NovelToon NovelToon

Istriku Tersayang

Bab 1. Fitnah

Brak..!

"Di sini nih pasti tempat perbuatan zina sering di lakukan!" Seorang wanita tiba tiba menggebrak sebuah warung kopi sederhana yang terletak di pinggir jalan.

"Eh Bu Retno, mau ngopi?" Seorang wanita keluar dengan wajah yang nampak tersenyum, namun senyumnya itu nampak agak berbeda dari biasanya.

"Ngopi.. ngopi.. Mulut mu! Kamu pasti menyediakan kopi ples ples kan?" Bu Retno nampak naik fitam, dia menunjuk nunjuk wajah seorang wanita muda di hadapannya dengan tatapan menghina.

"Aduh Bu Retno, kalo fitnah yang masuk akal dong. Mana ada kopi ples ples, yang ada itu pijit ples ples loh.." Wanita muda itu tersenyum meledek.

"Alah, lidahmu itu pandai sekali bersilat! Jangan memutar balikkan fakta!" Bu Retno menunjuk nunjuk wajah wanita itu dengan kasar dan makian yang sangat menyakitkan telinga.

"Aduh Bu, lidahku ini bisa karate juga loh bukan hanya silat. Mau denger?" Dengan santai wanita itu menanggapi ocehan Bu Retno.

"Mama.." Seorang bocah dengan baju seragam kotor dan nampak tangannya sedikit berdarah memanggil wanita muda itu.

"Amza, kamu kenapa nak?" Seketika nampak wajah khawatir dalam ekspresi wanita itu.

"Aira! Hahahah lihatlah! Kau memiliki anak sebelum kau menikah, apa lagi bukti yang kamu mau hah? Anak haram!" Bu Retno nampak sudah menang, tangan Aira terkepal sempurna dan menghunuskan tatapan sinisnya pada Bu Retno.

"Kurang ajar! Kau bisa menghinaku semau mu! Tapi kau tidak berhak mengatai putraku dengan ucapan kotormu!" Aira menatap tangan putranya yang berdarah dan mengusapnya lembut, Aira berjongkok dan mengecup kening putranya. "Tunggu ibu nak." Aira kembali berdiri.

Bugh!

Aira memukul bagian pipi Bu Retno dengan kekuatan penuh, Bu Retno nampak oleng dan mundur beberapa langkah hingga terjatuh.

"Pergi kamu! Sebelum aku membuatmu babak belur!" Teriak Aira, sudut matanya nampak sudah mengeluarkan cairan. Tapi dia harus kuat, dia harus siap menjalani harinya, dia harus tabah demi putranya.

"Dasar Pel*acu*r!" Teriak Bu Retno dengan mata melotot, dia tak terima di teriaki dia juga tidak terima di pukul oleh Aira.

"Hei tolong! Dia membuka warung remang remang!" Bu Retno berteriak teriak hingga beberapa warga nampak hadir.

"Apa? Dia pantas mati!" Ya memang seperti itu, hukum masyarakat yang ada hingga hari ini. Memberikan hukuman dengan cara mereka sendiri, tanpa melihat kebenaran sesungguhnya dan hanya mendengar dari satu sudut pandang saja.

"Saya bukan wanita seperti Itu!" Teriak Aira tidak terima, namun tiba tiba sebuah batu sebesar kepalan anak kecil melayang dan hampir mengenai tubuh Amza.

BUGH!

Aira dengan cepat melindungi putranya, hingga batu yang melayang itu mengenai punggungnya. Terdengar suara Amza yang menangis dan suara lirih Aira yang berusaha menenangkan putranya.

"Bakar warungnya!" Teriak lagi Bu Retno, beberapa warga nampak mengambil bensin dan melemparkannya pada warung Aira. Api yang berasal dari sebuah korek kayu di tangan Bu Retno langsung menyebar.

"Tidak!!" Teriak Aira, namun beberapa warga masih melemparinya dengan batu.

"Mama.. hiks.. Mama.." Amza menangis, dia merasakan tubuh Mamanya yang mulai bergetar.

"Sabar sayang.." Lirih Aira. Ya, hanya sabar yang bisa orang kecil lakukan seperti Aira dan Amza. Tidak ada yang mau menolong ataupun merasa kasihan, semua orang seolah memandang remeh mereka.

