Malam hari, seorang pria berkepala botak datang bertamu ke rumah Hendri. Wajahnya terlihat menyeramkan, garang dan sedikit jutek. Orang itu sangat berpengaruh di desa tempat Hendri tinggal, jadi dia menyambutnya dengan penuh kehati hatian.
"Hendri, jangan terlalu kaku padaku. Kita berdua kan teman," ucap Agus sambil menyunggingkan senyum kecil.
"Iya juragan. Ngomong ngomong apa yang membawa juragan datang berkunjung ke rumah kecilku ini?" Hendri begitu sangat penasaran.
"Aku datang kesini membawa lamaran untuk putri semata wayangmu Malika. Aku ingin melamarnya untuk putraku Dede," sahut Agus singkat dan jelas.
Hendri merasa sedikit terkejut, seorang juragan empang yang kaya raya menginginkan gadis biasa untuk menjadi menantunya. Tapi Hendri tidak heran jika Agus dan putranya tertarik dengan Malika. Malika adalah gadis yang terkenal cantik, pendiam dan lembut. Banyak pria yang datang untuk melamarnya kerumah, tapi selalu Hendri tolak karena Malika masih terlalu muda untuk menikah.
Malika masih 20 Tahun, dia juga baru belajar bekerja mencari uang untuk masa depannya sendiri. Mana mungkin Hendri membiarkan Malika menikah begitu saja.
"Emhm... Bagaimana ya juragan, aku bingung," Hendri nampak menundukkan sedikit wajahnya. Dia merasa tidak enak jika menolak lamaran itu secara langsung.
"Aku menawarkan seratus hektar kebun dan seratus hektar sawah untuk mas kawin. Aku juga akan memberikan Malika sejumlah uang tunai, dan beberapa Empang milikku untuknya. Asal Malika mau menikah dengan putraku Dede," bujuk rayu seorang Agus mulai dikeluarkan. Dia tak mau Dede bersedih jika lamarannya di tolak oleh Malika.
Orang tua mana sih yang tidak ingin masa depan anaknya terjamin? Hidup berkecukupan, bahkan bergelimang harta. Mendengar tawaran dari Agus hasrat ingin cepat kaya dalam jiwa Hendri meronta.
"Aku akan mencoba bicara dengan Malika dulu nanti, jika sudah mendapatkan jawaban aku akan langsung menghubungi nomor juragan," janji Hendri.
"Oke, aku akan setia menunggu jawaban darimu." Agus kembali menyunggingkan sebuah senyum kecil.
***
Keesokan harinya saat sedang sarapan bersama. Hendri mengajak Malika berbincang dan mengutarakan keinginan Agus pada gadis muda itu. Malika kaget, tanpa banyak berpikir dia langsung menolak lamaran dari keluarga Agus.
"Aku tidak mau menikah dengan Dede!" Ucap Malika lantang.
"Pikirkan baik baik Malika. Jika kamu menikah dengannya, masa depanmu dan anak cucumu kelak akan terjamin," Hendri sedikit memaksa. Dia tau betul bagaimana rasanya hidup miskin, dia sangat ingin Malika lepas dari zona kemiskinan yang melilit keluarga kecil mereka.
"Dede mungkin anak orang kaya Ayah, tapi dia preman pasar. Kerjanya setiap hari mabuk mabukan, malak pedagang dan orang orang tidak mampu. Sangat memalukan memiliki suami seperti itu!" Tegas Malika.
Setiap wanita pasti memiliki impian menikah, begitu juga dengan Malika. Tapi dia ingin menikah dengan pria yang berkelakuan baik, bertanggung jawab dan mencintainya dengan tulus.
Menikah itu untuk sekali seumur hidup, Malika tidak mau salah memilih pasangan dan menyesal dikemudian hari. Sosok Dede sungguh tidak layak dijadikan calon imam apa lagi Ayah bagi anak anaknya kelak.
"Kamu ini keras kepala sekali, dinasehati orangtua membangkang. Pokoknya mau tidak mau kamu harus mau menikah dengan Dede, Ayah tidak mau tau itu!" Hendri tetap pada pendiriannya. Dia tidak merasa bersalah telah memaksakan kehendak pada putrinya, karena dia menganggap semua yang dia lakukan demi kebaikan putrinya sendiri.
