Aku menghempaskan tubuhku ke atas ranjang melepas letih dan penat setelah seharian bekerja pada salon kecantikan milik Mey temanku.
Kejadian 2 minggu lalu masih mengganggu Ingatanku.
Malam ini di mana Mas Bagas sudah menuduh Aku Selingkuh tanpa bukti yang akurat.
Entah kenapa ia dengan yakinnya menuduh aku berselingkuh dengan pria lain.
Jelas-jelas siang itu banyak pekerjaan yang aku kerjakan di salon Mey.
Namun Mas Bagas tidak sedikitpun mempercayai kata-kataku.
Sudah hampir 2 minggu beliau tidak pulang ke rumah ini.
Aku kecewa karena Mas Bagas lebih mempercayai perkataan orang lain ketimbang perkataanku.
walaupun aku paham dengan pernikahanku yang baru seumur jagung. tahun kemarin kami melangsungkan pernikahan.
Tapi bayi di janinku masih usia 2 bulan .
"TOK TOK TOK"
Aku menoleh ke arah pintu.
Terdengar suara ketukan dari arah ruang tamu"siapa tamu malam-malam gini?" Gumamku perlahan.
"TOK TOK TOK"
"Sebentar" Aku langsung melangkah keluar kamar, menuju pintu ruang tamu.
"Kak!!!TOK TOK TOK"
rupanya suara Mirna, adikku yang nomor satu.Karena kami hanya 3 Saudara.
Aku paling besar, dan Adik bungsu Aku, Erin yang kini masih nonton televisi.
Pintu pun terbuka, disusul Mirna menyelundup masuk dengan aroma minuman yang kurang sedap.
Aku melihat jam dinding pukul 22.50.
"Dari mana kamu mir?"
" biasalah Kak, ngumpul teman", aromanya memang tidak aku sukai minuman beralkohol.
"Kok sampai jam segini?" tanya aku sambil duduk di kursi ruang tamu, yang mana Erin sedang duduk nonton di lantai.
"Ya, memang kenapa sama jam segini?masih bagus aku pulang" Jawab Mirna langsung masuk ke kamarnya.
Aku geleng-geleng kepala melihat Mirna jalannya terhuyung dan menutup pintunya.
Aku melihat Erin yang serius dengan acara televisinya.
"Kamu nggak tidur Rin?"
"Iya Kak sebentar lagi aku tidur"
Erin bangun dari duduknya mematikan televisi dan membisikan telingaku.
"Kak, besok kalau Kak Mirna enggak ada di rumah aku mau bicara"
Aku bingung,kenapa harus nunggu Mirna tidak di rumah.
"Kenapa nggak bicara sekarang saja sih?"
Erin langsung menempelkan telunjuknya ke bibirnya.
"Huuuuust...Besok saja kak, ya sudah, aku tidur dulu"
Erin pun memasuki kamarnya.
Begitu juga aku masuk ke kamarku.
Sambil ku buka lemari mencari uang makan aku Seminggu, yang aku letakkan di bawah pakaian.
Aku cari laci paling atas tidak ada.
Aku cari lagi di bawahnya tetap tidak ada.
Aku bongkar ke laci paling bawah tetap tidak ku temui.
Uang yang aku ingat aku letakkan di laci nomor 2.
kemana ya? aku lupa taruh? tapi di mana ya? Apa ada maling? tidak mungkin.
Pintu kamar selalu dalam keadaan terkunci.
Mungkin Aku yang sembrono. Sembarangan letak.
"Ya sudah, semoga besok dapat rezeki lagi di salon" gumamku berusaha untuk memejamkan mata.
Namun otakku berlari ke sana kemari.
ucapan Erin tadi mengganggu pikiranku.
Meninggalkan jejak pertanyaan di hati aku.
"Ada apa sebenarnya dengan Mirna? apa yang ingin disampaikan dengan Erin?Kenapa kok mau bicara saja harus menunggu Mirna tidak ada di rumah?
"Drrrrt Drrrrt Drrrrrt"
Tiba-tiba benda pipi di dalam Tasku bergetar.
Aku buka tas dan mengambilnya.
Aku lihat ada satu pesan wa.
Ternyata dari Mas Bagas.
"mau apa dia?mau menuduhku lagi ?"
Aku bukan wanita yang suka tempat hiburan.
Apalagi bersama laki-laki yang bukan suamiku.
"El..Mas akan cari tahu kebenarannya.Apakah kamu benar-benar bersama lelaki lain di tempat hiburan atau tidak.akan Mas selidiki, dan besok Mas pulang"
Aku menghela nafasku.