"Mama, rumah kita Ma.. hiks.." Tangis Amza pecah saat merasakan rumahnya terbakar, Aira yang menghadap langsung pada warung kecil sekaligus tempat tinggalnya itu terisak dan menyembunyikan rasa perih lahir batinnya, dia memeluk Amza semakin dalam, menyembunyikan wajah putranya agar tidak melihat apa yang sedang terjadi.

Di samping warung Aira berdiri sebuah proyek pembangunan yang hampir selesai, para pekerja di sana nampak berkumpul di bagian dalam. Ada seorang pekerja yang melihat itu dan buru buru memberi tahukan hal tersebut pada rekannya yang lain.

"Hei, kalian lihat tidak warung Aira di bakar oleh warga?" Ucap pria itu, beberapa temannya nampak terkejut.

"Apa! Bagaimana bisa?" Tanya temannya yang lain, Bos besar mereka nampak lewat.

"Bicara apa kalian? Cepat kerja!" Ucap pria itu sangar, kedua anak buahnya menelan saliva.

"Maaf Bos, ta..tapi.. a..nu.." Pria yang bekerja sebagai pegawai kontruksi itu nampak terbata bata.

"Katakan dengan jelas!" Bentak pria itu merasa kesal sendiri.

"I..itu, te..teman kami yang berjualan kopi sedang dalam kesulitan." Ucap salah satu di antara mereka, pria muda dengan kemeja putih dan pelindung kepala itu nampak bingung.

"Penjual kopi?" Pria itu nampak kebingungan hingga tak berapa lama asap menyebar, dan membuat pria itu tertarik dan melihat apa yang terjadi dari kejauhan.

Mata tajamnya dia sipitkan menatap ke arah tempat di mana nampak asap mengepul dan menghitam, membumbung tinggi hingga membuat mata pria itu menangkap sosok seorang wanita yang nampak berlumuran darah.

"Itu mirip Aira, tapi bagaimana mungkin?" Pria itu agak bingung, tapi dia semakin tertarik hingga langkahnya tanpa sadar mendekati tempat tersebut.

"Panggil polisi, sekarang!" Bentak pria itu pada anak buahnya, entah mengapa hatinya tiba tiba terasa risau, dia kian melangkahkan kakinya kian besar dan kian cepat pula langkahnya.

"Ada apa ini?" Tanya pria itu sangar, beberapa warga nampak saling bersitatap dan langsung menatap Bu Retno yang menjadi pemicu kejadian tersebut.

"Dia membuka warung remang remang Tuan." Ungkap Bu Retno, pria itu mengangkat alisnya. Dia melihat punggung yang berlumuran darah, baju yang sobek di bagian punggung dan nampak memeluk sesuatu.

"Aira.." Lirih pria itu, hatinya tiba tiba terasa terbakar ada sebuah rasa yang membuat jiwanya meronta dengan marah yang bergelora.

"Dia adalah istri dan putraku, siapa yang berani melakukan ini hah?" Bentak pria itu mengepalkan tangannya, perlahan dia melihat sosok dalam pelukan Aira yang nampak mengintip.

Mata yang sama persis dengan matanya, wajah yang manis persis seperti dirinya saat kecil. Pria itu mengepalkan tangannya hingga beberapa polisi datang.

"Tangkap mereka semua!" Ucap pria itu langsung menunjuk ke arah para warga, beberapa orang nampak berusaha kabur. Namun sayang,semuanya berhasil diringkus dan di bawa ke mapolsek terdekat.

Pendengaran Aira sudah terasa berdengung, hingga tidak bisa mendengar dengan jelas apa yang sebenarnya terjadi. Matanya sudah lelah dan ingin menutup karena pandangannya kian kabur, tapi tidak. Dia tidak bisa lemah, dia harus kuat demi Amza.

'Ya ampun ini bahkan terlalu mirip bila di katakan mirip saja.' Batin pria yang menatap Amza dengan kagum.

"Pa...paman.. to..tolong.." Lirih Amza, dia merasakan tubuh Mamanya yang kian berat.

Pria itu tersadar dan buru buru mendekati Amza dan Aira, Aira menghirup udara sebanyak mungkin, dia mengumpulkan tenaganya dan mencoba untuk berdiri.

