Episode 1 Bunga yang layu
Kami sudah menikah selama tiga tahun, namun sepanjang pernikahan itu satu kali pun aku tidak pernah melihat gaji suamiku.
Setiap aku bertanya, suamiku bilang dengan cueknya:
"Kamu terima beres aja, yang penting sandang panganmu dan anak kita terpenuhi."
"Tapi aku berhak tahu Mas setidaknya izinkan aku mengelola sendiri rumah tangga kita. Kamu ngga percaya sama aku?"
Seperti biasa Mas Prabu pasti akan menghindar dengan memilih pergi mengajak anakku keluar. Tapi kali ini aku tahan tangannya agar tidak pergi.
Kujelaskan panjang lebar tentang kewajiban suami terhadap istrinya terutama nafkah lahir dan batin. Suamiku melengos seakan tidak menggubris perasaanku.
"Aku ini milik Ibuku Ratih, selamanya, kamu lupa ya aku bisa sesukses dan semapan ini karena ibuku banting tulang mengurusi aku, perjuangan dia ngga mudah Ratih, ngga mungkin setelah aku menikah aku lupa dan mengabaikan beliau, sementara kamu? apa yang kamu berikan padaku ngga sebanding."
Kalau sudah begitu aku hanya terpekur diam, tak ada gunanya mendebat dia. Dia selalu mau menang sendiri, dan aku selalu kalah dan diam tak berdaya. Aku ingin memberikan seluruh kemampuan yang aku punya, memasak apa pun yang enak dan sehat, namun bagaimana aku bisa melakukan itu kalau bulanan Yang kuterima bahkan tak cukup sampai akhir bulan.
Mas Prabu mengurungkan niatnya pergi dan memilih duduk di sofa ruang tengah.
"Kopi Tih, sekalian bikinin cemilan ya." ucap Mas Prabu ringan, kemudian dia kembali hanyut dengan memainkan gawainya.
Aku terdiam, lagi-lagi aku kebingungan, cemilan apa yang bisa kubuat dengan sisa uang 10ribu di kantongku
Ketika aku berucap minta uang untuk membuatkan dia brownies atau pun naga dari atau pun hanya sekedar kue kelepon, dia malah mengatakan
ngga punya uang di dompet. Namun dengan santainya dia pesan online dan dimakan dengan lahap sendirian sembari asyik main games.
Air mataku menetes. Entah sampai kapan suamiku berubah,
Aku sangat lelah dan tak mampu mengikuti rytme kehidupan rumah tangga seperti ini.
Andai saja Ibu mertuaku adil dalam membagikan penghasilan Mas Prabu, aku tidak akan kesal.
Tiap bulan aku hanya dijatah 400rb, diluar PDAM dan PLN. Memang beras, gula, kopi dan gas ditanggung ibu, aku belanja hanya lauk pauk, susu anak dan pampers. Namun itu sangat tidak mencukupi untuk memenuhi standar makanan yang diinginkan suamiku.
Jangankan untuk beli bedak dan pakaian yang pantas, untuk kebutuhan dasar anak saja sudah tidak mencukupi.
Aku ingin berteriak dan memberontak. Tapi aku sungguh tidak berdaya.
Sementara suamiku selalu necis dan wangi, pakaian berganti-ganti, kemana-mana naik mobilnya, kalau lauk sedang tidak sesuai seleranya dia pergi keluar dengan teman-temannya untuk makan.
*************
Aku duduk dimuka cermin, kulihat wajahku kusam tak secantik saat belum menikah dulu, dasterku lusuh, kulitku mulai tidak sehat lagi. Jangankan perawatan di salon seperti saat masih gadis, beli lipstik dan hand body saja yang paling murah sisa menabung uang sisa belanja.
Aku menatap layar ponselku, memang android tapi pulsa dan paket datanya tidak ada.
Sebenarnya aku pandai memasak, pandai merias, namun dengan keterbatasan biaya bagaimana aku akan membuat usaha online dari rumah seperti orang lain.
Hari ini aku menemukan slip gaji suamiku di kantong celananya, 6juta plus insentive 2.5jt. ketika aku mengucap minta jatah bulan ini satu juta, karena pengen buat kue untuk dijual online, Mas Prabu cuma bilang:
"Itu urusan Ibu, kamu ngomong aja nanti sama beliau."
