NovelToon NovelToon

Mendadak Istri (Oh, Lilis)

Bab 1. Masalah Besar

...----------------...

"Apa kalian semua bodoh? Bagaimana bisa, bangunan hotel itu tiba-tiba roboh padahal baru memasuki tahap pembangunan lantai ke lima? Apa ada yang salah dengan kualitas bahan bangunan kita? Bukankah semua bahan dan material pembangunan sudah diperiksa dan masuk ke bagian quality control perusahaan kita, hah?"

Seorang laki-laki berteriak di depan beberapa orang yang tertunduk di hadapannya. Sorot matanya memancarkan aura kemarahan yang begitu mendominasi. Suaranya melengking tajam menusuk gendang telinga orang-orang seperti menganggap mereka tuli.

"Kenapa semuanya diam? Nggak ada yang bisa jelasin pada saya!" teriak lelaki yang bernama lengkap Liam Putra Pranaja itu lagi. Kedua mata yang biasanya terlihat teduh itu terlihat memerah ketika dirinya marah. Biasanya, Liam adalah orang yang ramah.

"Maaf, Pak. Kemungkinan besar faktor utamanya karena kualitas material kita yang tidak sesuai dengan sample sebelumnya yang diberikan kepada saya selaku pihak Site Engineer. Saya sudah mencoba untuk menghubungi Yuda selaku Kepala Quality Control kita. Namun, orangnya sedang mengajukan cuti dan berada di luar kota," jelas Diki—selaku Site Engineer di perusahaan Liam.

"Hubungi dia! Sambungkan panggilannya dengan saya!" titah Liam.

Diki terlihat kebingungan. Keringat dingin sudah mulai bercucuran. "Su—sudah saya coba, Pak. Tapi ... teleponnya tidak bisa dihubungi."

"Kenapa tidak cari tahu kepada keluarganya! Ada alamatnya, kan?" titah Liam lagi masih dengan nada tinggi.

"Sudah, Pak. Rumahnya kosong. Tetangganya juga tidak tahu ke mana Pak Yuda dan keluarganya pergi. "

"Apa?" Liam tersentak. Fisarat buruk mulai menghantui pikirannya. Apa jangan-jangan perusahaannya selama ini sudah merawat seorang koruptor?

"Kalau begitu namanya bukan cuti. Sudah jelas dia melakukan penggelapan dana lalu melarikan diri. Kamu itu bodoh atau gimana, sih? Kenapa nggak langsung lapor polisi?" Liam semakin geram. Hal itu membuat para pegawainya semakin menundukkan pandangan. Kecuali Diki yang memang merupakan pegawai sekaligus sahabatnya Liam. Lelaki itu sudah hafal dengan sifat tegas sahabatnya itu.

Sebenarnya, sikap Liam tidak sekasar itu. Hanya saja dia merasa emosi dengan perusahaan jasa konstruksinya yang terancam akan gulung tikar gara-gara masalah ini.

"Lapor polisi harus ada bukti yang cukup, Pak. Saat ini kita tidak punya bukti apa-apa," ujar Diki.

Liam mendengkus sambil melonggarkan dasinya. Sesak di dadanya membuat paru-parunya seolah kesulitan untuk menghirup pasokan oksigen di ruangan tertutup itu. Liam berusaha tetap waras dengan cara mengatur napas. Bagaimanapun, pegawainya juga sudah berusaha keras.

"Saya dan tim sedang berusaha untuk mengumpulkan bukti tersebut, Pak. Harap Bapak bersabar dan serahkan pada kami!" Diki berkata lagi sebelum Liam menanggapi.

Liam frustrasi. Otaknya seperti buntu untuk berpikir sesuatu. Proyek pembangunan hotel bintang tujuh itu adalah proyek terbesarnya tahun ini. Dia sudah mencurahkan segalanya pada proyek tersebut. Jika sampai gagal, perusahaannya akan rugi besar. Image perusahaannya akan coreng di mata investor. Jika seperti itu, perusahaan Liam pasti gulung tikar.

