Tidak ada orang yang ingin mati dalam keadaan sendirian.
Bahkan penyendiri akut yang tidak suka bersosialisasi dengan orang lain pun dalam lubuk hatinya menginginkan seseorang berdiri disampingnya dan memahaminya.
Aku terus memimpikan diriku memiliki keluarga yang bahagia yang ada disampingku dengan pasangan dan anak-anak yang akan berada disamping tempat tidurku ketika aku terbaring lemas di ranjangku.
Memikirkan hal itu membuatku senang, aku tidak perlu pasangan yang kaya raya ataupun berkedudukan tinggi. Aku hanya ingin seorang pria lucu seperti ayahku dan menyayangiku seperti ayah mencintai ibuku setiap hari.
“Lisa, kenapa kau melamun?” Ibu memperhatikanku dengan khawatir, aku saat ini sedang sarapan bersama Ayah, Ibu dan Adik perempuanku, Lina.
Aku yang terlalu larut dalam pikiranku sendiri membutuhkan beberapa saat untuk menjawab pertanyaan dari Ibu. Namun saat aku ingin membuka mulutku Lina mewakilkannya untukku.
“Kakak pasti sedang berimajinasi menikahi pangeran kerajaan, Ibu seharusnya tau itu.” Jawab Lina dengan mulut yang sedang mengunyah roti gandum.
“Kau seharusnya telan dulu apa yang ada dimulutmu baru berbicara.”
Ayah yang melihat kami sedang beradu mulut hanya tertawa. Karena ayah senang jika meja makan berisik, sebab ini adalah momen-momen kami bersama dan ayah sangat menyukainya.
Ayahku adalah orang yang lucu dan suka bercanda, walaupun kami terkadang tidak bisa mengerti candaan Ayah, namun kami selalu tertawa dibuatnya.
Ibuku sendiri adalah orang yang lembut dan cantik. Namun yang lebih penting dari itu adalah masakan ibu sangat enak.
Adikku, yah dia selalu seenaknya. Terkadang kami juga bertengkar seperti halnya kakak-beradik, namun bukan berarti aku tidak menyukainya, karena menurutku dia adalah adik kecil yang menggemaskan.
Ayah memakan sup dan rotinya dengan cepat, dia kemudian menyeka mulutnya dengan punggung tangannya dan berdiri.
“Aku akan berangkat sekarang.” Ayah menatap kami semua dengan mata yang penuh kasih.
“Tunggu sebentar.” Ibu menghentikan ayah dan segera berdiri mengambil sebuah kantung coklat berisi beberapa roti gandum dan kentang.
“Bawa ini, makanlah ketika kau beristirahat.” Ibu menyodorkan tas itu kepada ayah.
Ayah akan pergi untuk bekerja.
Ayah adalah seseorang yang memiliki pekerjaan yang sangat banyak. Dia akan memberi makan hewan peternakan milik seseorang dan mengurus peternakannya, kemudian saat siang hari ayah akan pergi ke hutan untuk memotong beberapa kayu untuk di bawa pulang.
Kayu itu biasa kami gunakan untuk membuat api, jika dirasa kayu yang dimiliki sudah cukup. Ibu akan membuat beberapa kerajinan menggunakan itu dan menjualnya ke pedagang keliling.
Memang tidak banyak yang bisa didapatkan dengan pekerjaan Ayah dan Ibu, namun kami selalu mendapatkan makanan di atas meja kami dan itu sudah cukup bagi kami untuk merasakan kehangatan di rumah ini.
Ayah berpamitan kepada kami, tidak lupa juga Ayah mencium lalu memulukku dan juga Lina.
Ayah juga mencium kening ibu dan memegang tangan ibu seakan tidak ingin pergi keluar. Setelah beberapa saat saling tatap Ayah melepaskan tangan ibu dan pergi ke arah pintu, sekali lagi ayah melambaikan tangannya kepada kami sebelum menutup pintunya.
“Selamat jalan Ayah.” Aku melambaikan tanganku kepada Ayah.
Ketika Ayah sudah pergi aku dan Lina membantu Ibu membereskan makanan di meja dan setelah itu kami akan membersihkan rumah. Setelah seluruh pekerjaan rumah selesai, aku biasanya akan keluar berjalan-jalan ke sekeliling desa.
