NovelToon NovelToon

Mr. Mafia Is Mine

Bab 1

"Hidup penuh dengan Cerita.

Cerita mewarnai kehidupan.

Tentang fakta dan Realita. Yang membawa kata suram, duka dan bahagia sesungguhnya."

.

.

.

"Terima kasih dan silakan datang kembali!" seruan ceria gadis itu kala pintu besar terbuka lalu tertutup.

Tak lupa kedua garis bibir di angkat tinggi. Keramahan, senyum, dan kehangatan adalah nilai plus setelah kemewahan serta kenyamanan. Tentu saja rasa makanan yang enak, restoran mewah bergaya Jepang klasik adalah Restoran termewah dan termahal yang pastinya ada di Indonesia.

Terkenal dengan nama Restoran Ryokoro menyajikan cita rasa khas makanan Jepang. Para Koki yang memang berasal dari Jepang, begitu juga bahan makanan yang tersedia di dapur besar restoran.

Pelanggannya ada yang asli dari Jepang dan juga ada yang asli Indonesia. Dera tak peduli akan hal itu, menjadi seorang pelayan di sana adalah hal yang sangat melelahkan. Gadis dengan perawakan tinggi seratus empat puluh delapan cm itu sering kali mengeluh dengan betisnya, yang sering kali menegang karena sepatu high heels tinggi yang ia pakai dalam keseharian kerjanya.

Bermodalkan make up menutupi wajah kusam beberapa jerawat dan bekas jerawat. Ia tak cantik, Dera Sandya adalah keturunan asli Manado-Padang. Memiliki postur tubuh yang Ah——tidak ada menariknya.

Kulit sawo matang, mata sipit, pipi chuby, hidung sederhana, dan perut yang sedikit berlemak. Membuat ia tak punya pacar, mungkin lebih tepatnya tak ada yang ingin menjadikan gadis itu pacar mereka. Lelaki jelek pun pasti memilih wanita yang dikriteriakan manis menjadi pacar mereka.

Bukan wanita yang tak ada cantik-cantiknya itu, Dera menguap kecil lalu merenggangkan tubuhnya. Ia tersenyum tulus, bukan senyum palsu yang selalu diumbar untuk para pelanggan yang dinilai menyebalkan.

Oh ayolah! Apa kalian tahu, begitu letihnya menjadi seorang pelayan restoran. Dari mulai berdiri seperti robot diam di satu tempat, belum lagi tingkah mengesalkan para pelanggan kaya.

Saat mereka memesan begitu rewel, banyak hal yang mereka inginkan. Belum lagi saat sisa makan tertinggal di piring, meski harta mereka melimpah ruah, sisa makanan akan tetap dibungkus. Dan jangan lupakan pula, hanya kurang lima ratus perak saja kembaliannya. Para pelayan akan dimarahi habis-habisan.

Bukan hanya cukup sampai di situ saja, jika kau jelek kau akan di rendahkan sebelah mata. Kesalahanmu akan begitu banyak beda jika pelayannya cantik, dan berbodi semok. Maka mereka akan terlihat manis, itu begitu menjengkelkan di mana Dera.

"Hoi! Apa siftmu sudah selesai?" tegur Lila melihat gadis berdarah Padang itu membuka lokernya.

"Ya, aku sudah selesai bekerja. Aku harap aku bisa cepat mencari berkerja yang lebih baik dari ini Lil," jawab Dera sebelum ia meraih baju gantinya.

Tubuh gadis Sunda itu bersandar di pintu loker menatap teman satu profesi dengannya itu, gadis manis nan imut itu hanya memberikan senyum manisnya.

"Aku tahu berkerja yang cocok dan di yakin, kan menyenangkan untukmu," tutur Lila sebelum mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Apa?" tanya Dera penuh semangat.

Lila menatap gadis sebaya dengannya itu dengan wajah serius, seakan satu kata yang keluar dari bibirnya akan membawa perubahan banyak untuk hidup gadis di depannya ini.

"Menikah. Jadi Ibu rumah tangga yang hanya berada di rumah saja," jawab Lila dengan kekehan di akhir.

Ingin rasanya Dera memaki tapi, sebagai teman yang baik. Ia hanya mencabikkan bibirnya tak ingin menambah kata, gadis berkulit sawo matang itu melepaskan seragam lalu memakai baju ganti.

"Kau tak ingin menikah?" tanya Lila kala melihat wajah kusam Dera.

"Kau pikir siapa yang mau menikahi aku, Hem" balas Dera dengan wajah kesal.

"Kak Dion mungkin," jawab Lila asal.

