Tara...
Aku Lingkarkan tanganku pada pinggang mungil Nisa sambil menarik kepalanya bersandar ke leherku, sambil memamerkan sepotong martabak ke wajah Nisa.
Wanita ini tertawa renyah dengan sikapku yang menurutnya aneh tapi menggemaskan.
"Jangan gitu, dong Reza! Ntar ada yang lihat."
"Cuma kita berdua Sekarang di rumah. Mami baru saja pergi ke rumah tetangga."
Jelas aku sambil menarik Nisa lebih dekat lagi ke badanku.
Beginilah rutinitas ku di saat pulang kerja, apalagi rumah dalam keadaaan kosong.
Suami Nisa, Kak Risal adalah seorang Dosen yang setiap sore sampai malam berada di kampus.
Risal dan Nisa menikah sudah menjelang tiga tahun, dan bayi mereka baru berumur satu tahun.
Papi aku meninggal setahun setelah pernikahan Kak Risal, dan mami kini resmi menjanda. Itu sebabnya Mami tak mau aku dan Risal tinggal terpisah rumah, walaupun sudah menikah, agar mami tak kesepian.
Sedangkan aku, membantu Mami mengurus toko buku peninggalan Papi. Toko buku yang begitu besar dan ramai, terletak tak jauh dari rumahku. Hanya berjarak satu kilo meter, dan ada lima orang karyawan yang membantuku di toko buku. Inilah sebabnya aku bisa bebas bolak balik ke rumah setiap jam hanya untuk memantau si Nisa.
"Kamu sedang apa sama kakakmu, Ris?"
Tanya Mami yang baru saja masuk dan melihat aku mengambil air minum dan memberikan pada Nisa.
"Ini, Mami, Nisa tidak enak badan, tadi pas saya lewat ke dapur, dia hampir terjatuh disamping meja."
Jelas aku seadanya, walaupun tidak sesuai fakta, yang penting mami tidak curiga.
Aku lalu berlari ke kamar.dan berusaha menenangkan jantungku yang rasanya mau copot. Ada- ada saja si mami. Pulang di waktu yang tidak tepat, padahal rinduku sama Nisa belum kulampiaskan. Kalau aku boleh minta, lebih baik mami nginap saja di rumah tetangga, kan tak masalah. Iya, kan, pembaca?
Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam, sebentar lagi kak Risal pasti pulang.
Auto tersiksa lagi ini sampai pagi.
Malam kulalui dengan segala keanehan aku yang bisa dibilang gila.
Senyum sendirian, bicara pun sendirian, dan akhirnya tertidur dengan sendirinya.
***
"Selamat pagi, Reza. Ayo bangun. Kita harus joging bareng."
Teriak Risal dari luar.
Ini hari jumat, dan keistimewaan di komplek aku ini adalah joging bareng dengan para tetangga, mulai dari anak-anak hingga orang tua.
Aku bangun lalu mengambil handuk dan berlari ke kamar mandi, sedangkan Risal sudah lebih dulu keluar.
"Nisa, kamu masih tidur?"
Aku berdiri di depan kamar kakak dengan perasaan was was, khawatir kalau tiba-tiba mami keluar.
"Aku disini."
Ucap Nisa sambil membuka pintu kamarnya.
Tanpa bicara, aku segera menarik badannya dan meninggalkan kecupan mesra di keningnya, lalu berlari kembali ke kamar.
Tingkahku yang spontan sepertinya membuat wanita itu luluh kalau sudah berhadapan dengan aku.
Darah ini memompa begitu cepat, padahal baru saja aku mau joging.
"Lama sekali kamu ini!"
Omel kak Risal sambil menggandeng tanganku, seakan akan aku ini masih kecil.
Sekitar setengah jam kami berlari mengitari komplek, sampai akhirnya memutuskan untuk pulang.
"Om, om."
Ponakan cowokku satu-satunya berlari sambil menyodorkan popok ke aku.
Segera aku ambil popok bayi itu dan memakaikan padanya.
Risal hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah anaknya yang begitu akrab dengan aku.