Ayah baru akan kembali biasanya sore hari, dan tidak ada yang bisa dilakukan di rumahku selain bersih-bersih dan membuat kerajinan dari kayu.
Aku ingin melihat keluar desa, aku ingin pergi melihat bagaimana pemandangan di ibukota kerajaan.
Desa ku, desa Eshina termasuk dalam wilayah kerajaan Leofwine. Namun desa kami berada sangat jauh di utara, bahkan aku belum pernah melihat Raja Leofwine sekalipun datang ke desa ku.
Aku hanya pernah melihat beberapa ksatria dan juga seorang pembawa pesan yang masuk ke desa kami dengan membawa kabar bahwa istana sedang mencari beberapa pelayan dan prajurit yang baru.
Saat itu Ayah berminat untuk menjadi prajurit yang mengabdi kepada Raja Leofwine, namun Ayah tidak ingin meninggalkan Ibu yang sedang mengandung Lina dan aku yang masih berumur 3 tahun. Ayah pun langsung mengurungkan niatnya dan tidak mengikuti tesnya.
Aku sering mendengar kabar bahwa beberapa orang dari desa kami mendapatkan bayaran yang besar dengan bekerja sebagai pelayan atau prajurit di Istana Leofwine. Bahkan beberapa dari mereka berhasil membawa keluarga mereka untuk tinggal di dalam kota dengan upah yang mereka terima.
Itu adalah salah satu cara untuk keluar dari desa ini dan melihat dunia luar.
Cara kedua, mungkin ini adalah cara yang paling berbahaya karena tidak banyak orang tua yang ingin melepaskan anak mereka sebagai pedagang keliling.
Pedagang keliling adalah sekelompok orang-orang yang tidak pernah menetap di suatu desa atau kota untuk waktu yang lama. Mereka hanya tinggal paling lama sebulan untuk membeli barang yang mereka inginkan atau menjual barang yang mereka punya, lalu setelah itu mereka akan pergi lagi.
Menjadi pedagang keliling sangat beresiko karena biasanya mereka akan disergap oleh sekelompok penjarah ketika mereka melewati suatu hutan atau gunung-gunung untuk mencapai suatu desa atau kota selanjutnya.
Saat aku berkeliling desa ada sekumpulan wanita paruh baya yang sedang berkumpul membicarakan sesuatu dengan sangat serius.
“Hei apa kau sudah dengar katanya beberapa prajurit Leofwine sedang menuju kemari.”
“Apa mereka akan memberi pekerjaan kepada beberapa orang lagi?”
“Bukankah itu bagus? Kita bisa meminta anak-anak kita untuk menjadi bawahan Raja Leofwine dan kita bisa pergi ke kota.”
Mendengar perkataan itu membuatku sedikit penasaran, aku pun bergerak mendekat untuk mendengar percakapan itu lebih jelas.
“Iya kan? Aku dengar sekarang keluarga Gunter hidup enak di sana karena anak mereka berhasil menjadi prajurit kelas 2.”
“Ahh siapa nama anak itu? Oh ya Ian. Dia dulu anak yang selalu membuat onar, aku tidak percaya dia berhasil menjadi prajurit hebat di sana.”
Pembicaraan itu terus berlanjut, aku memasang telingaku dengan baik agar tidak melewatkan satu kata pun.
Jika Kerajaan Leofwine akan mencari pelayan lagi, ini adalah kesempatanku untuk keluar dari sini dan menata mimpiku untuk hidup dengan nyaman. Aku juga akan mengajak Ayah, Ibu dan juga Lina ke kota saat aku sudah berhasil di sana.
Lagipula umurku sekarang sudah 15 tahun, aku sudah dewasa untuk bisa keluar dan menjelajah duniaku sendiri.
Aku segera berlari untuk pulang ke rumah.
Aku tidak sengaja membuka pintu dengan keras hingga membuat Ibuku sedikit terkejut.
“Lisa? Ada apa? Kenapa kau terburu-buru seperti itu?” Ibu bertanya dengan keherenan.
Aku yang kehabisan nafas mencoba menarik beberapa udara dengan mulut sebelum berbicara dengan Ibu.
“Ibu, apa saja yang dilakukan oleh pelayan di istana?” Tanyaku dengan nafas yang masih tidak beraturan.
Ibu mengerutkan dahinya dan memiringkan kepalanya seakan sedang memikirkan jawaban untuk pertanyaanku.
