"Jadi kapan pacar mu itu akan datang menemui ayah Lyn?"
Zaki Ravindra. Ayah dari perempuan yang kini tengah duduk di hadapannya mulai buka suara.
"Kalian udah lama pacaran. Setidaknya ada omongan serius dari Jenan tentang hubungan kalian kedepannya mau gimana." Ujarnya lagi.
"Kami belum membahas masalah itu yah." Lirihnya.
Padahal sudah sering mereka membahas tentang pernikahan. Namun, selalu berakhir dengan Zalyn yang merasa kesal setelah pembahasan itu. Entah kenapa Jenan, laki-laki itu selalu saja mengalihkan ke topik lain ketika mereka sedang membahas tentang pernikahan, seolah hanya Zalyn yang menginginkan keseriusan dalam hubungan mereka.
"Tapi kalian udah sama-sama dewasa Zalyn, mau sampai kapan kalian akan terus menerus menjalin hubungan seperti anak remaja." Kini giliran sang ibu. Amanda Maheswari, yang bersuara
"Ayah kasih kamu waktu satu bulan untuk membawa Jenan datang menemui Ayah. Tapi jika dalam waktu tersebut Jenan tidak datang juga, Ayah terpaksa akan mencarikan jodoh buat kamu."
Zalyn tersentak dengan penuturan sang ayah barusan. Ayahnya terlalu terburu-buru memutuskan. Ini bukan lagi zaman nya main jodoh-jodohan. Pikirnya, Dan Zalyn pasti akan langsung menolaknya.
"Tidak bisa begitu dong yah! Kami masih sama-sama muda. Tidak perlu terburu-buru melangsungkan pernikahan. Lagipula Mas Jenan masih harus mengumpulkan biaya untuk pernikahan kami."
"Sampai kapan kamu akan menunggu Zalyn? Usia tidak akan mempengaruhi laki-laki kapan pun mereka akan menikah tapi tidak dengan perempuan."
Apa yang di katakan sang ayah memang benar. Usia menjadi patokkan untuk seorang perempuan menikah. Apalagi di lingkungan tempat nya tinggal. Perempuan yang menikah di atas usia dua puluh lima tahum akan di labeli perawan tua. Entah siapa yang memplopori itu dulu.
"Ayah mu benar Lyn. Usia mu udah cukup matang untuk menikah."
"Lagi pula ayah ataupun ibu, tidak memaksakan pernikahan mu di gelar dengan sangat mewah. Ajaklah dulu Jenan kemari, nanti kita bisa bicarakan bagaimana baiknya untuk kalian berdua."
Zalyn hanya menunduk mendengar apa yang ibunya katakan. Apa yang ayah maupun ibunya katakan semuanya memang benar. Hubungan mereka terlalu santai dan menunda-nunda untuk ke jenjang yang lebih serius. Padahal Jenan maupun Zalyn sepertinya sudah siap secara mental maupun financial.
"Kasihan juga sama adikmu yang harus terus menunggumu."
"Maksud ibu?"
"Sudah ada laki-laki yang datang untuk melamar adikmu." Itu Ayah Zalyn yang menjawab.
Kini pandangan Zalyn tertuju pada adik satu-satunya itu, yang sedari tadi hanya diam menyimak pembicaraan mereka. Apakah ini karena adik ku? sehingga ayah dan ibu memaksa ku untuk segera menikah. Hati ku sedikit tercubit. Jika memang apa yang aku pikirkan tentang mereka itu benar. Lirihya dalam hati
"Kamu jangan salah paham dulu Lyn. Ini kali ke tiga laki-laki itu datang melamar adikmu. Tapi kami belum bisa memberikan keputusan."
Seolah bisa membaca pikiran Zalyn, Amanda kembali menjelaskan alasannya.
"Kenapa harus menunggu ku bu? Aku tidak masalah jika Aira menikah lebih dulu."
"Bagimu itu tidak masalah dan bagi kami juga itu bukan masalah. Tapi bagaimana dengan pandangan keluargga besar kita dan juga para tetangga. Jika mereka tahu kalau kamu di langkahi adik mu."
Zalyn mendesah lelah. Pendapat dan pandangan orang masih menjadi momok menakutkan bagi keluargganya. Padahal ia tidak peduli dengan semua itu, tapi di lingkungan tempatnya tinggal memang masih menganut kepercayaan dimana bila sang kakak dilangkahi menikah oleh adiknya itu akan mendatangkan sial untuk sang kakak, entah itu lama akan mendapatkan jodoh atau bahkan tidak akan menikah sampai tua. Ngeri sekali, dan itu masih membudaya.
"Ibu hanya tidak ingin mendengar orang-orang bicara buruk tentang anak-anak ibu. Terutama kamu Lyn."