"Hari minggu aku mau ngantar mami ke luar kota. Kalau kak Risal sama Nisa mau bareng juga tidak papa.. sekalian kita jalan-jalan, mau?"
Aku menawarkan pada Risal yang hanya ditanggapi dengan anggukan.
Kebetulan mami mau mengunjungi kerabatnya, artinya ini kesempatan emas buat aku untuk jalan-jalan dengan Nisa. Syukur-syukur kalau Risal tidak ikut.
Waktu yang ditunggu tunggu sudah tiba.
Risal sibuk memasukkan beberapa karton berisi kue kering ke dalam mobil kecil peninggalan Papi, sedangkan aku membantu mama membereskan piring bekas makan kami barusan.
Si pujaan hati alias Nisa tampak sibuk memasukkan beberapa potong baju ganti anaknya ke dalam tas.
"Kamu yang mencuci piring?"
Nisa sepertinya kaget melihat aku mencuci piring bekas makan.
"Tidak papa, Kakak ipar. Urus aja si kecil. Soal rumah, gampang." Ucapku sambil menyipitkan mata.
Bisa aku lihat ternyata si Nisa senyum-senyum sambil membalikkan badannya. Ketahuan, kan? Pasti dia baper sama ketampanan aku.
Jalanan kota jakarta begitu ramai di Minggu pagi ini. Aku menyetir mobil sambil memutar lagu dengan volume kecil. Sekali sekali aku pantau Nisa lewat spion mobil, tampak ipar cantikku ini sedang menidurkan Bobi, ponakan ganteng aku. Kak Risal sudah tertidur begitu lelap, mungkin dia kelelahan. Ah, biarkan saja dia menikmati hari libur sepuasnya. Sedangkan mami yang duduk di sampingku juga sudah ikut tertidur.
Segera aku keluarkan jurus andalanku, berpura-pura batuk agak parah.
Spontan saja Nisa melihat ke arahku dan mata kami pun beradu tatap. Hatiku berdebar, ada perbedaan aku menatapnya lewat spion mobil. Wajahnya memerah, sesekali membuang muka, lalu kembali menatap aku lagi.
"Haus."
Ucapku pelan, tapi terdengar oleh Nisa.
"Minum dulu, dek!"
Nisa menyodorkan sebotol air mineral, aku mengambilnya dengan sengaja menyentuh jemarinya. Lihat, lah! Aku sudah sangat dewasa dan tak pantas dia memanggil aku dengan sebutan adek. Harusnya dia panggil ganteng aja. Iya kan, pembaca?
Seandainya bisa, ingin kubawa lari wanita ini ke ujung dunia, namun, belum ada keberanian .
Perjalanan ke luar kota terasa singkat bagi aku, karena pembaca pasti sudah tebak,kan, apa alasannya?
Sedangkan mami dan Risal tampak bosan dan ingin cepat-cepat sampai.
Akhirnya kami tiba di Bogor, dan langsung menuju rumah kerabat mami.
Begitu sampai, kami disambut dengan penuh bahagia.
"Ati, kamu hebat sekali memiliki cucu seganteng ini."
Ucap kerabat mami yang bernama Ros ini. Dia menyalami kami semua lalu beralih menggendong Bobi kecil.
"Iya dong Ros. Cucu aku memang ganteng. Secara, kan kedua pencetaknya cantik dan ganteng gitu."
Kami langsung tertawa mendengar gurauan mami.
Oh, ya. Ibu Ros ini juga sudah menjanda, Makanya dia bahagia sekali melihat kami membuat ramai rumahnya.
Aku membantu kak Risal mengeluarkan barang bawaan berupa makanan ringan dari dalam mobil, dan memindahkannya ke dalam rumah Ibu Ros.
Mami tampak bahagia bertukar cerita dengan Ros. Mereka kadang tertawa sampai terbatuk-batuk. Entah apa yang mereka bicarakan.
"Pelan-pelan tertawanya, mi!"
Nisa mengingatkan mami.
Aku berjalan ke luar mengitari halaman rumah Ros yang lumayan luas. Taman bunga yang tampak tertata dengan rapi.
"Om, gendong."
Bobi berlari mendekat sambil mengangkat kedua tangannya.