"Bagaimanapun caranya dia harus segera ditemukan. Si Yuda itu harus bertanggung jawab dengan kekacauan yang dia lakukan. Untuk selanjutnya kita akan mulai pembangunan dari awal lagi."

"Tapi, Pak. Kalau untuk membangun dari awal, sepertinya dana kita tidak akan mencukupi." Staf Akuntansi yang bernama Sisil ikut menginterupsi.

"Apa?" Liam mengernyit lalu menghela napas kasar. Perusahaannya benar-benar dalam masalah besar.

Liam pun beralih pada Diki. "Hubungi investor kita. Kita akan mengadakan rapat dadakan dengan mereka," titahnya pada sang asisten.

"Baik, Pak."

Keesokan harinya, Liam melakukan rapat bersama investor dari hotel yang dibangun oleh perusahaan konstruksinya. Sayangnya, rapat dadakan itu pun tak berhasil mendapatkan solusi, membuat Liam jadi tambah frustrasi. Pasalnya, pihak investor malah meminta dana mereka kembali jika proyek itu tidak bisa dilanjutkan lagi. Kepala Liam seolah mau pecah ditimpa masalah bertubi-tubi.

****

Seminggu berlalu tanpa hasil yang memuaskan. Masalah penggelapan dana di perusahaan Liam masih belum ada jalan keluar. Proyek pembangunan hotel pun akhirnya mangkrak tanpa ada penyelesaian. Pihak investor pun tidak mau tahu. Mereka ingin proyek itu selesai sesuai perjanjian atau proyek tersebut terpaksa dibatalkan.

Liam benar-benar terpuruk karena perusahaannya hampir bangkrut. Segala cara sudah Liam usahakan. Namun, semuanya butuh waktu yang panjang, sedangkan investor tak mau adanya penundaan.

Hal itu membuat sang kakek yang bernama Hadi Prakasa merasa prihatin dengan keadaan cucunya tersebut. Hadi sengaja mengunjungi sang cucu di rumah tinggalnya saat ini. Lelaki itu memang sudah lama mandiri, semenjak kedua orang tuanya tak bisa tinggal bersama lagi.

"Apa kakek yakin beliau mau membantu perusahaan aku?" Liam bertanya kepada kakeknya ketika sang kakek mengatakan jika ada seseorang yang berbaik hati hendak menyuntikkan dana untuk mengatasi masalah di perusahaan Liam.

"Masa kakek bohong sama kamu, Liam. Dia sendiri, kok, yang bilang begitu. Dia itu teman kakek. Orangnya terlampau kaya jadi dia suka bingung uangnya harus digunakan untuk apa. Mungkin dia mau invest sama kamu. Waktu kakek cerita tentang masalah di perusahaan kamu, dia langsung bilang mau nolong gitu. Mungkin dia mau kasih kamu kesempatan untuk membangkitkan bisnis kamu lagi. Katanya, dana yang mau dia berikan cukup besar, loh, Am. Tapi ada tapinya ...."

"Tapi apa?" Liam langsung memotong perkataan kakeknya . Kata pertentangan itu membuatnya sedikit resah. Kata-kata Hadi memang terdengar santai, alih-alih canggung dan kaku bersama sang cucu. Begitulah hubungan antara Liam dan kakeknya. Mereka lebih seperti teman walaupun perbedaan usia begitu menonjol dari keduanya.

"Dia mau ketemu sama kamu dahulu. Katanya ada syarat yang harus kamu lakukan untuk mendapatkan modal itu."

Kening Liam mengernyit diiringi kedua alisnya yang bertaut. "Syarat apa?" tanyanya bingung.

"Kakek nggak tahu. Sebaiknya kamu temui saja dia! Dia teman lama kakek. Namanya Wahyu Kalingga. Dia adalah pengusaha tambang dan perkebunan yang kaya raya. Sebulan yang lalu kita pernah ke rumahnya saat dia merayakan ulang tahunnya yang ke-65. Masih ingat?"

Liam sejenak berpikir lalu menganggukkan kepalanya. "Baiklah, nanti Liam ke sana," ujarnya kemudian. Meskipun masih bingung, tak ada salahnya untuk mencoba. Barangkali pengusaha itu adalah penyelamat perusahaannya.