Zalyn paham. Dan ia sangat mengerti dengan apa yang ayah dan ibunya khawatirkan. Mereka takut salah satu dari kedua puterinya mendapatkan image yang buruk.
*****
Setelah pembahasan semalam. Zalyn mengajak Jenan bertemu di tempat biasa mereka mengahabiskan waktu berdua. Kebetulan masih ada satu hari lagi mereka bisa bertemu sebelum mereka LDRan kembali. Ya, mereka menjalani hubungan jarak jauh dua tahun belakangan ini. Jenan bekerja di kota yang berbeda dengan Zalyn. Satu bulan atau dua bulan sekali mereka bertemu untuk melepaskan rindu. Hubungan keduanya pun tampak baik-baik saja, hubungan mereka masih sama seperti dulu. Tidak ada yang berubah meski sekarang mereka terpisahkan oleh jarak.
Sperti biasa, Jenan selalu datang lebih awal. Zalyn yang melihatnya tengah duduk di pojok cafe segera menghampirinya.
"Udah lama nunggu Mas?"
Zalyn menyapanya dan langsung duduk di hadapan lelaki yang memiliki senyuman sehangat mentari itu. Dia selalu tersenyum dan berwajah ceria. Itu yang membuat Zalyn menyukainya. Di dekatnya Zalyn selalu merasa hangat.
"Berpuluh-puluh abad pun akan aku lakukan buat nunggu kamu yang."
"Ish, gombal."
Itulah dia. Laki-laki yang selalu melontarkan hal-hal receh yang membuat hati Zalyn selalu menghangat.
Jenan memesan banyak makanan. Dia merasa Zalyn agak kurusan sekarang. Jadi dia meminta Zalyn untuk makan banyak hari ini. Padahal sepertinya ada sesuatu hal yang membuat nafsu makannya berkurang akhir-akhir ini. Entah, karena apa. Zalyn juga tidak tahu.
Setelahnya mereka berdua pergi jalan-jalan, menghabiskan waktu yang ada dan memanfaatkan waktu yang tersisa. Saking asyiknya mereka menghabiskan waktu berdua tak terasa hari mulai gelap. Jenan segera mengantarkan Zalyn pulang ke rumah.
"Mas gak mau mampir?" Tanya Zalyn sebelum membuka pintu mobil.
"Lain kali aja yang."
"Kenapa nggak sekarang aja sih Mas ketemu sama ayah dan ibu?"
Di tengah kebersamaan mereka tadi, Zalyn sudah menjelaskan semuanya. Perihal ayahnya yang mengharapkan kedatangan Jenan. Tak ada yang Zalyn tutup-tutupi. Zalyn ceritakan semuanya. Dan kali ini Jenan pun menanggapinya dengan serius.
"Mas belum ada persiapan apa-apa yang. Mas juga belum cerita sama keluargga. Nggak enak juga kalo Mas cuma datang sendiri."
"Kamu sabar ya yang. Minggu depan Mas akan datang bersama keluargga ke rumah kamu."
"Bener ya."
"Iya."
"Ya udah aku turun ya, Mas hati-hati di jalan!"
"Iya bawel. Salam sama ayah dan ibu."
Dengan langkah ringan Zalyn masuk ke dalam rumah. Ternyata sudah ada ayah dan ibunya yang tengah duduk di ruang tamu.
"Pergi sama Jenan?"
"Iya yah." Ucapnya, seraya menghampiri mereka.
"Sini duduk. Ayah mau bicara."
Zalyn duduk di salah satu sofa yang kosong di hadpan mereka.
"Gimana? Kamu udah bilang sama Jenan?"
"Udah yah. Mas Jenan bilang dia dan keluargganya minggu depan akan datang ke rumah."
"Syukurlah. Jika Jenan sudah memberikan kepastian. Maafin Ayah ya Lyn. Kalau kesannya ayah sama ibu neken kamu."
"Nggak ko yah, Zalyn ngerti. Apa yang ayah dan ibu khawatirkan."
"Terimakasih. Zalyn udah mau mengerti kami."
Zalyn pamit pada mereka untuk segera memasuki kamarnya karena ia merasa lelah seharian ini. Saat Zalyn hendak menuju ke kamarnya. Ia melihat pintu kamar adiknya sedikit terbuka. Jadi ia memutuskan untuk menemui adiknya dan berbincang sebentar.
Tok tok tok
"Boleh kakak masuk?"
"Masuk aja kak."
Rupanya Aira Elvara– nama adiknya, tengah rebahan di ranjangnya, sepertinya adiknya itu juga belum lama pulang dari kantornya. Zalyn dan Aira bekerja di kantor yang berbeda. Jadi terkadang mereka berangkat atau pun pulang tidak bisa barsama-sama
Zalyn duduk di pinggiran ranjang Aira sedangkan Aira kini tengah duduk di atas kasurnya.
