...Aku tidak lagi merasakan cinta...
...Bayangku selalu tertuju pada masa lalu...
...Sampai tiba di masa aku tak ingin itu semua...
...Biarlah sendiri selamanya...
...Asal bisa membawa bahagia dalam jiwa....
...Raisyi Andriana -Hati Bidadari-...
...----------------...
Gelapnya malam tak mampu membuat wanita cantik berjilbab panjang itu patah semangat. Seharian ini hujan lebat mengguyur kota dan toko kuenya sepi pembeli. Kendati sudah diwanti-wanti oleh sang mama agar di tutup dan pulang saja, namun wanita itu masih merasa enggan. Karena pada kenyataannya, ia lebih betah di sana. Menikmati rintikan hujan.
Kaca toko masih berembun dan dirinya masih setia memandangi itu. Bibirnya tersenyum, telunjuknya bergerak membentuk sebuah garis senyum. "Senyum mama," katanya.
"Senyum kamu."
Mendengar suara seseorang tak lantas membuat Raisyi Andriana atau yang selalu di panggil Cici itu menoleh. Ia tetap saja memandangi bentuk senyum buatannya itu.
"Kamu belum nutup toko?" tanya seseorang lagi. Seseorang itu berdiri di tengah-tengah, setengah badannya ada di dalam toko dan setengahnya lagi ada di luar toko. Netranya memandangi wanita cantik yang saat ini tengah menoleh ke arahnya dengan jawaban gelengan kepala.
"Ujan terus ya, bikin mager," ujar orang itu lagi.
Cici tersenyum, "dasar kamunya yang malas itu," katanya.
"Belum habis?" Cici kembali menjawab dengan gelengan kepala.
"Aku beli deh."
"Jangan lah Dil, nanti kesannya kayak terpaksa beli kue-kue aku," ujar Cici lagi pada Fadil.
Pria seumuran dengan Cici itu lantas tertawa, lalu ia pun menegakkan tubuhnya dan merogoh saku yang ada di dalam baju kokonya. "Ni, aku di suruh sama Umma buat beli roti-roti kesukaannya." ia menyodorkannya pada Cici.
"Oh, aku paham biasanya. Nggak usah pakai tulisan." Cici membawa dirinya ke tempat roti kesukaan umma Savarah, umma dari Fadil, temannya itu.
Fadil tersenyum di tempatnya berdiri. Memperhatikan gadis cantik berjilbab panjang yang tengah mengambilkan roti dan kue kesukaan ummanya. Sebenarnya, pria tampan itu sudah siap untuk menikahi gadis itu. Tapi sayangnya, Cici tak pernah mau saat di ajak untuk serius. Pun, saat ummanya meminta pada Rea.
Tak hanya Fadil, beberapa pemuda pun pernah datang ke rumah untuk melamar Cici. Tapi sayang, gadis cantik itu selalu menolak dengan halus lamaran itu.
"Ini ... sudah, pasti bener." Fadil terkesiap, ia tak sadar saat Cici sudah ada di depannya.
"Hmmm, aku cek dulu ya," kata Fadil. Cici mengangguk.
Fadil tersenyum lebar. "Kok bisa bener gini ya," ujarnya. "Padahal ... Udah cocok banget nih buat jadi mantu," sambung Fadil pelan. Tapi percayalah, Cici bisa mendengarnya.
"Aku akan sangat bahagia saat mendapat undangan dari kamu, Dil," ujar Cici.
"Jahat banget kamu," Fadil menatap gadis itu.
"Aku nggak jahat, aku akan lebih jahat kalau nerima gitu aja, tapi aku nggak siap," Cici tersenyum ke arah pria itu.
"Kamu pengin laki-laki yang kayak gimana?" tanya Fadil serius.
Cici menggelengkan kepalanya, dengan senyum yang terukir di bibirnya.
"Kamu udah punya orang yang kamu sukai?" tanya Fadil lagi dan Cici kembali menggelengkan kepalanya.
"Terus apa, Ci?" Fadil benar-benar penasaran. Pasalnya laki-laki itu sudah bolak-balik menolak perjodohan yang dilakukan orang tuanya demi untuk rasa sukanya pada gadis cantik bernama Cici itu.
"Kamu bayar ya, semuanya 95 ribu," Cici mengalihkan pembicaraan.
...Tak perlu tahu sebuah alasan...
...Kau hanya butuh satu jawaban...
...Jangan pernah memaksa, sesuatu yang tak diinginkan...
...Raisyi Andriana -Hati Bidadari-...
...----------------...
Benar saja, Fadil membayar pesanan sang umma tanpa mengatakan kembali hal-hal yang menyangkut dengan sebuah rasa.
"Kata Umma kembalinya masukan saja ke kotak," begitu ujar Fadil saat Cici menerima selembar uang yang ia berikan.