Bab 2. Tuan Pemaksa

"Terima kasih, saya.." Aira mengentikan ucapannya. Mata sayu Aira tiba tiba membulat saat melihat sosok yang berdiri kokoh di hadapannya, pria itu nampak mengulurkan tangan hendak membantunya.

"Saya bisa sendiri." Ucap Aira, menghindar dari tatapan tajam pria itu dan tangan pria yang ingin menolongnya yang terulur, hanya tergantung begitu saja.

"Aira? Ada apa?" Pria itu nampak menunduk, sekelebat ingatan tentang masa lalunya dan Aira nampak tergambar jelas di upuk matanya.

Tujuh tahun lalu, Aira adalah seorang siswi yang periang dan memiliki banyak teman. Aira berasal dari sebuah keluarga konglomerat yang sangat mementingkan aspek pendidikkan bagi para keturunannya.

Diam-diam Aira di sekolah mengagumi seorang pria yang tidak lain adalah kakak kelasnya sendiri. Namanya Karel, dia tampan dan berasal dari keluarga yang sangat ternama.

Aira menaruh hati pada Karel sejak pertemuan pertama mereka saat MOPD di lakukan, Aira merasa sangat bahagia menjalani harinya. Meski, Aira sendiri tahu bila Karel sudah memiliki kekasih yang sangat cantik bernama Luna.

Setelah satu tahun bersekolah dengan riang akhirnya Karel hari itu lulus dan acara perpisahan di lakukan megah di sebuah gedung sekolah tersebut. Aira malam itu tampil cantik dengan gaun putih.

"Aku ingin memeberikan ini untuk kak Karel." Lirih Aira menggenggam sebuah kotak kecil berwarna hitam dan emas, langkahnya pasti menuju arah di mana Karel berada. Mata Aira membulat, dia melihat Karel yang nampak tengah bercumbu di pojok ruangan bersama seorang wanita yang tidak lain adalah kekasihnya sendiri, Luna.

Dada Aira seketika sesak, inilah mungkin yang di namakan patah hati. Mencintai pria secara diam-diam dan dengan satu hempasan dia sudah berjongkok di atas lantai.

Aira mengangkat wajahnya dan kembali melihat apa yang terjadi, Aira menutup matanya dan berbalik. Meninggalkan pria yang dia cintai secara diam-diam dan kekasihnya.

"Aku siapa? Aku bukan siapa siapa! Hiks.. hiks.." Aira menangis di balkon gedung tersebut, namun tiba-tiba tangannya terasa melayang dan tubuhnya langsung menubruk sebuah dada bidang bidang di hadapannya.

"Ma..maaf.." Ucap Aira terbata bata, dia mengusap air matanya kasar dan mengangkat wajahnya. Mata Aira membulat saat melihat Karel kini berada di hadapannya.

"Kak Ka...karel?" Aira panik, dia berusaha tersenyum dengan susah payah. Namun tiba-tiba bibirnya di bungkam oleh bibir Karel yang terasa begitu panas.

"Aira? Tolong saya.." Lirih Karel, Aira mengedipkan matanya tidak mengerti. Usia Aira yang masih belia sama sekali tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada Karel.

"I..iya kak, apapun itu Aira akan bantu." Ucap Aira, tanpa sadar apa yang sudah dia katakan menjadi jurang baginya sendiri.

Tubuh Aira tiba-tiba di tarik oleh Karel menuju ruang bawah, Karel menyeret tangan Aira yang berada di belakangnya menuju sebuah mobil mewah.

"Ke apartemen Pak." Ucap Karel pada sopirnya, Aira mengangkat alisnya. Dia sama sekali tidak mengerti dengan apa yang sebenarnya terjadi malam itu.

Sepanjang perjalanan Karel merasakan tubuhnya yang kian memanas, di tambah setelah melihat keberadaan Aira yang kini berada di sampingnya dengan penampilan yang sangat cantik.

"Aira? Apa kamu punya pacar?" Tanya Karel dengan wajahnya yang memerah, suara Karel juga terdengar serak.

"Ti..ti..tidak Kak." Jawab Aira gugup, nampak senyum terukir di bibir Karel. Mereka akhirnya sampai di area basement sebuah apartemen mewah.

