"Jangan main-main kamu sama saya, saya tau di mana tempat kerja kamu! Segera bayar atau teman-teman kerjamu bahkan bosmu akan tahu semuanya!” ancam salah seorang penagih hutang dari aplikasi “Pinjamsaya”.
“Bunganya saja sudah mencapai 25 juta. Saya tegaskan untuk segera membayar tagihan bulan ini agar tidak semakin membesar. Jangan suruh saya untuk menyebar data-datamu!” ancam debt collector dari aplikasi “Pinjammudah“.
“Bayar saja dan jangan banyak tingkah! Jika kamu sampai gagal bayar saya teror kamu dan keluargamu!” ancam salah satu karyawan penagih hutang dari aplikasi “Adakita”.
Dama menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. Ia pusing memikirkan hutang-hutangnya yang sudah hampir mencapai 100 juta rupiah. Padahal, selama beberapa bulan ini ia selalu menyisihkan gajinya untuk membayar tagihannya. Namun, entah mengapa bunganya masih saja membengkak.
“Ini tidak bisa dibiarkan! Aku bisa rugi kalau begini terus. Aku harus bisa membayar lunas tanpa mencicil agar selesai semuanya!” keluh Dama yang sudah tak tahan dengan hutang-hutangnya yang semakin membesar.
Ia terus menggerutu dalam hatinya. Bagaimana tidak, semua hutang-hutang tersebut tak pernah ia nikmati, namun ia yang harus membayarnya. Seakan uang gajinya hanya untuk membayar cicilan tak jelas ini. Entah bagaimana caranya, ada seseorang yang menyalahgunakan kartu identitasnya untuk mengajukan pinjaman di 3 aplikasi sekaligus.
“Dam, kenapa? Kok seperti stres berat, tidak ikut makan siang bersama yang lain?” tanya Yogi, teman kerja Dama yang saat itu menghampiri meja Dama.
Dama menggeleng. Ia menceritakan keluh kesahnya kepada teman baiknya di kantor itu. Teman yang dipercayanya tak akan mengumbar masalahnya pada orang lain.
Yogi yang ikut miris melihat nasib Dama, menyarankan agar Dama segera membayar lunas hutang-hutang tersebut agar tagihannya tak semakin membengkak. Yogi juga meminta agar Dama meminta tolong pada keluarganya di kampung halaman untuk membantu membayarkannya.
“Mereka tidak tahu dan jangan sampai tahu masalah hutang ini, Yog, aku takut ibuku bisa jantungan,” tolak Dama semakin pusing memikirkan bagaimana cara membayar hutang-hutang ini.
Mereka tampak diam dan berpikir cara lain.
Tak lama, Yogi, seolah mendapatkan ide baru. “Tunjangan hari tua 100 juta rupiah!”
Dama memandangi temannya itu. Tatapannya penuh harapan kosong karena salah satu syarat pengajuannya tak bisa ia penuhi. Karyawan yang bisa mengajukan pencairan dana tunjangan tersebut harus lah berstatus menikah, sedangkan ia sendiri masih sendiri, meskipun masa kerjanya sudah mencapai 7 tahun. Ia juga tak pernah terpikirkan untuk mencairkan uang tunjangan ini saat masih bekerja, karena di kantornya tak ada sistem pensiun, sehingga tunjangan itu akan ia cairkan ketika sudah mendekati usia 50 tahun, di mana akan ia gunakan untuk menemani masa tuanya.
“Ya ‘kan hanya 1 syarat itu saja yang belum, yang lainnya ‘kan sudah. Masa kerjamu sudah di atas 5 tahun, kamu juga bisa saja menulis hitam di atas putih yang menyatakan kamu tidak akan pernah mengundurkan diri dari perusahaan sampai 30 tahun ke depan. Apalagi, kamu sebagai ketua tim riset pasar, aku yakin karirmu akan terus naik, jadi kamu tidak akan terbesit untuk resign,” jelas Yogi meyakinkan Dama.
“Mudah lah mencari istri, tinggal pilih saja wanita yang kamu mau,” lanjut Yogi.