"Alhamdulillah, semoga bisa membantu orang yang membutuhkan," ujar gadis cantik itu.
"Kalau gitu aku pamit ya, Ci. Assalamualaikum," ucap Fadil seraya memandangi gadis cantik yang saat ini menunduk dan mengangguk.
"Jawab dulu, Ci. Setelah itu, aku akan pergi," kata Fadil lagi.
"Wa'alaikumsallam warahmatullahi wabbarakatuh," jawab Cici dengan senyum yang merekah dan memandang pria itu sekilas.
Fadil mengangguk dan berlalu dari sana. Ia meninggalkan gadis cantik kesayangannya yang dia tak mengerti kenapa kiranya sampai masih saja menolak lamarannya.
Laki-laki itu berjalan pelan dengan hati gang gundah gulana. Dan dalam perjalanannya ia bertemu dengan Caca yang mengendarai motornya. Mengetahui ada Fadil berjalan, gadis cantik itu lantas menghentikan laju motornya.
"Mas Fadil, assalamualaikum," sapa gadis cantik yang saat ini sudah menurunkan kedua kakinya agar motornya tetap seimbang.
"Wa'alaikumsallam, Ca. Mau jemput kakak kamu ya?" jawab Fadil seraya bertanya.
Caca mengangguk, lantas netranya bisa melihat kantong yang berlogo tokonya. "Cie-cie ... Abis nemenin kakak aku ya," ujar gadis itu lagi.
"Hm, sayangnya di tolak terus. Kakak kamu punya pacar ya?" lagi-lagi Fadil bertanya.
"Enggak ada, kak Cici nggak pernah deket sama siapapun, dia itu memang aneh, semua cowok dia tolak. Sampai mama bingung dengan sikapnya itu," jelas Caca lagi.
Fadil tertawa, "kamu malah gibahin kakak kamu, sudah sana temenin bidadariku," ujar pria muda itu.
"Idih, dasar pangeran yang tertolak." Caca kembali menghidupkan motornya. "Assalamualaikum." sambung gadis itu seraya menjalankan kembali kendaraan roda duanya.
"Wa'alaikumsallam," jawab Fadil seraya memandangi kepergian motor Caca.
"Bisa beda gitu, antara kakak dan adik." ujar pria tampan itu yang lantas menyambung perjalanan nya.
Awalnya Fadil sengaja untuk jalan kaki, ia pikir ia bisa membantu menutup toko dan menemani Cici pulang. Namun pada kenyataannya, ia harus kecewa karena sikap Cici yang baik namun selalu menolak rasa yang ia miliki.
"Padahal usia 25 adalah usia yang pas untuk menikah, kenapa dia belum mau, ya?" tanya Fadil entah pada siapa. Pasalnya jalanan yang ia lewati begitu sepi. Maklum saja, hujan baru saja reda, jadi jangankan orang dewasa, anak-anak yang biasanya lari-lari di jalan pun tak ada.
"Lumayan jauh loh, Ci. Dari rumahku ke toko, tapi kamu setega itu pada diriku."
Ya ampun, sepanjang perjalanan Fadil benar-benar seperti orang gila, selalu saja bicara sendiri. "Lihat saja nanti, Ci. Aku akan menggunakan jalur yang paling ampuh," katanya lagi. "Jalur langit," sambung pemuda itu dengan senyum yang merekah.
"Ya Allaah, bantu hambamu ini ya."
"Doa di sepertiga malam seusai shalat, Fadil. Bukan sambil jalan." Fadil terkesiap saat ternyata dirinya sudah sampai di depan rumah dan Ummanya sudah ada di teras menunggunya.
Pria itu tersenyum ke arah sang Umma dan mendekat. "Umma denger?" tanyanya konyol.
"Suara kamu keras banget loh, Dil. Nggak malu apa?" jawab sang Umma.
Fadil hanya bisa tertawa, ia benar-benar tak sadar sudah banyak bicara.
Motor yang dikendarai Caca berhenti di depan toko, bersamaan dengan Cici yang keluar. Kakak cantik itu tersenyum ke arah sang adik. "Tumben nggak sama mama," ujar Cici.
"Assalamualaikum." ujar Caca seraya turun dari motor maticnya.
"Wa'alaikumsallam," jawab Cici.
"Tadi Kak Fadil ke sini?" tanya Caca setelah menyalami tangan sang kakak. Cici menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.
"Kakak suruh dia pulang?" tanya Caca lagi. Saat ini dua perempuan cantik itu saling berhadapan. Dan Cici menjawab pertanyaannya sang adik dengan gelengan kepala.
"Terus?" tanya Caca.
Cici mengerutkan keningnya, "maksudnya?" tanyanya tak mengerti.