Mata hitam legam miliknya mendelik tajam ke arah Lila, sontak saja gadis itu mengangkat kedua tangan kala melihat tatapan yang di layangkan Dera ke arahnya.

"Aku maunya Dokter tampanku," tukas Dera kala membayangkan wajah tampan Bian.

Dorongan keras terasa di kepalanya, Lila menoer kepala Dera, hingga hampir menghantam pintu loker. Teriakan terkejut dari Dera membawa tawa di dalam ruangan sepi itu.

"Mimpi," seru Lila dengan wajah mendadak mual.

"Siapa bilang yang bilang nggak bisa," sembur Dera dengan wajah semakin kesal.

"Ya. Bisa, kecuali ia kau pelet,"

ledek Lila.

"Boleh juga idemu Lila! Aku bisa mencobanya nanti," sahut Dera terdengar ceria.

Keduanya saling bertatapan sebelum Lila maupun Dera tertawa keras setelahnya, lantaran balasan Dera.

...***...

Mentari terbenam dikala gadis berpipi chubby itu turun dari angkot, untuk sampai di rumah kontrakannya. Ia harus dua kali naik angkot, lalu berjalan sekitar satu kilo menuju rumah kontrakan yang ia sewa.

Cukup jauh dari pusat kota, memang. Tapi, apa boleh buat hanya jauh dari pusat kota gadis itu bisa mendapatkan rumah bagus dengan harga murah meriah. Hidup di Jakarta tak seenak yang orang-orang bayangkan, dan yang terlihat di layar drama televisi.

Semuanya serba mahal, baik itu sandang mau pun pangan. Hidup sendiri membuat Dera harus pintar-pintar mengatur keuangan yang pas-pasan, bekerja di restoran mewah bukan berati gadis itu mendapatkan gaji tinggi.

Ia hanya digaji tiga juta perbulan, itu pun sudah termasuk uang lembur. Jika ada bonus maka gajinya akan menjadi tiga juta lima ratus ribu. Tiga juta lebih hidup di kota besar tak ada apa-apanya.

"Oh Tuhan! Berapa lama lagi aku harus begini. Bekerja melelahkan, hidup susah, tidak ada pacar. Ditaksir saja tidak pernah," keluhnya dengan suara pelan.

Dera terkadang adalah gadis yang mudah menggerutu, banyak hal yang ia keluhkan dalam hidup. Mulai dari bekerja, pendidikan, keluarga, dan terutama nasib percintaannya yang tak pernah berwarna.

Karena ia jelek, tak ada lelaki yang menyukainya. Kecuali memanfaatkan Dera dalam mengerjakan tugas, meski ia tahu sedang dimanfaatkan gadis itu tak pernah peduli. Ia tetap mengerjakannya dengan bahagia, setidaknya masih ada yang mau berinteraksi dengan dirinya.

"Baru pula, De?"

Seruan dari suara bariton itu membuat gadis yang tadinya asik mengeluhkan kehidupan mendadak berhenti, baik mengerut mau pun melangkah. Lagi! Gadis dua puluh dua tahun itu bertingkah manis atau sok manis mungkin.

See, ia mulai tersenyum tersipu malu. Tangannya tak henti menarik surai sebahunya kebelakang, dan jangan lupakan rona di kedua pipi yang samar-samar. Ditambah terpaan sinar redup sang mentari membuat gadis itu hampir kehilangan bentuknya mungkin.

"Ya, baru pulang Dok," jawab Dera dengan suara pelan.

"Berapa kali aku bilang jangan panggil Dokter. Kita di luar Puskesmas, Dera bisa memanggilku dengan Bian atau Bi saja," protes lelaki tampan berahang tegas itu.

Dera hanya tersenyum kaku. Ah! Debaran jantungnya mulai membuatnya merasa kalang kabut. Ia terpesona dengan dokter muda, yang menjadi incaran Dera belakang ini.

"Tak enak Dok, apa lagi Dokter lebih tua dari aku," bantah Dera terdengar malu-malu.

Bian tersenyum, Dera terlihat cukup lucu di matanya. Gadis di depannya ini memang tak secantik gadis-gadis yang pernah ia temui. Tak ada yang spesial dari gadis di depannya ini, hanya saja Bian merasa nyaman bisa berbicara dengan gadis di depannya satu ini.

Banyak perawat perempuan, bidan, mau pun dokter wanita yang mengejarnya. Mencoba menarik perhatian Bian, jika Bian boleh jujur merasa risih dengan para wanita itu. Namun, Dera berbeda ia tahu, dan sangat jelas tahu jika gadis yang malu ini menyukainya.