Untuk apa dia kembali ke sini lagi? kalau hanya percaya dengan yang bukan istrinya.
Kenapa Mas Bagas lebih percaya orang lain daripada aku?
padahal kita sudah satu dengan tumbuhnya buah di rahimku.
"Aaaaah aku tidak peduli dia mau pulang atau tidak"
Tanpa kubalas chat Mas Bagas,aku tertidur.
Sengaja Pagi ini aku bangun lebih awal.
Selesai mandi aku langsung ke meja makan.
Di sana sudah terlihat Erin sedang menikmati setakap rotinya.
Dan setakap lagi sudah terhidang untuk sarapanku.
Erin memang selalu mengutamakan aku daripada Mirna.
karena Mirna tidak pernah bangun pagi. "Erin, kamu mau bicara apa sih? Kakak penasaran loh"
kembali aku bertanya kepada Erin, yang masih asik dengan rotinya
"nanti saja Kak" jawab Erin agak cuek.
"Rin, kamu masih ada uang jajan?" tanya aku pelan, karena uang makan seminggu aku lupa letakkan di mana.
"santai saja kak, masih ada kok uang jajan Erin,kemarin Mama juga kasih Erin jajan kok"
"Mama datang kemari?" tanya aku bingung, kenapa Erin tidak memberitahu ke aku kalau mama datang.
Erin kelihatan menyembunyikan kegugupannya.
"Aaaaam ...To..tidak Kak,maksud Erin,Mama transfer uang jajan ke Erin"
"Oh gitu toh,Ya sudahlah, Kakak berangkat dulu ya, jangan nakal." Aku cubit pipinya.
Aku pun menuju teras, dan... starter kendaraan roda dua untuk menuju ke tempat kerja yang di miliki temanku sebuah salon kecantikan.
walau tidak ternama, namun cukup ramai pengunjungnya.
hanya memakan waktu 15 menit dari rumah ke salon ini.
" Hai, El?" seperti biasa, Mey menyapaku, yang kubalas dengan senyum.
" El, ditungguin, noh"
bibir Mey maju sesenti ke depan, sambil melirik seorang pria setengah baya, yang memang sudah menjadi langgananku seminggu sekali.
Entah itu untuk digunting rambutnya, creambath, atau hanya masker wajah.
" Oh, Om, Irfan? yuk, sini Om." dengan cepat aku siapkan kursi untuk customerku.
"mau diapain, Om?" tanyaku dengan senyum.
Karena aku memang berharap Om Irfan menjadi langganan tetapku.
Selain orangnya ramah, juga cukup besar tips yang ia berikan.
Walau dengan usia di kepala lima,tapi tidak menjadikan Om Irfan terlihat tua, ia masih tampak bugar.
Dengan senyum yang tidak membuat bosan orang melihatnya.
Om Irfan sudah menjadi langganan tetap Aku, sejak beberapa bulan lalu.
Dia pernah bercerita, kalau dirinya adalah duda anak satu.
Dengan pekerjaan yang cukup menjanjikan di suatu perusahaan.
Setiap uang kembalian yang dia berikan, setara dengan uang makan aku selama 2 minggu.
"Aaaaah... lumayan, ada Om Irfan, untuk menggantikan uang makan aku yang hilang, kemarin, kuman ku, sembari senyum" Gumam hatiku.
"Cie... cie." ada yang senyum-senyum sendiri"
Ledek Mei dengan tawanya yang konyol, membuat pipiku berubah warna menjadi merah.
"Om, mau di creambath ya?" Tanyaku lagi.
"Iya El, di creambath saja." Jawab Om Irfan dengan senyum.
Dan matanya menatapku tajam.
Namun terlihat sendu.
Entah apa yang tersimpan di sana.
Dengan semangat menggebu, aku siapkan peralatan dan streamer untuk memulai creambath.
Dengan pijatan pijatan di kepalanya, membuat Om Irfan terantuk-antuk seolah mengantuk.
hanya 30 menit aku memijatnya pertanda selesai.
Seperti biasa Ia melakukan pembayaran dan memberi tips yang cukup besar menurutku.
"Bisa untuk uang makan seminggu"gumamku dengan senyum tipis
""Mey, Aku pulang dulu ya"
kulihat jam tanganku pukul 20.00"
Oke El, hati-hati Ya"
Mei menepuk pundakku.
Aku melangkah ke halaman parkir motor, siap menstarter kendaraan roda duaku.