***

Esoknya, Liam tiba di sebuah rumah mewah bergaya klasik modern yang terlihat megah. Beberapa pilar besar yang menopang di bagian depan membuat rumah itu terkesan gagah. Namun, kemegahan itu tak sebanding dengan kenyamanan yang layak untuk disebut rumah. Sama sekali tak ada aura kehangatan yang tercipta dalam bentuk keluarga. Rumah itu seperti tak bernyawa. Liam seperti melihat bayangan masa kecilnya ketika masih tinggal bersama kedua orang tuanya yang kini sudah berpisah.

Ketika Liam turun dari mobilnya, seorang penjaga langsung menghampiri Liam dan memberi hormat. Sepertinya dia sudah diberi mandat untuk menyambut Liam dan membawanya pada sang majikan.

"Selamat siang, Pak," sapa Liam ketika sudah bertemu dengan si empunya rumah yang bernama Wahyu Kalingga.

"Namamu Liam? Cucunya Hadi Prakasa?" tanya Wahyu.

Liam mengangguk. "Iya, Pak," jawabnya.

"Panggil saya 'kakek'!" titah Wahyu. Liam tersenyum pelik sambil meneguk ludahnya sendiri. Lelaki itu masih memprediksi kira-kira apa syarat yang akan diajukan lelaki tua ini.

"Baik, Kek ...." Terjeda sejenak. Liam menarik napas pendek sebelum dia mengutarakan niatnya datang ke rumah itu. "Saya akan langsung mengutarakan niat saya datang ke sini, Kek. Saya ... ke sini karena tertarik dengan tawaran Anda yang diceritakan oleh kakek saya," ujar Liam tak mau berbasa-basi. Dia memang orang yang tidak suka mengulur waktu.

Liam dan Wahyu berbincang di taman belakang. Wahyu mendengarkan perkataan Liam sambil melemparkan pakan ikan pada kolam yang berada di hadapannya. Salah satu sudut bibirnya terangkat ke atas mendengar kejujuran Liam. Lelaki tua itu pun menarik pandangannya pada dari kolam dan beralih pada Liam.

"Saya sudah tahu," cetus Wahyu.

"Apa syarat yang Anda inginkan, agar Anda mau menolong perusahaan saya yang sedang krisis keuangan?" Liam semakin terbuka dan blak-blakan akan niatnya tersebut. Namun, senyuman Wahyu malah semakin mengembang.

"Nikahi cucu saya!" titah Wahyu yang membuat Liam sontak membeku.

...----------------...

Next 👉

Bab 2. Sebuah Syarat

...----------------...

Tubuh Liam sontak kaku dan pikirannya pun ikut buntu. Pasalnya, menikah adalah hal yang paling dia takuti selama ini. Bahkan lelaki itu pernah berpikir dalam hidupnya untuk tidak akan pernah menjalin hubungan suami istri.

Liam mempunyai kesan yang buruk tentang pernikahan karena kisah pernikahan orang tuanya yang berakhir cerai. Liam dilema. Namun, jika syarat yang diajukan oleh Wahyu tak dia lakukan, bagaimana nasib perusahaannya yang sedang di ambang kehancuran dan puluhan karyawan yang terancam jadi pengangguran?

"Apa ada alasan, kenapa saya yang terpilih untuk menikahi cucu Anda?" tanya Liam sebelum mengambil keputusan.

"Karena cucu saya menyukai kamu. Apa kamu ingat tentang insiden kolam renang yang terjadi ketika kamu hadir di acara ulang tahun saya sebulan yang lalu?" Liam menganggukkan kepalanya. Dia ingat betul karena waktu itu dia menolong seorang gadis yang tidak sengaja tercebur di kolam renang milik tuan besar di hadapannya itu.

"Gadis yang kamu tolong itu adalah cucu saya," aku Wahyu yang membuat Liam mengernyit tidak percaya. Bagaimana bisa seorang cucu konglomerat tidak bisa berenang padahal di rumah besar itu ada fasilitas kolam renangnya?

