NovelToon NovelToon

Dia Buah Hatiku

Prolog.

"Permisi, selamat malam!" teriak seorang wanita di depan sebuah panti asuhan dengan pakaian basah kuyup.

Suara teriakan bercampur dengan derasnya hujan membuat sang pemilik panti tidak dapat mendengar, bahkan sampai berulang kali wanita itu berteriak, tetapi pintu panti asuhan itu tidak juga kunjung terbuka.

"Permisi, tolong buka gerbangnya! Tolong buka!" teriak wanita itu kembali untuk yang kesekian kalinya. Tubuhnya sudah menggigil kedinginan, tetapi dia tetap bersikukuh memanggil seseorang yang ada di tempat itu.

"Aku mohon buka gerbangnya, aku mohon!" pinta wanita itu dengan terisak. Walau pakaiannya sudah basah sampai ke dalam-dalam, tetapi dia tetap memeluk sesuatu yang saat ini sedang berada dalam pangkuannya agar tidak basah terkena air hujan.

Tidak berselang lama, pintu panti asuhan itu terbuka dan keluarlah seorang wanita paruh baya dengan memakai pakaian tebal karena dinginnya malam.

Wanita paruh baya itu tampak terkejut saat melihat seorang wanita terduduk di depan gerbang, dia yang berniat untuk melihat derasnya hujan malah dikejutkan dengan keberadaan seseorang. Ternyata suara teriakan yang dia dengar tadi adalah nyata, tetapi dia malah berpikir jika itu hanya halusinasinya saja.

"Tolong, aku mohon buka gerbangnya."

"Tu-tunggu sebentar!" teriak wanita paruh baya itu sambil mencari payung untuk segera membuka gerbang agar wanita itu bisa berteduh.

Wanita itu terperanjat kaget saat mendengar teriakan seseorang. Dia yang sejak tadi menunduk bergegas melihat ke arah panti sambil membangunkan tubuhnya.

"Tolong aku," ucap wanita itu sambil memegang gerbang yang terbuat dari besi.

Wanita paruh baya itu bergegas membuka gerbang lalu mempersilahkan wanita tersebut untuk berteduh di teras panti.

"Maaf, saya terlalu lama membuka gerbangnya," ucap wanita paruh baya itu dengan perasaan bersalah. "Ya Tuhan, apa yang terjadi pada Anda?" Dia memekik kaget saat melihat wajah wanita yang ada di hadapannya saat ini. Bagaimana tidak, wajah wanita itu dipenuhi dengan lebam, bahkan ada luka juga di sudut bibirnya.

Wanita itu tersenyum tipis. "Saya tidak apa-apa, Nyonya. Terima kasih karena Anda mau membukanya, nama saya Vania."

Wanita paruh baya itu menatap dengan sendu. "Nama saya Rea, panggil saja buk Ra."

Vania mengangguk lalu menurunkan sesuatu yang sejak tadi dia gendong membuat buk Ra membelalakkan kedua matanya.

"A-anda membawa bayi? Ya Tuhan!" pekik bu Ra kembali sambil membuka syal yang melilit di lehernya, lalu memakai syal tersebut untuk mengelap air yang membasahi baju bayi itu. Walaupun Vania sudah membungkusnya dengan jas hujan, tetap saja derasnya hujan bisa menembusnya.

Bu Ra kemudian berlari masuk ke dalam rumah untuk mengambil handuk. Suasana rumah sudah sangat sepi karena semua orang sudah tidur karena memang jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam, apalagi ditambah dengan derasnya hujan membuat mata setiap orang pasti cepat terlelap.

"Ambillah, Vania. Nanti kamu masuk angin," ucap bu Ra sambil menyodorkan handuk yang sudah diambil dari dalam kamar.

Vania menggelengkan kepalanya. "Saya tidak apa-apa, Bu. Saya hanya ingin meminta bantuan Anda, saya mohon tolong terima bayi saya ini." Pintanya dengan suara gemetaran akibat menahan dingin yang menusuk sampai ke tulang.

Buk Ra tercengang saat mendengar ucapan Vania. Dia merasa sangat terkejut dengan permintaan wanita itu, dan merasa tidak habis pikir kenapa ada seorang ibu yang menyerahkan anaknya sendiri ke panti asuhan.