Hatiku perih dan sakit. Bahkan malam ini ketika melayaninya ditempat tidur, aku seakan terpaksa dan ngga bisa ikhlas.
Terlebih dia selalu menghina kalau aku tidak enak. Tidak pintar melayani suami.
Tak terperi rasa sakitku.
"Tih, rawatlah kewanitaanmu, jamuan kek, apalah, biar akunya ngga mikir buat nyari diluaran, aku maunya yang halal, tapi kalau yang halal berasa basi, gimana aku bisa tahan."
Sesak nafasku, sakitnya melebihi dihunjam dengan pisau di jantungku.
"Mas, beli jamu dan sabun sirih itu butuh uang, alasan kamu buat menghalalkan selingkuh ini ngga masuk akal. Aku ngga bisa merawat diri dan stres karena sikapmu, bagaimana mungkin aku merawat diri dengan uang 400rb sebulan, Mas mikir ngga?"
Aku segera beranjak ke kamar mandi, harga diriku sebagai seorang istri terasa diinak-injak.
Di kamar mandi aku menangis sejadi-jadinya. Ku hidupkan shower dan aku berdiri di bawah terjangan air yang mengguyur sekujur tubuhku. Aku sangat tidak menyangka, suami yang sangat romantis ketika pacaran berubah drastis ketika aku sudah dimilikinya. Jangankan kemanjaan dan pemenuhan kebutuhan hiburan, hanya untuk mengisi pulsa dan paket data saja aku harus bicara pada mertua.
Selama ini aku merahasiakan penderitaanku pada ibu kandungku. Kasihan beliau. Ibuku sudah berusaha keras membesarkan dan mendidikku, walaupun beliau single parent, tapi hidupku berkecukupan, Ibuku tak pernah membiarkan aku kekurangan, beliau tetap tegar dan kuat bahkan sampai aku lulus diploma 3.
Aku tidak ingin melihat ibuku kecewa mengetahui anaknya diperlakukan tidak adil oleh suami dan mertua.
**********************
Ibu mertuaku datang, sementara rumah masih berantakan karena belum sempat membereskan, Vino buah hatiku sedang sakit. Tak mau semenit pun kulepas dari gendongan.
"Astaghfirullah Ratih, sibuk apa sih kamu? lantai belum disapu, cucian numpuk, itu juga cucian piring di bak cuci sampai begitu, kamu ini enak Lo ngga kaya ibu dulu, membesarkan tiga anak sendirian, ayah mertuamu sering di luar kota. Bahkan ibu masih bisa bekerja sembari mengurus tiga anak. Kamu cuma punya balita satu aja kelimpungan, hanya di rumah ngga bekerja, tapi rumah sampai seperti kapal pecah gini. Gimana suamimu bisa betah di rumah Tih?"
Omelan ibu tidak kugubris, aku terus mencoba menidurkan Vino di gendonganku.
Rasanya bosan mendengar ucapan yang selalu tak pernah puas dengan semua yang aku lakukan.
"Ini uang bulanan ibu tambah ya, tapi untuk bulan ini saja, bulan depan normal lagi, ini ibu taruh di meja makan. Ingat Tih, jangan salahin suami kalau dia melirik wanita lain, lha wong kamunya ngga becus ngurus rumah, ngga pinter ngurus suami, dia sering makan di luar karena masakanmu itu Lo yang itu-itu saja. Dia bisa bosan Lo Tih, terus itu penampilan kamu tambah hari koq semrawut, suamimu bisa eneg liat dastermu itu."
Aku hanya diam, bukan karena bodoh dan ngga mau membela diri. Aku hanya sedang berpikir untuk membuat ibu dan suamiku menyadari kesalahan yang mereka lakukan padaku.
"Sepulang ibu mertuaku, aku meletakkan Vino di ranjangnya dan menghitung uang yang ibu berikan, 550rb. Aku menghela nafas berat. Aku istri seorang lelaki mapan, namun hidup penuh kekurangan.
episode 2 Aku Harus Bangkit
Malam itu Mas Prabu pulang larut malam, setelah kusiapkan air hangat untuk mandi dan baju gantinya, kutinggalkan dia sendirian duduk di ruang tengah karena Vino terbangun.