Hanya saja Bian tak merasa terganggu akan perasaan Dera padanya, karena Dera tak pernah mengejarnya berlebihan tak pernah mencari perhatiannya dengan gencar. Hingga membuat Bian merasa risih.

"Hem! Jika begitu. Kau bisa memanggilku dengan Kakak Bi saja," usul Bian dengan senyum lebih lebar.

"Jangan tersenyum begitu. Aku bisa masuk rumah Sakit karena serangan jantung melihat senyummu Dokter, Bi."

Hanya kata hati yang terhempas. Dera tak mampu berkata apa-apa. Hanya anggukan kepala yang ia berikan, dsambut senyum dari sang Dokter muda.

...***...

"Oh Tuhan! Aku ingin memilikinya. Menjadikannya sebagai suamiku, disaat ini juga," ujar Dera memeluk erat bantal guling.

Rona merah di kedua tulang pipinya terlihat, ia seperti orang gila jika sudah di rumah. Membayangkan hal yang tak mungkin terjadi bersanding bersama seorang Bian? Dengan wajah jeleknya.

Akan banyak orang yang berkata. Ia harus menunggu sampai gajah masuk ke lubang peniti. Hal yang mustahil terjadi.

"Tapi, bagaimana caranya, ya?" Dera bergumam pelan sembari merubah posisi tidurannya menjadi duduk.

"Apa aku harus kedukun sekarang juga," molognya lagi dengan senyum ganjil.

Dera kembali menghayal. Namun, bunyi cacing yang marah menyadarkan Dera. Jika ia harus berhenti dari khayalannya, dan mulai memberikan cacing-cacing ganas itu jatah makan.

"Bersabarlah wahai perut. Kita akan keluar mencari makan untukmu, mari bersabar sejenak." Dera berucap dengan mengelus perutnya.

Dengan ceria ia keluar dari rumah, melangkah dengan senandung kecil. Cukup lama sebelum ia mendengar suara orang merintih kesakitan.

"Kau harus mati saat ini juga."

Dera menelan ludah lnya susah payah kala mendengar kata kematian. Namun, gadis chubby ini adalah gadis yang tidak bisa diam jika penasaran

Dengan perlahan ia masuk di semak belukar. Mengintip apa yang sedang terjadi, yang mana harusnya ia tak lihat.

Kedua bola matanya hampir jatuh dari tempatnya, kala melihat tebasan pedang samurai. Kepala lelaki yang tak tau apakah tua atau muda itu menggelinding kala terpisah dari tubuh.

Sialnya, kepala itu menggelinding sampai di depan mata kakinya. Tubuh bergetar, ia terjengkang kebelakang kala tak tahan melihat apa yang ada di depan mata.

Teriakan nyaring itu menjadi penutup

sebelum kesadaran terenggut, lelaki tampan dengan baju penuh noda darah itu melangkah masuk ke dalam semak belukar. Di ikuti para anak buah.

"Bos!" Seru sang tangan kanan kala melihat tubuh gadis pengganggu pingsan.

"Kita bunuh gadis ini sekalian. Sepertinya dia telah melihat apa yang terjadi," ujar Yeko menatap tubuh lemah yang tergolek di atas rerumputan.

Sang Bos tersenyum miring, ia mendekati tubuh Dera. Menghalau anak rambut yang menutupi wajah kusam itu.

"Kucing liar yang nakal," ujarnya dengan bahasa Jepang.

Hiro berdiri dari posisi jongkoknya. Ia melirik ke arah Yeko.

"Bawa dia. Dan masukan ke kamarku," titah Hiri dengan ekspresi wajah menakutkan, senyum setan dikembangkan.

"Tapi, Bos——"

Tatapan menyeramkan membawa ke bungkam, Yeko mengangguk dan memberikan kode pada anak buahnya membawa kepala lelaki yang telah di penggal itu. Dan juga tubuh gadis malang yang akan bernasib penuh lika dan liku. Kisah si gadis tak cantik di mulai dari sekarang, hidup penuh dengan kejutan bersama lelaki Mafia Jepang.

Bab 2

"Hidup dalam rasa takut memang membawa kata gelap. Namun, tanpa di sadari kita belajar dari gelap. Untuk merasa betapa berharganya secercah cahaya."

.

.

.

.

Ruas-ruas dari celah dinding yang membawa masuk cahaya terasa menggelitik, tubuh yang damai di atas tempat tidur mewah. Tak ada gorden yang terbuka, dinding kamar luas di warnai dengan warna hitam. Dan di perlengkapan dengan gorden berbahan sutra abu-abu.

