Agatha (17) adalah anak dari kedua pasangan suami istri yang sibuk dengan dunianya (bekerja). Nama lengkapnya adalah Agatha William. William sendiri diambil dari nama keluarga daddynya. Agatha terlahir sebagai anak tunggal, karena setelah kelahirannya di dunia ini, orang tuanya belum diberikan kesempatan untuk memiliki sang buah hati lagi. Mungkin karena hal itulah yang membuat mereka menyibukkan diri di dunia kerja. Agatha yang terlahir menjadi anak yang bergelimang harta, tak membuatnya sombong apalagi memamerkan kekayaannya. Justru dia merasa malu jika memamerkan kekayaan milik orang tuanya.
Daddy nya, Thomas William (40) sibuk mengurus pekerjaannya di kantor, karena beliau adalah pemilik dari “Thomas Group” dan juga merupakan seorang donatur sama seperti istrinya.
Dan mommy nya, Daria Kamanda (34), adalah wanita sosialita yang juga sibuk dengan kariernya. Beliau (Daria Kamanda) adalah donatur terbesar dari Panti Asuhan “Kasih Itu Berkat”. Tidak hanya itu juga, mommy nya Agatha juga banyak menjadi donatur-donatur baik panti maupun rumah sakit yang ada di kotanya tersebut, sebut saja kota A.
Di usianya yang sudah menginjak 17 tahun lebih beberapa bulan, membuat paras cantik Agatha terpancar begitu nyata bagi siapa saja yang melihatnya. Rambutnya kecokelatan yang sedikit bergelombang, manik mata kehitaman yang begitu memikat, alis tipis bagaikan busur panah, bibir merah merekah dan tipis yang seperti mengandung madu, hidung yang mancung dan lancip bagaikan pisau, dagu yang sedikit terbelah, yang mana itu semua membuat nilai tersendiri bagi Agatha. Sifatnya yang sedikit ketus namun baik, sedikit keras namun penyabar lengkap dengan karakter serta sifatnya yang hangat.
Kendati demikian, seiring bertambahnya usia, kini Agatha menjadi orang yang sedikit pendiam semenjak sering diabaikan orang tuanya. Dalam soal pergaulan, Agatha tidak pernah memilih siapa saja dan dari golongan mana saja yang akan menjadi temannya. Bisa dikatakan, Agatha adalah orang yang tidak pilih kasih dalam memilih teman. Jika di dalam dunia pendidikan, Agatha termasuk dalam kategori rata-rata, tidak terlalu cerdas dan tidak terlalu bodoh, namun cukup untuk menunjang hidupnya ke depan bila sudah memasuki jenjang yang lebih tinggi, yakni kehidupan di dunia universitas.
Banyak anak tunggal yang dimanjakan oleh orang tuanya, namun berbanding terbalik dengan Agatha. Mengingat usianya yang dalam kategori remaja, kehidupannya memang tidak terlepas dari segala macam persoalan di dalamnya. Baik itu urusan pergaulan, percintaan, dan lain sebagainya. Ada yang menyukai dan ada juga yang tidak menyukainya, semua tergantung dari karakter masing-masing.
Suatu pagi di hari senin, adalah awal Agatha memasuki kelas XII. Pagi ini, dia bangun kesiangan, karena semalam dia berkemas untuk keperluan sekolahnya. Dia tak mendengar ketika asisten rumah mengetuk pintu kamarnya berulang-ulang, sehingga membuat si asisten merasa kesal dibuatnya (sebut saja si asisten Bi Momon ya readers😊).
“Nih Non Agatha tidur apa pingsan ya, kok kagak bangun-bangun? Udah diketok-ketok kagak ada sautan sama sekali?” gumam Bi Momon yang merasa bosan karena ulah nona kecilnya.
Alhasil, Bi Momon memanggilnya dengan sedikit menaikan volume suaranya, agar dapat didengar oleh Agatha.