“Mungkin sama seperti mengurus rumah, membuatkan teh untuk Raja, mengurus pangeran dan memasak beberapa makanan untuk mereka.”
Mendengar jawaban dari ibu aku sedikit putus asa, aku tidak tahu caranya mengurus seseorang, aku juga tidak tahu caranya memasak, jika itu hanya menyapu lantai atau membersihkan kamar mandi itu bisa aku lakukan.
Namun walaupun begitu aku tidak menyerahkan kesempatan ini begitu saja, aku bisa belajar. Ini belum terlambat, lagipula saat mereka membawaku ke kota mereka pasti akan mengajariku sedikit tentang itu. Tapi aku setidaknya harus memiliki dasar agar aku tidak terlalu tertinggal.
“Ibu, tolong, tolong ajari aku memasak mulai sekarang.”
Ibu menatapku dengan pandangan serius, mungkin dia tidak percaya bahwa aku yang selalu bermain-main sampai lupa waktu sampai saat ini akhirnya memutuskan untuk berubah.
“Baiklah, nanti sore kita akan mulai memasak makan malam untuk Ayah.”
Aku mengangguk mendengar jawaban dari Ibu, ini adalah langkah pertama yang bisa aku lakukan. Jarak dari Kerajaan Leofwine ke Desa Eshina sangat jauh, aku setidaknya punya beberapa hari untuk bisa belajar menjadi pelayan yang baik.
…
Matahari sudah berada di sisi barat dan langit sudah mulai kehilangan cahayanya.
Aku mendengar suara pintu depan terbuka dan di saat bersamaan aku mendengar suara Ayah.
“Ayah pulang.”
Aku yang berada di perapian dengan Ibu yang sedang memasak makan malam berbalik ke arah suara itu.
Punggung ayah tampak penuh dengan kayu-kayu yang digendongnya, tangan kanan membawa kantung coklat yang ibu berikan kepada ayah tadi pagi dengan sebuah kapak yang biasa Ayah bawa untuk memotong kayu. Sedangkan di tangan kirinya Ayah membawa seikat daging yang masih segar dengan warna merah cerah.
Ibu menyambut kedatangan Ayah, membantu Ayah menurunkan muatan yang ada di punggungnya. Ayah menyerahkan daging itu kepadaku dan menaruh kapaknya di kotak barang.
“Dari mana kau mendapatkan itu?” Tanya Ibu merujuk pada daging yang Ayah bawa pulang.
“Ah… itu, tadi John melihat rusa di hutan, dia lalu mengejarnya dan memburunya. Awalnya aku dan Robert khawatir karena dia tidak kembali dalam waktu yang lama, tapi dia berhasil menggendong rusa besar itu sendirian dan membagi dagingnya dengan kami.”
Aku mengambil sebuah ember berisi air dan sebuah kain lalu memberikannya kepada Ayah untuk membasuh mukanya.
“Terima kasih.” Senyum hangat itu Ayah tunjukan kepadaku, aku senang ketika melihat Ayah tersenyum karena hal-hal kecil yang aku lakukan. Aku membalas senyum Ayah dengan gigi yang terlihat.
Ayah membersihkan mukanya dengan air dan kain yang aku siapan, setelah mengeringkan wajahnya Ayah melihat sekeliling ruangan.
“Dimana Lina?”
“Dar!”
Lina yang daritadi bersembunyi di belakang pintu mulai muncul dan mencoba mengejutkan Ayah. Ayah yang terkejut membalikkan badannya dan melihat malaikat kecil lainnya di belakangnya.
“Oh.. kau berusaha mengagetkan Ayah ya hahaha.” Ayah tertawa dan mengelitik perut Lina, Lina tertawa terbahak-bahak karena merasa geli.
“Ayah hentikan.” Ayah tidak melepaskan Lina dan masih mengelitik perutnya, setelah Ayah rasa itu sudah cukup dia mulai menggendong Lina namun Lina tampak malu-malu dan enggan dengan yang Ayah lakukan.
“Ayah aku sudah 12 tahun.” Kata Lina.
“Tapi kau masih gadis kecil bagiku hahaha.”
Walaupun aku tau Ayah lelah tapi ketika Ayah bersama kami Ayah tidak pernah menunjukkan bahwa dirinya kelelahan. Ayah tetap tersenyum dan bercanda bersama kami, seakan letih Ayah hilang ketika dia melihat keluarganya.