Tubuh mungil bergerak pelan, ia mengerang, dikala jiwa kembali masuk ke dalam raga. Halusnya selimut sutra dan empuknya tempat tidur membuat gadis berpipi chubby itu engan memperlihatkan retina matanya. Untuk tampak dan tak bersembunyi di balik kelopak.

Namun bunyi gemericik membawa tidur ikut terusik, ada dengkusan di setiap bunyi dari gelang kaki. Ia berdecak malas kala setiap ia menukar posisi tidur suara gemericik dari gelang mengganggu.

Kedua kelopak sakura beberapa kali terbuka lalu tertutup menyesuaikan penerangan yang minim, kerutan yang samar terlihat jelas.

"Aneh," gumam gadis berusia dua puluh dua tahun itu dengan intonasi nada serak.

Suara serak khas bangun tidur tak mengusik, netra hitam legamnya menelisik ruangan yang diterangi oleh cahaya temaram. Membuat gadis itu sulit menyesuaikan penglihatannya.

"Sudah bangun kucing liar?"

tanya dari suara berat serak seksi itu membuat gadis itu langsung berdiri dari posisi ternyamannya.

Kala itu seluruh tirai tersibak dengan remote kontrol. Oh God! Siapa sangka, lelaki berwajah tampan itu tengah duduk di sofa yang sangat tepat menghadap ranjang besar.

BRUK!

"Akh," rintihan Dera.

Apa yang di lakukan oleh gadis yang di panggil kucing liar itu membuat lelaki yang meyilangkan sebelah kaki kokoh itu mengulum senyum tipis, ia merasa terhibur dengan pertunjukan pagi.

Gadis berkulit sawo matang itu merintih, melupakan jika di sana mata elang itu masih mengawasi gerak-gerik nya dengan seksama. Ia terlalu asik ditemani oleh rasa sakit dari body tak berisinya menghantam dinginnya lantai marmer.

"Perlu bantuan kucing liar," tawar Hiro.

Suara yang sudah berada di samping Dera, lagi dan lagi Dera merasa jantungnya berpacu. Ia harus mengelus dada rata nya berulang kali, lelaki di sampingnya ini benar-benar membuat ia hampir dua kali terserang serangan jantung.

"Anda mengejutkanku saja," protes Dera dengan wajah kesal.

Sebelah sudut bibir Hiro terangkat tinggi, lelaki bermata elang itu menyeringai. Ia tak mengerti apa yang terjadi gadis yang kini ia bantu berdiri dengan tegak itu sepertinya melupakan apa yang ia lihat semalam. Melihat dari gerak-geriknya dan reaksi tubuh Dera, tak ada getaran dan rasa takut di wajah gadis itu. Gadis itu menyapu kamar yang telah terlihat jelas.

Decak kagum terlontar begitu saja, kamar luas berwarna gelap itu terlihat begitu mewah dengan barang-barang mahal. Meski pun Dera terlahir dan tumbuh di lingkungan kampung, bukan berarti ia tak bisa membedakan barang mahal.

Dengan langkah lebar Dera mendekati nakas tepat di samping tempat tidur, ia mengusap perlahan gelas minum yang terlihat berkilau. Ia tahu gelas yang kini ada di tangannya, gelas kristal dengan harga yang tak dapat di hitung dengan jari

"Kristal," guma Dera dengan decak kagum.

Ia bahkan tak mendengar dengan jelas gemericik dari gelang kaki saat ia melangkah, Hiro hanya menggeleng kecil melihat tingkah gadis Indonesia itu. Hiro melangkah kembali menduduki Sofa empuk dengan senyum miring.

"Bagus?" tanya Hiro dengan bahasa Indonesia yang terdengar fasih.

Jika ada yang mendengarkan perkataan Hiro maka, mereka akan menyangka jika Hiro tinggal di Indonesia sangat lama.

"Iya. Ini bagus sekali, bahkan Bos botak itu tidak punya barang sebagus ini," ujar Dera kelewatan jujur.

"Kau bisa memilikinya," imbuh Hiro sontak saja membuat tubuh Dera berbalik.

Ia menatap Hiro dengan picingan mata cukup lama. Namun, ada yang aneh hanya karena tempat dan gelas yang kini berada di tangannya. Dera lupa, ia lupa keterkejutan awalnya.

Mata bulan sabit itu berkedip tiga kali sebelum tersenyum masam, lampu merah menyala di atas kepala.

"Maaf, Tuan saya tak sopan," serunya dengan pelan.