“Non Agatha, buka pintunya dong Non! Udah siang nih. Non pagi ini kan hari pertama di kelas XII, jadi harus semangat,” kata Bi Momon membangunkan Agatha dan memberikan sebuah dukungan.
Karena belum ada jawaban sama sekali dari sang nona kecilnya, akhirnya Bi Momon berteriak.
“Non, kabur Non, ada gempa di atas atap,” teriaknya.
“Eh, kok gempa ada di atap ya?” gumam Bi Momon sambil terkekeh.
Dan akhirnya, tak lama kemudian, Agatha bangun dengan sedikit terkejut karena mendengar kata gempa dari asisten rumah tangganya.
“Aduh, Bi Momon. Ada apa sih teriak-teriak subuh-subuh kayak gini?” tanya Agatha dari dalam sambil menguap dan mengumpulkan kesadarannya, karena dia terlalu lelap akan tidurnya.
Agatha berjalan menuju pintu kamar dan membukanya.
Ceklek! Suara pintu terbuka.
“Ada apa sih, Bi? Teriak-teriak udah kayak manggil tukang bakso aja,” tanya Agatha yang masih menguap berusaha mengumpulkan kesadarannya yang masih tertinggal di alam mimpi.
“Aduh, Non, kalau Bibi kagak teriak mah Non kagak bakalan bangun. Lagian kan Non Agatha pagi ini harus masuk sekolah. Liat tuh jamnya sudah menunjukkan pukul 06.45,” kata Bi Momon sambil menunjuk ke arah jam dinding yang ada di kamar nona kecilnya.
“Haaaaaaaa tidakkkkkkkkkkkkkkkkk.”
Seketika Agatha berteriak sekencang yang dia bisa karena dia lupa akan kegiatannya pagi ini. Teriakan tersebut alhasil membuat Bi Momon menutup kedua kupingnya karena bising.
“Aduh, Non. Kalo mau teriak kasih aba-aba dong, biar Bi Momon bisa pasang kuda-kuda, eh tutup kuping,” cetus Bi Momon sambil cemberut.
“Helehhhh Bi Momon. Mana ada orang teriak kasih aba-aba dulu, Bibi mah ngawur,” celetuk Agatha.
“Hehe, maaf Non. Hampir saja gendang telinga Bibi pecah karena teriakan, Non.” Bi Momon cengengesan.
“Yaudah, Non. Buruan sana mandi! Abis itu siap-siap berangkat sekolah. Bibi duluan ke meja makan ya, Bibi tungguin Non di sana. Okehhhhh, Non?” tukas Bi Momon sambil bercanda dengan Agatha.
“Iya, Bi Mon. Thanks yah, Bi. Kalo gitu aku siap-siap dulu,” lanjut Agatha menuruti perintah Bi Momon.
Bi Momon menjawab.
“Siap komandan!” jawabnya sambil mengangkat tangan layaknya seorang inspektur upacara.
Sepeninggalan Bi Momon, kini Agatha bergegas ke kamar mandi. Dia melakukan ritual mandinya itu dengan sedikit tergesa-gesa karena takut terlambat.
Kini, Agatha sudah bersiap dengan pakaian sekolahnya, menyisir rambut yang sedikit berantakan, dan tidak lupa juga dia menyemprotkan parfum mahalnya ke tubuhnya yang bak gitar Spanyol itu.
Dia menuruni tangga untuk menuju ke dapur, karena dia ingin sarapan.
“Wah, Non.” Bi Momon memutar bola matanya ketika melihat Agatha.
“Kenapa pagi ini Non cantik sekali sih? Wangi lagi. Hehe,” ucap Bi Momon cengengesan.
“Ya iya dong Bi, masa iya aku ganteng. Kan kagak cocok,” celetuk Agatha.
“Yaudah, Bi. Daddy sama mommy ke mana, kok kagak keliatan dari tadi sih?” tanya Agatha seraya melihat sekeliling rumahnya.