Mata Malika berkaca kaca menahan tangis, dia merasa kecewa dan sakit hati pada Ayahnya. Satu satunya anggota keluarga yang dia miliki di dunia ini, malah menyesatkannya dan tidak mau mendukung keinginannya.
Malika langsung teringat pada mendiang Ibunya yang baru meninggal beberapa bulan lalu. Andai saja Ibunya masih hidup, wanita itu pasti akan mendukung Malika dan menolak dengan tegas keinginan suaminya.
"Ayah jahat! Aku benci Ayah!" Ucap Malika dengan penuh emosi. Dia membanting sendok diatas piring kemudian meninggalkan ruang makan dengan segera.
"Tunggu Malika! Ayah masih ingin bicara dengan kamu!" Hendri tak terima ditinggal pergi begitu saja oleh anaknya. Sayang, Malika tak peduli dengan panggilan Hendri, bahkan menoleh kearahnya saja tidak.
Malika masuk kedalam kamarnya, dia menutup pintu dan menguncinya. Dia menjatuhkan tubuhnya keatas kasur dan memeluk bantal guling sambil menangis. Malika tak peduli jika suara tangisnya itu terdengar oleh tetangga sekitar rumahnya, yang penting emosi yang ada dalam diri Malika saat ini bisa tersalurkan.
"Apapun yang terjadi aku tidak mau menikah dengan Dede, jika Ayah tetap bersikukuh lebih baik aku pergi dari rumah saja." Gumam Malika lirih.
Tok... Tok... Tok...
Suara pintu di ketuk berkali kali, Hendri belum mau menyerah membujuk Malika agar mau dijodohkan dengan Dede. Kesempatan emas seperti itu tidak akan pernah datang dua kali, dan Hendri sangat ingin memiliki menantu dari keluarga kaya juga terpandang.
"Malika, tolong buka pintunya!" Seru Hendri.
"Aku tidak mau. Berhentilah memaksaku, aku menolak untuk menikah dengan preman pasar itu titik!" Teriak Malika dengan nada tinggi.
***
Pagi buta, Malika membuka jendela kamarnya lebar lebar. Dia melempar sebuah tas keluar jendela, kemudian dia melompat dengan tergesa gesa. Pagi masih buta, semua orang termasuk Hendri masih terlelap dalam tidurnya.
Hendri tidak tau kalau Malika kabur dari rumah. Hal itu terpaksa Malika lakukan karena dia tidak mau menikah dengan putra juragan empang.
Malika naik ojeg pangkalan, dia pergi kearah stasiun kereta api. Malika berencana menyusul Yeni teman dekatnya ke jakarta tanpa sepengetahuan siapapun, termasuk Yeni sendiri.
"Ayah, maafkan aku. Aku harap Ayah bisa mengerti arti kepergian ku suatu saat nanti," batin Malika.
Setelah menempuh perjalanan sekitar delapan jam naik kereta api, Malika tiba di stasiun tujuan. Dia naik Taxi menuju sebuah alamat rumah kontrakan yang pernah Yuni berikan padanya.
"Baru dari kampung ya neng?" Tanya supir Taxi bertampang ramah itu.
"Iya Pak," sahut Malika singkat.
"Kampungnya mana Neng?" Tanya pria tua itu lagi.
"Gandrungmangu, Cilacap Pak,"
"Bapak juga orang Cilacap, tapi dari daerah Sidareja,"
"Ah, aku tidak menyangka bisa bertemu tetangga jauh disini," Malika tertawa kecil.
"Disini mah orang kampung banyak Neng, dari mana mana ada. Semua campur aduk jadi satu, bersaing meraih rupiah,"
"Semoga saja aku bisa bersaing dengan lainnya mencari rupiah dan bisa menjadi sukses," celetuk Malika.
"Amin..."
Obrolan singkat antara Malika dan supir Taxi itu berakhir saat mobil itu tiba didepan sebuah rumah kontrakan khusus perempuan. Jalan kenanga nomor lima, komplek kontrakan melati.