Saat selesai menidurkan putraku, aku kembali ke ruang tengah namun langkahku tertahan. Kudengar suamiku tertawa cekikikan namun ditahan. Aku penasaran dan mengintip dengan berjalan mengendap di belakangnya.
Darahku tersirap ketika sekilas kudengar namaku disebut.
Aku berjalan semakin mendekat agar bisa mendengar lebih jelas apa yang sedang dia bicarakan.
Seketika kerongkonganku tercekat. Apa yang diucapkannya sangat menyakitiku
"Ah Ratih gampang, aku juga sudah ngga selera sama dia sayang, yang kurasakan saat bersama dia di tempat tidur terasa hambar. Dia ngga sepintar kamu Sin, Dia ngga bisa mengurus dirinya dengan baik, engga enak blas Tih, aku ngga bisa menikmati, beda banget sama kamu sayang, asal kamu tahu ya, Mas selalu membayangkan tidur sama kamu saat sedang bersama Ratih."
Tubuhku menggigil, air mataku tertahan, dadaku sesak perih menyayat perasaan. Teganya kamu suamiku, bahkan aib ku sebagai istrimu menjadi bahan untuk menjadikan kekasihmu percaya aku pantas dikhianati.
Aku tak pernah tahu sejak kapan kamu menyelingkuhi aku, namun satu hal yang aku tahu, kamu berzina dengan wanita lain dan mengumbar keburukan aku sebagai istrimu, bahkan itu aib di tempat yang seharusnya menjadi rahasia pasutri, ingin aku menghampiri Mas Prabu dan memprotes kelakuannya, namun aku berpikir tak ada gunanya aku menanyakan dan protes padanya, karena aku akan selalu salah di depannya. Aku akan semakin dihinanya.
Perlahan aku kembali masuk ke kamar, kututup mulutku dengan telapak tangan. Aku menangis dan tergugu sendirian.
Puas menangis aku duduk di depan cermin. Ku lihat sosok ringkih dan kuyu di pantulkan cermin di hadapanku.
Betapa menyedihkannya keadaanku. Kehidupan pernikahan membuatku tak lagi memiliki kebahagiaan. Bahkan sebaliknya hanya rasa sakit dan luka selalu ditorehkan lelaki yang sangat ku cintai ini.
Dengan sedih kulepaskan cincin pernikahanku dan kumasukkan kedalam dompet.
Hati ini telah patah dan hancur berkeping. Rasa sakit ini tak lagi mampu kutanggung. Penghianatan Mas Prabu telah mencengkram cintaku hingga tak lagi berbentuk.
Walaupun malam ini aku telah tahu suamiku selingkuh, dan berzina aku tak akan begitu saja pergi dan meninggalkan dia dalam kondisi diri ini hina dina penuh penderitaan, di bukit kehancuran. Aku akan pergi saat aku bisa mengangkat kepalaku tegak dan berdiri kukuh di atas kakiku sendiri.
Masih ku tatap jemariku yang lentik, ku lihat tak lagi dilingkari cincin kawin dari suamiku.
Cincin kawin ini sudah tidak ada harganya lagi bagiku, esok akan aku jual untuk modal mencari pekerjaan. Bagiku pernikahan ini telah musnah, bukan karena aku tidak ikhlas menerima nafkah yang sangat menyedihkan nominalnya, oleh lelaki mapan ini, tapi karena aku tak sanggup lagi menerima luka penghianatan ini. Di dalam pernikahan syarat utama bagiku adalah kesetiaan.
Sesungguhnya aku bukan wanita yang tak berpendidikan sehingga rela menerima perlakuan semena-mena suami.
Aku lulusan D3 Broadcester. Sebelum menikah dengan Mas Prabu aku bekerja di sebuah Production House yang lumayan besar, tugasku sebagai Editor, baik untuk iklan ataupun sinetron, hanya satu tahun aku bekerja Mas Prabu melamarku dengan perjuangan yang sangat romantis dan teramat manis.
Yah, dulu dia memang lelaki yang teramat manis, romantis dan penuh cinta. Bahkan setetes hujan saja tak diijinkan nya untuk menikam kulitku.
Namun semua sifat aslinya baru terlihat saat kami sudah memiliki Vino. Setelah aku melahirkan Vino, tabiatnya berubah cuek. Dia lebih sering menghabiskan waktu di luaran, lebih suka menghabiskan waktu bersama teman dan lebih bahagia memainkan gawainya.