Tangan kasar Dera meletakan gelas kristal bening itu dengan sangat hati-hati, lalu melangkah mendekati Hiro. Ia tersenyum sesaat kala di depan Hiro lalu melangkah lebar menuju pintu kayu jati.

Hiro tak bergerak sama sekali, lelaki berdarah dingin itu membiarkan apa pun yang ingin dilakukan oleh gadis chubby itu. Telapak tangan kasar Dera menekan engsel pintu untuk memutarnya. Bunyi deritan dari pergeseran benda besi itu terdengar.

Terkunci! Itu lah yang langsung gadis itu rasakan. Beberapa kali coba masih tak bisa, Hiro menyenderkan punggung belakangnya di sofa. Menyilangkan kaki kanannya di atas kaki kirinya. Mencari posisi yang nyaman untuk dirinya sendiri, masih menyoroti Dera.

Ia ingin melihat seberapa kerasnya usaha gadis itu kabur dari kamar.

"Pintu sial! Terbukalah," ujar Dera dengan umpatan pelan.

Seribu kali bahkan sejuta umpatan pun pintu yang di kunci itu tidak akan pernah bisa terbuka. Ia mengerutu dengan bahasa yang tidak di mengerti oleh mafia kejam itu. Tentu saja gadis itu memakai bahasa daerah ibu dan ayahnya untuk memaki kasar.

Dera berbalik, ia kesulitan mengelak air liurnya. Ia melangkah melewati Hiro yang masih tampak santai.

"S——sepertinya, pintunya macet. Boleh aku coba pintu jendelanya saja?" tanya Dera mencoba minta izin.

Oh God! Dera Sandya. Gadis itu sedang meminta izin atau melawak. Bagaimana bisa ia ingin kabur tapi meminta izin dari yang menculik. Gemas. Satu kata yang ada di hati Hiro. Melihat Dera kini berada di jendela besar, ia menekan ke depan. Berhasil! Mungkin sorak itu yang berada di hati Dera kala kaca besar bingkai kayu jati itu terbuka.

Ia melirik ke belakang melihat wajah Hiro. Telapak tangan lelaki Jepang itu terangkat. Mengizinkan gadis itu keluar dari kamar melalui jendela.

"Terima kasih, Tuan," ujar Dera dengan senyum lebar.

Garis senyum di wajah Dera patah, kala melihat apa yang ia dapatkan. Bukan lantai marmer atau pun rerumputan yang ia temui. Melainkan kolam berenang jauh di bawah sana. Kolam yang begitu luas dengan air ke yang kebiruan.

Jika Dera adalah putri duyung maka akan dengan hati gembira gadis itu meloncat tak peduli di atas ketinggian berapa. Tapi, masalahnya dia adalah manusia biasa meloncat dia akan mati, bukan mati berdarah tapi mati kehabisan napas.

Dera tak bisa berenang gadis itu bukan ahli renang jika bermain di arena air, Dera akan memakai bebek apung guna membuat tubuh berisinya tetap mengambang.

"Kenapa nenek moyangku tidak putri duyung saja. Atau burung gagak saja agar aku bisa berenang atau terbang," monolognya dengan kesal.

Wajah Dera menoleh kebelakang takut-takut, Hiro tersenyum miring. Ia bahkan mengangkat gelas kecil berisi minuman yang berwarna kuning bening, yang tak tahu apa itu.

"Terjun aku mati, tak terjun pun tetap akan mati," gumam Dera gamang.

Gadis itu bimbang namun, memutuskan mati di tangan lelaki bersantai itu saja. Setidaknya ia akan mengemis kematian tanpa di tebas. Mungkin ia bisa mati dengan suntik bunuh diri. Setidaknya itu tak akan memisahkan kepala dari tempatnya. Dan tak banyak darah yang tumpah.

"Aku menyerah," ujar Dera sebelum tangis keras mengudara.

Hiro tersenyum penuh kemenangan. Hiro Yamato tak pernah menerima kekalahan, dan tak akan pernah.

...***...

Dera menatap lelaki bawahan mafia dingin itu yang kini menatapnya dengan mata tajam, ia merasa risih dengan tatapan lelaki yang tak bisa berbahasa Indonesia itu. Beberapa kali ia mendengar suara lelaki tampan itu. Tapi, tak tahu artinya, cukup lama ia menangis membuat matanya semakin sempit saja. Ia bahkan meminta kematian yang baik.

Tapi, yang ia dapatkan adalah kata-kata menyeramkan bgi Dera lebih baik vonis kematian dari pada kata-kata menjatuhkan harga dirinya itu mengalun.