"Dia menyukaimu semenjak itu. Dan saya hanya berusaha untuk membuatnya bahagia dengan menikahkan dia dengan laki-laki yang dia suka." Wahyu melanjutkan kata-katanya sebelum Liam berkomentar.

"Apa dia yang meminta kakek untuk melamar saya?" tanya Liam lagi.

Wahyu menggeleng lalu berkata, "Tidak sama sekali. Saya hanya melihat dari sorot matanya yang berbinar cerah tiap kali sedang menceritakan kamu yang menolongnya malam itu."

Liam terpaku, ia benar-benar tidak paham dengan pemikiran kakek tua itu. Tanpa bertanya pada cucunya sendiri, lelaki itu langsung mengambil keputusan yang sangat besar seperti itu. Bagi Liam, pernikahan bukanlah ajang untuk mencari kebahagiaan. Justru pernikahan adalah awal dari kehancuran.

"Jadi, cucu Anda sendiri tidak tahu? Bagaimana kalau dia tidak setuju?" cecar Liam.

"Dia pasti setuju. Asalkan kamu tidak mengatakan jika saya yang meminta kamu menikahi dia."

Liam mematung sembari berpikir. Sorot matanya tersirat banyak pertanyaan. Bagai simalakama, Liam terdesak karena keadaan. Namun, lelaki itu ragu untuk secepat itu mengambil keputusan.

"Tujuan kita sama. Kita sama-sama ingin membahagiakan orang lain dengan kesepakatan ini. Kamu bisa membahagiakan karyawanmu dengan menyelamatkan perusahaan, dan saya bisa membahagiakan cucu saya yang belum lama saya temukan," tutur Wahyu lagi.

"Belum lama ditemukan?" Liam mengulang perkataan ambigu yang terlontar dari bibir Wahyu.

"Ya, dia baru saya temukan dua bulan yang lalu pasca kecelakaan yang menimpanya 15 tahun yang lalu. Saat itu usianya masih sekitar lima tahunan. Kedua orang tuanya meninggal dalam kecelakaan itu, sedangkan dia menghilang seperti ditelan bumi. Pencariannya tidak pernah dihentikan karena saya yakin cucu saya masih hidup.

"Ternyata harapan saya membuahkan hasil, dia diselamatkan oleh penduduk desa yang baik hati. Mereka merawatnya seperti pada anaknya sendiri. Mereka juga memberikan nama baru untuk cucu saya. Lilis adalah nama yang diberikan oleh mereka karena insiden itu melenyapkan ingatannya yang masih balita. Nama aslinya adalah Kiara, tetapi dia sudah terbiasa dipanggil Lilis dan menolak nama itu. Selama ini Lilis mungkin terbiasa dengan hidupnya yang sederhana, sehingga dia selalu menolak pemberian dan fasilitas yang saya berikan untuknya.

"Kata orang tua angkatnya, Lilis adalah anak periang dan ceria, tapi selama dia tinggal bersama saya dia hampir tak pernah menunjukkan raut ceria sedikit pun. Bahkan sangat jarang saya melihatnya tersenyum. Dia memperlakukan saya seperti orang asing," tutur Wahyu panjang lebar menceritakan tentang kisah cucunya tersebut. Ia menghentikan ceritanya sekadar untuk menarik napas panjang lalu mengeluarkannya perlahan.

Liam masih diam, mencoba mencerna kalimat panjang yang dilontarkan oleh Wahyu. Lelaki itu juga masih menunggu, jika saja Wahyu masih ingin melanjutkan ceritanya. Liam seolah bisa membacanya dari mimik wajah lelaki tua itu yang masih ingin melanjutkan ceritanya.

"Saya tidak mau membuat dia tertekan ketika tinggal bersama saya. Namun, bagaimanapun dia itu cucu saya. Saya tidak mungkin membiarkan dia tinggal di desa. Lalu untuk pertama kalinya saya melihat aura kebahagiaan terpancar dari wajahnya setelah insiden tercebur malam itu. Dia pertama kali menunjukkan senyuman manisnya ketika saya menceritakan tentang kamu yang menolongnya waktu itu.