"Baru pulang Kak?"
"Iya Dek, tadi abis jalan sama Mas Jenan,"
"Mas Jenan belum balik lagi?"
"Belum, mungkin besok."
Zalyn dan Aira terbilang sangat dekat. Jadi tidak ada rahasia di antara mereka, usia mereka juga tidak terpaut begitu jauh, mereka hanya selisih dua tahun. Dari dulu mereka selalu terbuka satu sama lain. Bahkan soal laki-laki yang dekat dengan mereka. Meski begitu di antara mereka tidak pernah terjadi konflik memperebutkan laki-laki. Perinsip mereka, laki-laki yang mendekati mereka berdua di waktu yang bersamaan itu laki-laki brengsek. Yang tidak layak untuk di pertahankan. Memang mereka siapa? Seenaknya akan menghancurkan persaudaraan mereka. Tidak semudah itu. Itu yang selalu mereka tekankan dalam hati mereka.
Larut dalam keheningan, Aira kembali membuka suara.
"Maaf ya Kak. Kakak pasti merasa tertekan karena masalah ini,"
"Nggak ko. Kakak ngerti, Ini juga bukan salah kamu. Permasalahnya ada sama kakak dan hubungan kakak sama Mas Jenan. Harusnya kami berdua bisa lebih matang dalam membawa hubungan ini akan ke mana arahnya tapi kita malah santai-santai aja. Jadi keduluan kamu deh hehehe."
Zalyn mencoba mencairkan suasana agar tidak terlalu serius dalam obrolan.
"Lalu kapan Mas Jenan dan keluargganya ke rumah kak?"
"Mmmm, Mas Jenan bilang sih minggu depan, mereka akan datang,"
"Kakak serius? Wah! selamat ya Kak. Aku turut seneng dengernya."
Terpancar binar bahagia di wajah Aira. Bahakan kini dia memeluk Zalyn dengan begitu erat.
"Kamu seneng bener dengarnya Dek,"
"Iya donk. Itu artinya aku dan pacar aku tidak perlu lagi menunggu terlalu lama,"
"Oh, jadi gitu?"
"Hehe bercanda Kakak,"
"Ya udah kamu istirahat gih, kakak juga mau istirahat,"
"Siap kakak ku sayang."
Zalyn pun keluar dari kamar Aira dan masuk ke dalam kamarnya.
Segera ia masuk kedalam kamar mandi untuk membersihkan diri sebelum beranjak untuk istirahat.
Setelah keluar dari kamar mandi, Zalyn mengecek ponselnya. Ternyata ada pesan dari Jenan tiga puluh menit yang lalu.
[ Udah tidur Yang?]
[Maaf baru sempet bales Mas. Tadi aku abis ngobrol dulu sama Aira. Mas Jenan udah nyampe rumah?]
[Udah sayang. Satu jam yang lalu. Kamu lagi ngapain sekarang?]
[Baru selesai mandi Mas, sekarang mau istirahat.]
[Ya udah, selamat istarahat ya,]
[Mas Jenan juga istirahat]
[Iya, sayang]
Hubungan mereka terbilang harmonis. Mereka akan selalu bertukar kabar meski di sela-sela kesibukan mereka. Meski hubungan mereka sudah berjalan hampir lima tahun, semuanya masih terasa sama. Sebuah Pertengkaran pasti selalu menghiasi setiap hubungan. Namun mereka selalu bisa menyelasaikanya dengan dewasa. Meski terkadang Zalyn suka bersikap seperti anak kecil tapi itu tidak membuat maslah dalam hubungan mereka berlarut-larut. Jenan selalu bisa membuat hubungan mereka kembali baik-baik saja. Hingga Zalyn tidak menyadari bahwa ternyata ada badai besar yang akan menerpa hubungan mereka. Dan Zalyn belum siap untuk itu.
Satu minggu telah berlalu dan tibalah hari ini. Hari dimana Jenan dan keluargganya akan datang melamar Zalyn.
Keluargga Zalyn serta beberapa kerabat dekat sudah siap untuk menyambut kedatangan mereka.
Dekorasi kecil untuk acara lamaran dan segala bentuk hidangan sudah siap. Zalyn juga sudah siap dengan penampilan yang cantik di hari spesial ini.
Hingga satu jam sudah berlalu, tapi kedatangan mereka belum juga tiba. Zalyn mulai resah. Mencoba menghubungi Jenan tapi ternyata ponselnya tidak aktif.
"Apa ponselnya masih belum bisa di hubungi Lyn?"
"Masih belum yah," Zalyn menggigit bibir bawahnya menyalurkan kegelisahan dalam hatinya.
"Oke kita tunggu satu jam lagi."