"Ayo!" Ajak Karel menarik tangan Aira keluar dari mobil, Aira mengikuti langkah Karel yang cepat dan terseok-seok akibat hills yang di pakainya.

Mereka sampai di depan sebuah pintu apartemen dan Karel membukanya, Aira menatap apartemen itu yang nampak sangat rapi. Aira masuk tapi hatinya tiba tiba terasa tidak nyaman.

Karel yang merasa Aira ragu langsung menarik gadis itu dan menutup pintu, dia langsung mengunci tubuh Aira di balik pintu dan mengecup bibir Aira penuh gairah.

"Ka..Kak.." Aira berusaha terlepas namun Karel langsung menatap kedua manik mata Aira dan tersenyum lembut.

"Mulai hari ini, kamu milikku. Kamu tidak boleh dekat dengan pria lain, kamu juga dilarang menaruh hati pada siapapun kecuali padaku, apa kamu mengerti?" Karel bertanya namun tidak ada jawaban untuk Aira membantah.

"Panggil aku lagi?" Pinta Karel memaksa, Aira bingung dan memberanikan diri mengangkat wajahnya.

"Ka..k.." Belum selesai mengucapkan kata-katanya Aira sudah kembali di bungkam oleh ciuman panas Karel.

"Panggil aku dengan benar!" Aira menelan salivanya, apa yang harus dia panggil?

"Kamu milikku Aira." Bisik Karel, Aira merasakan sesuatu yang berdesir di hatinya. Karel mengecup kening Aira lama dan dalam.

"Maafkan aku Aira." Bisik Karel lagi dan langsung mengecup bibir Aira rakus, dia juga langsung menyusuri setiap inci leher Aira, merasa ada yang tidak beres Aira buru buru mendorong dada bidang Karel yang kini mengekangnya dengan paksa.

"Kak? Kamu mau apa? Ini gak bener!" Ucap Aira, tak lama air matanya sudah jatuh saat pakaian bagian atasnya sudah di robek, dada Aira keluar membuat Aira cepat cepat membalikkan tubuh, merasa malu.

"Diamlah, ingat sekarang kamu milikku!" Aira menelan salivanya saat tubuhnya berhadapan kembali dengan Karel, mata Karel nampak sayu dan penuh damba.

Plak!

Aira akhirnya memberanikan diri menampar pipi Karel hingga nampak bekas tangannya di pipi Karel, Aira sudah tidak ingin memperdulikan kedepannya. Aira kini sama sekali tidak perduli bila di masa depan Karel akan membencinya.

"Tampar aku sampai puas! Aku bahkan rela bila mati di tangan orang yang aku cintai!" Mata Aira membulat mendengar teriakan Karel yang lebih seperti ungkapan yang dia tunggu selama ini.

"Ka...k, jangan karena nafsu sesaat kamu malah menyatakan cinta pada wanita yang sama sekali tidak kamu inginkan!" Kini Aira yang berteriak, dia meremas kemeja Karel hingga senyum tersinggung di bibir pria itu.

"Aku memang mencintaimu, sudah sangat lama, aku mencintaimu Aira." Bisik lagi Karel, Aira meluluh. Usia Aira yang belia membuatnya berpikiran sempit tentang masa depan. Aira akhirnya memberikan tubuhnya secara suka rela pada Karel yang sudah terbakar nafsu, tanpa paksaan lagi.

Hingga akhirnya harta paling berharga dalam hidup Aira itu terenggut, air mata dan darahnya menjadi saksi rasa sakitnya malam itu, dalam permainan brutal Karel hingga pagi hari.

"Mama?" Amza berhasil membangunkan Aira dan pria yang merupakan Karel itu dari lamunan mereka.

"Iya sayang?" Tanya Aira lembut, dia mengusap kerikil kecil yang nampak menempel di kening putranya.

"Rumah kita Ma?" Amza menunjuk ke arah warung kopi mereka, Karel tertegun. Dia berusaha menarik kesimpulan dari segala hal yang sudah terjadi dan menyusuri benang merah yang kini mulai terurai.

"Ikut saya pergi dari sini!" Paksa Karel seenaknya, Aira tertegun. Sifat Karel yang semena mena dan seenak jidatnya itu masih melekat pada diri pria itu.