"Masuk dan ganti dulu pakaianmu, Vania. Setelah itu kita baru bicara," ucap buk Ra dengan lembut. Dia juga merasa khawatir dengan keadaan Vania, mungkinkah wanita itu terkena kekerasan dalam rumah tangga hingga menyebabkan wajahnya dipenuhi luka?

Vania kembali menggelengkan kepalanya. Dia lalu menangkupkan kedua tangan di depan dada sambil menundukkan kepala.

"Saya mohon terimalah anak saya ini, Buk. Saya mohon biarkan dia tinggal di sini. Sekarang saya tidak bisa menjaganya," pinta Vania kembali dengan penuh harap. Dia bahkan sampai bersimpuh di hadapan buk Ra berharap wanita paruh baya itu mau menerima anaknya.

Buk Ra terdiam dengan tatapan sendu dan bingung. Sebenarnya tidak masalah jika Vania ingin menitipkan bayinya di panti asuhan ini, tetapi dia merasa jika sedang terjadi masalah dengan wanita itu hingga membuatnya merasa iba.

"Bangunlah, Vania. Kita bicarakan dulu baik-baik. Apa kau sedang ada masalah? Kenapa ada banyak luka diwajahmu?" tanya buk Ra sambil memegang kedua bahu Vania. Dia lalu terkejut saat melihat luka lebam yang juga ada ditangan wanita itu, sepertinya benar jika Vania sedang dalam masalah.

"A-aku telah melakukan kesalahan, Buk. Aku, aku bersalah," jawab Vania dengan pelan dan terisak.

Buk Ra kemudian memaksa Vania untuk masuk ke dalam rumah sambil membawa bayi itu. Dia lalu mengambilkan pakaian ganti untuk Vania beserta bayinya agar tidak masuk angin.

Setelah ganti pakaian dan merasa sedikit tenang, Vania menceritakan apa yang telah terjadi pada Buk Ra, kemudian dia kembali memohon agar wanita paruh baya itu mau menerima bayinya.

"Saya pasti akan kembali lagi dan mengambilnya, saya mohon terimalah dia, Buk," pinta Vania kembali dengan bercucuran air mata karena merasa berat harus berpisah dengan sang buah hati, tetapi dia terpaksa harus melakukannya.

Buk Ra terdiam dengan perasaan iba. Sungguh dia merasa sangat kasihan dengan nasib Vania, begitu juga nasib bayi yang masih berusia tiga bulan itu.

"Baiklah, Vania. Saya akan menerima dan merawat bayimu sampai kau kembali lagi ke sini," ucap buk Ra sambil mengusap air matanya yang ikut keluar karena kesedihan Vania.

Vania langsung memeluk buk Ra dengan erat sambil mengucapkan terima kasih. Dia berjanji akan membalas semua kebaikan wanita paruh baya itu suatu hari nanti.

"Terima kasih karena sudah mau menerimanya, Buk. Aku pasti akan kembali lagi ke sini, aku mohon jagalah dia dan jangan memberikannya pada siapapun. Aku mohon," pinta Vania kembali.

Buk Ra tersenyum lalu menggenggam kedua tangan Vania dengan erat. "Tentu saja, Vania. Saya akan menjaganya sampai kau datang kembali untuk mengambil anakmu."

Tbc.

Bab 1. Hari Kebebasan.

Beberapa tahun kemudian.

Di sebuah ruangan, terlihat semua wanita sedang berkumpul karena akan menjalani pembinaan kemandirian seperti mana biasanya.

Masing-masing dari mereka sudah menetapkan kegiatan yang akan dilakukan. Mulai dari keterampilan tangan, bercocok tanam, atau pekerjaan mandiri yang lainnya. Mereka bebas memilih sesuai dengan minat dan bakat yang diinginkan.

Begitu juga dengan seorang wanita yang bernama Vania Garvita. Saat ini dia tengah sibuk melakukan pekerjaan sesuai dengan keinginannya yaitu tentang keterampilan tangan.

"Kau sedang apa, Vania?" tanya seorang wanita paruh baya yang sejak tadi memperhatikan Vania. Sudah hampir satu jam Vania sibuk membuat sesuatu sampai membuat dia merasa penasaran.

Vania mendongakkan kepalanya untuk melihat ke arah wanita paruh baya itu. Dia lalu tersenyum dan kembali menunduk untuk melanjutkan pekerjaannya.