"Kakak gimana?" wajah Caca benar-benar terlihat menggemaskan bagi Cici.
"Hehe, kamu tuh kenapa sih, Ca. Kakak nggak ngerti, serius," ujar Cici dengan menutup mulutnya karena sedikit tertawa.
"Jangan pura-pura nggak ngerti deh, mau sampai kapan?" tanya Caca serius.
Seketika itu Cici menurunkan tangannya, raut wajahnya berubah datar dan memutar tumitnya untuk masuk kembali ke dalam toko. Caca yang mendapati itu lantas mengembuskan napas kasar dan mengikuti langkah sang kakak.
"Ada apa, Kak?" tanya Caca yang kini sudah berdiri di belakang sang kakak. "Masalahnya apa, sampai kakak nggak mau menerima setiap lamaran?" rupanya gadis berusia 23 tahun itu begitu penasaran pada sang kakak yang masih setia menyendiri. Padahal, begitu banyak laki-laki yang ingin dengan wanita kesayangannya itu.
"Jangan sampai aku yang lebih dulu--" kalimat Caca terputus saat Cici membalik badannya menghadap sang adik. "Silakan, Ca. Kakak merasa tidak akan menikah--"
"Ssst ...." telunjuk Caca berdiri diantara mulut dan hidung sang kakak. "Jangan pernah mendahului kehendak Tuhan," katanya. "Kakak boleh saja tidak ingin menikah, tapi jika Allaah ternyata memberi Kakak jodoh yang sangat baik, yang ternyata memaksamu menikah bahkan tak perduli pada dirimu yang selalu menolaknya," sambung gadis itu.
Cici menurunkan tangan sang adik dan pergi begitu saja. Ia lebih memilih untuk membereskan roti-roti yang masih ada. Membereskan semua barang dagangan karena ia memutuskan untuk menutup saja toko mamanya itu.
"Kak." ujar Caca lagi yang saat ini tengah membantu sang kakak.
"Aku udah nggak pengin ngomong masalah nikah ya, Ca. Tolong kamu ngerti." Caca mengedikan bahunya saat sang kakak lagi-lagi tak pernah mau untuk membahas masalah cinta dan pernikahan.
...----------------...
Rea menunggu dua putrinya di teras, dan dia begitu heran saat melihat keduanya masuk ke dalam rumah begitu saja. Hanya menyalami dirinya dan tidak duduk seperti biasa.
"Ada apa, sama mereka?" begitu pertanyaan yang muncul pada wanita cantik beranak dua itu. Namun setelahnya ia tersenyum, "sudah pada gede, masih saja suka berantem." sambung wanita itu seraya masuk ke dalam rumah.
Entah kamar siapa dulu yang akan ia datangi, yang jelas ia tak akan betah jika melihat kedua anak perempuannya itu bertengkar dan saling diam. Tapi rupanya, anak sulungnya saat ini tengah berada di ruang shalat, saat ia melewati ruangan itu. Jadi, ia lebih memutuskan untuk pergi ke kamar sang anak bungsunya.
"Ca," panggilnya seraya membuka pintu.
"Iya, Ma," jawab sang anak yang ternyata tengah tiduran di ranjang dengan ponsel di tangannya.
Gadis itu lantas duduk saat melihat mamanya masuk ke dalam kamarnya, mendekat ke arah dirinya. "Ada apa, Ma?" tanya Caca.
"Kamu berantem lagi sama Cici?" tanya Rea saat sudah duduk di sebelah sang putri.
"Enggak," jawab Caca. "Aku cuma kesel, Ma. Memangnya kakak nggak kasihan apa sama Mas Fadil yang masih setia menunggu dirinya. Nggak malu apa, selalu saja menolak lamaran, kalau jadi perawan tua, gimana?" sambung gadis itu meluapkan kekesalannya.
Rea mengangguk. Ya, yang dikatakan Caca memang ada benarnya. Tapi ... Sebagai ibu ia tentu tak akan bisa memaksa bukan. Sudah berkali-kali Rea bertanya juga pada Cici dan anak pertamanya itu selalu menjawab. "Aku tidak ingin menikah, Ma," begitu selalu jawaban dari Cici.
Sering kali juga Rea bertanya, "kenapa?" namun, jika pertanyaan itu, Cici tak pernah menjawabnya. Ia hanya akan diam dan memandang ke arah lain.
Bukan tak mengerti, namun, ia tak mau berpikir yang aneh-aneh tentang anaknya.
"Mama kok malah diam," gerutu Caca saat mendapati mamanya yang diam saja.
Rea mengembuskan napas kasarnya, "kamu jangan marah dong, Ca. Itu 'kan keputusan kakak. Nanti coba mama tanya lagi ya, mama juga penasaran dengan kakakmu itu," sambung janda cantik itu.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!