Zalyn masih terus mencoba menghubungi lelaki itu. Dan juga mencoba menghubungi orang-orang terdekat Jenan tapi nihil. Mereka semua sama, tidak bisa di hubungi.
Semalam mereka masih berkirim pesan. Tapi memang selepas subuh nomornya sudah tidak aktif. Zalyn pikir mungkin Jenan juga tengah sibuk mempersiapkan acara lamaran mereka, sama hal dengan dirinya yang juga sibuk mempersiapkan untuk penyambutan kedatangan mereka. Sehingga Zalyn juga melupakan ponselnya.
Tiga jam menunggu. Masih tidak ada tanda-tanda mereka akan datang. Zalyn melihat raut kecewa di wajah-wajah kerabat yang hadir. Terlebih Ayah dan Ibunya.
Aira, selalu berada di samping Zalyn. Menguatkan sang kakak dengan segala kemungkinan yang akan terjadi.
Tiba-tiba dari luar, terdengar suara seseorang. Zalyn dan Aira bergegas menghampiri.
"Permisi, permisi,"
"Ya, cari siapa ya,"
"Dengan Ibu Zalynda Adora?"
"Iya betul, saya sendiri. Ada apa ya?"
"Oh, ada kiriman surat buat Ibu,"
"Dari siapa ya Mas?"
"Saya kurang tahu bu. Di sini tidak tertera nama pengirimnya. Cuma ada Nama dan alamat si penerimanya saja Bu,"
"Baik. Terimakasih Mas."
Ternyata itu kurir. Kurir yang mengantarkan surat untuk Zalyn entah dari siapa.
"Surat dari siapa Kak?"
"Entah, kakak juga tidak tahu. Tidak ada nama pengirimnya,"
"Coba langsung di buka Kak,"
Dengan rasa penasaran yang tinggi Zalyn segera membuka isi dari surat tersebut.
"Sayang maaf. aku tidak bisa melanjutkan hubungan kita."
~Jenanda Dewantara~
Singkat, padat dan jelas isi surat tersebut. Namun mampu memporak porandakan hati Zalyn dan meluruhkan air matanya.
Zalyn hampir kehilangan keseimbangan jika Aira tidak segera menahannya.
Zalyn kembali mencoba menghubungi nomor Jenan. Jawabannya masih sama dengan sebelum-sebelumnya, hanya suara operator yang terdengar.
Tubuh Zalyn merosot ke lantai. Di ikuti Aira yang memeluknya. Dadanya terasa sesak sekali. Setega itu Jenan mengakhiri hubungan mereka secara sepihak. Dan dengan kejamnya ia mengakhiri hubungan mereka di detik-detik kedua keluargga mereka akan bertemu. Apakah lima tahun hubungan mereka itu tidak berarti apa-apa untuknya.
Dan selanjutnya hanya suara ricuh orang-orang dan teriakkan sang ibu serta adiknya yang terdengar. Pandanganya gelap dan Zalyn tidak ingat apa-apa lagi.
*****
Setelah batalnya acara lamaran tadi siang. Zaki benar-benar merasa kecewa dan juga malu pada kerabat yang hadir.
Sementara Zalyn berada di atas ranjangnya dengan kondisi lemas. Meski baru sadar dari pingsannya, Zalyn masih terus berusaha untuk menghubungi nomor Jenan. Dan ternyata sampai detik ini pun ponsel Jenan masih tidak bisa di hubungi sama sekali.
"Dari awal Ayah sudah mempunyai firasat buruk pada lelaki itu. Ternyata firasat Ayah memang benar,"
"Jangan sekarang yah, Zalyn baru juga siuman," sang ibu prihatin melihat kondisi putrinya sekarang.
"Zalyn yakin, Mas Jenan pasti punya alasan. Kenapa dia melakukan ini semua yah,"
Meski sakit atas perlakuannya. Entah mengapa hati Zalyn masih tidak mempercayai jika Jenan tega melakukan ini semua. Zalyn merasa yakin pasti ada sesuatu yang terjadi, maka ia akan mencari tahu apa penyebabnya.
"Kamu masih saja membela lelaki pengecut itu?!"
Zaki marah, tentu saja dan Zalyn mengerti. Tapi Zalyn tidak bisa menerima semua yang terjadi begitu saja.
"Sudahlah yah. Jangan menyudutkan Zalyn terus,"
"Sekarang kamu tidak mempunyai pilihan lain. Selain mengikuti apa kata Ayah. Ayah akan mencarikan jodoh untuk mu,"
"Yah! Bahkan belum satu hari lamaran Zalyn batal. Dan ayah sudah membicarakan perjodohan? Zalyn tidak mau! Zalyn akan menunggu Mas Jenan. Zalyn yakin terjadi se–,"
"Cukup Zalynda!! Ayah tidak mau lagi dengar kamu membela lelaki kurang ajar itu."