"Akhirnya aku sampai juga," Malika menarik nafas lega.
Usai membayar ongkos sesuai tarif dia langsung keluar dari Taxi dan berjalan menuju sebuah pintu nomor sembilan. Baru saja Malika mau mengetuk pintu, pintu kamar itu terbuka lebar dan sosok Yeni keluar dari dalamnya.
"Hallo, Yeni..." Malika meringis. Yeni melongo, dia kaget bukan main saat mendapati Malika sedang berdiri didepan pintu kamar kontrakannya.
"Tolong carikan aku pekerjaan, kerja apa saja aku mau yang penting dibayar pakai uang," ucap Malika. Dia sama sekali tidak memberi tahu Yeni kalau dia kabur dari rumah untuk menghindari perjodohan.
Yeni menatap Malika Iba, jelas sekali wanita muda itu sedang membutuhkan pekerjaan. Tiba tiba saja dia teringat pada Bosnya yang sedang mencari Baby sitter untuk anaknya. Sepertinya Malika cocok dengan pekerjaan itu.
"Kalau jadi Baby sitter anak tujuh tahun mau tidak?" Tawar Yeni.
"Anak tujuh tahun ada yang masih memakai baby sitter?" Malika sedikit terkejut.
"Ada, dia anak Bosku. Namanya Jessika biasa dipanggil Jessi. Anaknya manja sekali, apa apa minta dilayani, maklum anak orang kaya," jelas Yeni.
"Aku mau jadi Baby sitter anak itu," Malika nampak begitu bersemangat.
"Baiklah, nanti malam aku akan antar kamu kesana. Sekarang kamu istirahat saja dulu," ucap Yeni.
"Oke, terimakasih atas bantuannya ya Julaeha," sebuah senyum mengembang di wajah manis Malika.
"Sama sama. Kita kan teman, sesama teman wajib saling membantu bukan?"
Malika dan Yeni telah berteman sejak kecil, rumah mereka juga lumayan dekat. Hubungan keduanya terjalin dengan baik, bahkan hampir tidak pernah memiliki konflik atau masalah apapun. Mungkin karena Malika dan Yeni memiliki watak dan kepribadian lumayan mirip, jadi mereka bisa saling cocok.
Memiliki teman yang baik adalah sebuah rezeki dari Tuhan yang perlu disyukuri. Di jaman serba moderen dan juga sulit seperti sekarang ini jarang ada orang yang mau membantu temannya, apa lagi secara cuma cuma. Malika benar benar beruntung memiliki teman seperti Yeni.
Bersambung....
Keesokan harinya, Yeni mengantar Malika kerumah Bosnya yang bernama Arnold. Pria matang berusia 35 tahun, tampan, kaya, dan kebetulan seorang duda. Banyak wanita yang tertarik pada duda beranak satu itu, termasuk Yeni. Tapi Yeni sadar diri siapa dirinya, dan dia sedang berusaha untuk membuang rasa sukanya pada Arnold saat ini.
Taxi yang ditumpangi oleh Yeni dan Malika berhenti tepat didepan sebuah rumah mewah berlantai dua. Yeni menggandeng Malika erat dan membawanya menuju teras rumah mewah bercat putih itu.
Ting... Tong...
Bel berbunyi saat Yeni menekan tombolnya beberapa kali. Setelah menunggu lumayan lama, seorang wanita paruh baya keluar membukakan pintu.
"Pagi Bi Narti," sapa Yeni dengan senyum manis.
"Pagi Non, tumben pagi pagi sekali kesini?" Tanya wanita itu penasaran.
"Bos Arnold ada tidak? Ada temanku yang mau melamar menjadi baby sitter Jessika," ucap Yeni.
"Ada, mari semuanya masuk dulu. Biar Bibi panggilkan pak Arnold," ajak Bi Narti dengan ramahnya.
"Oke Bi, terimakasih ya Bi."
Yeni menarik tangan Malika, membimbingnya untuk masuk keruang tamu dan duduk diatas sebuah sofa beludru. Malika menyentuh sofa itu, terasa begitu lembut ditangan. Sudah jelas kalau sofa itu berharga mahal.