"Dari situ saya tahu bahwa dia menyukaimu dan saya mulai mencari tahu tentang kamu. Ternyata kamu adalah cucu dari teman lama saya. Jadi, sepertinya kamu bisa diandalkan untuk menjaga Lilis. Saya pikir hanya ini yang bisa saya lakukan untuk membuat dia bahagia. Saya harap kamu mau menikahi cucu saya," lanjut Wahyu.

"Bagaimana kalau saya tidak bisa membahagiakan cucu Anda? Sepertinya saya tidak sebaik yang Anda kira." Liam menyanggah pernyataan Wahyu. Dia ragu akan bisa membahagiakan Lilis karena rasa takutnya pada ikatan pernikahan itu.

"Biarkan cucu saya yang menentukannya. Jika dia menerima kamu apa adanya, saya yakin dia merasa bahagia."

Jika seperti itu, Liam hanya bisa diam. Entah seperti apa sikap Lilis yang katanya menyukai dirinya itu. Apakah perempuan itu bisa bertahan hidup di dalam pernikahan yang mungkin tidak akan ada cinta darinya? Ah ... sudahlah. Jika memang suatu saat perempuan itu memilih untuk pergi, tidak jadi masalah bagi Liam. Yang penting sekarang adalah perusahaannya bisa terselamatkan.

Bagi Liam, pernikahan tidak perlu adanya cinta. Pernikahannya mungkin berguna untuk dijadikan penyokong bisnis semata. Kisah pernikahan orang tuanya yang berantakan, juga beberapa orang terdekatnya juga demikian. Perselingkuhan, pertengkaran, dan kekerasan dalam rumah tangga membuatnya enggan merajut asa dan membina rumah tangga yang sebenarnya.

"Tidak ada yang namanya cinta sejati di dunia ini. Kalaupun ada, seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami," batin Liam.

Kemudian lelaki itu menghela napas panjang lalu mengeluarkannya perlahan seolah menampung banyak keyakinan dalam hatinya.

"Oke. Saya setuju dengan syarat Anda, Kek. Kapan kami bisa menikah?" ucap Liam akhirnya setuju. Dia juga tidak mau menunda-nunda waktu.

"Untuk itu saya harus bertanya pada Lilis dahulu. Sebentar, saya akan panggil dia." Wahyu pun memanggil asisten rumah tangganya lalu menyuruhnya untuk menjemput Lilis dari kamarnya.

Beberapa menit menunggu, gadis yang mereka ceritakan pun turun dari lantai atas rumah itu. Ketika kedua netranya menangkap sosok Liam, pancaran kemilau cinta langsung menyorot pada sosok tampan yang wajahnya terekam dalam kelopak mata indahnya. Kakinya menapaki undakan anak tangga dengan pelan. Perempuan itu ingin menikmati dengan perlahan, keindahan ciptaan Tuhan yang tidak bisa terbantahkan.

"Sini, Sayang! Ini Liam yang sering Kakek ceritakan itu."

Lilis tak menjawab. Kedua mata Lilis masih tertuju pada wajah Liam. Sejenak pandangan mereka pun terkunci. Namun, tatapan Liam langsung teralihkan karena lelaki itu masih menutup hati. Tak bisa dipungkiri, selama sepersekian detik, sepertinya Liam merasa sedikit tertarik.

"Dia ke sini mau melamar kamu, Nak. Kamu mau?"

...----------------...

Next 👉

Bab 3. Setuju

...----------------...

"Hah? Apa?" Lilis tersentak dengan kedua mata terbelalak. Pandangannya langsung beralih pada Wahyu. Kemudian ekor matanya melirik Liam dengan ragu. Jantungnya pun berdebar tak menentu. Rasanya seperti hendak meledak dan melebur jadi abu. Namun, Lilis tidak memungkiri jika dirinya benar-benar terharu.

"Ya, saya ke sini mau melamar kamu," pungkas Liam ikut menimpali.

"Tapi ... kenapa mendadak gini?"

"Kenapa? Kamu nggak suka aku?" tuding Liam.