"Kok, tidak sama Oma?"
Tanyaku sambil mengangkat tubuh kecilnya.
Risal dan Nisa menyusul aku ke luar.
Sambil mencandai ponakan ganteng, aku melirik ke arah Risal. Dia tampak menggandeng mesra tangan Nisa sambil sesekali mengacak rambut istrinya ini. Pemandangan yang indah, karena akhirnya mereka bisa keluar kota bareng yang memang jarang dilakukan, namun, hal ini juga membuat hatiku sedikit gerah. Ya, aku cemburu. Cemburu terhadap tingkah manja Nisa yang terus ditunjukkan sama Risal. Daripada aku kepanasan melihat kemesraan mereka, lebih baik aku kasih saja Bobi ke mereka.
"Bob, kamu sama mami kamu dulu, ya. Om mau ke luar sebentar, mau ketemu teman."
Jelas aku berbohong sambil menurunkan Bobi dari gendonganku.
Sahabat setiaku alias mobil ini kuarahkan mengikuti arah jalan. Kemanapun setir mobil ini aku putar, biarlah aku ikuti saja arus. Cemburuku bukanlah cemburu yang wajar, tapi ini cemburu buta. Ya, mata hatiku buta, cinta ini pun buta.
Aku harus menyusun rencana agar bisa pergi berdua malam ini dengan Nisa, bagaimanapun caranya. Apalagi kami akan menginap satu hari di sini.
Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Begitu keluar dari mobil, aku melihat Kak Bobi naik di belakang motor, sepertinya ojek online. Motor itu pun pergi.
"Nisa, Risal ke mana?"
Tanyaku saat berpapasan dengan iparku ini di depan pintu.
"Oh, itu. Dia ada janjian sama teman Dosen. Palingan tengah malam baru pulang. Kebetulan teman Dosennya tinggal disini."
Dari bahasanya aku bisa tahu kalau Nisa kasih kode ke aku. Padahal, kan, aku tidak tanya kapan pulangnya.
Dengan cepat aku sambar tangan halus Nisa lalu meremasnya. Ada desiran halus di sekujur tubuhku, semoga Nisa pun ikut merasakan demikian. Nanti malam aku traktir makan, ya!" Pintaku sambil menatapnya tajam namun lembut.
"Ya."
Sesingkat itu dia menjawab, lalu menghilang ke dapur, berbaur dengan mami dan Ibu Ros.
"Aku tak akan memakan mu."
Ucapku gemas dan emosi. Padahal seharusnya dia biarkan kami saling bertatapan dulu. Ah,,, aku geram sekali.
Senja berganti malam, aku sudah rapih dari ujung kaki hingga ujung rambut. Wangi beraroma hipnotis lawan jenis pun sudah aku semprotkan ke tubuhku. Apa lagi yang kurang?
"Mi, Bobi mana? Tadi siang dia merengek minta dibelikan mobil-mobilan. Mumpung lagi mau keluar, skalian."
Tanyaku mencari alasan ke mami.
"Bobi masih di kamar, tuh mamanya datang."
Mami menunjuk Nisa yang keluar dari kamar sambil menggandeng tangan Bobi.
Nisa, mau ikut sama aku dan Bobi? Skalian makan malam."
Tawaranku langsung disambut dengan anggukan. Berbeda dengan mami, dia lebih memilih bersantai dengan Bu Ros.
"Aku dudukkan Bobi disamping aku, sedang mamanya duduk disebelahnya.
Sepanjang perjalanan, ku genggam erat tangan Nisa sambil tangan kananku memegang setir mobil.
"Jangan gini, Resa!"
Nisa setengah berbisik, tapi tetap saja tangannya tak mau dilepaskan.
"Bob, kok, malah tidur?"
Nisa berusaha membangunkan anaknya, tapi dengan cepat aku menghalanginya.
"Sepertinya kita harus cari penginapan."
Ajakku sambil memandang tajam Nisa penuh napsu.
"Tidak perlu, Dek!" Ucap Nisa sambil membalas tatapanku.