"Malika, yang tadi itu Bi Narti. Dia masih saudari jauh ibuku," jelas Yeni.
"Oh... Pantas kamu akrab sekali dengannya," ucap Malika.
"Dia orang baik, jika kamu diterima bekerja disini pasti akan betah. Soalnya hanya kamu dan Bi Narti saja asisten yang ada dirumah ini," Yeni menepuk pundak temannya beberapa kali.
"Iya, semoga saja aku diterima ya." Malika nampak tidak sabar ingin segera bertemu dengan Pak Arnold dan Jessika.
Tak lama, seorang pria menuruni anak tangga. Dia terlihat gagah dengan pakaian rapih dan brewok tipis yang melekat di dagunya. Untuk sesaat, Malika menatap pria itu sampai lupa berkedip. Untuk pertama kalinya dalam hidup dia melihat pria matang tampan seperti itu.
Segera, Malika menundukkan wajahnya. Dia tak mau dibilang sebagai gadis genit yang hobi memandangi pria sampai keluar air liur. Walaupun sebenarnya dia masih enggan memalingkan pandangannya dari Arnold.
"Siapa namamu?" Tanya Arnold.
"Malika Pak,"
"Berapa usiamu? Apa pendidikan terakhirmu?"
"Usiaku dua puluh tahun, pendidikan terakhir SMK,"
"Apa kamu sudah punya pengalaman mengurus anak kecil sebelumnya?"
"Belum, tapi aku punya banyak adik jadi sedikit banyak aku mengerti bagaimana cara mengurus anak kecil," Malika berbohong.
Yeni melotot, dia tau kalau temannya sedang berbohong. Malika adalah anak satu satunya Pak Hendri, dia bahkan tak punya saudara sepupu, apa lagi seorang adik. Tapi Yeni bisa memaklumi kebohongan Malika, karena dia sudah sangat ingin mendapatkan pekerjaan.
Seorang anak perempuan berusia tujuh tahun keluar dari kamarnya, dia nampak lucu dengan rambut panjang dikepang dua. Dia adalah Jessika, putri kesayangan Arnold.
"Siapa dia Ayah?" Tanya Jessika sambil duduk disamping Ayahnya.
"Dia temannya Yeni, sedang melamar menjadi baby sitter kamu. Bagaimana menurutmu?" Arnold meminta pendapat putrinya.
Jessi memandang Malika lekat lekat. Wajah cantik, bodi ramping, usia muda. Dia tak hanya cocok untuk dijadikan pengasuh saja, melainkan cocok untuk dijadikan bintang iklan. Jessi cemas kalau Ayahnya akan tergoda dengan pesona Malika jika Malika diterima bekerja dirumah itu.
"Aku tidak butuh pengasuh, apalagi usianya masih terlalu muda. Dia pasti minim pengalaman bukan?" Ucap Jessika ketus.
"Kamu tidak hanya memerlukan pengasuh, tapi juga teman untuk bercerita. Ayah rasa dia cocok untuk menjadi pengasuh sekaligus temanmu," ucap Arnold.
"Terserah Ayah saja lah! Ayah memang suka memaksakan kehendak!" Jessi yang kesal meninggalkan Arnold dan Malika begitu saja.
Arnold menarik nafas panjang dan menghembuskannya secara perlahan. Anak itu memang keras kepala, sama seperti dirinya. Arnold benar benar dibuat kewalahan oleh titisannya sendiri.
"Maafkan aku Malika, putriku memang terkadang bersikap menyebalkan. Tapi sebenarnya dia anak yang baik,"
"Tidak apa apa Pak, aku bisa memahami sikap anak kecil," Malika meringis. Padahal dalam hati dia kesal pada ulah tengil calon anak asuhnya itu.
"Oke Malika, aku menerima kamu bekerja menjadi pengasuh putriku. Bekerjalah dengan baik, dan jangan kecewakan aku. Mengerti?" Ucap Arnold sambil memandang wajah Malika lekat lekat.
"Ya, aku mengerti Pak." Sahut Malika sambil menyunggingkan senyum lebar.