"Aku sedang membuat syal, Bik. Ini untuk putraku," jawab Vania sambil tersenyum cerah. Dia sudah tidak sabar untuk memberikan syal hasil rajutannya kepada sang putra tercinta.

Wanita paruh baya itu ikut tersenyum. Sudah beberapa tahun ini dia mengenal dan hidup bersama dengan Vania, tetapi baru kali ini dia melihat wajah Vania di penuhi dengan kebahagiaan.

"Iya yah, sebentar lagi kau akan bebas dan bisa bertemu lagi dengan Varo. Dia pasti sudah besar sekarang," ucap wanita paruh baya itu.

Wajah Vania semakin berseri-seri saat mendengarnya. Yah, sebentar lagi dia akan bebas dan bisa bertemu dengan putra semata wayangnya.

Rasa rindu terus membelenggu jiwa Vania selama beberapa tahun ini, tetapi sekarang tidak lagi karena dia akan segera bertemu dengan putranya.

"Vania!"

Vania kembali mendongakkan kepalanya saat mendengar panggilan seseorang. Dengan cepat dia beranjak dari karpet untuk menghampiri orang yang telah memanggilnya.

"Iya, Buk," jawab Vania saat sudah berada di hadapan seorang sipir perempuan.

"Ayo, ikut aku! Ada yang ingin bertemu denganmu," ucap wanita tersebut sambil berbalik dan berjalan keluar dari ruangan itu.

Vania mengangguk lalu mengikuti langkah wanita itu, sampai akhirnya mereka tiba di ruangan lain yang berada tidak jauh dari tempat tadi.

"Bagaimana kabarmu, Vania?"

Vania tersenyum senang saat melihat siapa yang mengunjunginya. "Saya baik, Buk. Bagaimana kabar Anda? Sudah lama kita tidak bertemu." Dengan cepat dia menyalam tangan wanita itu.

Wanita bernama Sonya itu tersenyum ramah. "Tentu saja saya juga baik, Vania. Ayo, silahkan duduk!" Dia lalu duduk dikursi yang telah tersedia sambil mempersilahkan Vania untuk duduk di hadapannya.

Vania mengangguk lalu segera duduk di hadapan Sonya. Sudah hampir tiga tahun ini dia tidak bertemu dengan wanita itu, dikarenakan Sonya harus menjalani pelatihan di luar kota.

Mereka lalu berbincang layaknya seorang sahabat yang sudah lama tidak bertemu. Walaupun begitu, Vania harus tetap hormat dan menjaga batasan di hadapan Sonya. Biar bagaimana pun, Sonya adalah seorang polwan yang dulunya menangani kasus yang menyeret namanya.

"Akhirnya masa tahananmu telah berakhir, Vania. Apa besok kau akan langsung menemui Varo?" tanya Sonya.

Vania langsung menganggukkan kepalanya. "Tentu saja, Buk. Saya sudah sangat merindukannya, saya ingin langsung memeluknya." Kedua matanya berkaca-kaca karena sudah tidak sabar untuk melihat sang buah hati.

Sonya menepuk bahu Vania dengan lembut, dia sangat paham sekali bagaimana perasaan wanita itu saat ini. Ibu mana yang tidak bahagia jika akan bertemu dengan anak mereka setelah berpisah selama bertahun-tahun lamanya?

"Besok saya akan menjemputmu, setelah itu kita temui Varo sama-sama," ucap Sonya membuat Vania langsung meneteskan air mata.

Vania merasa sangat terharu dengan kebaikan yang selama ini Sonya berikan padanya, bahkan jika bukan karena wanita itu, mungkin dia tidak akan bisa bebas secepat ini.

"Selama ini Anda sudah sangat baik pada saya, Buk. Saya tidak akan bisa membalas semua kebaikan Anda," ujar Vania dengan terisak. Padahal Sonya bukan keluarga atau bahkan temannya, tetapi selama ini wanita itu sudah banyak sekali membantunya.

Sonya menggenggam kedua tangan Vania dengan erat dan mencoba untuk menenangkannya. "Jangan bicara seperti itu, Vania. Saya sudah menganggapmu sebagai adik saya sendiri, jadi kau tidak boleh mengungkit apa yang sudah terjadi. Mengerti?" Dia bertanya dengan lembut.