"Mulai saat ini kau adalah kucing liar peliharaanku," ucap Hiro yang tak dapat di bantah.

"Jika kau macam-macam. Sahabatmu Lila Agustina dan berserta keluarg mu akan aku penggal, Dera Sandya !"

Kata ancaman itu membuat gadis itu merasa mau mati saja, ia merasa dunia mengelap saat itu juga.

"Nona tidak suka makannya?" tanya wanita cantik membuat kepala yang tertunduk itu terangkat.

"Ah! Bukan begitu. Makanan ini bukan seleraku," ujar Dera dengan pelan.

Gadis cantik itu menatap dengan rasa takut, ia ingat jelas kata sang tuan. Gadis yang duduk di meja makan itu harus makan dengan baik, dan terawat dengan baik. Bisa dibilang gadis itu sekarang menjadi peliharaan sang kafia dingin.

"Apa perlu saya minta Koki memaksakan makanan yang lain?" tanya Mawar dengan suara pelan dan lembut.

"Tidak. Aku tak selera," tolak Dera dengan diakhir ******* kasar.

Ia bangkit dari duduknya, kala ia ingin melangkah dihambat oleh Yeko dengan merentangkan satu tangan di depan wajah Dera.

"Anda mau kemana?" tanya Yeko dengan suara terbata-bata.

"Aku ingin menemui Tuan Hiro," sahut Dera dengan lesu.

"Kau tak bisa menemui Bos," bantah Yeko dengan pelan. Masih dengan nada yang sama.

"Kenapa tidak?" tantang Dera.

Oh, lihat kucing liar mulai berani. Senyum miring dari Yeko membuat bulu kuduk Dera berdiri.

"Baiklah jika Anda bersikeras, Nona," tuturnya dengan mata menakutkan. "Ikuti aku," lanjutnya sebelum melangkah pergi.

Dera mengikuti langkah lebar Yeko dari belakang, langkah lebar itu membawa gadis itu masuk ke area rimba belakang rumah mewah bak istana itu.

Bunyi mesin terdengar nyaring, mereka berdua sontak berhenti disebuah kolam kumuh berlumut. Lutut Dera bergetar melihat apa yang ada di depan mata. Ia terjerembab di rerumputan.

"Hoh! Ada kucing liar ternyata," tutur Hiro dengan bahasa Jepang.

Ia mematikan mesin gisel yang tadinya memotong kepala tubuh buaya air Amazon, darah segar membuat lelaki itu seperti mandi darah. Senyum miring terlihat lagi, bibir lelaki itu menjilat darah buaya yang ada di sudut bibirnya dengan senyum.

"Aku ingin membuat sepatu kulit untukmu, kucing liarku," cetusHiro dengan bahasa Indonesia.

Tubuh Dera bergetar hebat disetiap langkah kaki Hiro membawa kaki besar penuh darah. Yeko merasa bahagia melihat tawanan mereka ketakutan setengah mati.

Bab 3

Manik mata Dera berotasi menatap sepatu yang terlihat cantik namun, sederhana. Mawar hanya memberikan tatapan sungkan pada gadis berkulit eksotis itu.

"Wah! Hebat sekali. Dia membunuh buaya Amazon untuk membuatkan aku sepasang sepatu," ujar Dera dengan wajah tak percaya.

Ingin sekali Dera membuang sepatu yang sudah jadi itu, Mawar tersenyum lembut. Gadis cantik itu hanya bisa tersenyum saja mendengar kedongkolan Dera, dengan ekspresi kesal yang jelas membingkai wajah sang gadis tawanan.

"Bukankah Bos begitu perhatian," imbuh Mawar dengan nada lembut.

"Perhatikan lubang cina," tukas Dera remeh disertai dengan decisan di akhir kata.

"Mawar!" Seruan berat itu membuat gadis cantik itu berbalik.

Mawar tercekat di ambang pintu lelaki berwajah anime tampan itu terlihat begitu menakutkan dengan pistol di tangannya. Bukan hanya Mawar saja, gadis bermata sipit itu juga sama takutnya. Keberanian yang tadi ada langsung menyusut kala manik mata Dera menyorot mulut pistol yang di arah, kan pada mereka.

"Bos," gumam Mawar dengan wajah ketakutan.

"Aku merasa ada yang sedang membicarakan diriku," tutur Hiro melangkah dengan lebar masuk ke dalam kamar luas miliknya.

