung membuat Calista kikuk.

3 : Pengantin Baru

Malam makin larut, tapi di ruang rawat Sabiru, pengantin baru itu masih ditawan kecanggungan. Baru saja Sabiru meminta Calista untuk naik ke ranjang rawatnya dan tiduran di sebelahnya.

“Emang enggak sempit? Nanti Mas jadi enggak nyaman karena efek luka terlebih operasi yang Mas jalani saja, sudah enggak karuan.”

“Memangnya tubuhmu sebesar apa? Ini masih sangat muat, sekalian pengin peluk lagi!” mohon Sabiru yang kali ini sampai merengek. Terlebih tak bisa ia pungkuri, luka bekas operasinya sedang terasa sakit-sakitnya.

Tentu Calista tidak bisa menolak karena alasan dirinya membuat mereka menikah secepatnya pun agar mereka bisa melakukan segala sesuatunya dengan leluasa. Karenanya, meski masih sangat canggung dan masih sangat terpaksa, Calista melakukannya.

Sabiru sengaja membangun keromantisan dalam hubungan mereka. Tangan kirinya yang masih bisa bergerak dengan leluasa, sudah langsung merangkul punggung Calista. Sesekali, tangan tersebut juga akan mengelus maupun membelai. Dan selama itu juga, Calista akan memberikan refleks terkejut karena mungkin wanita yang sudah resmi menjadi istrinya itu belum terbiasa. Kini saja selain canggung sekaligus sangat tegang, Calista tak hentinya bersin.

“Coba jangan tegang biar kamu enggak bersin-bersin,” lirih Sabiru sambil menatap serius kedua mata Calista yang berada tepat di bawahnya. Karena kini, jarak wajah mereka tak kurang dari satu jengkal. Namun, Calista yang balas menatapnya langsung sibuk menggeleng.

“Sssstttt!” refleks Sabiru menahan sakit atas keadaan kaki maupun tangan kanannya.

“Mas Bi ... aku panggilin perawat, ya?” sergah Calista langsung siaga. Ia segera duduk, dan Sabiru yang kesakitan dan sibuk menahan rasa sakitnya, berakhir membenamkan wajah di pangkuannya.

“Mas ...?”

“Enggak ... sepertinya sekarang memang lagi masa sakit-sakitnya,” balas Sabiru tetap bertahan pada posisinya, sementara tangan kirinya berpegangan erat pada tepi ranjang.

“Seenggaknya kalau bilang ke perawat pasti dikasih obat atau minimal saran harus gimana-gimananya?” yakin Calista.

“Yang aku butuhkan cuma kamu. Kamu obat sekaligus vitaminku. Aku beneran enggak butuh yang lain asal aku punya kamu dan kamu bersamaku, Li!” yakin Sabiru masih merintih di pangkuan Calista.

“Mau aku peluk lagi? Tapi susah karena Mas saja miring ke kiri,” khawatir Calista sambil mengelus-elus punggung Sabiru.

Calista baru mendekap Sabiru yang akhirnya agak duduk hingga jauh lebih gampang Calista peluk, tapi mendadak ada yang datang menerobos masuk.

“Ada yang datang ...?” lirih Calista sempat mengira yang datang merupakan perawat yang hendak kontrol. Namun, ternyata seorang wanita berhijab layaknya Calista, dan Calista kenali sebagai Yasnia.

Yasnia merupakan karyawan teladan sekaligus orang kepercayaan Sabiru. Masalahnya, cara Yasnia yang asal menerobos masuk tanpa salam bahkan meski kini mereka sudah berhadapan, membuat Calista sangat tidak nyaman.

“Assalamualaikum Pak Sabiru?” sapa Yasnia sambil buru-buru membawa dua kantong karton yang dibawa ke nakas di sebelah. “Sekarang bagaimana keadaan Bapak? Pak Sabiru sudah merasa lebih baik?” lanjutnya setelah meletakan tasnya di sofa kecil dekat nakas. Ia menatap saksama Sabiru yang masih bertahan dalam pelukan Calista.

“Ini aku sama sekali tidak disapa bahkan sekadar melalui tatapan? Memang sih, suasananya memang remang. Namun masa iya, aku yang segede ini enggak kelihatan?” pikir Calista.

“Memangnya ada yang mendesak yah, Yas?” tanya Sabiru susah payah fokus meski kini, sebenarnya ia sedang sangat kesakitan.

“Sebentar, Pak. Saya panggilkan perawat dulu. Bapak kesakitan begitu, saya mana bisa membiarkannya!” sergah Yasnia buru-buru menekan nurse call bahkan meski Sabiru melarang.

Anehnya, sampai detik ini Calista sampai tidak diajak komunikasi oleh Yasnia. Termasuk itu ketika akhirnya suster yang datang dan apa-apa serba Yasnia yang serba tanya sekaligus meminta solusi, pergi.

“Si Yasnia apa banget, sih, ya? Memangnya dia pikir, alasan aku ada di sini dan sampai sekarang masih ditahan-tahan mas Sabiru apa, kalau bukan karena hubungan kami sudah sah? Baru kali ini ada karyawan yang bikin aku ingin ceramah. Caranya beneran enggak sopan,” batin Calista langsung terdiam tak percaya ketika Yasnia dengan tegas meminta Calista pergi dari sana.

“Yasnia!” tegas Sabiru.

“Saya tegaskan lagi, tolong tinggalkan kami sekarang juga karena ada beberapa hal penting yang harus kami bahas!” tegas Yasnia masih dengan keputusannya.

“Yasnia, tolong jaga sikap kamu. Dari awal kamu datang, kamu sudah sangat tidak sopan. Nona Calista istri saya. Kami sudah menikah dan otomatis status Nona Calista sekarang juga bos kamu!” tegas Sabiru tidak bisa untuk tidak emosi. Menahan rasa sakit di lukanya saja sudah membuatnya jadi emosional, ditambah Yasnia yang bersikap seolah wanita itu tuannya.

“Posisi kami masih pengantin baru! Dan saya tegasin lagi, tolong jaga sikap kamu khususnya kepada istri saya! Orang yang tahu sikap kamu pasti akan beranggapan kamu minim sopan santun!”

Calista merasa aneh pada cara interaksi Sabiru dan Yasnia. Selain yang Calista tahu selama hidupnya, Sabiru hanya mengejarnya. Sabiru tak pernah dekat dengan wanita mana pun, sementara status Yasnia Calista ketahu merupakan karyawan Sabiru. Namun setelah Sabiru menegaskan status Calista dan Sabiru merupakan pengantin baru, Yasnia terlihat sangat terkejut bahkan sakit.

“Hah? Mereka sudah menikah?” batin Yasnia benar-benar terkejut. Dadanya sudah langsung terasa kebas sekaligus bergemuruh.

“Si Yasnia sebenarnya kenapa, sih?” batin Calista tak mau pergi dari sana. Tak semata karena Sabiru masih kesakitan, tapi juga karena Calista merasa berhak ada di sana ketimbang Yasnia. Karena selain Calista merupakan istri Sabiru, Sabiru saja marah kepada Yasnia atas sikap karyawan itu yang semena-mena kepada Calista.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!