Ku lambaikan tangan ke arah Om Irfan yang ternyata masih di dalam mobil.
Om Irfan pun membalas lambaian tanganku.
motorku melaju kecepatan standar menuju rumah.
Tidak sampai 15 menit, aku sudah tiba di halaman rumahku.
Ku parkir motor, dan mengambil bungkusan makanan untuk Erin, yang tadi sore aku sempatkan beli di toko kue sebelah.
Aku langsung memasuki ruangan makan.
Di situ Erin seperti sudah menunggu kedatanganku.
"Mirna, belum pulang Rin?"tanyaku sambil meletakkan bungkusan ke arah Erin.
"belum kak, mana mungkin Dia pulang jam segini"
Erin mencebik.
"Ini ada kue-kue basah, tadi Kakak beli di toko sebelah"
aku membuka bungkusan itu dan ikut memakannya
"mau bicara apa Rin? Kakak jadi penasaran?"
Tanyaku kembali, karena masih menyimpan tanda tanya.
"Kak..Erin mau tanya dulu, apa Kakak pernah merasa ada yang hilang nggak?" pertanyaan Erin membuat aku mengernyitkan keningku.
"memangnya kenapa?"
"Yaaa.. Kakak jawab dulu, apa Kakak ada kehilangan?"
Aku mencoba mengingat-ingat.
"Ah iya, uang makan seminggu Kakak Rin, tapi mungkin Kakak yang sembrono, lupa taruh di mana."
Jawabku membuat Erin bangun dari duduknya.
"Apa mungkin Kak Mirna yang ngambil Kak?"
"Huus? jangan bicara Sembarangan, mana mungkin dia ambil uang Kakak, Pintu selalu Kakak kunci kok, mau masuk dari mana?" jawabku.
Memang tidak yakin kalau Mirna yang ambil uangku, apalagi dia tahu aku cari nafkah untuk siapa.
Aku cari nafkah, untuk kedua adik-adikku, Erin masih sekolah, tapi Mirna, sejak diusir dengan papa, aku tidak sampai hati, kalau Adik perempuanku ini menjadi Gelandangan pinggir jalan.
Masuk akal Kalau Papa sampai tega mengusir Mirna.
Karena kebiasaan buruk Mirna, pulang malam, yang membuat Papa marah.
Sudah kesekian kali orang tuaku menasehati Mirna, tapi tidak sedikitpun masuk ke telinganya.
Sempat tangan Mama melayang ke wajahnya, Mirna sempat menangis, Tapi keesokan harinya, Mirna kembali pulang malam lagi.
Dengan nafas sesak, Papa mengusir Mirna.
Dan aku menyuruh Mirna tinggal di rumahku saja.
Tapi dengan tinggalnya Mirna di rumahku, beliau tidak lagi mau sekolah.
Aku sempat bingung, mau aku Arahkan ke mana langkah hidupnya.
"Kak!!!"
Suara Erin membuatku tersentak kaget.
"i..i..iya..yah..."
"Kakak kok malah diam aja"
"Kagak..kakak gak melamun.hehehe"
"yang bilang melamun siapa Kak"
Erin menarik lenganku
"Ada apa sih Rin?'
"ke sini saja,ikut aku Kak"
Erin menarik lenganku lebih keras lagi, menuju halaman samping, di mana jendela kamarku terletak di halaman samping. Biasanya kami menjemur pakaian di sini.
Tepatnya depan jendela kamar aku.
Sesampainya kami di depan jendela, Erin menunjuk ke daun jendela
" tiga hari lalu,Kak Mirna naik dari sini Kak, dia naik ke jendela dan masuk kamar Kakak, sepertinya dibuka pakai obeng, karena aku lihat di tangan Kak Mirna ada obeng Kak"
Terlihat daun jendela sedikit terbuka, dan ada beberapa goresan, aku membukanya, Ternyata begitu mudahnya dibuka.
Ah, benar saja, daun jendela ini bisa dibuka dengan mudah.
Aku masih tidak yakin atas perbuatan Mirna yang sudah sampai hati padaku.
dia tahu aku kerja dari pagi hingga malam, untuk kebutuhannya juga.
" Kakak masih tidak percaya, Rin,"ada perasaan sesak di dadaku,
" ya sudah Rin,kalau Kak Mirna segitu teganya sama kakak,biar Kakak serahkan sama Tuhan saja"
"Iya kak kakak harus lebih hati-hati Kak sebaiknya Besok suruh si Mamang benerin jendelanya Kakak jangan bilang-bilang lagi sama Kak Mirna ya aku takut" jawab Erin penuh harap.