Dera terkekeh di buat-buat, ia berdiri dari posisi nyamannya. Dera dengan sigap mengambil cepat sepatu yang mengkilat berada pasrah di atas lantai marmer, tak lupa tersenyum lebar mengelus sepatu dari kulit Buaya buas itu.

"T——tentu saja itu karena aku sedang mengatakan pada Mawar jika sepatunya bagus, dan aku suka sekali," sahut Dera penuh dusta. Gadis berdarah Padang-Manado itu tergagap di awal kata.

Ia mengelus kulit sepatu, lain di wajah lain di hati. Dera merasa sangat takut dan jijik mengelus sepatu kulit yang di buat oleh bos mafia itu, pistol yang di acungkan diturunkan dengan perlahan.

Garis bibirnya terangkat tingg, senyum ganjil ditampilkan. Hiro Yamato, ia mendengarkan perkataan dan gerutu kucing nakalnya itu tapi memilih pura-pura tak mendengar apa yang dikatakan oleh gadis itu.

"Ah, begitu ternyata," balas Hiro manggut-manggut. "Lain kali aku akan membuatkan tas dari kulit ular piton untukmu. Dan jika kau mau aku akan membuatkan juga sepatu dari kulit harimau," lanjut Hiro dengan senyum penuh kemenangan.

Bibir Dera terbuka, dahinya berlipat mendengar perkataan Hiro. Wajahnya langsung seperti orang bodoh saja, kala mendengar kata Ular dan Harimau.

Ular dan harimau? Dia sungguh gila, dengan susah payah Dera meneguk air liurnya sendiri.

"Ular dan harimau," ulamg Dera dengan wajah bodohnya. "Tuan Hiro, aku lebih suka jika mereka tetap hidup. Tidak usah dibunuh mereka terlalu lucu untuk dibunuh," lanjut Dera dengan kekehan di paksa.

Kedua pupil mata Mawar membulat sempurna mendengar perkataan Dera. Lucu? Dari mananya coba, Mawar merasa otak gadis itu sudah geser dari tempatnya. Hinga hewan buas tersebut dikatakan lucu.

"Bos saya harus melanjutkan pekerjaan yang tertunda, kalau begitu saya permisi," pamit Mawar langsung kabur dari kamar sang bos.

Dalam hati kecil Dera menjerit keras tanpa suara, bagaimana bisa Mawar meninggalkan dirinya dengan bos mafia psikopat itu. Hiro dengan santai menyimpan senjatanya di dalam laci.

"Ternyata mereka lucu untuk kucing liarku, ya?" Hiro berucap dengan mengusap dagunya.

Dera mengigit bibir bawahnya dengan pelan, ekspresi wajahnya langsung memucat.

"Kalau begitu mulai mereka bisa menjadi teman bermainmu," ujar Hiro membalikkan tubuhnya menghadap ke arah Dera.

"Oh," pekik Dera tertahan. "B——bukan begitu, maksudnya, aku. Ah, tidak! Jadi begini," lanjut Dera dengan panik hingga kata-kata yang keluar dari bibirnya terdengar begitu kacau.

"Ya, aku tahu, kok. Aku akan membuat mereka tetap hidup untuk bermain denganmu jadi, kau bisa tenang saja," potong Hiro dengan wajah serius.

Dera berdiri dari duduknya, langsung berlari ke arah Hiro. Ia meraih tangan Hiro dengan panik gila saja, mati saja kedua binatang itu sudah mengerikan. Bagaimana jika hidup, dan bermain dengannya.

"Aku benci. Ah tidak! Aku takut dengan buaya, ular, dan harimau. Jadi aku mohon jangan bawa mereka padaku," pinta Dera dengan wajah panik.

"Bukankah kau mengatakan jika hewan itu lucu?" tanya Hiro masih dengan wajah datarnya.

Wajah seriusnya mengundang ketakutan dari Dera, gadis berkulit sawo matang itu merasa semakin ketakutan saja. Hati Hiro terasa tergelitik melihat bagaimana ekspresi wajah Dera saat ini.

"Tidak! Mereka tak lucu. Aku hanya berbohong. Aku mohon maafkan aku. Aku janji akan patuh padamu. Tapi, jangan ada tiga binatang itu ya, hem," ujar Dera dengan teriakan di awal dan cicitan di akhir.

Kedua matanya terlihat berkaca-kaca ingin menangis, air matanya jatuh kala tak melihat ekspresi lain atau pun suara yang tak keluar dari mulut Hiro.

Gelak besar terdengar Hiro tertawa sedang Dera menangis. Gadis itu menangis dengan raut wajah heran. Apa lagi saat suara tawa besar Hiro. Ternya bos mafia terlihat tampan saat tertawa air mata Dera berhenti mengalir menatap wajah tampan itu.