Dama termenung memikirkan perkataan Yogi. Wanita mana yang akan dinikahinya, sedangkan selama merantau ke Jakarta ia sudah 3 kali gonta ganti pacar, namun tak ada satu pun yang lanjut sampai ke pernikahan. Ia juga kebingungan karena tak mungkin jika tiba-tiba memacari seseorang dan langsung menikahinya agar ia bisa segera mencairkan dana tersebut. Semua membutuhkan proses yang panjang, karena jika asal pilih dan ternyata tak cocok, hanya akan menimbulkan masalah di kemudian hari. Dama pun semakin stres.
Karena ingin fokus memikirkan masalah hutang yang semakin serius, Dama memutuskan cuti untuk pulang ke kampung halamannya. Ia ingin rehat sejenak dari rutinitasnya di ibukota agar bisa berfikir jernih. Tak pakai lama, Dama segera mengurus tiket kereta untuk kepulangannya besok.
###
“Loh, Dam. Kamu pulang kok tidak memberi kabar dulu?” sambut sang ibu yang terkejut anak lelakinya tiba-tiba pulang ke rumah.
Dama mengelak dengan dalih ingin memberi kejutan pada ibunya.
“Naik apa, Dam? Yuk duduk, untung tadi Ibu masak agak banyak. Biasanya Ibu masaknya cuma untuk berdua sama mbok Sum,” lanjut ibu Dama.
“Naik kereta, Bu,” jawab Dama singkat.
Ibu Dama mengernyitkan dahinya. Tak biasanya Dama mau naik kereta. Namun, ia tak mau banyak tanya karena anaknya terlihat lelah. Lagi pula, mau naik pesawat maupun kereta, keduanya sama-sama membawa anaknya pulang ke rumahnya.
Setelah sedikit mengobrol sambil sarapan, ibu Dama meminta anaknya untuk beristirahat setelah perjalanan. Dalam hati seorang ibu, ia sedikit banyak merasakan anaknya tak seperti biasanya yang riang ketika sampai rumah. Namun, ibu Dama tak ingin menduga-duga, dan hanya bisa mendoakan semoga anaknya selalu baik-baik saja.
###
Siang harinya, ibu Dama yang sudah siap dengan kebaya dan riasan di wajahnya, berpamitan akan pergi ke acara resepsi salah satu kerabatnya. Dama menawarkan untuk mengantarkan, namun ibunya menolak. Ibu Dama ingin anaknya itu tetap beristirahat dahulu, lagi pula tempat resepsinya cukup dekat dari rumah.
Hanya 10 menit perjalanan dengan ojek, ibu Dama sampai di tempat resepsi.
“Sarah!” panggil seseorang yang memanggil namanya.
Ibu Dama menoleh ke belakang. “Lia? Ya ampuuunnn.”
Mereka pun saling bersalaman, berpelukan, dan cium pipi kanan kiri karena sudah lama tak berjumpa. Terakhir mereka bertemu adalah saat Bu Lia melayat ke kediaman rumah Dama karena ayahnya meninggal saat Dama baru masuk SMA. Setelah itu, mereka tak pernah lagi bersua.
Bu Sarah memandangi seorang gadis di sebelah Bu Lia. “Jangan bilang ini Aluna?”
Bu Lia hanya tersenyum mengangguk. Aluna dengan sopan dan penuh hormat mencium tangan Bu Sarah. Aluna kemudian menanyakan kabar Bu Sarah.
“Baik, Sayang. Kamu cantik sekali sekarang. Kamu apa kabar? Kerja di mana sekarang, Nak?” tanya Bu Sarah pada Aluna.
“Aluna kerja di Jakarta, Bu,” jawab Aluna lembut.
“Sama dong sama Dama, dia juga baru pulang tadi pagi. Masih ingat Dama ‘kan?”
Aluna seakan tak bisa membohongi ekspresinya untuk berpura-pura tetap tersenyum ketika mendengar nama Dama.
...****************...
“Lia, mumpung Dama lagi di rumah, kita kumpul yuk, sudah lama kita tidak bertemu. Apalagi semenjak anak-anak SMA, kita yang dulunya sering bertemu jadi terpisah. Lama juga kita tidak ngobrol,” pinta Bu Sarah.