""Ya sudah, Kakak Tidak akan bilang-bilang lagi, besok, Kakak panggil si Mamang, biar dibenarkan jendelanya"
Aku langsung masuk menuju ke ruang makan, yang mana makanan sudah disiapkan Erin untukku.
Erin memang pandai memasak, dan menjadi suatu hobinya.
Kami hanya makan berdua, tanpa Mirna, dan tanpa Mas Bagas.
Aku langsung Teringat Apa Yang Mas Bagas bilang pesan di ponselku, orang dekat?
Siapa? orang dekat yang berani mengkambing hitamkan aku dan Mas Bagas.
Ada masalah apa aku dan orang itu? selama ini, aku tidak pernah membuat masalah pada siapapun, Kenapa begitu tegak fitnahan yang ditujukan padaku.
Papa dan Mama begitu mendukung pernikahanku dan Mas Bagas, tidak mungkin mereka mau fitnah anaknya sendiri.
kedua adikku pun masih terlihat polos, tidak mungkin mereka sudah menyebarkan isu negatif untukku.
Lalu siapa?
"Hei, kak." teriak Erin, sambil tangannya mengibas di wajahku.
Aku terhenyak gelagapan menggelengkan kepalaku dengan cepat.
"kok jadi melamun Ayo makan"
Erin memberi aku nasi di piringku.
"Iya Rin Kakak nggak ngelamun"
Aku jadi gugup membuat Erin tertawa.
"Ya sudah dimakan dulu pasti kakak lapar kan ?"
Ku balas ketawa Erin.
Lalu kami pun makan bersama.
sambil sesekali bercerita keadaan dan lingkungan sekolah Erin,di mana adanya guru tercupu yang membuat kami berdua kembali tertawa.
Setelah pukul 22.10 Aku menuju kamar untuk tidur karena memang ada keletihan setelah seharian bekerja.
Belum sempat kakiku melangkah masuk kamar,terdengar ketukan pintu membuat aku berbalik arah menuju pintu
"siapa sih malam-malam gini"
Aku langsung membuka anak kunci di pintu dan sempat membuatku terkejut melihat Siapa yang berdiri di balik pintu.
"Mas Bagas"
Aku balikan badanku masuk ke dalam, diikuti langkahnya Mas Bagas.
Lalu aku masuk ke dalam kamar, tetap saja langkah Mas Bagas mengikutiku.
"El...maafin Mas ya" Dia menarik tanganku.
Aku menghela nafasku dalam-dalam
.
"Ya sudah Mas, tidak perlu dibahas lagi,sudah berlalu...yang penting Mas harus jujur, siapa yang sudah memfitnah aku,dan membuat cerita bohong pada Mas "
jawabku dengan malas.
"Iya El,nanti juga kamu tahu sendiri ya.. tidak perlu aku bilang"
""Ya sudah Mas, kalau Mas nggak mau bilang, nggak apa-apa, aku mau tidur, ngantuk,"
jawabku sambil melepaskan genggaman tangannya.
Lalu ku hempaskan tubuhku ke atas ranjang.
Tanpa mengacuhkan Mas Bagas yang masih menatapku, dan menundukkan kepalanya.
Seperti ada sesuatu yang membuatnya merasa bersalah.
Entah aku sendiri tidak tahu apa yang tersimpan di dalamnya.
Ada perasaan sakit bila ingat, Mas Bagas menuduhku yang tidak ada bukti apapun. Apalagi dia sudah mengetahui kalau aku sedang mengandung anaknya.
"Kenapa seakan kita belum bisa menyatu dalam pernikahan," gumam hatiku, Sambil mencoba menutup mataku.
Dan mencoba tidur.
Tidak Aku perdulikan dengan suamiku saat ini.
𝐏𝐎𝐏 𝐌𝐈𝐑𝐍𝐀
Sudah menjadi kebiasaanku ngumpul bersama teman-teman yang semuanya adalah putus sekolah.
Namun mereka semua bersahabat denganku.
Dimulai dari coba-coba lintingan kepulan asap yang ku hirup sampai tenggorokan, sampai ke minuman keras menjadi rutinitas kebiasaanku.
Yang membuat Papa marah adalah mencium bau asap di kamarku.
Apalagi seringnya Aku pulang malam. sering Aku bolos sekolah hanya untuk ngumpul bareng teman-teman yang selalu memaksa.
Tanpa ampun Papa mengusir aku dari rumah.