Ibu cepat-cepat menyiapkan hidangan makan malam, seketika meja kosong itu penuh dengan peralatan makan dan juga makanan yang lezat.
“Ayo kita makan dulu.”
“Benar, ayo kita makan.”
Ayah menurunkan Lina dan mulai duduk di meja makan, Ayah sedikit terkejut karena makan malam ini lebih banyak dari biasanya.
Ayah melihat-lihat semua yang ada di meja dan pandangannya mulai berhenti ketika melihat sesuatu yang hitam gosong di depannya.
“Apa ini?”
Ayah menyentuhnya dengan penasaran dan hati-hati.
“Ah.. itu..” Ibu ingin menjawab namun dirinya terlihat sangat cemas.
“Itu aku, aku yang membuatnya. Aku minta ibu mengajariku untuk memasak, namun hasilnya tidak bagus karena aku lupa mengeluarkannya.” Aku tidak bisa menatap wajah Ayah ketika mengatakannya.
Pie itu dibuat dengan banyak bahan, aku bahkan memasukkan banyak daging sapi dan domba ke dalamnya karena awalnya aku ingin menghidangkan itu untuk Ayah. Namun aku terlalu ceroboh karena aku tidak pernah memasak sebelumnya.
Aku menutup mataku dan terus melihat ke bawah, aku takut dimarahi. Walaupun aku tidak pernah melihat Ayah marah sebelumnya, tapi aku takut ini adalah waktunya aku dimarahi.
“Oh begitukah? Ini Lisa yang membuatnya?” Ayah masih memasang senyum lembut di wajahnya, jika orang-orang melihat Ayah yang selalu tersenyum seperti ini. Mereka mungkin akan berpikir Ayah adalah orang yang lemah dan akan tunduk pada orang lain.
“Kalau begitu, aku coba ya.” Ayah memotong pie itu dan memasukkan ke dalam mulutnya.
Aku yang khawatir dengan rasanya merasa tidak enak kepada Ayah karena harus memakannya.
Ketika Ayah terus mengunyah dan menelannya mulutnya mulai berbicara.
“Ini enak, hanya saja rasa smokeynya terlalu kuat. Mungkin bisa dikurangi sedikit lagi, tapi aku suka karena dagingnya banyak hahaha.”
Ayah tidak mengatakan makananku tidak enak, dia bahkan memujinya sambil bercanda. Itu lebih baik untukku karena aku pikir dia tidak akan menyukainya.
Ayah bangkit dan memelukku dengan kedua tangannya dan dia mengelus kepalaku.
“Tidak apa, ini pengalaman pertamamu. Kau akan jadi lebih baik kedepannya, teruslah lakukan apapun yang kau suka dan kau inginkan.”
Kata-kata Ayah sangat membangun rasa percaya diri dalam diriku, itu adalah kata-kata yang seseorang ingin dengar ketika mereka melakukan kesalahan.
“Baik Ayah aku akan berusaha.” Ayah lalu kembali ke tempat duduknya dan kami mulai makan bersama.
Dalam sekejap seluruh makanan yang ada di meja itu habis tidak bersisa, tidak terkecuali pie buatanku. Ayah hampir memakan lebih dari setengahnya dan tidak komplain sama sekali.
Itu adalah malam yang menyenangkan lainnya berada dalam keluarga ini.
Kehangatan yang didapatkan di rumah, tertawa dengan keluarga dan tersedia makanan hangat di depan mata. Suasana ini adalah suasana yang cukup untuk membuat seseorang rindu ketika mereka tidak akan lagi merasakannya.
Keesokan harinya aku bangun pagi-pagi untuk membantu Ibu memasak sarapan, aku hanya bertugas memotong-motong tomat, wortel dan juga daging yang kemarin Ayah bawa.
Aku tidak keberatan tentang memotong tomat dan wortel, namun memotong daging yang merupakan pengalaman pertama bagiku itu menjijikan.
Tekstur daging yang kenyal namun keras disaat bersamaan, darah yang keluar ketika aku memotong dan menekannya. Aku sangat tidak terbiasa dengan itu, namun mau tidak mau aku harus terbiasa karena yang aku tau adalah orang-orang berkelas tinggi selalu memakan daging untuk asupan tubuh mereka.