Bu Lia seperti sependapat dengan saran Bu Sarah. Ia juga rindu ingin melihat Dama yang sekarang. Namun, beda halnya dengan Aluna yang seperti tidak ingin bertemu dengan Dama, teman semasa SMP nya yang sering dijodoh-jodohkan dengannya hanya karena fisik mereka berdua yang selalu menjadi bahan candaan teman-teman lainnya.
Selesai acara resepsi, mereka sempat mengobrol sedikit untuk sekedar update kehidupan dan memutuskan untuk kembali bertemu nanti sore di rumah Aluna. Sekaligus ingin menjenguk ayah Aluna yang beberapa bulan ini sedang dalam kondisi kesehatan yang kurang baik. Bu Lia dan Bu Sarah begitu antusias dengan pertemuan ini.
Hingga ketika sampai di rumahnya, Bu Sarah begitu bersemangat bercerita pada Dama tentang pertemuannya dengan Aluna dan ibunya. Ia juga meminta Dama untuk ikut bertemu mereka nanti sore. Sedikit membujuk, karena Dama tak bersemangat ketika mendengar nama Aluna, si bocah gembul zaman SMP.
“Kamu tau, Aluna cantik sekarang, lucu lagi karena dia tembem. Dia juga tidak segendut dulu saat kalian masih sekolah,” ujar Bu Sarah memberitahukan keadaan Aluna saat ini.
Bagi Dama, bayangannya terhadap Aluna masih sama, si gembul.
###
Ketika membuka pintu, Bu Lia terpesona melihat ketampanan dan kegagahan Dama. Teman SMP Aluna yang dulunya terkenal kurus, dekil dan hitam. Kulit tubuh Dama bahkan terlihat bersih dan cerah, badannya juga ideal. Dama benar-benar berbeda.
“Ayo ayo silakan masuk. Wah, kamu semakin dewasa semakin tampan ya, Dam. Masih ingat Ibu?” tanya Bu Lia memastikan Dama masih mengingat dirinya juga Aluna.
Dama mengangguk tersenyum dan mencium tangan Bu Lia.
Saat mereka sudah berada di ruang tamu, Aluna menghampiri mereka bertiga dengan mimik muka yang tak bersemangat.
Ketika ia sudah mendekat ke sofa, matanya tertuju dan terhenti pada Dama. Begitu pun dengan Dama yang tak berkedip sedetik pun saat berpandangan dengan Aluna. Di mata Dama, gadis di hadapannya itu adalah gadis cantik nan imut. Badannya tak terlihat gemuk, hanya saja pipinya masih terlihat tembem. Dama juga sepintas merasa familiar dengan wajahnya karena seperti sering melihatnya.
Seakan ragu apakah gadis yang dilihatnya benar Aluna, Dama dengan percaya diri berceletuk. “Kak Kana ya?”
Raut muka Aluna berubah menjadi kesal. Bu Lia dan Bu Sarah justru tertawa dengan celetukan Dama. Ibu Aluna itu segera meminta Aluna untuk duduk di sampingnya dan memperkenalkan Aluna pada Dama.
“Si Kana sudah menikah, Dam. Ikut suaminya ke Bali sekarang. Kalau yang ini, Aluna, temanmu dulu. Dia beda ya, Dam sekarang,” ucap Bu Lia penuh senyuman.
Aluna masih sama dengan mimik muka kesalnya pada Dama. Ia teringat akan ejekan Dama saat mereka 1 sekolah dahulu. Dama sering mengejek Aluna tak secantik kakaknya, Kana. Ia terlihat seperti anak pungut karena Kana terlahir menjadi perempuan manis, putih, tinggi, cantik, dan langsing. Berbeda dengan Aluna yang gemuk dan kulitnya yang sedikit sawo matang.
Melihat ekspresi Aluna yang kesal, Bu Sarah buru-buru meminta maaf pada Aluna atas celetukan Dama. “Biasa, Lun, Dama selalu suka bercanda. Dari dulu begitu ‘kan. Mungkin Dama terpesona melihat kamu yang begitu cantik sekarang, jadi dia tidak menyangka kalau itu kamu.”
“Iya, Bu. Heran aja kenapa dia masih sama menjengkelkannya,” ujar Aluna dengan ekspresi menggemaskan.