Zaki memotong perkataan Zalyn begitu saja dan setelah mengatakan itu Zaki berlalu, minggalkan Zalyn dengan air mata yang siap tumpah di pipi.
Air mata langsung terjatuh saat Amanda mengusap kepala Zalyn. Ia merebahkan kepalanya di pangkuan sang ibu dan ia tumpahkan segala kesedihan di sana.
Keputusan Zaki sepertinya sudah final. Zalyn tidak bisa lagi membantah nya.
Padahal luka di hatinya masih sangat basah. Tapi tak ada yang bisa ia lakukan selain menuruti perintah sang ayah. Karena Zalyn tidak ingin melihat ayahnya semakin terluka karena ia yang terus menolak. Ia juga merasa kasihan pada Aira. Dia sudah terlalu lama menunggu.
*****
Sejak pembahasan Zaki tentang mencarikan jodoh untuknya. Zaki maupun Amanda belum lagi membahas perihal itu. Mungkin mereka memberikan Zalyn waktu untuk menyembuhkan luka di hatinya. Walaupun luka itu belum juga sembuh meski satu bulan telah berlalu. Dan selama itu pula Zalyn masih terus berusaha untuk menghubungi nomor Jenan dan mencari-carinya melalui semua media sosial yang ia punya. Zalyn juga mencari pada semua orang yang mengenal Jenan tapi sepertinya Jenan sengaja menghapus semua jejaknya hingga Zalyn tak bisa menemukan keberadaannya.
Saat Zalyn tengah sibuk men scroll sosial medianya. Tiba-tiba ada pesan masuk di aplikasi berlambang telepon berwarna hijau.
[Zalynda?]
Nomor baru itu lagi. Sudah hampir satu minggu nomor itu terus saja mengiriminya pesan dan selama itu pula Zalyn selalu mengabaikannya. Namun kali ini, Zalyn mencoba untuk membalas pesan tersebut. Ia penasaran juga pada orang yang selalu mengirimkannya pesan beberapa hari ini.
[Siapa ya?]
[Akhirnya kamu bales pesan aku Lyn. Aku Darrel]
[Darrel Devandi?]
[Tepat sekali.]
[Maaf Mas. Zalyn kira orang iseng, soalnya tak ada foto profilnya sih.]
[It's ok no problem. Besok ada waktu?]
[Kenapa Mas?]
[Bisa bertemu?]
[Mas Darrel udah pulang dari Luar Negri?]
[Iya, seminggu yang lalu. Jadi bisa bertemu tidak?]
[Bisa Mas. Tapi sepulang Zalyn kerja ya.]
[Tempat biasa?]
[Iya Mas.]
Darrel, ketua BEM di kampus mereka dulu. Darrel dan Jenan berteman, tapi Zalyn tidak tahu mereka teman seperti apa, karena yang Zalyn lihat mereka tidak begitu akrab. Mereka berdua kakak tingkat Zalyn di kampus. Dan dulu Zalyn dan Darrel lumayan dekat. Namun, tiba-tiba Darrel pergi ke luar negri saat semester empat. Entah karena apa, Zalyn juga tidak tahu dan sejak saat itu pula mereka tidak lagi bertukar kabar hingga sekarang.
"Zalyn! Disini." Darrel melambaikan tangan ketika melihat Zalyn memasuki cafe tempat mereka bertemu. Darrel memilih tempat duduk dekat jendela.
"Udah lama Mas?" Ucap Zalyn seraya duduk di hadapannya.
"Belum lama ko,"
"Kamu mau pesan apa Lyn?"
"Apa aja Mas,"
"Ok."
Pelayan menghampiri mereka dan mencatat pesanan. Darrel memesan kopi dan cheese cake untuk dirinya, sementara untuk Zalyn, ia memesankan milk tea dan cinnamon roll.
"Gimana kabar kamu?"
"Aku baik Mas. Mas Darrel sendiri gimana?"
"Seperti yang kamu lihat. Aku juga baik."
Lama tidak bertemu, mereka larut dalam obrolan masa lalu. Dari pesanan mereka datang hingga mereka menyantap makanannya, obrolan masih terus berlanjut.
"Oh ya, kamu masih berhubungan sama Jenan?"
Seketika raut wajah Zalyn berubah sendu. Niat hati Zalyn mau di ajak ketemuan dengan Darrel itu sekalian untuk menanyakan informasi tentang Jenan. Siapa tahu Darrel mengetahui keberadaan Jenan dimana, secara mereka teman. Tapi ternyata Darrel malah bertanya terlebih dahulu.
Melihat raut sedih di wajah Zalyn. Darrel kembali melontarkan pertanyaan.