Kehadiranku tak lagi berarti untuknya. Dia selalu berusaha menjauh bahkan terkadang terkesan sangat cuek.
Suamiku bahkan tak lagi mengingat hari pernikahan kami, seperti malam ini. Yang dia lakukan adalah melukai dan terus melukaiku hampir setiap saat baik dengan sikap atau pun kata-kata.
Langit diatas kepalaku seakan telah runtuh menenggelamkanku di dalam kesedihan tak terukur.
Ketika aku merasa sangat lelah menangis, kutelungkupkan kepalaku di bantal. Aku ingin segera malam ini berakhir. besok aku harus bangkit dan membuktikan bahwa lelaki ini tak pantas menyakitiku.
Kudengar langkah Mas Prabu masuk kedalam kamar. Dia meminta aku bangun dan sudah kuduga, tanpa foreplay dia memaksaku melayani nafsunya tanpa pernah melihat seperti apa ekspresi wajahku saat bersamanya. Dia hanya ingin menjadikan aku pelepasan dari nafsu tertahan pada kekasih haramnya. Yah aku hanya boneka baginya
Setelah selesai dia akan selalu protes dengan kondisiku. Aku diam tak bergeming. Hatiku telah mati. Aku tak lagi perduli pada hinaan dan ejekannya.
Dua hari setelah kejadian ketika aku memergoki dia bicara dengan selingkuhannya di telepon, aku menjual cincin kawinku tanpa diketahuinya. Aku melamar banyak pekerjaan sesuai disiplin ilmu, melalui online.
Dan pagi itu ketika
Ketika sinar mentari menyeruak di kisi dedaunan, aku gendong Vino untuk kubawa ke rumah ibu mertuaku, lengkap dengan popok, susu dan botol susunya. Suamiku masih belum bangun tidur. Dia masih terlelap dalam buaian mimpi indah bersama wanita yang disebutnya dengan lirih saat melepaskan hasratnya padaku tadi malam.
Yah tadi malam di menyebut nama Sinta dalam puncak pelepasannya. Walau lirih namun terasa seperti terjangan ribuan duri menusuk jantungku.
Aku hanya diam pura-pura tidak mendengar. Kepedihan itu tak bisa terlukiskan dengan kata-kata.
Ibu mertua kaget ketika kutitipkan Vino, aku bilang aku akan wawancara kerja di salah satu station TV swasta. Semula beliau tidak setuju direpotkan Vino, tapi tiba-tiba berubah pikiran.
"Silahkan Ratih, tapi ingat! kamu harus bayar ibu ya buat jagain Vino, kalau kamu sudah kerja."
Aku tersenyum dan mengangguk.
Dengan pakain sederhana yang paling terbaik yang aku punya di lemari pakaianku, aku ikut test di TV swasta itu.
Tekad di hati ini hanya satu, aku harus bangkit.
Aku harus berdiri dan kalau bisa berlari untuk meraih bahagia diri ini. Kalau suami tak mampu membahagiakanku, tak lagi setia padaku, yang harus kulakukan adalah mencari sendiri bahagia itu. Meratapi tanpa berbuat apa pun hanya akan membuatku semakin terpuruk dan hancur.
Aku tidak akan membuat perjuangan Ibuku menjadi sia-sia ditangan lelaki dzalim ini.
Aku menelepon Ibuku dan menanyakan kesehatannya juga mengabarkan kalau aku akan bekerja lagi. Ibu terharu dan mendukungku. Beliau berpesan agar aku jangan menelantarkan anak dan suamiku walaupun aku bekerja.
Aku hanya mengiyakan. Mungkin seandainya ibu tahu apa yang telah menimpa putri semata wayangnya, ibu tak akan mengijinkan aku lagi untuk mempertahankan Mas Prabu.
Episode 3 Penghianatan
Langkah kaki ku terhalang rasa minder melihat begitu modisnya mereka yang mencoba peruntungan di dunia broadcasting. Aku melamar menjadi Editor. Keahlian lain di bidang Broadcaster sebenarnya bisa kujajal. Namun entah kenapa perasaanku lebih berat ingin mencoba sebagai Editor, mungkin karena pengalaman yang aku kuasai adalah di bidang ini.