"Maaf, Lundut, aku hampir tidak mengenalimu sekarang,", ujar Dama semakin mengejek Aluna.
Seisi ruangan pun tertawa melihat Aluna yang tampak semakin kesal.
Bu Lia pun menyudahi tertawa mereka. Ia kemudian memberitahu Dama bahwa Aluna baru saja bekerja di Jakarta selama 3 bulan ini. Aluna memang sengaja pulang karena ingin menemani ibunya ke acara resepsi tadi siang, juga ingin melihat keadaan ayahnya.
“Oh iya, nanti sebelum pulang aku lihat Mas Hadi, ya. Aku baru tahu kalau beliau sakit. Sampai Kana menikah saja, aku baru tahu sekarang,” sahut Bu Sarah.
Bu Lia tersenyum mendengar niat baik Bu Sarah yang ingin menjenguk suaminya, yang juga membawakan buah.
“Ibumu tadi bilang kalau kamu juga kerja di Jakarta. Tahu gitu, Ibu bisa menitipkan Aluna sama kamu, Dam. Ibu tidak tega anak gadis merantau di ibu kota, sendirian pula,” curhat Bu Lia.
Bu Sarah seakan setuju dengan curhatan Bu Lia, ia kemudian menanyakan kantor tempat Aluna bekerja, juga kosnya di sana, setidaknya, agar Dama juga bisa diandalkan ketika Aluna membutuhkan bantuan.
“Di PT Merald Foods, Bu Sarah,” jawab Aluna singkat.
Dama yang sedang minum pun tersedak mendengar jawaban Aluna. Bagaimana tidak, Dama juga bekerja di sana dan tahun ini adalah tahun ke 7 ia bekerja di perusahaan itu. Bu Sarah yang juga menyadari hal ini pun, mengatakan bahwa Dama juga bekerja di sana sudah lama, dan meminta mereka bisa berangkat bersama nanti.
“Apa kalian tidak pernah bertemu di kantor?” sahut Bu Lia.
Dama kembali mengingat perempuan yang pernah dilihatnya itu saat di kantor, yang ternyata adalah Aluna, begitu pun dengan Aluna yang familiar ketika berpapasan dengan Dama, namun tak berani menyapa apalagi memanggil. Mereka benar-benar tak mengenali satu sama lain, meski terasa sangat familiar. Mereka juga tak pernah bertemu dalam 1 meja meski berada dalam 1 divisi dan ruangan yang sama. Hal itu karena Dama dan Aluna berada di 2 tim yang berbeda. Dama yang merupakan ketua tim riset pasar, sedangkan Aluna masuk ke dalam tim pengembangan produk.
“Kalau begitu kenapa tidak menikah saja, ‘kan mereka sudah saling kenal, secara umur juga sudah seharusnya. Biar ibunya Aluna juga tenang karena kamu bisa menjaga Aluna di sana. Dama juga sudah ada rumah kok meski tidak besar dan masih nyicil, jadi biar Aluna juga aman tidak perlu ngekos,” celoteh Bu Sarah membuat Dama kembali tersedak.
Bu Lia juga mengungkapkan keinginannya agar Aluna segera menikah, karena usia anak perempuannya itu yang hampir mencapai 30 tahun. Usia yang sudah dianggap matang, apalagi bagi seorang perempuan. Agar ayah Aluna yang tidak sesehat dahulu, masih sempat menjadi wali nikahnya.
"Sarah, tahu tidak? Sebelum kita bertemu hari ini, beberapa hari lalu aku sempat teringat Dama dan ingin dia bisa dekat dengan Aluna. Eh tahunya semesta mempertemukan kita," sahut Bu Lia.
Bu Sarah sumringah seakan mendukung pernyataan Bu Lia. Mereka semakin yakin bahwa memang bisa saja Dama dan Aluna berjodoh. Tidak ada yang kebetulan di dunia ini, termasuk pertemuan mereka.
Aluna memandangi ibunya dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, ia juga ingin segera menikah seperti teman-temannya yang lain, tanpa perlu melalui proses pacaran yang baginya terasa melelahkan. Namun di sisi lain, kenapa harus Dama, orang yang dahulu saling membenci dengannya. Meskipun sekarang, Dama cukup tampan untuknya.