"Ada apa Lyn?"
Zalyn menarik nafas dalam dan menghembuskan nya pelan. Berbicara tentang Jenan selalu membuat dadanya sesak.
"Mas Jenan menghilang Mas,"
Kedua alis Darrel bertaut. Sepertinya lelaki itu bingung dengan apa yang dikatakan Zalyn barusan.
"Maksud kamu? menghilang gimana?"
"Satu bulan yang lalu, kami akan mengadakan pertemuan antara kedua keluargga. Acara lamaran. Tapi, Mas Jenan tidak datang di acara lamaran kami. Ponselnya juga tidak bisa di hubungi, bahkan Mas Jenan sepertinya menutup semua akses komunikasi kami. Karena baik nomor telepon ataupun sosial medianya tidak bisa dihubungi. Dan dia juga memutuskan hubungan kami secara sepihak."
Luka di hati Zalyn kembali perih saat ia ceritakan masalah pelik yang tengah ia alami. Zalyn bahkan menceritakan perihal ayahnya yang akan mencarikannya jodoh. Sejujurnya Zalyn tidak mau, ia masih merasa yakin jika ada sesuatu terjadi pada Jenan. Karena dalam hatinya ia masih meyakini bahwa Jenan tidak mungkin akan menyakitinya seperti ini.
"Maaf Lyn aku tidak tahu. Aku kira hubungan kalian baik-baik saja. Sudah lama juga kami tidak saling bertukar kabar. Sejak aku pergi ke luar negri, komunikasi kami juga terputus Karena suatu hal."
"Tapi kamu tenang aja, nanti aku bantu cari keberadaan Jenan,"
"Terimakasih Mas,"
"Jangan sedih lagi."
Zalyn tersenyum senang. Pasalnya akan ada seseorang yang akan membantunya untuk mencari keberadaan Jenan. Ia sedikit merasa tenang sekarang. Setelahnya mereka mengobrol tentang banyak hal.
*****
Setelah pertemuan mereka beberapa minggu lalu. Komunikasi mereka menjadi semakin intens. Dan juga mereka sering bertemu di waktu-waktu luang. Tak lupa Zalyn selalu menanyakan perkembangan soal pencarian Jenan. Tapi Darrel selalu bilang, belum juga menemukan titik terang.
Hingga tiga bulan telah berlalu. Jenan benar-benar menghilang bak di telan bumi.
Dan hari ini Zaki membahas kembali perihal perjodohan untuk Zalyn.
"Bulan depan, keluargga pacarnya Aira akan datang lagi ke sini. Meminta kepastian kami. Itu artinya mau tidak mau kamu harus bertemu dengan calon yang sudah ayah pilihkan buat kamu,"
"Tolong beri Zalyn waktu lagi yah,"
"Sampai kapan Lyn? Ini udah lebih dari tiga bulan. Kamu yakin masih mengharapkan dia? Yang bahkan keberadaanya pun kamu tidak tahu dimana,"
"Tapi Zalyn masih berusaha mencarinya yah, di bantu seorang teman juga. Dan Zalyn yakin akan segera menemukan keberadaan Mas Jenan,"
"Lalu setelah kamu menemukannya kamu mau apa? Kamu mau kembali padanya? Apa kamu tidak punya harga diri?! Dia yang sudah membuang mu, Zalynda!!"
Lagi dan lagi kemarahan Zaki, terdengar. Hati Zalyn terasa sakit mendengar sang ayah mengatakan jika Jenan telah membuangnya. Benarkah itu? Dibalik ceria wajahnya dan hangat senyumnya. Benarkah Jenan tega melakukan ini terhadapnya?
"Jikapun benar kamu telah menemukannya. Apa dia mau bertemu denganmu? Sementara dia sendiri yang telah memutuskan hubungan kalian."
Suara Zaki melunak, melihat sang putri hanya menundukkan kepalanya. Sebenarnya ia tidak tega harus selalu meninggikan suara di depan putri sulungnya itu. Namun, emosinya selalu tersulut jika membahas lelaki yang telah menyakiti hati putrinya, terlebih sang putri masih saja membelanya.
"Ayah hanya ingin yang terbaik buat mu Zalyn. Ayah sudah pilihkan. Dia laki-laki yang baik, anak dari sahabat Ayah."
Setelah mengatakan itu, Ayah Zalyn pergi begitu saja meninggalkan Zalyn bersama sang ibu. Air mata kembali mengalir.
"Dengarkan Ayahmu kali ini Nak, ini semua demi kebaikan kamu,"
"Tapi bu, Zalyn belum siap,"
"Ibu paham Nak. Tapi coba jalani dulu, siapa tahu kalian berdua cocok."