Ragu aku menapaki tangga masuk menuju ruang wawancara. Nampaknya sainganku terlihat segar dan masih muda berkilau. Mereka berjalan penuh percaya diri dan ceria.
Ku lihat sekilas penampilanku sendiri, terlihat sangat sederhana dan terkesan ketinggalan zaman. Maklum pakaian ini kubeli saat aku masih gadis dulu. Sedangkan pakaian setelah menikah tak ada yang pas untuk keperluan wawancara, ada dua gaun yang dibelikan mertuaku, keduanya terlihat selera orang tua. Tapi aku mencoba tetap percaya diri dengan penampilan sederhanaku.
Ketika beberapa tahapan wawancara berhasil kulalui, aku beristirahat di pojok ruang tunggu menanti tahapan berikutnya.
Seorang yang di nametagnya
Tertulis Pandu Prayoga dengan jabatan Program Director menghampiriku.
"Dik, season wawancara terakhir di dalam itu ada penata gaya, dia bisa langsung ill feel kalo liat calon karyawati di TV ini memiliki standar penampilan kelewat sederhana. Kamu bisa langsung kena diskualivikasi oleh dia."
"Maaf Mas cuma ini pakaian terbaik saya." sahutku sedikit tergugu.
Rasa percaya diriku langsung terjun bebas ke dasar jurang.
"Sayang banget dik, padahal bakat dan kemampuan kamu sangat luar biasa menurut penilaianku," ucapnya terlihat tulus.
Dan dengan kesederhanaan, aku tetap melalui wawancaraku dengan lancar, tanpa memperdulikan keadaanku yang tampak sangat ketinggalan zaman.
Hasil wawancara akan dikabari melalui telepon dan email. Aku sudah merasa was-was, Aku tidak yakin akan lulus karena Harumi penata gaya itu mengerutkan kening ketika aku masuk.
Aku pasrah andai ini memang rejeki aku, maka segalanya akan dimudahkan.
########*
Ku jemput Vino di rumah mertuaku. Aku membawa Vino pulang, di ruang tamu aku bertemu dengan kakak iparku, kakak pertama Mas Prabu.
"Tih Tih, kamu ini ngga bersyukur ya punya suami mapan malah pergi nyari kerja kalo mbak suami berduit gitu pasti ku ajak ke salon, nge-mall dan pastinya beli baju yang keren. Pasti kamu ngga pandai nyimpan duit Tih."
Aku hanya tersenyum kecut. Ingin aku berujar bahwa bukan aku ngga bisa nyimpan duit tapi duit nya yang mau disimpan itu duit yang mana?
"Oh ya Tih, wanita juga harus pandai merawat kewanitaan, biar suami ngga perlu cari di luaran, jangan sampai kamu lalai tentang itu."
Aku terpaku bisu, bingung dan speakless dengan ucapan mbak Lisna.
"Maksud Mbak? saya ..."
"Prabu pernah curhat ke Ibu kalau kamu ngga bisa dinasehatin untuk jamuan, jadinya dia merasa sangat tidak nyaman berhubungan dengan kamu. Tih, jangan lalai, banyak pelakor di luaran Lo Tih.kamu ngga mau 'kan kalau suamimu selingkuh?"
Aku tergugu, betapa mengenaskan harga diriku sebagai seorang istri. Aibku tak lagi dijaga suamiku.Bahkan rahasia di dalam kamarku tak lagi hanya menjadi rahasia suami istri. Tanpa menjawab semua ucapan Mbak Lisna aku berlalu dengan hati tak lagi berbentuk.
Perihnya merambat perlahan menembus jantungku. Namun aku tak akan menjadi hancur oleh rasa sakit ini.
Aku tak akan menyalahkan siapapun atas keadaanku, mungkin benar aku bukan istri yang baik dan memuaskan, namun diriku hanyalah wanita biasa yang tetap butuh dilindungi dan dihargai. Kedua hal itu tak lagi kuterima dari suamiku.
Aku menunggu suamiku selesai mandi, dan ketika dia terlihat sudah rapi duduk di ruang tengah, aku menghampiri.
"Mas? Ratih mau bicara." ucapku pelan sembari duduk di depannya. Dia acuh dan hanya menatapku sekilas selanjutnya matanya tertuju pada gawainya.
"Kalau cuma mau ngomong tentang uang bulanan, tolong pergi aja Tih, aku ..."