Bi Momon menjawab dengan sedikit rasa kasihan, karena pada dasarnya, anak majikannya itu sering kali diabaikan orang tuanya.
“Tuan sama nyonya udah berangkat pagi sekali tadi Non, tepatnya sih subuh kalau jam segitu,” jawab Bi Momon dengan hati-hati.
Agatha mendengus kasar.
“Huhhhhhhh, kenapa mereka sama sekali tak memperhatikan aku ya, Bi?” ucap Agatha sambil berkaca-kaca.
Bi Momon yang merasa kasihan terhadap nonanya, hanya bisa berkata dan meyakinkan Agatha mengenai kesibukan orang tuanya.
“Tuan sama nyonya kan harus bekerja, Non. Itu juga untuk keperluan Non nantinya,” jawab Bi Momon meyakinkan Agatha.
“Yaudah, Bi. Aku gak jadi sarapan, nanti makan di sekolah aja, Bi. Bibi gak usah repot-repot mempedulikan aku,” ujar Agatha karena kesal dengan kedua orang tuanya.
Hi, penasaran ya sama visualnya?😊
Nih Author liatin😊.
1. Agatha William.
2. Welson.
3. Dirgo.
4. Alzio Steward.
5. Nadine.
Bi Momon hanya terpaku mendengar perkataan Agatha. Tak tau apa yang harus dia katakan, sehingga membuat Bi Momon termenung. Agatha yang kesal melihat reaksi Bi Momon, akhirnya membuka suara.
“Bi Momon, kok diem aja sih, gak dijawab kalo orang ngomong?” ketus Agatha kesal.
Suara itu sontak membuat Bi Momon kaget, dan akhirnya jiwa kelatahannya pun muncul seketika.
“Eh copot 182578, ada yang bisa dibantu pak Komandan?” latah Bi Momon karena kaget.
Tak ada jawaban yang Agatha lontarkan kepada Bi Momon. Karena kesal dengan asistennya, akhirnya Agatha langsung keluar menuju mobilnya. Hari ini dia di antar oleh sopir yang ditugaskan oleh daddy nya untuk mengantar ke manapun Agatha pergi atau keluar rumah. Padahal, Agatha sendiri juga mahir dalam mengemudikan mobil mewahnya yang mentereng itu. Setibanya di mobil, dia langsung disambut senyuman hangat oleh sopirnya (sebut saja Mang Judas).
“Eh, selamat pagi Non Agatha. Mari kita berangkat Non!” tutur Mang Judas ramah.
Agatha mendengus lemah, karena dia masih merasa kesal dengan kelatahan Bi Momon. Apalagi setelah mendengar orang tuanya yang sudah berangkat subuh-subuh sekali.
“Hmm, gak usah dibuka pintunya Mang, aku bisa sendiri!” jawab Agatha ketus yang langsung membuka pintu mobil dan membawa dirinya duduk di kursi belakang kemudi.
Mang Judas bergumam karena Agatha dingin terhadapnya.
“Ampun dah ah, punya majikan judes sama cueknya gak ketulungan,” gumamnya sambil membuka pintu mobil, menyusul Agatha yang sudah duluan memasuki mobil.
Di sekolah.....
Gerbang sekolah hampir saja ditutup sempurna oleh satpam sekolah Agatha.
Tetapi, ketika melihat mobil Agatha mendekati gerbang, Pak Satpam mengurungkan niatnya untuk menutup gerbang itu. Karena mengingat mobil yang datang itu adalah mobil anak orang yang sangat disegani dan terpandang oleh masyarakat kota itu.
Pak Satpam memerintahkan mobil tersebut untuk melaju menuju parkiran sekolah, yang letaknya tidak jauh dari gerbang.