"Tidak! Saya ak.."

Cup

Karel mengecup bibir Aira secara langsung, Amza menutup matanya. Aira langsung melotot dan mendorong tubuh Karel untuk menjauhi dirinya.

"Jangan membantah! Atau saya akan melakukan.." Aira tidak ingin mendengar kata selanjutnya dari pria itu dan langsung membungkam mulut Karel dengan kedua tangannya.

"Oke, kita ikut. Jangan katakan apapun!" Aira mengangkat tubuh Amza namun kepalanya tiba tiba terasa memutar dan kembali menurunkan tubuh putranya.

"Sini." Karel mengangkat tubuh Amza dengan ringan dan menggenggam tangan Aira. Dia menarik keduanya menuju sebuah mobil mewah yang terparkir di dekat sana.

"Sebentar, aku tidak salah lihatkan?" Beberapa pekerja kontruksi terpaku melihat pemandangan yang ada, Karel menatap mereka sangar. Sontak mereka menundukkan pandangan mereka tidak berani lagi mengangkat wajah.

"Masuk!" Paksa Karel, Aira menuju ke kursi belakang namun langsung di hentikan oleh Karel.

"Saya bukan supir kamu! duduk di depan. Dan kamu duduk di belakang!" Karel menurunkan Amza dan meminta bocah itu duduk di bagian belakang mobil itu.

Amza terpesona saat melihat bagian dalam mobil tersebut, selama ini Amza dan Aira hidup dalam kesederhanaan yang bahkan lebih ke arah kekurangan. Amza sama sekali tidak menyangka dapat duduk dalam mobil mewah seperti itu. Karel tersenyum puas saat melihat ekspresi Amza yang nampak terpesona.

Karel sangat yakin bila Amza adalah putranya, melihat kemiripan yang ada antara dirinya dan Amza sudah menjadi bukti bila Amza memiliki gen miliknya.

'Kecebongku yang manis, kamu harus bantu aku ya?' Lirih Karel dalam hati, sedangkan Amza terus mengamati setiap senti kendaraan tersebut.

Bab 3. Hasil Tes DNA

Karel membawa Aira pada apartemennya yang dulu, dia membiarkan Amza terus memandangi tempat itu dengan kagum. Sedangkan wajah Aira sudah memerah, dia teringat dengan semua kenangannya dengan Karel di sini.

"Sandi apartemen ini tidak pernah di ganti, kenapa tidak ke sini?" Tanya Karel, Aira tidak menjawab. Dia duduk di sofa dan meremas roknya. Karel mengerti dengan diamnya Aira, dia memasak nasi goreng namun pandangannya justru tertuju pada Amza yang kini malah tertidur di atas karpet bulu.

"Dia sepertiku, saat lelah langsung tidur di manapun tampa lihat tempat dulu." Singgung Karel, mata Aira membulat saat mendengar ucapan Karel, Karel juga langsung membawa Amza masuk ke sebuah kamar dan membaringkannya.

Karel kembali keluar dan memberikan sepiring Nasi goreng buatannya pada Aira, dia juga dengan gesit langsung mengambil kotak P3K dan menggunting baju bagian belakang milik Aira.

Aira memakan nasi goreng yang di buat Karel dengan menahan perih di punggungnya, namun dia juga bisa merasakan kelembutan pria itu. Aira ingin membantah perlakuan Karel, namun dia sangat mengenal watak asli dari Karel yang pasti akan memaksa.

"Malam ini tidurlah di sini, ganti bajumu." Karel susah payah menyembunyikan suaranya yang serak, dia menekankan nada bicaranya dan malah terkesan berbisik.

"Siapa anak itu?" Tanya Karel lagi, nalurinya mengatakan bila bocah itu pasti putranya. Tapi dia ingin mendengar sendiri hal itu dari Aira.

"Dia putra suamiku dulu, suamiku mengalami kecelakaan." Ucap Aira, sebisa mungkin dia menyembunyikan rasa gugupnya dari Karel.

"Hem... tidurlah." Aira mengangguk, dia berjalan menuju kamar di mana Amza berada.

Aira mengganti bajunya dengan kemeja milik Karel yang berada di lemari, sejak tadi Aira sama sekali tidak ingin menatap mata elang itu. Dia takut, dan sangat takut.