Malam ini, lelaki pilihan sang ayah akan datang bersama keluarganya. Zalyn benar-benar tidak punya pilihan lain. Selain menuruti keinginan ayahnya.
Jujur saja Zalyn merasa takut, bagaimana jika nanti salah satu dari mereka berdua tidak bisa menjalani pernikahan lewat perjodohan ini.
Tok tok tok
Suara ketukkan pintu membuyarkan lamunan Zalyn. Ia tengah duduk di kursi rias menghadap cermin.
Rupanya itu Aira. Aira datang menjemputnya, menyuruhnya untuk segera keluar karena tamu mereka telah tiba.
Zalyn dan Aira berjalan bersisian. Namun, Saat mereka tiba di ruang tamu, bola mata Zalyn membulat. Ia terkejut melihat sosok lelaki yang beberapa minggu terakhir ini menghiasi harinya sedang duduk di sana dengan tenang.
"Duduk sini Nak." Zalyn menghampiri sang ibu dan duduk di sampingnya.
"Kata nak, Darrel dulu kalian satu kampus Lyn? Apa kalian sudah saling kenal?
Zaki bertanya pada Zalyn, karena tadi Darrel mengatakan bahwa ia berkuliah di kampus yang sama dengan putrinya itu.
Zalyn melihat ke arah Darrel dan lelaki itu hanya diam sambil tersenyum. Padahal tatapan mata Zalyn meminta penjelasan darinya.
"Kenal yah, Mas Darrel kating Zalyn di kampus,"
"Hahaha, ternyata dunia ini sempit sekali ya Zak. Niat kita mengenalkan mereka tapi ternyata mereka sudah saling kenal,"
"Ini akan mempermudah perjodohan mereka."
Zaki hanya tersenyum menanggapi ucapan Adibrata. Papanya Darrel.
"Kalian bicaralah dulu berdua. Udah lama juga 'kan baru bertemu lagi." Kini giliran Elena, Mamanya Darrel yang bicara.
Dan disinilah mereka sekarang, di taman belakang rumah. Mengikuti saran dari mamanya Darrel untuk bicara berdua.
Zalyn masih tidak mengerti dengan situasi ini, kenapa Darrel tiba-tiba ada di rumahnya dan membahas masalah perjodohan.
Terlebih lagi ternyata sahabat ayahnya itu adalah papa nya Darrel, apa ini bagian dari rencana mereka semua? Atau ini juga ada sangkut pautnya dengan batalnya acara lamarannya dan menghilangnya Jenan?
"Apa maksud dari semua ini Mas? Kenapa Mas Darrel tiba-tiba datang? Dan membicarakan tentang perjodohan?"
"Aku tidak ada maksud apa-apa. Aku hanya ingin menolong mu,"
"Menolongku dari apa?! Kita sering komunikasi bahkan bertemu tapi Mas Darrel tidak pernah membicarakan masalah ini,"
"Aku juga baru tahu kemarin Lyn, kalau wanita yang akan orang tua ku kenalkan adalah kamu,"
"Bohong! Mas Darrel sengaja 'kan? Sebenarnya apa tujuan Mas Darrel? Apa selama ini pencarian Mas Jenan hanya pura-pura? Padahal Mas Darrel tahu aku masih mengharapkan Mas Jenan kembali dan aku masih mencintainya."
Dada Zalyn naik turun. Ia meluapkan semua yang berkecamuk dalam hatinya.
"Dengar Lyn. Aku melakukan ini demi kamu dan Jenan. Kalau aku menolak perjodohan ini, Ayahmu akan mencarikan calon lain untukmu dan itu akan semakin sulit."
"Maksudnya,?"
"Jika kamu menikah dengan ku. Tidak akan sulit bagimu untuk lepas dariku,"
"Aku semakin tidak mengerti apa yang Mas Darrel bicarakan,"
"Ayo kita menikah dan mari kita cari sama-sama keberadaan Jenan. Pernikahan kita hanya pura-pura. Ini demi kalian."
" Lalu bagaimana dengan mu?"
" Aku? Kenapa aku?"
"Apakah tidak masalah buatmu? Hubungan pertemanan seperti apa yang kalian jalani? Haruskah Mas Darrel melakukan ini hanya demi kami?"
"Aku tak apa, asalkan kalian bahagia itu sudah lebih dari cukup buat ku. Jenan, dia sudah seperti saudara kandungku sendiri dan kamu…."
Darrel diam sejenak, sebelum kembali melanjutkan perkataannya. Tatapan Darrel semakin dalam memandang Zalyn. Entah apa yang lelaki itu pikirkan.
Ditatap begitu dalam membuat Zalyn sedikit salah tingkah. Sambil tersenyum ia kembali berkata.
"Aku menganggap mu sebagai teman. Jadi aku ingin melihat kalian berdua bahagia."