Setelah memarkirkan mobil yang dikendarai, Mang Judas berniat turun untuk membuka pintu untuk nona kecil itu, tapi alangkah terkejutnya Mang Judas ketika Agatha melotot ke arahnya.
“Ada apa, Non?” tanya Mang Judas keheranan karena mendapati Agatha yang sudah membulatkan matanya.
“Gak usah dibuka Mang, aku bisa sendiri,” ucap Agatha dingin.
Mang Judas yang mendengar ultimatum dari Agatha, hanya bisa mengangguk sambil bergumam.
“Astaga Tuhan nih anak, kenapa ketus sekali? Padahal saya berniat baik terhadapnya,” gumamnya.
Di dalam ruangan kelas, sahabat serta pacarnya Agatha sudah menunggu dia sejak tadi. Dan untungnya, karena hari pertama di semester pertama kelas XII, sang pengajar atau yang biasa kita sebut guru, belum masuk kelas. Sehingga siswa/i bisa mengobrol antara satu dengan yang lainnya.
Nadine, Maria, Stevanie, Dirgo, Memey, Yadi (sahabat Agatha) dan Welson (pacar Agatha) seketika menoleh ke arah pintu masuk kelas, karena mendengar suara hentakan kaki orang berjalan yang layaknya bak sepatu kuda.
Tak tuk tak tuk. Kira-kira begitulah bunyinya.
Tanpa mereka sadari, suara derap kaki itu adalah berasal dari langkah kakinya Agatha, karena dia terburu-buru dan takut akan hukuman sang guru untuk mengumpulkan sampah dan mengelilingi lapangan sebanyak 5 kali putaran. Hukuman itu adalah hukuman yang paling dia hindari. Jika saja hukumannya berjoget dia pasti menyanggupi, apalagi jika lagunya adalah lagu Cendol Dawet. Hahaha.
“Eh, tuh liat, Gatha udah nyampe. Gue pikir tadi si guru killer itu, ternyata si Gatha,” celetuk Nadine tiba-tiba pada sahabat-sahabatnya.
“Ooiya ya. Gue pikir tadi itu si guru ember yang galak bukan main,” tukas Memey tiba-tiba.
Ucapan Memey barusan, nyaris membuat para sahabatnya tertawa serentak.
“Bukan ember, Memey, tapi killer,” jawab mereka semua.
Karena pada dasarnya, si Memey terbilang siswi yang agak lemot dan nyeleneh. Agatha kebingungan melihat para sahabatnya tertawa yang bagaikan sedang berlatih komedi. Akhirnya dia membuka suara karena penasaran.
“Lo lo pada ngetawain siapa sih, Guys? Happy banget kayaknya,” dengus Agatha, tangannya meraih dan menggeser kursi lalu duduk.
“Itu tuh si Memey. Nadine bilang guru killer, eh dia malah bilang guru ember. Hahaha, kan aneh. Makanya kita-kita ketawa. Betul gak, Guys?” tanya Stevanie pada yang lainnya.
Dan mereka semua menjawab pendapat dari Stevanie.
“Iya Gatha, betul,” jawab mereka sambil tertawa.
Tapi anehnya, si Memey juga ikut menjawab, yang mana membuat mereka semakin terpingkal-pingkal dibuatnya karena ulah si Memey.
Kemudian salah seorang sahabat laki-laki Agatha bertanya mengapa Agatha datang terlambat.
"Eh, Tha, tumben lo datang telat? Biasanya ga pernah loh?” tanya Dirgo.
“Hehe, gue hari ini kesiangan, Guys. Lagian gue udah keasyikan libur sih, makanya sering kesiangan. Untungnya Bi Momon gak lupa bangunin gue. Dia bilang ada gempa atas atap. Hahaha,” jawab Agatha sambil tertawa.
Mereka semua tertawa mendengar kejahilan Bi Momon yang diceritakan Agatha.
“Berarti itu jadi penyelamat lo dong, Tha?” ucap Nadine.