Sebenarnya Arnold masih sedikit ragu dengan kinerja anak muda itu, terlebih dia belum memiliki pengalaman menjadi pengasuh. Tapi tidak ada salahnya mencoba bukan? Lagi pula sepertinya Jessika membutuhkan teman.
***
Malika diajak oleh Bi Narti kedalam kamarnya, mulai hari ini dan seterusnya mereka akan berbagi kamar sekaligus tempat tidur. Sebenarnya Malika kurang nyaman jika harus berbagi kamar dengan orang lain, tapi ini perantauan, bukan rumahnya dikampung halaman. Mau tidak mau Malika harus mau belajar berbagi ruangan dengan teman kerjanya.
Kamar itu hanya berukuran 3x3 meter, memiliki satu buah ranjang berukuran besar dan dua buah lemari plastik. Meski hanya kamar asisten, disana disediakan AC dan fasilitas lain seperti kulkas mini dan dispenser.
"Malika, apa rumahmu dekat dengan rumah Yeni?" Bi Narti membuka pembicaraan.
"Lumayan Bi, hanya berjarak beberapa meter saja," jawab Malika.
"Aku jarang sekali main kerumah Yeni, jadi aku tidak tau kalau Yeni punya teman secantik kamu," Bi Narti sedikit menggoda.
"Bibi pandai sekali memuji," Malika sedikit terbang ke awang awang.
Kenyataanya Malika memang gadis cantik, dia memiliki kulit putih seperti susu dan rambut lurus meski tidak di rebonding. Banyak pria yang suka padanya, tapi selalu di tolak karena Malika belum ingin belajar berpacaran.
"Jessika itu sebenarnya anak yang baik, tapi dia kurang perhatian dari orangtuanya makannya jadi nakal. Dalam setahun, dia bisa empat atau lima kali ganti pengasuh," cerita Bi Narti.
"Kalau boleh tau, kemana Ibu Nona Jessi Bi?" Malika penasaran.
"Dia diusir dari rumah ini oleh Pak Arnold, setelah mereka resmi bercerai. Saat itu Jessika masih berusia lima bulan dan belum putus asi,"
"Kenapa mereka berdua bisa bercerai?" Lanjut Malika.
"Nyonya ketahuan selingkuh dengan sepupu Pak Arnold sendiri, memalukan bukan? Seperti tidak ada pria lain saja dimuka bumi ini," Bi Narti menceritakannya dengan nada sedikit kesal. Seolah dia ikut sakit hati pada mantan istri majikannya itu.
"Pantas saja Pak Arnold terlihat datar saat melihat perempuan, ternyata dia punya trauma masa lalu," cicit Malika.
"Kamu tau tidak, Pak Arnold kurang suka pada Non Jessika. Karena wajah anak itu sangat mirip dengan Ibunya. Pak Arnold sering mengabaikan Nona Jessi dan acuh padanya,"
"Kasihan sekali anak itu, dia kan tidak salah apa apa. Aku akan menjaga dan mendampingi anak itu dengan baik, jangan sampai dia merasa hidup kesepian didunia yang begitu ramai ini," janji Malika pada Bi Narti.
"Semoga kamu bisa betah kerja disini ya, dan bisa kuat menghadapi tabiat buruk anak itu," Bi Narti. sedikit khawatir.
"Ya, semoga saja."
***
Menjalin hubungan dekat dengan anak kecil susah susah gampang, Malika akan memulainya dengan membuatkan Jessika camilan yang biasa disukai oleh anak anak yaitu kue coklat.
Malika berkutat di dapur selama beberapa jam hingga bau kue sehabis dipanggang menyeruak ke seluruh ruangan yang ada didalam rumah itu.
Tak perlu menunggu waktu lama, Jessika langsung muncul di dapur dengan hidung mengendus endus.
"Baunya enak sekali, Kakak sedang membuat apa?" Tanya Malika.
"Aku sedang membuat pie coklat untukmu," sahut Malika.
"Untukku?" Jessika sedikit terkejut.
"Iya, untukmu. Apa kamu suka?"