"Nggak gitu. Tapi ...." Lilis mematung. Perempuan itu bingung harus mengatakan apa. Dirinya memang menyukai Liam semenjak insiden kecelakaan di kolam renang waktu itu. Namun, Lilis tentu malu untuk berkata jujur kepada Liam. Apalagi ini adalah kedua kalinya mereka bertemu. Lilis sering mendengar cerita tentang Liam dari kakeknya, tetapi ia tidak menyangka Liam akan langsung melamarnya.

"Bukannya kamu juga suka sama dia, Lis? Dia itu cucunya teman kakek. Kakek setuju," celetuk Wahyu yang membuat wajah Lilis memerah seketika.

"Ih, Kakek. Jangan bikin malu Lilis, atuh!" sanggah Lilis dengan logat daerahnya. Wahyu pun tertawa pelan melihat cucunya kelabakan seperti salah tingkah. Tingkah itu belum pernah dilihatnya selama ini karena Lilis selalu mengurung diri.

"Sepertinya cucu Anda juga setuju. Jadi, apa kami bisa menikah minggu depan?"

"Eh? Tunggu dulu! Minggu depan gimana?" Lilis tersentak lagi. Lamaran Liam begitu mendadak baginya. Seperti sedang transaksi jual beli saja. Namun, entah kenapa hatinya sangatlah bahagia. Seperti ribuan bunga bermekaran di sana.

"Iya, aku tidak bisa menunggu lama. Minggu depan kita akan menikah. Aku bukan tipe orang yang suka berpacaran," kata Liam.

"Kakek juga setuju. Kakek dan kakeknya Liam sudah lama saling kenal. Kakek yakin jika Liam adalah orang yang tepat untuk kamu," timpal Wahyu.

Lilis memasang senyuman tipis. Keningnya mengernyit kebingungan. Walaupun hatinya bahagia, tetap saja ada rasa yang mengganggu pikirannya. Namun, rasa itu teralihkan karena perasaannya cinta Lilis terhadap Liam. Dia pun hanya bisa menganggukkan kepalanya.

"Baiklah. Lilis nurut sama Kakek aja," katanya.

****

Hari berganti tanpa terasa. Seminggu sudah dilalui untuk mempersiapkan resepsi pernikahan. Namun, setiap detik yang dilalui Lilis seakan begitu bermakna. Perempuan itu selalu berdebar di detik-detik menjelang hari pernikahannya. Lilis tidak pernah menyangka jika sebentar lagi statusnya akan berubah. Yakni, menjadi istri dari Liam Putra Pranaja. Hari ini, sudah waktunya Lilis menikah.

"Kamu sangat cantik seperti ibumu, Nak," ujar Wahyu ketika Lilis sudah selesai berdandan ala mempelai pengantin wanita.

Lilis begitu anggun dan cantik dalam balutan kebaya putih yang dipadukan dengan batik songket berwarna keemasan. Walaupun dengan riasan sederhana, Lilis sudah tampil memesona. Aura yang terpancar dari wajah gadis desa itu begitu menenangkan dan enak dipandang. Bentuk tubuh yang aduhai laksana pahatan sempurna sebuah mahakarya. Sungguh, Lilis adalah salah satu makhluk terindah dari ciptaan Tuhan Yang Maha Sempurna.

"Hatur nuhun, Kek. Walaupun Lilis lupa wajah ibu kandung Lilis, tapi Lilis bersyukur karena ibu udah nurunin kecantikannya buat Lilis. Lilis seneng banget hari ini," ucap Lilis sambil tersenyum.

Wahyu mendekap cucu satu-satunya itu. "Kakek juga senang. Akhirnya kamu mau lebih terbuka dengan kakek. Ke depannya, kakek harap kamu bisa mengandalkan kakek dalam hal apa pun, ya," ucapnya sambil mengusap punggung cucunya. Lilis mengangguk lalu melerai pelukan mereka.

"Ayo, kita udah ditunggu!" ajak Wahyu. Lilis mengangguk lagi. Kemudian, mereka berdua pun berjalan beriringan menuju tempat pernikahan.