Dama yang juga ingin segera menikah agar bisa segera mengajukan pencairan tunjangan masa tuanya, seakan mendapat jawaban dari masalahnya. Apalagi, jika dengan Aluna, ia tak perlu melakukan pacaran, artinya, ia bisa segera menyeleseikan hutangnya. Sebenarnya, Aluna adalah sosok yang baik dan lembut juga pandai di kelas, hanya saja memang dulu mereka saling menghindar bahkan membenci karena tak ingin dijodoh-jodohkan oleh teman-teman mereka. Tetapi, semua itu seolah berubah ketika melihat perubahan Aluna sekarang karena menurutnya, Aluna tak terlalu buruk untuk menjadi istrinya.
“Dama setuju!”
...****************...
Setelah melalui diskusi panjang dan matang dalam 2 hari setelah pertemuan itu, Aluna dan Dama juga keluarga mereka setuju untuk mengadakan pernikahan mereka. Terlebih lagi, masing-masing keluarga hanya ingin acara yang sederhana saja. Pernikahan yang hanya digelar dengan akad, dan dihadiri oleh teman-teman dekat, serta keluarga besar dan kerabat.
Tak lupa, Aluna dan Dama juga sempat mengobrol sebentar sebelum memutuskan untuk mematangkan rencana pernikahan ini.
“Kamu serius mau nikah sama aku?” tanya Aluna memastikan Dama tak sedang bercanda.
“Meskipun kamu dulu begitu, tapi setidaknya sekarang kamu tidak malu-maluin kalau diajak ke kondangan,” jawab Dama cuek.
Melihat ekspresi Aluna yang datar dan penuh tanya juga kesal, Dama buru-buru membenarkan cara duduknya dan tampak berpura-pura terus tersenyum dan ramah di depan Aluna agar rencananya untuk segera menikahi Aluna berjalan lancar.
“Maksudku begini, Lun. Siapa sih yang tidak ingin menikah, apalagi usia kita sudah mau 30 tahun, teman-teman kita bahkan sudah punya 2 anak. Dan di usia kita saat ini, pasti malas juga rasanya kalau harus pacaran, putus, pacaran lagi, putus lagi. Inginnya pasti langsung menikah aja, ‘kan banyak juga yang mulai pacaran setelah menikah karena mereka menikah hanya melalui perkenalan yang singkat, sedangkan kita malah sudah kenal dari SMP,” jelas Dama meyakinkan Aluna.
Ada benarnya juga ucapan Dama, Aluna semakin yakin bahwa keputusannya untuk menikah dengan Dama adalah pilihan yang tepat. Mereka juga telah mengenal lama, juga orang tua mereka yang sudah saling mengenal baik, hingga rasanya tak perlu ada kekhawatiran akan terjadi sesuatu yang buruk di kemudian hari. Apalagi, menikah tanpa pacaran adalah salah satu impian Aluna. Mungkin, 1 doanya sedang dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa.
###
Hanya berselang 1 minggu dari pertemuan kala itu, pada hari ini, hanya dalam hitungan beberapa menit ke depan, Dama dan Aluna akan menikah. Sengaja pernikahan ini disegerakan karena cuti Dama hanya 7 hari kerja, di mana esok ia harus sudah kembali ke tanah rantau, untuk memulai rutinitas kerjanya pada hari Senin lusa. Sedangkan Aluna, terpaksa memperpanjang cutinya dibantu oleh Dama. Statusnya yang masih sebagai karyawan baru, tak elok rasanya jika baru 3 bulan bekerja ia harus mengambil cuti lama.
Perasaan campur aduk dirasakan keduanya, deg-degan, cemas, khawatir, bahagia, takut, semua menjadi satu. Di satu sisi, Dama semakin merasa masalahnya akan segera berakhir. Namun, di sisi lain, ia tak menyangka akan menikah secepat ini, dengan perempuan yang sama sekali tak dicintainya. Meskipun begitu, hatinya seakan merestui pernikahan ini. Entah mengapa, meski belum ada perasaan, tetapi rasanya seolah Dama akan menikah dengan wanita yang diinginkannya.