Karel mengambil ponselnya, dia mengetik pesan pada seseorang dan mengirimkannya. Akibat kelelahan yang teramat, Aira akhirnya tertidur memeluk Amza.

Dua jam kemudian seseorang datang ke apartemen Karel, nampak wajah pria itu yang kesal. Dia baru saja pulang dari RS dan sudah dapat panggilan lagi dari Karel.

"Kenapa?" Saat pintu terbuka, pria itu langsung to the poin dan menatap wajah Karel yang terlihat sendu.

"Dengan apa biasanya melakukan tes DNA?" Tanya Karel, pria yang tidak lain sahabat Karel itu mengangkat alisnya bingung.

"Rel, kamu kenapa?" Tanya pria itu bingung, namun melihat sahabatnya yang sendu dia langsung menjelaskan tanpa menunggu jawaban Karel. "Pakai darah, rambut, dan segala hal yang terdapat di tubuh seseorang bisa menyatakan DNA nya termasuk tulang." Jawab Dokter tersebut.

"Aksen, tolong lakukan tes hari ini juga. Aku ingin hasilnya pagi besok sebelum mereka pergi. Ayo! Ikut aku." Karel membawa Aksen menuju sebuah kamar dan nampak sosok ibu dan anak yang tengah tertidur pulas.

Aksen mengangkat alisnya, dia menatap bocah itu dan Karel bergantian. Sangat mirip, itulah yang terlintas di benak Aksen.

Karel mengambil sehelai rambut Amza dan tentu saja dengan akar rambutnya yang terbawa. Aksen mengangguk dan kembali keluar dari kamar itu.

"Aku pikir kamu perjaka tua." Singgung Aksen, Karel tidak menjawab dia hanya diam dengan keraguannya.

"Bila aku lihat lagi, sepertinya kalian memang ayah dan anak." Komentar lagi Aksen, Karel mengangguk setuju.

"Benar, tapi Aira mengatakan bila dia bukan putraku. Aku tau pasti ada sesuatu yang disembunyikan Aira hingga tidak ingin mengutarakan kebenarannya." Karel mengungkapkan kegundahan hatinya.

"Oke, besok pagi aku yakin hasilnya keluar." Ucap Aksen menepuk bahu Karel, sebagai seorang pria Aksen juga mengerti bertapa sulitnya berada di posisi Karel. "Mana rambut kamu?" Aksen menarik satu helai rambut Karel dan membawanya bersama dengannya.

"Terima kasih, maaf merepotkan." Aksen mengangkat bahunya, dia pergi dari apartemen itu dan memberikan rambut itu pada anak buahnya untuk di teliti, sedangkan dirinya langsung menuju sebuah rumah sederhana tempat di mana dia menghabiskan waktu untuk beristirahat.

Karel menatap Aira dan Amza yang nampak sangat kelelahan, pasti lelah menghadapi dunia kejam ini hanya berdua saja, pasti lelah karena sudah berjuang hidup selama ini.

"Ugh.. paman?" Amza terbangun dan melihat Karel berada di ambang pintu, dia melihat seisi kamar megah itu dengan tatapan memuji.

"Sini, kita ngobrolnya di luar." Karel membawa Amza yang baru bangun tidur ke bagian ruang tamu.

"Siapa namanya?" Tanya Karel, dia melihat Amza yang sangat menggemaskan namun nampak sangat tertekan.

"Aku Amza paman." Karel tersenyum simpul dan mendudukan Amza, dia melihat luka di tangan bocah itu.

"Sini, biar Papa obati." Mata Amza seketika membulat mendengar panggilan pria tersebut.

"Papa?" Tanya lagi Amza, Karel mengangguk. Dia mengobati luka Amza dengan lembut dan menatap dua bola mata Amza yang nampak bingung dan sedih.

"Kenapa sedih? Bukannya bahagia saat ketemu Papa hem?" Karel berusaha lembut pada Amza agar bocah itu tidak takut terhadapnya.

"Papa, kenapa Papa tinggalin kita?" Kini air mata Amza jatuh. Karel menelan salivanya mendengar pertanyaan itu dari Amza, dalam isaknya Amza kembali bersuara.