"Kau sungguh lucu. Aku suka kau," imbuh Hiro melepaskan tangan Dera dari tangan nya.

Ia mengusap puncak kepala Dera dengan lembut, lalu melangkah menuju tempat tidur. Merebahkan tubuhnya, ia sangat letih seharian melakukan banyak kegiatan membaca setiap laporan yang ditulis oleh anak buahnya. Belum lagi dari kemarin membuat sepatu kulit yang pas dan cocok untuk Dera.

"Kau tidak tidur?" tanya Hiro dengan mata menatap Dera yang masih berdiri di tempatnya.

Mulutnya terbuka sebelum tertutup kembali, ia tak bisa berkata apa-apa. Ia mengusap air mata yang masih berada di pipinya. Melangkah pelan menuju ranjang king size. Membaringkan tubuhnya di atas ranjang yang sama dengan Hiro. Dera Sandya adalah peliharaan spesial Hiro, gadis itu dibiarkan tidur bersama Hiro. Tidur dalam tanda kutip hanya tidur tanpa melakukan apa-apa.

"Kenapa kau tak masuk dalam pelukanku? Kau itu kucingku jadi cepat sini. Majikanmu ini ingin memeluk kucingnya," titah Hiro membuat Dera menggembungkan kedua sisi pipinya sebelum melakukan apa yang Hiro inginkan.

Ia bergeser, lalu masuk dalam pelukan Hiro. Gemericik dari gelang kaki yang dibuat Hiro terdengar, gelang kaki terbuat dari emas murni. Terdapat pelacak di dalamnya. Gadis yang kini ada dalam pelukan mafia kejam itu tak akan bisa kemana-mana, tanpa seizin Hiro.

"Bos! Kau tak akan membuat aku bermain dengan mereka bukan?" tanya Dera memastikan sekali lagi.

Gadis itu menengadah menatap wajah tampan lelaki berdarah Jepang itu, Hiro mengusap pelan surai hitam milik Dera.

"Tergantung, jika kau nakal maka aku akan memberikan mereka untuk bermain denganmu," jawab Hiro berupa ancaman.

"Tidak. Aku tidak akan nakal," bujuk Dera dengan lembut.

Hiro tersenyum lebar. Sedangkan di luar kamar Yeko dan Clara saling adu tatapan.

"Baru kali ini aku mendengar tawa Bos dengan lepas," ketus Clara heran.

"Ya, sepertinya kucing liar memang mampu membuat Bos lebih baik," sahut Yeko dengan senyum ganjil.

***

Hanya rintihan sakit, dan permintaan ampun yang menggema di dalam ruangan khusus. Kedua matanya memerah, perawatan kulit untuknya begitu menyiksa. Bulu di tubuhnya memang menghilang namun, sakit yang ia rasakan sangat menyiksa.

Beberapa kali ia mengeluh minta perawatannya diberhentikan, mana berani orang-orang itu menghentikannya sebelum pekerjaan mereka selesai. Hal hasil lebih baik mendengar pekikan serta teriakan marah dari Dera daripada dari bos mafia berdarah dingin.

"Berapa lama lagi Mawar?" tanya Dera dengan suara pelan.

"Tiga puluh menit lagi Nona, masker nona akan mengering dan begitu juga dengan lulur yang di tubuh," papar Mawar menjelaskan dengan intonasi nada pelan.

"Sial," umpat Dera terdengar pelan.

Gadis berdarah Cina dengan nama asli Ziying itu tersenyum, dengan hasil yang ia dapatkan. Kulit gadis itu menjadi lebih cerah tanpa bulu.

"Nona Clara setelah ini tidak ada lagi, kan yang seperti ini?" tanya Dera menghadap gadis cina dengan nama populer Clara.

"Hem... entahlah, mungkin saja tidak," jawabnya dengan logat Cina.

Beberapa jam gadis itu telah bersih dan terlihat manis. Bukan cantik, karena level yang biasa di capai oleh orang jelek hanya lah manis bukan cantik.

Ia bahkan tertidur mulas di atas tempat tidur setelah ritual kecantikan yang menyakitkan. Ia menguap pelan, membuka matanya dengan perlahan. Beberapa berkedip menyesuaikan pencahayaan yang masuk dalam retina matanya. Kedua matanya membulat sempurna maka wajah tampan ternyata tepat berada di depan wajahnya.

"Sepertinya menyenangkan tidur siang," kata Hiro dengan wajah yang Err... sangat mempesona.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!