"Aku suka segala sesuatu yang memakai coklat. Tapi tunggu dulu, Kakak pasti sedang mencoba untuk merayuku bukan?" Jessi memiliki firasat buruk tentang kebaikan Malika.
"Ah, tidak. Itu tidak benar. Aku hanya ingin membuat makanan untukmu saja, aku tidak memiliki niat lain. Membuat makanan untukmu kan juga menjadi salah satu tugasku sebagai pengasuh," Malika beralibi.
"Omongan Kakak ada benarnya juga," cicit Jessi lirih.
"Ayo coba kue ini," perintah Malika.
Jessi mengambil satu potong kue pie dan memasukannya kedalam mulut. Dia mengunyah makanan itu secara perlahan dan mencoba menikmatinya, rasa manis langsung meledak ledak didalam mulut.
"Kue ini tidak enak, sebaiknya Kakak simpan saja kue ini untuk Kakak sendiri!"
"Masa sih tidak enak? Mungkin karena tidak sesuai dengan seleramu saja ya. Baiklah, aku akan menyimpan makanan ini didalam lemari. Aku akan memberikannya pada kucing liar jika ada yang lewat didepan rumah ini."
Malika kembali ke kamarnya, dia menutup pintu dan menunggu untuk beberapa saat. Dia ingin tau apa yang akan dilakukan Jessi pada kue yang dibuatnya tadi. Malika tidak pernah gagal membuat kue sebelumnya, dia yakin Jessi sengaja mengatakan hal itu untuk membuatnya patah hati.
Setengah jam berlalu, Malika kembali ke dapur. Dia melihat kue pie yang disimpan olehnya berkurang beberapa biji.
"Dasar bocah tengi! Bilang tidak enak, tapi diam diam menyantapnya sampai habis beberapa biji. Anak yang menyebalkan!" Umpat Malika.
Bersambung...
Pagi hari, Malika dan Bi Narti bangun lebih awal dari biasanya, mereka membagi tugas agar pekerjaan rumah cepat selesai. Malika memasak sarapan, menyiapkan bekal untuk Jessi dan Arnold. Sementara Bi Narti mengerjakan pekerjaan lain.
Semua hidangan tersaji diatas meja, Jessika dan Arnold menelan air liur karena visual makanan itu sangat menggoda dan berbau harum. Segera pasangan Ayah dan anak itu menyendok nasi, kemudian makan dengan lahap.
"Ternyata Kak Malika tidak hanya pintar membuat kue, tapi juga pandai memasak makanan lainnya," batin Jessi.
"Sayang, bagaimana rasanya masakannya? Tidak kalah dengan masakan koki bintang lima bukan?" ucap Arnold.
"Biasa saja tuh," ucap Jessi ketus. Meski mulutnya ketus, Jessi tetap menyantap masakan Malika dengan lahap. Bahkan mulutnya sampai belepotan.
"Mungkin mulutmu sedang sariawan ya, jadi tidak enak makan. Masakan seenak ini kok dibilang biasa saja," goda Arnold. Jessi hanya memutar bola matanya ke sudut lain.
Jessika terus menyelipkan anak rambutnya pada daun telinga, dia sangat malas mengikat rambut. Malika menghampiri Jessika, dia mengambil satu buah karet gelang yang melingkar ditangannya dan mengikat rambut Jessika dengan rapih.
Kini, bocah berusia tujuh tahun itu terlihat imut. Dengan kedua pipi yang terlihat lebih tembem dari sebelumnya.
"Biasakan untuk mengikat rambutmu sebelum berangkat ke sekolah, agar tidak mengganggu konsentrasi dan aktivitasmu disana nantinya," Malika membelai kepala jessika lembut. Karena merasa nyaman, Jessika tidak menolaknya.
Arnold tersenyum, dia suka pada perhatian yang diberikan Malika pada Jessika. Dia tak menyangka, gadis berusia muda itu tau bagaimana memperhatikan anak asuhnya dengan baik.
Selesai sarapan, Malika ikut mengantar Jessika sampai ke sekolah. Anak manja itu memang selalu minta ditemani oleh pengasuhnya selama hampir dua puluh empat jam, kapanpun dan dimanapun dia akan pergi.