"Pa, Mama selama ini selalu kangen Papa, dia suka nangis kalo di tanya tentang Papa, dia selama ini hidup untuk Amza dan mencari uang dengan kesulitan. Apa Papa tidak kasihan pada kami? Kenapa Papa membuang kami?" Seketika pertanyaan dan ungkapan hati Amza menjadi petir yang menyambar hati Karel.

"Maaf sayang, Papa gak akan ninggalin kalian lagi. Papa janji!" Karel tanpa sadar menjatuhkan air matanya dan memeluk Amza dengan hangat.

"Besok pagi, tolong bantu Papa bujuk Mama ya?" Amza juga terisak dalam pelukan Karel dan mengangguk. Kedua orang laki-laki itu meluapkan emosi mereka masing-masing.

Malam itu Karel membuatkan makan malam untuk Amza, mereka akhirnya makan bersama dan membawa Amza tidur di dekat Aira. Karel juga masuk pada selimut yang sama dan memeluk Amza dan Aira.

Saat pagi hari sebelum Amza dan Aira bangun seseorang sudah mengirimkan hasil DNA yang di minta Karel. Dan hasilnya berada dalam harapan Karel, Amza memang putranya.

"Kamu tidak akan bisa lari lagi Aira." Ucap Karel, dia memasak pagi itu untuk Amza dan Aira. Amza agaknya bangun lebih pagi dan menemani Karel memasak.

Aira akhirnya bangun dan melihat kedekatan Karel dan Amza yang tidak biasa. Rasanya hangat, namun dia kembali tersadar.

"Kak Karel, saya dan Amza akan pergi. Terima kasih tumpangannya." Ucap Aira, Karel nampak tidak perduli.

"Hari ini kita menikah, jangan membantah!" Mata Aira seketika membulat, mana mungkin dia menikah dengan Karel. Apa yang akan terjadi nantinya? Apa yang akan orang bilang tentang Karel nantinya?

"Tidak, saya dan putra saya akan pergi. Untuk apa mengatakan hal tidak masuk akal seperti itu?" Aira berkata dengan ucapan kesal dan sangat menekan.

"Jelaskan semua ini, dan kamu bisa memutuskan setelahnya." Karel menyerahkan kertas hasil tes DNA. Aira membulatkan matanya melihat kertas tersebut.

"Katakan yang sebenarnya, kenapa kamu menyembunyikan Amza dari saya?" Tanya Karel dengan suara yang serak.

"A...aku tidak menyembunyikannya, seharusnya kakak tanyakan pada diri kakak sendiri, apa kakak sudah berusaha mencari kita hah? Apa kakak pernah memikirkan nasib kita bagaimana?" Ucap Aira, sebisa mungkin dia menyembunyikan ketakutannya dan berusaha mempertahankan hatinya yang lemah.

"Saya selama ini mencari kamu Aira! Setiap hari saya berat dan terus di hantui kamu Aira!" Kini nada bicara Karel mulai meninggi, Amza yang melihat pertengkaran Mama dan Papanya terduduk lemas.

Amza sama sekali tidak ingin hal itu, dia tidak ingin Mama dan Papanya kembali berpisah. Dia ingin keluarganya seperti keluarga teman temannya, yang ada ayah dan ibu.

"Apa kakak selama ini mencintai aku hem?" Tanya lagi Aira, Karel tersenyum penuh Arti dan menatap Amza yang sudah berkaca kaca.

"Cinta? Untuk apa lagi cinta? Menurutmu apa alasan yang tepat untukku memiliki hubungan lebih denganmu hem? Karena aku lebih dari mencintai kamu Aira." Kini cara bicara Karel lebih melembut, dia melihat Amza yang nampak ketakutan membuatnya merendahkan nada bicaranya.

Aira membulatkan matanya, Amza menggenggam tangan Aira dan menggoyangkannya. Aira menunduk menatap putranya.

"Ma, kita tinggal sama Papa ya? Amza juga pengen kaya temen temen Amza yang lain yang punya Papa, Amza juga pengen Mama punya Papa kaya Mama temen Amza yang lain, Amza mohon Ma..." Air mata Amza hampir menetes membuat Aira seketika terkesiap dan tanpa sadar menganggukkan kepalanya.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!