Di situ Aku bingung mau ke mana.
ke rumah teman mereka pun masih tinggal dengan orang tuanya masing-masing. hanya Edo yang tinggal sendirian di kos.
Tidak mungkin aku tinggal berdua Edo dalam satu kamar.
Walaupun aku pernah tidur berdua dengannya,itu hanyauntuk kesenangan belaka,suka sama suka.
Dalam kebimbangan aku harus ke mana, kak Eli menelponku dan menyuruh aku tinggal di rumahnya.
"Sekarang juga Kamu ke sini ya Mir,biar kamu tinggal sama kakak aja di sini"
"Tapi bagaimana dengan Mas Bagas" Tanyaku ragu.
"Biar nanti Kakak coba bicarakan sama Mas Bagas. pasti setuju kok... dia orangnya enggak rewel"
Aku terlonjak senang.
Ternyata kak Eli mau menerima aku. walaupun Sebenarnya aku iri padanya.
Dia selalu mudah mendapatkan pria tampan dan apapun yang dia mau akan terwujud.
Sedangkan aku? begitu sulit untuk mendapatkan pria tampan.
aku akui. Kak Eli memang cantik.lebih cantik dariku walaupun dari segi kulit aku yang teratas dibanding kak Eli.
kami pun tinggal bersama. aku, kak Eli Mas Bagas dan Erin adikku.
Tapi entah kenapa ada perasaan iri melihat kebahagiaan kak Eli bersama Mas Bagas. Mas Bagas pria tampan dan baik hati begitu mudah didapat Kak Eli.
Seperti siang itu,Mas Bagas pulang lebih awal.
Sedangkan kak Eli masih di tempat kerjanya.
Aku berusaha bersikap baik pada Mas Bagas.
Aku seduhkan kopi dan menyodorkan ke Mas Bagas.
"Terima kasih" Mas Bagas langsung meminumnya.
Entah mungkin karena memang haus atau kelelahan sehabis bekerja atau perjalanan.
"Mas"Panggil ku membuka pembicaraan.
" Ya?" Mas Bagas menatapku.
"aku mau bicara apa Mas percaya?"
"bicara apa? bicaralah"
"Mas Bagas percaya tidak kalau kak Eli bersama pria lain ?"
"Hah?"kulihat mata males Bagas hampir copot dari tempatnya
"Maksud kamu apa"
Membuat aku ragu untuk melanjutkan perkataanku.
"Iya Mas,aku lihat sendiri kak Eli dengan pria lain kemarin di cafe...ganteng loh mas laki itu"
" kamu serius? di cafe mana?"
"Cafe Shangrila Mas, kelihatannya mereka sudah akrab kok"
"kamu nggak salah lihat kan?"
"Ya mana mungkin aku salah lihat Mas,mata Aku Masih normal,Aku pikir tadinya lelaki itu Mas Bagas, setelah aku perjelas, ternyata pria lain, malah sampai gandengan juga"
Ucapanku membuat Mas Bagas menatapku tajam.
"Kamu serius ?""tanya Mas Bagas masih tidak percaya.
"Iya, Kalau mas tidak percaya, nanti kalau mereka ketemu lagi, aku videoin ya Mas, kemarin itu aku lupa videoin, saking tidak percaya, makanya aku lupa,"
Aku berusaha meyakinkan Mas Bagas.
Aku lihat dia mulai percaya.
Karena tampak tangannya mengepal.
" ya sudah, Lain kali, kalau kamu harus ingat, kalau melihat itu lagi, Kamu harus videoin.
"Iya Mas, tapi Mas, tolong jangan bilang-bilang lagi ke kak Eli, aku takut, pasti kak Eli marah kalau tahu, aku yang bilang, Mas, janji ya" jari kelingking ku mencuat untuk kulingkarkan ke jari kelingking Mas Bagas.
Dan Mas Bagas pun melingkarkan jari kelingkingnya ke jariku.
Namun yang kudengar malamnya, sepulang ke Eli dari kerja, ada keributan di kamar kakakku bersama Mas Bagas.
keributan yang membuat Mas Bagas pergi entah mana.
Seperti Malam ini aku belum bisa memejamkan mata
Otakku masih mencari dan mencari sesuatu.
Tapi kenapa aku malah terbayang sosok Mas Bagas.
pria tampan berlesung Pipit dengan senyum tak membosankan.
"Kenapa aku tidak pernah bisa mendapatkan apa yang aku mau?