Vania mengangguk pelan. Dia merasa bersyukur karena masih dipertemukan dengan orang baik seperti Sonya, padahal dulu tidak ada satu orang pun yang memperlakukannya dengan baik. Jangankan diperlakukan baik, mereka semua bahkan menganggapnya sebagai wanita sampah.

Beberapa saat kemudian, Sonya pamit untuk kembali bekerja. Lagi pula waktu untuk berkunjung juga sudah habis, dan Vania harus kembali melanjutkan kegiatannya.

***

Keesokan harinya, sesuai dengan ucapan Sonya. Dia kembali lagi ke tempat di mana Vania berada untuk menjemput wanita itu. Terlihat Vania sudah menunggu kedatangannya sambil membawa tas besar berisi pakaian.

"Apa kau sudah siap untuk pergi?" tanya Sonya dengan senyum lebar.

Tentu saja Vania langsung mengangguk dengan semangat. Tadi dia sudah berpamitan pada teman-teman yang tinggal satu kamar dengannya, juga pada semua teman yang menghuni tempat itu.

"Saya sudah siap, Buk. Sangat siap sekali," sahut Vania dengan sangat antusias.

Sonya langsung tergelak saat melihat semangat Vania. Dia lalu merangkul bahu wanita itu dan bergegas membawanya keluar dari tempat itu setelah pamitan dengan para penjaga lapas.

Air mata Vania tidak dapat ditahan saat menghirup udara bebas. Dadanya berdegup kencang karena menahan ledakan kebahagiaan saat kembali melihat kehidupan diluar sana.

"Ayo, kita masuk! Varo pasti sudah menunggu di sana," ajak Sonya.

Vania kembali mengangguk dan berlalu masuk ke dalam mobil Sonya. Mereka kemudian segera pergi menuju panti asuhan di mana Varo berada, tidak lupa berhenti sebentar di supermarket untuk membelikan makanan bagi anak-anak penghuni panti.

Sepanjang perjalanan, Vania terus berlinangan air mata karena benar-benar tidak sabar untuk bertemu dengan Varo. Dia sudah tidak sabar untuk memeluk dan mengecup wajah putranya, dia yakin sekali jika Varo pasti tumbuh menjadi anak yang cerdas dan tampan.

"Hentikan air matamu itu, Vania. Apa kau akan menemui Varo dengan menangis seperti itu?" seru Sonya sambil menggelengkan kepalanya.

"Saya sudah berusaha untuk tidak menangis, Buk. Tapi air mata ini tetap mengalir deras," sahut Vania dengan suara serak karena terlalu banyak menangis. Padahal dia sudah mencoba untuk menahan, tetapi air matanya tetap saja keluar.

Tidak berselang lama, sampailah mereka ke tempat tujuan. Vania begegas keluar dari mobil dengan dada berdegup kencang dan tubuh gemetaran, sementara Sonya hanya tersenyum sambil membawa makanan yang tadi dia beli.

"Maaf, Anda siapa ya?" tanya seorang wanita yang merupakan penjaga panti asuhan.

Vania tersenyum dan berusaha untuk menahan air matanya. "Sa-saya Vania, Buk. Saya ingin menemui anak saya, boleh saya masuk?"

Wanita itu mengernyitkan kening bingung, tetapi dia tetap mempersilahkan kedua wanita tersebut untuk masuk ke dalam panti. Tidak lupa menyuguhkan minuman dan makanan ringan juga.

"Sebelumnya maaf, bisa tolong jelaskan siapa Anda dan apa maksud ucapan Anda tadi?" tanya wanita penjaga panti itu.

"Ah begini, saya ingin bertemu dengan buk Ra. Selama ini saya sering berkirim surat dengannya, apa beliau ada?" tanya Vania kembali.

Wanita itu terdiam dengan tatapan sendu. "Maaf, buk Ra sudah meninggal."

"A-apa?"

Tbc.

Bab 2. Tidak Ada di Mana Pun.

Vania tersentak kaget dengan tatapan tidak percaya saat mendengar ucapan wanita itu, begitu juga dengan Sonya yang merasa terkejut dengan kematian buk Ra. Kenapa mereka sama sekali tidak mendengar tentang kabar meninggalnya buk Ra?

"A-apa Anda serius, Buk?" tanya Vania dengan tergagap.