"Kenapa Mas tega membicarakan urusan ranjang kita dengan ibu dan kakakmu, kenapa Mas?"
Aku menatap sosok lelaki tinggi tegap dengan wajah cukup tampan itu dengan sedih.
Dia mengalihkan perhatiannya dari gawainya dan tersenyum.
"Kamu malu Tih? Kalau malu makanya berubah, rawat dirimu, aku hanya ingin Ibu menasehati kamu, agar kamu ..."
"Kamu mempermalukan aku Mas." sahutku lirih, air mata mulai menetes menahan luka teramat dalam.
Mas Prabu menatapku tajam.
"Lebay kamu Tih! Aku udah sering nasehatin kamu, tapi kamunya bebal, jangan salahin aku kalau melibatkan Ibu."
Dia berdiri hendak meninggalkan aku, tanpa perduli air mataku.
"Kamu masih mencintaiku atau tidak Mas?"
Aku mencoba bersabar dan berharap masih ada alasan bagiku memaafkannya.
Mas Prabu hanya diam.
"Menurut mu?"
Ditanya balik begitu aku terdiam.
"Tih, cinta itu udah hampa diantara kita, saat ini yang kurasakan hanya kewajiban yang mengikat kita, aku merasa hubungan kita flat dan aku benar-benar bosan."
Kata-kata Mas Prabu sangat menusuk hati ini, tapi setidaknya aku tahu, apa yang harus kulakukan.
Aku hanya diam terpaku, tak mampu berkata apapun lagi.
Sepeninggal Mas Prabu yang beranjak pindah duduk di teras, gawaiku berbunyi, dari nomer tak ku kenal.
"Selamat Ratih Prameswari? Ini dari PT.Cipta Nusantara Televisi, kami mau mengabarkan secara langsung bahwa kamu diterima bekerja di perusahan kami sebagai editor. Lusa kamu boleh mulai bekerja."
Aku hanya bersorak bahagia di dalam hati, tak ingin aku mengatakan apa pun tentang pekerjaan itu pada Mas Prabu, karena dia pasti akan menghina lagi dengan berbagai cara. Aku menghampirinya ke teras, hanya untuk melihat reaksi dia atas permintaan yang akan aku katakan.
"Mas, sore ini aku mau ke dokter ya, buat konsultasi kondisiku yang kamu selalu keluhkan, tapi aku butuh uang Mas, ke dokter itu butuh uang tidak sedikit. Paling ngga ke praktek paling murah 100rb."
Mas Prabu menatapku sekilas. Dia mengambil dompetnya dan membuka dompet yang penuh uang 100rb an.
"Uangku ada, tapi pas buat bayarin uang kuliahnya Diah aja Ratih, kamu minta ibu aja ya, gaji bulan ini udah ku transfer ke ibu.
Aku diam dan tiba-tiba Mas Prabu berlari masuk ke dalam rumah, sepertinya kebelet ke WC, aku tertegun melihat android terbaru miliknya yang digeletakkan begitu saja di meja teras, android dengan kisaran harga hampir 20jt an.
Sebuah notif chat masuk, aku membaca notif itu dengan gugup.
"Mas, makasih ya sayang udah transfer buat aku, masyaallah 5jt buat kamu sedikit, buat aku banyak banget."
Nafasku seketika sesak, kemarahan ku memuncak. Ketika Mas Prabu muncul dia merebut gawainya dari tanganku. Aku menatapnya tajam.
"Lima juta buat selingkuhan kamu begitu mudah kamu berikan Mas, untuk istrimu hanya buat berobat kamu minta aku ngemis sama ibumu, kamu dzalim terhadap istrimu Mas!"
Mas Prabu menatapku nanar.
"Wajar dong, Sinta bisa memuaskan aku, nah kamu?"
"Kamu berzina Mas?"
"Maaf ya Ratih, aku tidak berzina lagi, seminggu lalu aku sudah menikahi Sinta secara siri. Kamu jangan protes, kamu sebagai istri ngga becus dalam segala hal."
"Sejak kapan kamu selingkuh Mas." tanyaku terbata.
"Sejak setahun lalu, puas?"
Ucapan Mas Prabu bagaikan petir yang menyambar telingaku.
Aku terduduk di bangku teras tanpa mampu berkata apa pun lagi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!