“Ho oh. Coba aja kalau gak diteriakin gitu, pastinya udah terlambat dan menjalani hukuman loh,” timpal Maria.
“Ngeri banget, Guys, hukumannya,” seru Stevanie yang juga ikut mengobrol.
“Emang apaan hukumannya?” tanya Memey polos.
“Lo ke mana aja kemaren-kemaren, Mey? Perasaan peraturan itu sudah ada semenjak kita kelas X loh. Apa lo gak pernah baca peraturannya?” tutur Dirgo panjang lebar. Jika saja Memey bukan sahabatnya sama seperti yang lain, sudah dipastikan Memey akan dijitak oleh Dirgo.
“Kok gue gak pernah liat ya?” ucap Memey bingung sambil mengelus dagunya.
“Makanya jangan kebanyakan makan keong, jadinya lambat, kan. Hahaha,” ejek Dirgo lagi.
“Huhhh! Bully aja terus.” Memey mendengus dan memasang muka merajuk.
“Udah, Dir. Ntar Memey gantung diri gimana coba? Masih mending jika gantungnya di ujung cabe, coba aja jika di pohon jahe. Hihihi.” Maria terkekeh.
Namun lain halnya dengan Yadi, dia masih saja membahas sang asisten Agatha, yang menurutnya sangat kocak.
“Wkwk, parah emang asisten lo, Tha. Eh, tapi lo kan emang sering kesiangan kalo bangun Tha,” ejek Yadi tiba-tiba.
“Helehhhh, lo mah selalu aja ngejekin gue, Yad. Lagian gue karena udah terbiasa libur juga kali.” Agatha mendengus sebel dan memasang muka garangnya.
“Hehe, sorry boss. Jangan marah-marah! Ntar keriputan loh,” pungkas Yadi membela diri.
“Gue comblangin lo sama Memey!” ucap Agatha, namun Yadi tersenyum mendengar kalimat itu.
“Eh, apaan main comblang-comblangin? Ogah gue.” Memey mendekapkan tangannya menandakan bahwa ia tak suka.
“Ciee. Giliran dengar kata jodoh menjodohkan tumben amat tuh cepat nyambung?” tukas Stevanie.
“Wkwk. Ini gara-gara lo, Tha. Gue jodohin lo sama tukang kebun gue!” ujar Yadi membalas ejekan Agatha.
Dan tanpa Yadi sadari, si Welson melotot ke arahnya, karena Yadi selalu saja menjahili pacarnya.
“Upsss, ayanknya melotot, Guys,” ejek Yadi.
“Sorry, Bro, selow Men. Hahaha.” Si Yadi malah cengengesan.
Welson akhirnya membuka suara akan tabiat sahabatnya itu, si Yadi.
“Lo sekali lagi jailin cewek gue awas lo yak. Gue cincangin lo jadi makanan ayam!” Welson mengancam Yadi dengan sedikit penekanan.
Mendengar ancaman yang Welson lontarkan, nyaris membuat sahabat-sahabatnya itu tertawa. Apalagi Memey, dia sampai terpingkal-pingkal dan hampir saja ngompol.
“Hehehe, sorry, Bro. Gue kan hanya bercanda. Lo gak kasian apa kalo gue dicincang, padahal gue belom pacaran loh,” saut Yadi cengengesan hingga kelas mereka dipenuhi dengan gelakan tawa.
🕊️🕊️🕊️
Hari ini siswa/i SMA itu tidak melaksanakan pelajaran seperti biasanya, dikarenakan hari ini adalah hari pertama di kelas XII. Jadi mereka hanya mencatat jadwal pelajaran dan ada sedikit informasi dari wali kelas mereka.
Bel sekolah pun berbunyi yang menandakan waktunya mereka untuk bergegas pulang ke rumah masing-masing.