Wanita itu mengangguk. Dia lalu mengatakan jika buk Ra sudah meninggal tiga tahun yang lalu, bahkan mereka baru saja memperingati hari kematian buk Ra.

Air mata Vania langsung menetes saat mendengar kematian tentang buk Ra. Pantas saja beberapa tahun ini dia tidak pernah lagi menerima balasan surat dari buk Ra, ternyata wanita itu sudah meninggal dunia.

"Sebelumnya saya sering ke sini, tapi kenapa tidak ada satu pun orang yang memberi kabar tentang kematian buk Ra?" tanya Sonya dengan tajam. Dulu dia sudah beberapa kali berkunjung ke panti asuhan untuk melihat Varo dan buk Ra, tetapi selama pelatihan dan sampai sekarang dia tidak sempat untuk berkunjung lagi.

Wanita itu menggelengkan kepalanya karena tidak tahu. Dia sendiri baru bekerja di panti asuhan sejak buk Ra meninggal, itu sebabnya dia tidak mengenal Sonya.

"Ka-kalau gitu di mana putraku? Aku ingin bertemu dengannya," tanya Vania dengan panik, entah kenapa perasaannya menjadi tidak nyaman.

"Maaf, Nona. Saya benar-benar tidak tahu apa-apa," jawab wanita itu. "Kalau gitu saya akan memanggil anak buk Ra, mungkin dia tahu tentang putra Anda." Dia segera pergi dari tempat itu untuk memanggil anak dari pemilik panti asuhan tempatnya bekerja.

Vania langsung bangun dari kursi dengan panik. Wajahnya tampak pucat dengan keringat dingin yang mengalir diseluruh tubuh, dia merasa benar-benar gelisah dan takut dengan keadaan putranya.

"Tenanglah, Vania. Varo pasti ada di dalam," ucap Sonya sambil menepuk bahu Vania dan menyuruhnya untuk kembali duduk.

"Tidak, aku harus segera bertemu dengan Varo. Aku harus segera menemui putraku," sahut Vania dengan terisak. Rasa takut terasa menjalar ke seluruh tubuhnya.

Tidak berselang lama, datanglah seorang wanita bernama Feli yang merupakan anak dari buk Ra. "Maaf, apa Anda mencari saya?" Dia tersenyum dengan ramah kepada tamu-tamunya.

Vania langsung mendekati wanita itu lalu mencengkram kedua bahu Fely membuat wanita itu terlonjak kaget.

"Katakan di mana putraku, di mana Varo!" ucap Vania sambil mengguncang tubuh Feli membuat wanita itu meringis menahan sakit.

Sonya berusaha untuk menenangkan Vania dan melepaskan cengkraman wanita itu, sampai akhirnya cengkraman Vania terlepas dan sedikit menjauh dari Feli.

"Cepat katakan di mana putraku! Aku ingin bertemu dengannya," pinta Vania kembali dengan terisak.

Feli terdiam saat mendengar ucapan Vania. Dia sama sekali tidak mengenal wanita itu, dia bahkan tidak tahu-menahu tentang anak yang disinggung oleh Vania.

"Maaf, Nona. Sebenarnya apa maksud Anda? Dan anak mana yang Anda maksud?" tanya Feli dengan bingung dan tidak mengerti.

Vania langsung berjongkok untuk mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Kemudian dia menunjukkan beberapa lembar foto kepada mereka.

"Ini adalah putraku, dia ada di sini. Cepat berikan anakku!" teriak Vania dengan histeris membuat mereka semua terlonjak kaget, bahkan anak-anak yang ada dipanti asuhan itu bergegas melihat apa yang sedang terjadi.

Feli melihat foto yang diberi oleh Vania dengan tajam. Dia benar-benar sama sekali tidak tahu tentang anak yang ada dalam foto itu, bahkan dia tidak pernah melihatnya di dalam panti asuhan ini.

"Kenapa kau diam? cepat berikan dia padaku!" pinta Vania kembali sambil menarik-narik tanyan Feli, tetapi wanita itu tetap bersikukuh bahwa tidak tahu apa-apa tentang anaknya.

"Saya tidak pernah mengenal anak ini, Nona. Saya juga tidak-"

"Bagaimana mungkin kau tidak mengenalnya? Dia tinggal di sini, dia tinggal di sini bersama dengan buk Ra!" teriak Vania kembali sambil menangis dengan tersedu-sedu.