Pernikahan itu diadakan secara sederhana karena Lilis yang memintanya. Hanya dirayakan di rumah besar Wahyu Kalingga. Hal itu menjadi keuntungan bagi Liam. Pasalnya, dia belum siap untuk mengumumkan pernikahannya ke khalayak ramai. Untuk sekarang, cukup keluarga dan kerabat saja yang datang.

Waktu berputar tak bisa berhenti. Detik demi detik tanpa terasa terlampaui. Satu per satu ritual acara pernikahan telah dijalani. Hingga akhirnya Liam dan Lilis sudah resmi menjadi suami istri.

Liam tak menunjukkan rasa gugup sedikit pun ketika melafalkan ijab kabul. Mungkin karena ia tak mempunyai perasaan apa-apa terhadap Lilis sehingga Liam seolah tidak peduli akan pernikahannya itu.

Acara pernikahan itu selesai saat petang menjelang. Kala itu awan kelabu menghalangi indahnya langit jingga di tempat matahari tenggelam. Tak lama rinai hujan pun turun menambah rasa dingin di waktu malam.

Seperti sudah direncanakan, Lilis merasa alam pun mendukung pernikahannya dengan Liam. Perempuan yang beberapa jam yang lalu sudah menyandang gelar Ny. Liam, kini sedang tersenyum seorang diri sambil menatap hujan.

"Boleh aku masuk?" Suara Liam membuat Lilis terlonjak. Kepalanya menoleh pada Liam yang tengah berdiri di ambang kamarnya.

"Boleh, atuh. Mulai sekarang ini jadi kamar kita berdua," jawab Lilis sedikit malu. Pipinya pun tersipu berwarna kemerahan seperti buah jambu.

Liam tersenyum hambar mendengar kata 'kita' yang terlontar dari mulut istrinya. Terasa aneh terdengar di telinga. Tak mau membahasnya, ia pun segera menyeret kakinya memasuki kamar tersebut.

"Kamu sedang apa berdiri di situ?" tanya Liam yang merasa heran karena istrinya terus berdiri di dekat jendela sambil menatap ke luar. Sekaligus mengalihkan rasa canggungnya ketika berduaan dalam satu kamar.

"Tadi Lilis lagi lihatin hujan. Oh, iya ...." Ucapan Lilis terjeda ketika mengingat sesuatu. Kemudian Lilis berjalan menjadi suaminya yang sudah duduk di tepi tempat tidur. Berdiri di hadapan suaminya sambil menatap wajah Liam dengan lekat dan serius.

"Ada apa?" tanya Liam sambil bersikap waspada. Sikap Lilis terlihat seperti hendak menerkamnya.

"Lilis teh harus panggil kamu apa? Aa, Akang, Ayang, apa Bebeb?" tanya Lilis dengan wajah datar.

"Hah?" Liam mengernyitkan keningnya. Bibirnya sedikit ternganga saking tidak menyangka jika pertanyaan itu yang akan terlontar dari mulut istrinya.

"Kita, kan, sudah menikah. Nggak mungkin Lilis teh panggil kamu dengan nama aja. Harus pake panggilan sayang, atuh," lanjut Lilis lagi sambil mencondongkan tubuhnya mendekati Liam. Hal itu membuat Liam sedikit menghindar.

"Terserah kamu aja mau panggil aku apa. Oke!" Liam merasa risih berada sedekat itu dengan Lilis. Sepertinya Lilis sudah mulai menunjukkan sikap aslinya.

"Ah, oke, atuh. Lilis panggil Ay aja, ya. Panggilan itu mengingatkan Lilis pada seseorang yang terpaksa Lilis tinggal di desa."

"Ya, terserah. Eh, tapi siapa seseorang itu? Pacar kamu?" tanya Liam penasaran juga.

"Bukan, itu ayam Lilis. Lilis sering panggil dia dengan panggilan Ay ay. Lilis sayang banget sama dia, sama seperti Lilis sayang sama kamu," ujar Lilis sambil tersipu.

Liam tentu termangu. Ternyata dirinya disamakan dengan ayam peliharaan istrinya itu. Namun, Liam tidak peduli. Yang penting pernikahannya sudah terjadi. Itu artinya, perusahaannya akan segera bangkit kembali.

...----------------...

...To be continued...

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!