Aku menatap Ibu yang sedang menyiapkan api.
Aku tidak habis pikir ibu selalu bangun sepagi ini, bahkan matahari saja belum menunjukkan sinarnya.
Menyiapkan makanan untuk Ayah, aku dan Lina yang mana ketika kami bangun makanan akan selalu siap di atas meja.
Aku yang penasaran membuat mulutku tiba-tiba membuka dengan sendirinya tanpa berpikir.
“Ibu, apakah ibu bahagia?” Aku bertanya namun pandanganku tidak menatap ibu.
Ibu memalingkan pandangannya ke arahku, walaupun aku tidak melihatnya aku bisa merasakan energi dari tatapan Ibu ke arahku.
“Kenapa kamu tiba-tiba bertanya seperti?” Tatap Ibu dengan heran.
“Tidak, Ibu selalu menyiapkan makanan untuk kita pagi-pagi seperti ini setiap hari. Aku juga tidak pernah mendengar sekalipun ibu mengeluhkan tentang ini, Ibu selalu menyiapkan segalanya sendirian. Apa Ibu tidur dengan cukup?” Aku bahkan sudah menguap berkali-kali dan pandanganku terkadang menjadi samar karena kantuk masih menyerang tubuhku.
Mendengar pertanyaanku Ibu tersenyum, di memegang kedua pundakku dengan tangannya. Dengan sedikit kekuatan dia membalikkan tubuhku agar sejajar dengan dirinya.
Ibu tersenyum tipis, senyum itu adalah senyum paling tulus yang pernah aku lihat.
“Tentu saja Ibu bahagia, Ibu sangat bahagia karena memiliki kalian yang sekarang ada di samping Ibu. Ibu bahagia karena ketika kalian memakan masakan Ibu kalian selalu tersenyum, senyuman kalian itulah yang selalu membuat Ibu bahagia.”
Perkataan Ibu seketika membuatku berpikir, ternyata Ibu sungguh aneh. Bagaimana bisa Ibu menjadi bahagia hanya karena melihat kami tersenyum karena memakan masakannya, bahkan dia selalu mengerjakan pekerjaan rumah sendirian tanpa ada yang membantunya. Apa Ibu adalah malaikat?
Namun anehnya, tidak tau mengapa mendengar jawaban dari Ibu membuatku sangat puas.
“Tapi, kenapa kamu kemarin tiba-tiba meminta Ibu mengajarimu memasak?”
Ibu sebenernya ingin menanyakan ini kemarin, ketika aku yang tiba-tiba memintanya mengajariku memasak. Namun pikirannya berpikir lain saat itu, Ibu berpikir bahwa aku memintanya mengajari aku memasak karena aku sudah menyadari bahwa diriku bukan anak kecil lagi. Oleh sebab itu ibu langsung mengiyakan permintaanku.
“Itu.. saat aku bermain di luar kemarin aku mendengar Ibu-Ibu membicarakan bahwa Raja Leofwine akan mencari beberapa pelayan dan ksatria.”
Aku menjawab dengan suara pelan, entah kenapa pertanyaan itu membuat diriku tiba-tiba merasa tidak nyaman. Aku juga merasa bersalah karena tidak mengatakan niatku yang sebenarnya.
“Ah.. begitukah? Kau ingin keluar dari desa ini?” Seketika senyum hangat ibu berubah menjadi senyum sedih, matanya hanya bengong menatap perapian. Namun aku tidak bisa tidak melihat bahwa mata Ibu sedang berkaca-kaca.
“Tidak.. aku..” Mulutku terasa berat, aku bahkan tidak bisa menyelesaikan perkataanku.
“Tidak apa-apa, nanti ketika semua sudah bangun. Kita akan membicarakannya.”
Mendengar Ibu berkata seperti itu aku tidak bisa berkata-kata dan hanya mengangguk mengiyakan perkataannya.
Setelah makanan selesai dibuat dan dihidangkan di atas meja, Ayah bangun karena mencium baunya yang harum. Bagaimanapun juga Ayah selalu terbangun saat makanan sudah terhidangkan di meja.
“Masakan buatanmu selalu membuatku terbangun sayang.” Kaya Ayah dengan suara yang lucu sambil menguap, matanya yang setengah sadar membuat dirinya tidak melihatku dengan jelas.