🕊️🕊️🕊️
Sesampainya di rumah (yang pasti rumah mewah ya readers), Agatha menghentak-hentakkan kakinya karena kesal saat memasuki pelataran rumahnya. Keringat yang sedari tadi bertamu di dahinya, akhirnya menetes juga dan mendarat di wajahnya. Betapa tidak, dia pulang ke rumah harus menaiki angkot. Seragam yang awal mulanya rapi kini semerawut dan acak-acakan tak memiliki pola. Tasnya dia seret layaknya sebuah koper. Ahhhhh, betapa malang dan betenya dia hari ini. Jika saja Mang Judas tidak meninggalkan sekolah dan mengangkat telpon darinya, otomatis dia tidak akan sekacau itu.
“Bi Momon!” panggil Agatha ketus pada asisten rumahnya. Ia lalu duduk di sofa ruang tamu sambil menaikkan kakinya ke atas meja yang ada di depannya.
“Iya-iya, Non. Ada apa?” ujar Bi Momon tergopoh-gopoh sambil membawa gayung, karena Bi Momon baru saja membersihkan WC namun ada panggilan mendadak yang membuat Bi Momon lupa menyimpan gayung.
“Lama amat, sih, Bi?” sentak Agatha sambil mengibas-ngibaskan mukanya dengan majalah yang ada di meja itu. Mukanya kemerahan bagaikan udang rebus akibat kepanasan.
“Bikinin aku minuman, Bi, cepet!” perintahnya pada Bi Momon, “lah, kok malah bawa-bawa gayung segala, sih? Kayak nenek gayung aja, Bi?” ketusnya.
“Iya-iya, Non. Ini tadi abis bersihin kolam renang, eh kamar mandi, Non, itu maksudnya,” jawab Bi Momon latah.
“Udah balik sana, kok masih di sini?” kata Agatha yang kesal akan asisten rumahnya.
Bi Momon berjalan ke dapur dengan sedikit lari-lari kecil, karena dia takut majikan kecilnya tambah ngambek dan kesal. Tetapi Bi Momon terlupa akan sesuatu, yaitu minuman apa yang akan dia buat untuk majikan kecilnya itu. Bi Momon akhirnya putar balik ke ruang tamu untuk menanyakan minuman apa yang Agatha inginkan.
“Lah, kok malah balik lagi, sih, Bi? Mana minumannya?” tanya Agatha sambil melihat tangan Bi Momon ketika Bi Momon menghampirinya.
“Hehe. Anu, Non, tadi Bibi lupa nanya Non mau jamu apa,” jawab Bi Momon sembari menggaruk kan kepalanya yang tak gatal sama sekali.
“Oh My God! Emangnya siapa yang mau minum jamu, Bi? Yang bener dong, Bi,” Rengek Agatha karena jengah.
“Eh, maksud Bibi, minuman, Non,” jawab Bi Momon kikuk, “Non mau minum apa?” lanjut Bi Momon.
“Yasudah, bikinin syrup lemon aja, Bi. Jangan salah lagi! Awas kalo masih salah, ku gantungin di pohon pisang!" ancam Agatha yang malah membuat Bi Momon hampir saja tertawa jika tidak mengingat majikannya itu sedang kesal pada kondisi dan padanya saat ini.
Di dapur...
Akhirnya Bi Momon meloloskan tawanya yang sempat tertunda di ruang tamu. Bi Momon tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepalanya karena ancaman majikannya itu yang dia rasa tidak masuk di akal sama sekali.
“Haduhhhh, untung aja digantungin di pohon pisang, coba aja kalo di pohon jahe.” Seketika Bi Momon menutup mulutnya karena baru saja sadar akan ucapannya yang salah.
“Lah, aku ini gimana to, jelas-jelas jahe rendah dari pohon pisang. Haha, parah cuyy.” Bi Momon bergumam sendiri sambil membuat permintaan Agatha.
Minuman sudah selesai dibuatkan. Akhirnya Bi Momon menghampiri Agatha yang masih setia dengan kakinya yang diangkat ke atas meja.