Semua orang yang ada di pantai asuhan itu melihat apa yang terjadi dari kejauhan, sementara Sonya berusaha untuk kembali menenangkan Vania.

"Tolong beritahu di mana Varo berada, atau saya akan melaporkan masalah ini ke kantor polisi," ancam Sonya. Bagaimana mungkin mereka tidak mengenal Varo sementara anak itu dulu benar-benar tinggal di panti asuhan ini?

Feli kembali mengatakan bahwa dia benar-benar tidak mengenal Varo, Dia bahkan sampai bersumpah demi tuhan bahwa tidak berbohong tentang hal ini.

Mendengar ucapan Feli, Vania langsung menerobos masuk ke dalam panti asuhan itu untuk mencari keberadaan putranya.

"Varo, kamu di mana, Nak? Ini mama, mama datang untuk menjemputmu," teriak Vania sambil mencari keberadaan Varo. Dia membuka semua kamar yang sedang dilewati membuat anak-anak yang berada di kamar berhamburan keluar.

Sonya dan Feli bergegas masuk ke dalam panti untuk menyusul kepergian Vania, sementara wanita yang satunya lagi terlihat sedang menghubungi seseorang.

"Varo, kau di mana, Sayang? Ini mama!" teriak Vania kembali untuk yang kesekian kalinya.

Kedua mata Vania sudah sembab akibat kebanyakan menangis. Napasnya terus memburu karena berlarian ke sana kemari untuk mencari keberadaan putranya, sampai ingin sekali rasanya dia menghancurkan panti asuhan ini.

"Apa kalian melihat Varo?" tanya Vania pada anak-anak yang sedang meringkuk ketakutan saat melihat apa yang dia lakukan. "Jangan takut, aku mamanya Varo. Aku ingin menjemputnya, tolong kasitahu di mana Varo. Huhuhu." Dia menangis dengan tersedu-sedu karena tidak bisa menemukan Varo padahal sudah menggeledah seisi panti asuhan ini.

Sonya langsung menghampiri Vania lalu memeluknya dengan erat. Dia sendiri tidak mengerti kenapa Varo tidak ada di panti asuhan ini, bahkan Feli juga tidak mengenal siapa Varo. Mungkinkah ada sebuah konspirasi yang terjadi di tempat ini?

"Aku mohon berikan putraku, aku mohon berikan Varo padaku," ucap Vania dengan sesenggukan.

"Tenanglah, Vania. Kita pasti akan mencari keberadaan Varo, jadi tolong jangan menangis lagi," pinta Sonya. Mereka harus menyelidiki sebenarnya apa yang sudah terjadi dengan Varo karena situasi saat ini benar-benar tidak masuk akal sekali.

"A-apa yang dia ucapkan benar, Nona. Saya mohon tenangkan diri Anda, saya berjanji akan membantu untuk mencari putra Anda," ucap Feli. Walau dia merasa bingung dan tidak mengerti, tetapi dia harus bertanggung jawab jika memang benar putra wanita itu menghilang di panti asuhan ini.

Tiba-tiba ada seorang anak berusia sepuluh tahun yang mendekati Vania sambil menunjuk ke arah foto Varo.

"Dia temanku, aku mengenalnya," ucap bocah laki-laki itu.

Tangisan Vania langsung berhenti saat mendengar ucapan anak laki-laki itu, dia bergegas melerai pelukan Sonya lalu bersimpuh di hadapan bocah tersebut.

"Ka-kau tahu dia, 'kan? Dia temanmu 'kan?" tanya Via sambil menunjukkan foto putranya.

Anak laki-laki itu mengangguk. Walau sudah lama berpisah dengan Varo, tetapi dia masih mengingat wajah temannya itu.

"Dia temanku, kami sering main bersama dengan mereka juga," jawab anak laki-laki itu sambil menunjuk ke arah temannya yang lain.

Vania menghela napas lega karena anak-anak itu mengenal putranya. "Sekarang kasitau di mana Varo sama tante yah, tante ini mamanya. Tante ingin bertemu dengan Varo." Pintanya.

Anak laki-laki itu menggelengkan kepalanya. "Dia sudah pergi dengan orang lain, dia tidak ada di sini lagi."

"Ka-kau bilang apa?"

Tbc.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!