Didalam mobil, Malika melirik kearah Arnold. Pria itu terlihat menawan dengan setelan jas dan sepatu berwarna senada. Sudah tampan, kaya, masih saja dikhianati. Memang nasib Arnold saja yang sial, atau karena mantan istrinya yang bodoh?
Deg...!
Jantung Malika hampir lepas, pandangannya dan Arnold bertemu secara tidak langsung. Ternyata bukan hanya Malika saja yang suka mencuri pandang pada pria itu, tapi juga sebaliknya.
"Kak," panggil Jessika.
"Iya," sahut Malika singkat.
"Nanti Kakak tunggu aku di bangku taman sekolah ya, jangan kemana mana. Saat jam istirahat aku akan datang mencari Kakak,"
"Oke, aku tidak akan kemana mana. Aku akan menunggu sampai jam belajarmu selesai,"
"Nanti pulang sekolah, kita mampir dulu ke minimarket dekat rumah untuk membeli ice cream ya Kak,"
"Tanya Ayahmu dulu, boleh tidak. Kakak tidak bisa sembarangan membawa kamu pergi," Malika menunjukan sisi tanggung jawabnya sebagai seorang pengasuh.
"Ayah, apa boleh aku pergi ke minimarket nanti?" Tanya Jessika. Dia menurut pada perintah Malika.
"Tentu saja boleh, tapi jangan lama lama ya!" Pesan Arnold.
"Iya."
Arnold sedikit tertegun, sikap judes Jessi pada Malika sudah sedikit berkurang. Apa karena perhatian yang Malika berikan tadi?
***
Waktu bergulir, jam istirahat tiba. Ratusan siswa dan siswi SD Kencana Ungu keluar dari dalam kelas dan berbondong bondong menuju kantin sekolah.
Jessika berlari menghampiri Malika, dia mengambil tas belanja dan membuka kotak makannya.
Dua tangkup roti bakar rasa coklat kacang ada didalam sana menunggu untuk segera dieksekusi.
"Kenapa isinya hanya roti isi saja? Makanan yang tadi pagi mana?" Jessi protes sambil memonyongkan bibirnya.
"Aku pikir kamu tidak suka dengan masakanku yang tadi, jadi aku membuat bekal baru untukmu," Malika tertawa geli.
"Aku kurang suka roti, lain kali bawakan aku bekal yang lain saja!" Omel Jessika.
"Siap Nona!"
"Ngomong ngomong, kenapa kamu tidak ikut bergabung dengan teman temanmu saat jam istirahat?" Malika penasaran karena Jessika seperti menarik diri dari lingkungan sekitarnya.
"Aku tidak punya teman disini, itu kenapa aku mengajak pengasuhku ke sekolah agar aku punya teman ngobrol saat jam istirahat tiba," Jessika sedikit menekuk wajahnya.
"Kenapa bisa tidak punya teman? Kamu kan anak baik?" Malika terkejut.
"Mereka selalu mencemooh ku, mengolok olok kalau aku tidak punya Ibu. Menyebalkan bukan?"
"Siswa dan siswi disekolah ini kan ada banyak, tidak cuma satu. Jangan hanya karena ada yang tidak suka padamu kamu jadi menutup diri dari temanmu yang lain. Coba perhatikan sekelilingmu, aku yakin ada satu diantara mereka yang mau menjadi temanmu," Malika memberi masukan positif untuk anak asuhnya.
"Emhmmm... Tapi aku tidak yakin. Lagi pula apa punya teman itu menyenangkan?" Jessika memasang wajah polos.
"Tentu saja menyenangkan, kamu jadi punya tempat berbagi dan bercerita tentang suka duka. Bisa saling mendukung satu sama lain dan masih banyak yang lainnya,"
"Kamu itu hanya pengasuhku, jangan si dia memberi aku nasihat!"
"Anak ini mulutnya pedas sekali! Apa yang Ibunya makan saat sedang ngidam dulu? Seblak jeletot level sepuluh kah?" Gerutu Malika dalam hati.
Bersambung...
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!