Dia memeluk Ibu dari belakang dan mencium leher Ibu, mendekap tubuh Ibu dengan sangat erat. Ibu mencoba melepaskan dekapan Ayah namun dekapan Ayah semakin kuat.
“Sayang.. liatlah sekelilingmu.” Dengan suara lirih ibu mencoba berbicara kepada Ayah.
Akhirnya setelah menggosok matanya dia melihatku yang sedang jongkok dekat perapian.
“Oh.. Ehem, Lisa.” Ayah membersihkan tenggorokannya untuk mengubah suaranya.
“Kau sudah bangun rupanya.” Lanjutnya.
Aku tidak habis pikir dengan orang tuaku, kenapa mereka malu-malu untuk bermesraan didepan anak mereka sendiri. Bukankah itu hal yang wajar untuk dilakukan oleh pasangan yang saling mencintai.
Ibu bahkan hampir berani mengatakan apapun kepada Ayah, namun aku tau Ibu saat ini sedang malu-malu karena wajahnya memerah dan tatapannya melirikku seakan berisyarat kepada Ayah untuk mengatakan bahwa aku sedang berada di sini.
Aku mengerti situasi ini, akhirnya aku memutuskan mencari alasan untuk pergi.
“Tidak apa, kalian lanjutkanlah. Aku tidak tahu jika setiap pagi kalian seperti ini, aku akan membangunkan Lina.”
Aku berdiri dan berjalan ke kamar, melihat adikku yang sedang tertidur dengan pulas aku memiliki ide jahil dalam kepalaku.
Aku berlari ke arah kasur dan melompat ke atas tubuhnya, Lina yang terkejut sontak bangun dengan perasaan kesal.
“Aduh.” Teriak Lina, dia mencoba menyingkirkanku dari tubuhnya namun aku melawan. Aku memeluk dirinya dengat erat dan tidak melepaskannya.
“Ibu! Kakak!” Lina berteriak meminta bantuan Ibu, namun aku tetap tidak mau melepaskannya dan menggelitik tubuhnya. Saat dirasa sudah puas aku bangun dan melepaskannya.
“Hahaha” Aku tertawa sambil keluar kamar dengan puas.
“Ada apa? Kenapa adikmu berteriak?” Tanya Ibu.
“Hehehe tidak apa-apa dia hanya berlebihan.” Jawabku sambil cekikikan.
Ternyata Lina mengejarku dan memukul punggungku dengan lumayan keras.
“Ibu! Kakak membangunkanku dengan mengejutkanku.” Lina Mengadu dengan wajah cemberut.
“Hohoho kedua putri manis Ayah sudah bangun, ayo kita makan.”
Ayah dan Ibu sudah duduk di meja makan menunggu kami. Aku dan Lina berjalan menghampiri mereka.
Ayah mengusap kepalaku dan mencubit pipi Lina, ini sudah menjadi rutinitas Ayah setiap sebelum menyantap sarapan.
Kami makan dengan lahap, karena hari ini kami bisa memakan hidangan kesukaan kami yaitu Frumenty.
Frumenty adalah bubur sereal yang terbuat dari gandum dan juga jelai, bertekstur padat dan kental dengan cita rasa gurih dan juga sedikit manis.
Karena kemarin kebetulan Ayah membawa daging hasil buruan maka Ibu berpikir membuat Frumenty menggunakan kaldu dari daging rusa adalah hal yang bagus untuk sarapan.
“Em.. ini enak.” Ayah makan dengan cepat, mengais seluruh makanan di mangkuknya hingga tidak bersisa. Bahkan walaupun mangkuk Ayah sudah terlihat bersih, Ayah mengais mangkuknya dan menjilat sendoknya.
“Sayang, jorok.” Ibu menarik wajahnya dengan ekspresi sedikit jijik.
Ayah hanya tertawa dan menyodorkan mangkuknya.
“Apa ada lagi?” Tanya Ayah.
Ibu mengambil Frumenty yang ada di panci dan menuangkannya di mangkuk Ayah.
Saat Ibu memberikan mangkuk berisi Frumenty kepada Ayah, Ibu melirikku dan menunjuk Ayah dengan matanya. Dia memberikan isyarat bahwa aku harus berbicara kepada Ayah.
Aku menelan ludahku dengan berat, aku menarik nafas dalam dan menahannya untuk mengumpukan keberanian.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!