“Ini minumannya, Non. Semoga tidak asin, ya, Non,” ucap Bi Momon yang sontak membuat Agatha melotot karena kaget.
“What????? Asin, Bi?” teriak Agatha ketika mendengar kata asin.
“Aduhhh, ini mulut kenapa gak ada remnya sama sekali sih, pakai acara asin segala!” batin Bi Momon.
“Aduh, Non, maaf. Bibi kelepasan. Maksud Bibi anu, Non, semoga tidak kemanisan.” Bi Momon berkata sedikit menundukkan kepalanya.
“Kalo ngomong tuh yang bener, Bi, jangan asal nyerocos! Yaudah, sana balik!” pungkas Agatha.
Karena Agatha menyuruh Bi Momon balik ke dapur, Bi Momon pun menuruti perintah Agatha. Namun, belum juga Bi Momon sampai ke tempat peperangannya alias dapur, Agatha kembali memanggilnya dengan sedikit berteriak.
“Bi Momon, tau gak kenapa aku mirip gembel begini? Kok kagak nanya dari tadi sih?” ucap Agatha yang langsung bangkit berdiri dari sofa.
“Eh iya, kenapa Non? Huft..huft!” tanya Bi Momon sedikit ngos-ngosan dan mengambil napas karena mendapati majikannya yang sudah berteriak.
“Lagi kesal sama sial tau! Ini ulah si Mang Judas, ditelpon gak diangkat-angkat. Akhirnya aku pulang naik angkot. Gerah banget tau, Bi!” jawab Agatha kesal.
Bagaimana tidak, dirinya kena marah dan diomeli oleh sopir angkot karena uangnya kurang seribu. Udah gitu dia duduk di antara nenek-nenek tua yang lengkap dengan segala wewangian minyak angin, sehingga membuat Agatha sedikit pusing dan mual. Akhirnya dia terpaksa berjalan kaki menuju rumahnya karena sang sopir angkot tidak mau mengantarkannya sampai ke depan perumahan elitnya.
“Aduh kasian dong, Non. Mau dipijitin gak, Non?” tawar Bi Momon.
“Gak usah. Udah, Bi, sana balik!” usir Agatha sambil mengibaskan tangannya sebagai tanda mengusir layaknya nyonya besar.
Karena melihat suasana rumah yang sepi, membuat Agatha bergumam dalam hati.
“Ke manakah mereka?” gumamnya dalam hati.
Lagi-lagi Bi Momon menuruti perintah Agatha. Namun, belum sampai tiga langkah Bi Momon berjalan, kini Agatha kembali menghardiknya.
“Daddy sama mommy ke mana, Bi?” tanya Agatha lesu dan dengan muka datarnya.
Dia tahu, itu adalah pertanyaan konyolnya. Karena, setiap kali pulang sekolah dia selalu menanyakan hal itu. Dan jawabannya pun tetap sama, orang tuanya sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Terkadang, Bi Momon merasa kasihan dengan Agatha, dia terlihat stress karena barangkali sering ditinggal orang tuanya.
“Kerja, Non, Nyonya di panti dan Tuan di kantor.” Bi Momon menjawab dengan sedikit datar.
Agatha hanya diam mendengar jawaban itu, karena pada dasarnya dia sudah tau akan jawabannya. Namun, rasa rindunya yang membuat Agatha bertanya.
“Oiya, Non, kalau mau makan, makanan kesukaannya sudah siap di sana,” tawar Bi Momon merasa kasihan seraya menunjuk meja makan.
“Gak. Gak usah ngurusin aku, Bi. Orang tuaku aja gak peduli sama aku!” ujar Agatha dengan mata yang sudah berkaca-kaca.
“Ya justru karena itu, Non,” saut Bi Momon dengan sedikit lirih.
🕊️🕊️🕊️
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!