"Baik, lah. Tapi, ijinkan aku memilikimu satu jam saja. Aku memelas sambil menepikan mobil di pinggiran jalan..Dengan cepat aku ganti posisi duduk ke bagian belakang mobil.
"Cepat sedikit, Nisa!"
Perintahku dia ikuti tanpa protes. Kini kami duduk di dalam mobil, jari-jari kami bertaut erat. Kutarik napas dalam-dalam dan keluarkan untuk mewaraskan kerja otak.
"Nisa, aku sepertinya mulai gila sama kamu."
Ucapku sambil menarik rambutnya dan menyandarkan kepalanya di leherku.
"Gigit aku, Nisa!
Sepertinya aku sedang bermimpi. Karena ocehanku tidak dia tanggapi, maka dengan cepat aku membaringkan dia lalu ku lumat bibir tipisnya. Makin lama, dia mulai membalas serangan aku.Kami bergulat layaknya sepasang suami istri, tanpa peduli ini di dalam mobil.
"Kenapa kamu tidak sudahi saja perasaan ini?"
"Tidak bisa, Nisa. Aku cinta mati sama kamu. Kita akan begini terus sampai kapanpun."
Aku mulai mabuk lagi. Ku kecup dengan rakus lehernya yang jenjang.
"Aku akan membawamu ke suatu tempat, begitu ada kesempatan. Besok kita pulang, tapi ingat, kita masih serumah. Bersikaplah biasa saja di depan mami."
Ucapku serak.
"Kau buat aku gila, Nisa."
Hanya kalimat itu yang terus keluar dari mulutku sepanjang perjalanan.
Di depan rumah, mami dan Tante (Ros) menikmati secangkir teh sambil membahas soal bunga.
"Loh, kenapa cepat sekali pulangnya?"
Tanya mami sambil melirik Nisa yang menggendong Bobi.
"Bobi tidur, mi. Kami tidak jadi belanja, hanya keliling sebentar karena tak mungkin membangunkan Bobi.
Mami begitu percaya sama aku. Dia yakin, aku bisa menjaga ipar dan ponakanku. Begitulah rasa percaya yang kami tanamkan satu sama lain, hingga Nisa datang dalam kehidupan kami, dan, saat itulah semua berubah. Perasaan ini benar-benar tak bisa aku kendalikan.
"Risal, sudah pulang?"
Tanyaku sambil berusaha menyembunyikan kepanikan saat Risal masuk ke kamar.
"Justru aku yang mau tanya. Sedang apa tadi kamu luar? Sepertinya aku tidak salah lihat mobil, deh."
Pertanyaan Risal berhasil membuat jantungku nyaris copot.
"Oh..eh, i..iy...ya, Kak. Tadi sama Bobi mau beli mobil-mobilan, tapi balik lagi karena Bobinya tidur di perjalanan." Jawabku gagap.
"Permisi, Bu. Ada Rizal?
Mendengar suara asing, kami pun kompak pergi ke luar.
Benar saja. Seorang wanita seksi berambut pirang datang sendirian. Penampilannya seperti seorang bule. Hanya saja, wajahnya wajah Indonesia.
"Hanya? Tahu dari mana kalau aku di sini?"
Tanya Risal penasaran.
"Aku tahu dari Pak Rian." Jelas Hana menyebut teman Dosennya Risal yang baru saja Risal temui tadi.
"Mereka pun Masuk dan mengobrol di ruang tv.
"Itu siapa, dek?"
Nisa menghampiri Reza yang sibuk menyeduh kopi.
"Itu selingkuhan suami kamu"
Gurau Reza sambil mencubit dagu Nisa
"Ah, jangan bercanda begitu, dek. Aku takut.
"Kalau benar juga, tak apa. Kan, ada aku."
Reza memasang mimik serius.
Sekilas Nisa membuang muka ke arah suaminya. Tanpa di duga, wanita seksi itu mendaratkan ciuman di bibir Risal. Walau hanya sekilas, namun Nisa benar-benar tak salah lihat.
"Kamu?"
Belum sempat Nisa berteriak, Risal dengan cepat membalas ciuman wanita itu.
Reza mulai panik melihat Nisa memegang pisau dan berlari ke arah Risal.
jangan...!
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!