Kenapa terasa dunia tidak adil untukku?"
jariku menggeser kontak ponsel bernama Mas Bagas.
"Mas lagi apa mas?"
tidak sampai 5 menit mendapat balasan dari Mas Bagas.
" lagi nonton...Gimana kabar kamu dan kak Eli?"
Spontan aku kembali mengetik.
"aku baik-baik saja Mas,sama kak Eli juga baik, Mas nggak pulang"
""Nantilah Mas pulang, sekarang, masih galau"
Aku tersenyum puas dengan galaunya Mas Bagas.
"Pulanglah Mas, kan Mas bisa Maafkan kesalahan kak Eli"
Tidak ada balasan dari Mas Bagas.
Aku pun mengetik kembali.
"Tuhan saja memaafkan umatnya, masa Mas nggak mau memaafkan, mungkin waktu itu kak Eli khilaf"
Masih tidak ada balasan.
Aku penasaran, aku ketik lagi.
"Mas, besok ketemu yuk, siapa tahu Mas lagi suntuk, bisa curhat sama aku"
"boleh?"
akhirnya Mas Bagas balas juga chat aku. Aku tersenyum.
"Di cafe shangrila ya Mas, nanti aku kasih tahu di meja mana kak Eli waktu itu duduk bersama pria ganteng"
"Jam?"
"Jam 7 malam ya Mas"
""Iya, besok Mas ke sana ya, Kamu tunggu"
Seperti janji Mas Bagas, tepat waktu, datang ke cafe Shangrila.
Aku bersama Alex dan Edo, yang mana mereka membawa pasangan.
Hanya aku yang sengaja tidak membawa pasangan.
Mas bagaslah yang akan menjadi pasanganku malam ini.
Mas Bagas duduk di sampingku.
"Cie-cie" Alex meledekku dengan kehadiran Mas Bagas.
Lalu mereka menjauh, membiarkan aku dan Bagas berdua di meja sudut yang terlihat remang sedikit penerangan.
"Mas minum ini ya aku sudah siapkan dari tadi loh"
Aku menyodorkan segelas minuman beralkohol
"Terserah kamu saja" Jawab Mas Bagas tersenyum.
"Mas"
Aku melingkarkan tanganku di pundak Mas Bagas.
"lihat di meja sudut yang itu, waktu itu kak Eli duduk di situ" Ujar ku asal menunjuk saja kemeja sudut.
Mas Bagas mereguk minumannya.
"kamu sering ke sini Mir" tanyanya tidak semangat.
"Seringlah Mas,makanya aku sempat lihat kak Eli sama lelaki ganteng itu."
"Hmmmmm" Mas Bagas mendehem sambil meminumnya kembali.
Aku semakin merapatkan tanganku yang masih melingkar di pundaknya.
Tak lama kemudian tangan Mas Bagas pun membalas melingkar di perutku.
"Hmmmm...Ini kesempatan yang tidak boleh aku sia-siakan" gumam hatiku.
Kudekatkan wajahku ke wajahnya sampai pada akhirnya bibir kami menyatu dengan mata yang sama-sama terpejam.
kami sama-sama ******* bibir ke bibir lebih dalam lagi dengan lidah yang menari-nari.
Hingga tanganku turun kebawah bagian yang tersembunyi.
kami nikmati adegan cemburu dengan hasrat yang meningkat.
"Yuk"suaraku lirih menahan gejolak di sekujur tubuhku.
Mas Bagas mengangguk perlahan dengan mata setengah memejam.
"di sini ada penginapan kita nginap malam ini yah Mas"Aku masih mendesah di telinganya menahan gairahku.
dibalas anggukan Mas Bagas.
Kami pun meninggalkan kafe itu, dan pamit dengan temantemanku, dan menuju hotel yang bersebelahan dengan Cafe. Setelah membayar di kasir, kami melangkah menuju kamar.
Mas Bagas mulai jalan dengan terhuyung, separuh hilang keseimbangan.
Aku memapahnya masuk ke dalam kamar. ku Arahkan langkahku ke tempat tidur bernuansa serba putih.
Aku habiskan malam itu bersama Mas Bagas.
Aku tidak peduli kalau ia adalah kakak iparku.
Yang terpenting aku bisa dapatkan apa yang aku mau.
Bukan hanya sekali,tapi berkali-kali kami menghabiskan waktu di penginapan.
Hingga kami berdua tertidur dengan lelahnya
Hingga matahari pagi menembus kisi-kisi jendela menyeruak masuk membangunkan kami berdua untuk kembali pulang.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!