"Aku selama ini tidak tahu jika hubungan pertemanan kalian sedekat itu, Mas Jenan tidak pernah bercerita apapun tentang kalian,"
"Jenan yang menginginkan hubungan pertemanan kami tidak diketahui publik. Entah karena apa, aku tidak tahu." Nada suara Darrel syarat akan kesedihan saat berbicara tentang Jenan. Sepertinya hubungan pertemanan mereka memang dekat, tapi sedekat apa hanya mereka yang tahu.
"Aku akan menjaga mu di pernikahan ini. Aku juga tidak akan melebihi batas. Lalu saat Jenan kembali, mari kita akhiri pernikahan ini. Tapi tolong lakukan satu hal untuk ku selama menjalani pernikahan ini,"
"Apa?"
"Aku hanya ingin, kamu benar-benar menjadi seorang istri. Melayani semua kebutuhan ku, kecuali kebutuhan biologis aku tidak akan memintanya. Karena aku tahu pernikahan kita hanya pura-pura."
"Hanya itu?"
"Ya."
Tidak ada kebohongan dalam sorot matanya. Benarkah lelaki yang berada di hadapannya kini, benar-benar tulus membantu mereka? Zalyn akan mencoba mempercayainya, selain itu Zalyn juga akan mencari tahu, apa alasan sebenarnya lelaki itu melakukan ini semua.
*****
Akhirnya mereka berdua menyetujui, untuk melakukan pernikahan pura-pura. Dengan isi perjanjian, pernikahan mereka berdua akan berakhir jika Jenan berhasil ditemukan. Lalu bagaimana jika Jenan tidak berhasil ditemukan, akankah mereka berdua tetap menjalani pernikahan mereka? Atau akan mereka akhiri? Entah, biarkan waktu yang menjawab.
Pernikahan mereka akan dilaksanakan minggu depan, sesuai kesepakatan kedua belah pihak.
Semua konsep pernikahan ia serahkan pada sang ibu dan juga mamanya Darrel, kecuali gaun pengantin yang memang ia sudah memesan khusus jauh-jauh bulan untuk pernikahan bersama Jenan.
Entah, apa Zalyn sanggup mengenakkan gaun pengantin itu nanti.
H-3 menjelang pernikahan, Darrel masih disibukkan dengan pekerjaannya. Seperti sekarang ini, ia sedang berada di luar kota sudah dua hari dan akan kembali malam nanti.
"Apa kamu sudah memesankan saya tiket?"
"Sudah Pak. Penerbangannya jam 07:00 malam nanti,"
"Baik, masih ada waktu tiga jam lagi. Saya harus pergi ke suatu tempat, kamu bereskan barang-barang saya,"
"Baik Pak."
Bau obat-obatan menyeruak menusuk indera penciuman. Alat Pasien Monitor juga terdengar begitu nyaring di dalam ruangan yang serba putih itu.
Darrel melangkahkan kakinya pelan, menghampiri seseorang yang tengah terbaring lemah di atas ranjang pasien dengan mata terpejam.
Ia duduk di atas kursi, di pinggir ranjang.
Menggenggam salah satu tangan orang itu yang terbebas dari infusan.
"Bagaimana kabarmu hari ini? Maaf aku baru bisa datang menemuimu lagi. Kau tahu aku sedang sibuk sekarang, Aku sedang menjalani projects besar."
Genangan air di netranya memburam kan pandangan, ia bahkan mendongakkan kepalanya guna menghalau cairan bening yang menggenang di netranya agar tidak tumpah. Walau ternyata itu sia-sia.
Bibir itu bergetar, sesak dalam dada menghimpit nafasnya.
"Aku tidak suka kau seperti ini, kau sudah terlalu lama tertidur. Bukankah kau berjanji akan menyaksikan pernikahan ku. Ya, aku akan menikah sesuai dengan permintaanmu."
"Jadi bangunlah!!"
"Darrel berhenti!!"
Laki-laki yang sedari tadi menemaninya memasuki ruangan itu, terkejut. Melihat Darrel yang mengguncang-guncangkan tubuh pasiennya.
"Kau tidak boleh seperti ini. Dia pasti akan segera bangun, kita hanya menunggu waktu,"
"Sampai kapan?! Sampai kapan kita harus menunggu?"
"Kau tidak mempercayaiku sebagai dokter, yang sudah sering mengatasi hal seperti ini?"
Tangis itu akhirnya pecah. Darrel tidak bisa lagi menyembunyikannya. Ia sakit dan terluka.
"Tenangkan dirimu. Kau orang yang selalu tenang dalam menyingkapi setiap keadaan.
Meski begitu, ia tidak selalu bisa berlindung dibalik topeng tenang yang selalu digunakan. Ia lelah.
Bersambung....
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!