Begitu juga dengan Aluna yang tak menyangka akan segera menjadi seorang istri di waktu yang tak pernah ia bayangkan. Meski menikah dengan Dama, laki-laki yang tak dicintainya, ia masih sangat berharap bisa menikmati kehidupan setelah menikah dengan penuh cinta. Aluna seakan begitu menyambut pernikahan ini.
“Saya nikahkan dan saya kawinkan, anak gadis saya Aluna Rayana binti Hadi Sumito dengan saudara Dama Putra bin Agus Wiyanto dengan mas kawin berupa seperangkat alat sholat, uang tunai sebesar 10 juta rupiah, dan perhiasan dengan berat 7 gram, dibayar tunai!” ucap ayah Aluna yang menjadi wali nikah anak gadisnya.
“Saya terima nikah dan kawinnya Aluna Rayana binti Hadi Sumito dengan mas kawin tersebut tunai!” jawab Dama hanya dengan 1 tarikan nafas yang disambut teriakan para tamu undangan dalam acara akad tersebut.
“Sahhh.”
###
Selama 2.5 jam acara akad tersebut berlangsung, para tamu undangan berhamburan pulang setelah mereka memberikan ucapan selamat, berfoto, dan menikmati hidangan yang disediakan, juga saling mengobrol satu sama lain.
Hari ini, Aluna ikut pulang di kediaman rumah Dama, dan akan kembali ke rumahnya esok hari saat akan berpamitan untuk kembali ke Jakarta. Bu Sarah dengan penuh kasih sayang menyambut kehadiran menantu satu-satunya itu, karena adik Dama sudah meninggal saat usia balita. Ibu Dama itu terasa begitu senang ketika rumahnya ramai karena bertambahnya 1 anggota baru. Semejak ayah Dama meninggal, rumahnya memang terasa sepi.
“Ibu senang kita bisa tinggal berempat, meski besok kalian sudah pergi lagi dan Ibu kembali berdua dengan Mbok Sum,” ucap Ibu Sarah pada anak-anaknya.
“Aluna juga senang bisa tinggal di sini dulu, meski lusa sudah harus masuk kerja. Aluna takut kalau ada yang mencemooh karena berani cuti sampai 1 minggu lamanya padahal belum lama kerja di sana,” curhat Aluna yang mengkhawatirkan nasibnya.
Dengan tegas mertuanya itu mengingatkan juga meminta Dama agar membela Aluna ketika ada yang menjahati Aluna di kantor. Bagaimana pun, Dama adalah senior Aluna. Sudah sepantasnya ia ditakuti oleh karyawan lain.
Dama hanya bisa menghela nafas panjang mendengar kemauan sang ibu.
###
Keesokan harinya setelah berpamitan dengan Bu Sarah, Dama dan Aluna segera menuju ke rumah Aluna untuk berpamitan dengan ayah dan ibu Aluna. Bu Lia tampak memeluk Aluna begitu lama. Ia juga tak menyangka Aluna bisa tiba-tiba menjadi seorang istri secepat ini. Artinya, ia tak bisa memiliki waktu Aluna secara penuh ketika anaknya itu sedang pulang ke rumah. Namun, dirinya juga tak mampu menahan bahagianya karena anak-anak perempuannya telah menikah.
“Ibu titip Aluna ya, Dam. Tolong jaga baik-baik di sana. Kalau banyak kurangnya, mohon dimaafkan ya. Kalian harus belajar saling menyayangi dan mencintai. Yang akur ya, jangan sering bertengkar, ‘kan sudah sama-sama dewasa.” Bu Lia memberikan wejangannya pada menantunya itu.
Dama mengangguk dan berjanji akan menjaga Aluna.
Selesai berpamitan, mereka pun segera bergegas menuju ke stasiun karena jadwal keberangkatan mereka tak lama lagi.
“Dam, tunggu! Bantuin kek bawanya, ribet ini aku bawa koper dan ransel sendirian, belum lagi tentengan bekal dari Ibu,” pinta Aluna yang terus mengejar Dama karena Dama terlalu cepat melangkahkan kakinya menuju pintu check in kereta," teriak Aluna.
Dama menoleh ke belakang dan melangkah mundur untuk membawakan barang-barang Aluna, juga menggandengnya sembari setengah berlari.
...****************...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!